HAK-HAK ATAS TANAH, BUMI,
AIR, & RUANG ANGKASA
Diajukan untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
HUKUM ARGARIA
Dosen Pengajar :
Bu Dian Evariana, SH., MH.
Disusun Oleh
ZAINI FIRDAOS, SE.Sy.
NIM : 1516.01.087
PROGRAM STUDI
ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
SEKOLAH TINGGI
ILMU HUKUM (STIH) PAINAN NASIONAL
BANTEN
2016 M
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur
kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan
rahmat-Nyalah saya dapat
menyelesaikan tugas makalah ini
dengan tepat waktu. Berikut ini penyusun mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Hak-Hak
Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa", yang menurut
penulis dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita.
Melalui kata pengantar
ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan
yang kami buat kurang tepat.
Dengan ini saya
mempersembahkan makalah
ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini
sehingga dapat memberikan manfaat.
Serang, 05 Oktober 2016
Penyusun,
Zaini
Firdaos, SE.Sy.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
............................................................................................. i
DAFTAR ISI
........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang ................................................................................................... 4
1.2.
Rumusan Masalah
.............................................................................................. 8
1.3.
Maksud dan Tujuan ............................................................................................ 8
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian & Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang
Angkasa .......................................................................................................9
2.2.
Hak
Atas Tanah Dalam Pasal 16 UPPA .......................................................... ...9
2.3.
Pengertian & Dasar Hukum Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha
(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB),
Hak Membuka Tanah & Memungut Hasil Hutan, Hak Yang Bersifat Sementara, Hak
Penguasaan Hutan & Pemungutan Hasil Hutan, Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan
& Penangkapan Ikan, Hak Guna Ruang Angkasa, dan Hak Guna Suci & Sosial ................................................................................. 10
2.3.1.
Hak Milik (HM) .......................................................................... 10
2.3.2. Hak
Guna Usaha (HGU)
.................................................................. 17
2.3.3. Hak Guna Bangunan (HGB) .......................................................... 22
2.3.4. Hak Pakai (HP) .......................................................................... 28
2.3.5. Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB) ............................................. 33
2.3.6.
Hak Membuka Tanah & Memungut Hasil Hutan ........................... 37
2.3.7. Hak Yang Bersifat Sementara .......................................................... 39
2.3.8. Hak Pengusaan Hutan & Pemungutan Hasil
Hutan .......................... 49
2.3.9. Hak Guna Air ............................................................................. 51
2.3.10. Hak Pemeliharan
& Penangkapan Ikan
.......................................... 53
2.3.11. Hak Guna Ruang
Angkasa ........................................................... 53
2.3.12. Hak Guna Suci dan Sosial
............................................................ 54
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.......................................................................................................
55
DAFTAR PUSTAKA
........................................................................................... 57
DAFTAR RIWAYAT
HIDUP ............................................................................... 58
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hak Milik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
sangat dilindungi dan dituangkan pada hukum dasar Indonesia. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan kepastian, jaminan, dan
perlindungan terhadap hak-hak milik untuk setiap warga negaranya. Seperti yang
dikatakan oleh Adrian Sutedi dalam Bukunya yang berjudul Peralihan Hak Atas
Tanah dan Pendaftarannya, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah “Negara Hukum
yang memberikan jaminan dan memberikan perlindungan atas hak-hak warga negara,
antara lain hak warga negara untuk mendapatkan, mempunyai dan menikmati hak
milik.”[1]
Hak Milik dalam lingkup kali ini adalah Hak Milik atas Tanah.
Fungsi tanah bagi kehidupan manusia adalah sebagai
tempat dimana manusia tinggal, melaksanakan aktivitas sehari-hari, menanam
tumbuh-tumbuhan, hingga menjadi tempat peristirahatan terahkir bagi manusia.
Seperti pendapat Benhard Limbong dalam bukunya yang berjudul Konflik
Pertanahan, tanah bagi kehidupan manusia memiliki arti yang sangat penting,
karena sebagian besar dari kehidupannya tergantung pada tanah. Tanah adalah
karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia dimuka bumi. Sejak lahir
sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan
sumber kehidupan. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial,
kultural, politik dan ekologis.[2]
Tanah sendiri, menurut Achmad Rubaie, mempunyai fungsi ganda sebagai pengikat
kesatuan sosial dan benda ekonomi sebagaimana berikut :
Tanah
mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena mempunyai fungsi ganda,
yaitu sebagai social aset dan capital aset. Sebagai social aset tanah merupakan sarana
peningkat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan
kehidupan, sedangkan sebagai capital aset
tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai
bahan perniagaan dan obyek spekulasi. Di satu sisi tanah harus dipergunakan dan
dimanfaatkan untuk sebesar-sebesarnya kesejahteraan rakyat, secara lahir,
batin, adil, dan merata, sedangkan disisi lain juga harus di jaga
kelestariannya.[3]
Pendapat Achmad Rubaie dikuatkan dengan pendapat
Arie Sukanthi Hutagalung yang menjelaskan bahwa : Tanah adalah asset bangsa
Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan
makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya haruslah didasarkan pada
prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam
hal ini harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dagangan,
objek spekulasi dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945.[4]
Definisi lain terkait dengan pengertian tanah
dikemukanan oleh Simpson adalah sebagai berikut :
…..
in its original definitions in English law, land is not regarded as comprising
merely the surface; it is deemed to include everything which is fixed to it,
and also the air which lies above it right up into the sky, and whatever lies
below it right down into the center of the earth ; it includes land covered
with water and so even the sea-bed is land. [5]
Terjemahan :
…..
definisi asli dari tanah dalam hukum Inggeris adalah bahwa tanah tidak
dipandang hanya terdiri atas permukaan bumi, akan tetapi juga dianggap termasuk
segala sesuatu yang melekat padanya, dan juga udara yang terdapat di atasnya
sampai ke langit, serta apa saja yang terletak di bawahnya sampai ke pusat
bumi; termasuk pula tanah yang diliputi air dan karena itu bahkan dasar laut
pun adalah tanah.
Dengan pendapat-pendapat yang telah diungkapkan di
atas, penulis berkesimpulan, bahwa tanah adalah aset yang sangat penting dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengelolaan dan pemanfaatan
akan tanah juga harus diperhatikan sehingga sesuai dengan prinsip yang
terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Prinsip yang dimaksud pada Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah “Bumi, air,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dapat disimpulkan bahwa
apa saja yang ada di bumi dan segala yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan Negara dalam hal ini mempergunakannya untuk kesejahteraan rakyat.
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh
Negara, diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) yang menyatakan bahwa : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari
Negara memberi wewenang kepada Negara untuk :
1.
Mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi,
air, dan ruang angkasa,
2.
Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa,
3.
Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Dengan demikian hak menguasai dari Negara itu
bukanlah hak untuk memiliki bumi dan lain-lain itu. Namun menurut sistem hukum
tanah sekarang, tidak seperti asas domein dari Negara sebagaimana tersimpul
dalam Domein Verklaring diatur dalam Agrarisch-Besluit Pasal 1 yang menyatakan
bahwa : “semua tanah yang tidak terbukti menjadi hak eigendom orang lain adalah
domein Negara (eigendom Negara).”[6]
Negara dapat memberikan jaminan kepastian hukum atas
hak atas tanah kepada setiap Warga Negaranya. Pemberian jaminan kepastian hukum
hak atas tanah, memerlukan tersedianya perangkat hukum yang memadai dan jelas yang
dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuan.
Hak atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam
Pasal 16 dibedakan menjadi :
a.
Hak Milik (HM),
b.
Hak Guna Usaha (HGU),
c.
Hak Guna Bangunan (HGB),
d.
Hak Pakai,
e.
Hak Sewa,
f.
Hak Membuka Hutan,
g.
Hak Memungut Hasil Hutan,
h.
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam
hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dalam undang-undang serta hak-hak
yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Hak–hak atas tanah
seperti yang telah disebutkan di atas dalam UUPA dikelompokkan sebagai berikut
:
a.
Hak atas tanah yang bersifat tetap,
terdiri dari : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak
Sewa Tanah Bangunan, dan Hak Pengelolaan.
b.
Hak atas tanah yang bersifat sementara,
terdiri dari : Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa
Tanah Pertanian.
Obyek hukum tanah adalah hak-hak penguasaan atas
tanah. Hak-hak penguasan tersebut dibagi dua, yaitu sebagai lembaga hukum dan
sebagai hubungan konkret. Hak penguasaan tanah merupakan suatu lembaga hukum
jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai
pemegang haknya.
Hak Milik dalam suatu bangsa menjadi sangat penting
terutama bagi masyarakat yang sedang membangun ke arah perkembangan industri.
Tentu saja yang di maksudkan adalah Hak Milik atas tanah. Tanah yang merupakan
hal pokok bagi manusia menghadapai beberapa macam masalah antara lain :
a.
Keterbatasan tanah, baik dalam jumlah
maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi,
b.
Pergeseran pola hubungan antara pemilik
tanah dan tanah sebagai akibat perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses
pembangunan dan perubahan-perubahan sosial pada umumnya,
c.
Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai
benda ekonomi yang sangat penting, pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan
perniagaan dan objek spekulasi,
dan
d.
Tanah disatu pihak harus dipergunakan
dan dimanfaatkan untuk sebesarsebesarnya kesejahteraan rakyat lahir, batin,
adil dan merata, sementara di lain pihak harus dijaga kelestariannya.[7]
Berdasarkan dari
uraian
yang telah dijabarkan, maka penulis
akan membahas Makalah mengenai Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang ingin dilihat dalam penulisan
ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan
Ruang Angkasa ?
2. Apa Dasar Hukum dalam Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa ?
3. Apa saja pembagian yang telah diatur Hak
atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam Pasal 16?
4. Apa yang dimaksud Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, Hak Sewa,Hak Membuka Hutan / Membuka Lahan dan Tanah, Hak yang bersifat sementara,
Hak Penguasaan Hutan / Hak Memungut Hasil Hutan, Hak Pertambangan, Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan Ikan
dan Penangkapan Ikan, Hak Guna Angkasa, dan Hak Guna Suci dan Sosial?
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Mengetahui dan
memahami pengertian Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa.
2.
Mengetahui dan
memahami Dasar Hukum Hukum dalam Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa.
3.
Mengetahui dan
memahami pembagian yang telah diatur Hak
atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam Pasal 16.
4.
Mengetahui dan
memahami pengertian Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, Hak Sewa,Hak Membuka Hutan / Membuka Lahan dan Tanah, Hak yang bersifat sementara,
Hak Penguasaan Hutan / Hak Memungut Hasil Hutan, Hak Pertambangan, Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan Ikan
dan Penangkapan Ikan, Hak Guna Angkasa, dan Hak Guna Suci dan Sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian &
Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan
Ruang Angkasa
Prinsip yang dimaksud Hak-hak atas tanah, air, dan ruang angkasa telah diatur
sebagaimana pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, adalah “Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) dapat
disimpulkan bahwa apa saja yang ada di bumi dan segala yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan Negara dalam hal ini mempergunakannya untuk
kesejahteraan rakyat.
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai
tanah oleh Negara, diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) yang menyatakan bahwa : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2.2. Hak
atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam Pasal 16
Bahwa hak atas
tanah yang telah diatur dalam UUPA pada pasal 16 dibedakan
menjadi :
(1)
Hak-hak
atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, antara lain :
a.
Hak Milik (HM),
b.
Hak Guna Usaha (HGU),
c.
Hak Guna Bangunan (HGB),
d.
Hak Pakai,
e.
Hak Sewa,
f.
Hak Membuka Hutan,
g.
Hak Memungut Hasil Hutan,
h.
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam
hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dalam undang-undang serta hak-hak
yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53 UUPA.
(2)
Hak-hak
atas air dan ruang angkasa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
UUPA, antara lain :
a.
Hak
Guna Air,
b.
Hak
Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, dan
c.
Hak
Guna Ruang Angkasa.
Hak–hak
atas tanah seperti yang telah disebutkan di atas dalam UUPA dikelompokkan
sebagai berikut :
a.
Hak atas tanah yang bersifat tetap,
terdiri dari : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak
Sewa Tanah Bangunan, dan Hak Pengelolaan.
b.
Hak atas tanah yang bersifat sementara,
terdiri dari : Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa
Tanah Pertanian (Sebagaimana Pasal
53 UUPA).
2.3. Pembahasan
Mengenai Hak
Milik (HM), Hak
Guna Usaha (HGU),
Hak Guna Bangunan (HGB),
Hak Pakai
(HP), Hak Sewa
(HS), Hak Membuka Tanah
dan Memungut Hasil
Hutan,
Hak Yang Bersifat Sementara, Hak Penguasaan Hutan & Hak Memungut Hasil Hutan,
Hak Pertambangan, Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan Ikan dan Penangkapan Ikan, Hak
Guna Angkasa, dan Hak Guna Suci dan Sosial
2.3.1. Hak
Milik
2.3.1.1. Pengertian & Dasar Hukum
Hak Milik (HM)
Hak milik diatur dalam
Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA. Dalam Pasal 20 menyatakan bahwa : “Hak milik adalah hak turun temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat
ketentuan dalam
Pasal 6.”
Kata “turun-temurun” dapat diartikan bahwa tanah tersebut dapat diteruskan pada
ahli waris, sedangkan untuk kata “terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk
membedakan dengan hak-hak lainnya. Terkuat dapat diartikan sebagai hak memiliki
dan atau menguasai atas tanah tersebut dengan jangka waktu yang tak terbatas
dengan dilandasi adanya pendaftaran tanah. Terpenuh sama halnya dengan hak yang
paling luas dan dapat menjadi induk dari hak lain. Selain itu Hak Milik juga
mempunyai fungsi sosial. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain.
Pendapat mengenai Hak Milik banyak
diutarakan oleh beberapa pakar. Penulis merangkum beberapa pendapat mengenai
hak milik antara lain :
a.
Kartini
Mukjadi dan Gunawan Widjaya
Hak
milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan
kepada pemegangnya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang tanah
hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan atau hak
pakai, dengan pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama dengan kewenangan
negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak
ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan eigendom atas
tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang (paling) luas pada
pemegangnya, dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan UUPA.[8]
b.
Adrian
Sutedi :
Hak
Milik bisa merupakan induk dari hak-hak lainnya. Artinya seseorang pemilik
tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang dari
hak milik: menyewakan, membagihasilkan, menggadaikan, meyerahkan tanah itu
kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai. Hak milik tidak
berinduk kepada hak atas tanah lain.[9]
c.
Erna
Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto :
Meskipun
Hak Milik adalah hak yang tertinggi dan terkuat, akan tetapi hak milik bukanlah
hak yang mutlak dalam arti tidak dapat diganggu gugat, hak milik dibatasi
dengan adanya fungsi sosial, dalam arti bahwa diatas hak milik tersebut juga
melekat kepentingan sosial, kepentingan umum.[10]
d.
Badriyah
Harun :
Hak
Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah, dengan mengingat bahwa tanah memiliki fungsi sosial. Pemberian
sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang “mutlak, tak terbatas
dan tidak dapat diganggu gugat” sebagai hak
eigendom / hak
milik menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian terang
bertantangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak.[11]
Selain hak milik yang dikenal di
Indonesia, di belanda dikenal juga istilah hak milik atas tanah (Eigendom). “Hak Kebendaan atas tanah
yang paling penting di Belanda adalah hak milik. Setiap bagian tanah di Belanda
dimiliki oleh seseorang.”[12]
Sama seperti di Indonesia hak milik merupakan hak yang paling penting, yang
dapat dimiliki oleh seseorang.
Seseorang dalam hal ini dijelaskan bahwa
tidak hanya satu orang saja, tapi dapat dimiliki oleh beberapa orang secara
sekaligus atas suatu tanah secara bersama-sama sebuah perusahaan atau badan
hukum, bahkan pemerintah dapat memilikinya. “Hak dari seorang pemilik,
kepemilikan (“ownership”, “eigendom”): hak yang paling komprehensif
atas sebuah barang yang tidak bergerak.”[13]
2.3.1.2.
Sifat dan Ciri-Ciri Hak Milik (HM)
Sifat hak milik ialah turun temurun,
terkuat, dan terpenuh. Turun temurun berarti hak milik adalah tidak hanya
berlangsung selama hidupnya orang yang memiliki hak tersebut, namun dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya jika pemegangnya meninggal dunia. Terkuat
menunjukkan jangka waktu Hak Milik tidak terbatas dan merupakan hak yang
terdaftar sehingga mudah dipertahankan terhadap pihak lain. Terpenuh
dimaksudkan bahwa hak milik dapat dibebani dengan jenis hak atas tanah yang
lain serta dapat juga dibebani hak tanggungan dan penggunaannya relatif lebih
luas dari hak atas tanah yang lain. Hak Milik memberikan wewenang kepada
pemegangnya yang paling kuat dibanding hak yang lain.
Hak Milik merupakan induk dari hak
lainnya, tidak berinduk kepada hak atas tanah lain karena Hak Milik adalah hak
yang paling penuh. Penggunaannya juga tak terbatas untuk keperluan tertentu
saja, berbeda dengan hak atas tanah lainnya.
Selain dari turun-temurun, terkuat, dan
terpenuh, ada sifat lain dari tanah Hak Milik yaitu mempunyai fungsi sosial.
“Fungsi sosial berarti, bahwa hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang
tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak
dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu
menimbulkan kerugian bagi masyarakat.”[14]
Hal tersebut sejalan dengan apa yang
dikatakan oleh Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, bahwa “pemegang Hak Milik
tidak boleh menggunakan atau tidak
menggunakan tanahnya yang mengakibatkan kerugian kepentingan orang lain.
Pemegang Hak Milik tidak boleh menelantarkan tanahnya, harus memanfaatkan
tanahnya sesuai dengan fungsi tanahnya.”[15]
“Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hak yang sewajarnya bahwa
tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah
kerusakannya.[16]
Selain membahas mengenai sifat dari pada
Hak Milik, maka penulis juga akan membahas mengenai cirri-ciri dari hak milik.
Hak Milik memiliki ciri-ciri antara lain :
a.
Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
Hak Tanggungan. Selain Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan juga
dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan Hak Tangunggan.
b.
Dapat digadaikan. Berbeda dengan Hak
Tanggungan, gadai bukan hak jaminan. Hak milik dapat dijadikan utang tetapi
tanahnya diserahkan pada kekuasaan pemegang gadai. Pemegang gadai berwenang
mengusahakan tanah tersebut dan mangambil hasilnya. Pemegang gadai juga dapat
menyewakan atau membagihasilkan tanah tersebut kepada orang lain, Hak gadai
bukan hak jaminan tetapi hak atas tanah.
c.
Dapat dialihkan kepada orang lain.
Peralihan hak milik dapat dilakukan dengan jual beli, tukar menukar, hibah,
wasiat, dan lain-lain.
d.
Dapat dilepaskan dengan sukarela.
Pelepasan hak tersebut ditujukan kepada pemerintah.
e.
Dapat diwakafkan, karena jangka waktunya
tidak terbatas.
2.3.1.3. Subyek Hak Milik (HM)
Subyek Hak
Milik hanya
dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) tunggal saja, dan tidak dapat
dimiliki oleh Warga Negara asing dan badan hukum, baik yang didirikan di
Indonesia maupun yang didirikan di luar negeri.
Pada dasarnya badan-badan hukum tidak
dapat memiliki hak milik atas tanah. Namun diadakanlah escape clause yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu
mempunyai Hak Milik. “Escape clause
adalah setiap klausa, atau ketentuan dalam kontrak yang memungkinkan pihak
dalam kontrak bahwa untuk menghindari keharusan untuk melakukan kontrak.”[17]
Pengecualian badan-badan hukum tertentu yang dapat memiliki
Hak Milik atas tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963.
Badan-badan hukum yang ditunjuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963
terdiri dari :
1)
Bank-bank yang didirikan oleh Negara
(selanjutnya disebut bank Negara).
2)
Perkumpulan-perkumpulan koperasi
pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang-undang Nomor 79 Tahun 1958.
3)
Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk
oleh Menteri Pertanian / Agraria setelah mendengar Menteri Agama.
4)
Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh
Menteri Pertanian / Agraria setelah mendengar Menteri
Kesejahteraan Sosial.
Dengan ketentuan demikian, berarti
setiap orang tidak dapat begitu saja melakukan pengalihan Hak Milik atas tanah.
Ini berarti UUPA memberikan pembatasan peralihan hak milik atas tanah. “Hak
Milik yang diberikan kepada badan-badan hukum tersebut hanya yang sudah
dipunyai sebelum berlakunya UUPA,
sedangkan sesudah berlakunya UUPA diberikan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.”[18]
Orang asing sesuai ketentuan Pasal 21
ayat (3) dapat memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan. Demikian pula WNI yang mempunyai Hak Milik
kemudian kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak tersebut dalam
jangka waktu satu tahun sejak hilangnya kewarganegaraannya tersebut. Jika telah
lewat satu tahun, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada
Negara. “Begitupula dengan pemilik kewarganegaraan ganda. Dalam UUPA diatur hal
demikian bahwa selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak
Milik.”[19]
Sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) UUPA,
yaitu badan-badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial dan keagamaan dapat
mempunyai Hak Milik atas tanah, sepanjang penggunaan berhubungan dengan usaha
sosial dan keagamaan adalah sebagai berikut :
1)
Kegiatan-kegiatan yang langsung
berhubungan dengan keagamaan adalah :
a)
Penggunaan dan peruntukan langsung
sebagai tempat ibadah Peribadatan (misalnya Masjid, Gereja, Pura, Vihara, dan
lain-lain),
b)
Penggunaan dan peruntukannya benar-benar / langsung
untuk syi’ar agama (misalnya Pondok pesantren, dan lain-lain).
2)
Hal-hal yang berhubungan dengan sosial
adalah penggunaan dan peruntukan benar-benar bukan kegiatan mencari keuntungan,
namun semata-mata untuk kegiatan sosial (non-profitoriented)
misalnya, Yayasan yatim piatu, Panti Jompo, dan lain-lain.
2.3.1.4.
Jangka Waktu Hak Milik (HM)
Bahwa
jangka waktu Hak Milik atas tanah tidak terbatas.
2.3.1.5.
Terjadinya Hak Milik (HM)
Bahwa
terjadinya Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara sebagaimana dalam
Pasal 22 UUPA[20],
yaitu :
a.
Hak
Milik atas tanah yang terjadi Menurut Hukum Adat, misalnya : Terjadi karena
Pembukaan Tanah (Pembukaan Hutan).
b.
Hak
Milik atas tanah terjadi karena Penetapan Pemerintah, misalnya : Pemberian Hak
Baru (melalui permohonan), Peningkatan Hak.
c.
Hak
Milik atas tanah terjadi Undang-Undang, misalnya : Ketentuan Konversi Pasal I,
II, VI.
2.3.1.6.
Hapusnya Hak Milik (HM)
Bahwa Hapusnya Hak Milik diatur dalam Pasal 27 UUPA[21]
yang menetapkan faktor penyebab hapusnya Hak Milik Tanah, bila :
1)
Tanahnya
jatuh kepada negara, yaitu :
a.
Karena
Pencabutan Hak berdasarkan Pasal 18 UUPA,
b.
Dilepaskan
secara suka rela oleh pemiliknya,
c.
Dicabut
untuk kepentingan umum,
d.
Tanahnya
ditelantarkan,
e.
Karena
subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas tanah, dan
f.
Karena
peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain yang
tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas tanah.
2)
Tanahnya
musnah, misalnya terjadi bencana alam.
2.3.2. Hak
Guna Usaha (HGU)
2.3.2.1.
Pengertian & Dasar Hukum Hak Guna Usaha (HGU)
Ketentuan umum Hak Guna Usaha (HGU)
disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b, 28 s/d 34, 50 ayat (2) UUPA, Pasal
2 s/d 18 PP No. 40 / 1995 tentang HGU, HGB, dan HP.
Pengertian Hak
Guna Usaha (HGU) adalah hak mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara dalam jangka waktu tertentu guna kegiatan usaha pertanian, perkebunan,
perikanan, atau peternakan (sebagaiman pada Pasal 28 ayat (1), dan PP No. 40 /
1996).[22]
2.3.2.2.
Sifat & Ciri-Ciri Hak Guna Usaha (HGU)
Sifat-sifat dan
ciri-ciri Hak Guna Usaha (HGU), antara lain adalah[23]
:
1)
Sesungguhnya
tidak sekuat Hak Milik (HM), namun Hak Guna Usaha (HGU) tergolong hak atas
tanah yang kuat, artinya tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap
gangguan pihak lain. Oleh karena itu, maka Hak Guna Usaha (HGU) termasuk salah
satu pihak yang wajib didaftarkan (sebagaimana pada Pasal 32 UUPA dan Pasal 10
No. 10 tahun 1961),
2)
Hak
Guna Usaha (HGU) dapat beralih, artinya dapat diwariskan oleh ahli waris yang
mempunyai hak (sebagaimana pada Pasal 28 ayat 3),
3)
Akan
tetapi berlainan dengan Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU) jangka waktunya
terbatas, artinya pada suatu waktu pasti berakhir (sebagaimana pada Pasal 29),
4)
Hak
Guna Usaha (HGU) dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu dengan cara dijual,
ditukarkan dengan lain, dihibahkan atau diberikan dengan wasiat (sebagaimana
pada Pasal 28 ayat 3), dan
5)
Hak
Guna Usaha (HGU) dapat juga dilepaskan oleh pemiliknya hingga tanahnya menjadi
tanah Negara (sebagaimana pada Pasal 34 huruf e).
2.3.2.3.
Subyek, Objek, & Luas Hak Guna Usaha (HGU)
Subyek Hak Guna Usaha (HGU) yang dapat
mempunyai Hak Guna Usaha (HGU) menurut Pasal 30 UUPA Jo. Pasal 2 PP No. 40
tahun 1996, adalah[24]
:
1)
Warga
Negara Indonesia (WNI), dan
2)
Badan
Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Asal atau Objek Hak Guna Usaha
(HGU) adalah tanah negara.
Kalau asal tanah HGU berupa tanah hak, maka tanah hak tersebut harus dilakukan
pelepasan ata penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian ganti kerugian
oleh calon pemegang Hak Guna Usaha
(HGU).
Luas Hak Guna Usaha (HGU) yang telah diatur Pasal 28 ayat 2 UUPA, Jo. Pasal
5 PP No. 40 Tahun 1996, antara lain sebagai berikut :
1)
Luas
Hak Guna Usaha (HGU) untuk perseorangan luas minimal 5 hektar dan luas maksimal
25 hektar.
2)
Luas
Hak Guna Usaha (HGU) untuk Badan hukum luas
minimal 5 hektar dan luas maksimal ditetapkan oleh kepala Badan Pertanahan
nasional.
2.3.2.4. Hak
dan Kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha (HGU)
Pemegang Hak
Guna Usaha (HGU) berhak untuk menguasai dan menggunakan tanah yang dipunyainya
untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan, atau
peternakan. Untuk mendukung usahanya tersebut, maka pemegang Hak Guna Usaha
(HGU) berhak untuk menguasai dan menggunakan sumber air dan sumber daya alam
lainnya yang terdapat diatas tanah tersebut dengan memperhatikan ketentuan yang
berlaku dan kepentingan masyarakat sekitar.
Pemegang Hak
Guna Usaha (HGU) berkewajiban untuk[25]
:
1)
Membayar
uang pemasukan kepada Negara,
2)
Melaksanakan
usaha pertanian, perkebunan, pertanian, dan atau peternakan sesuai dengan
peruntukan dan syarat yang ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya,
3)
Mengusahakan
sendiri tanah tersebut dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha yang ditetapkan oleh intansi teknis,
4)
Membangun
dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada di lingkungan
areal tanah tersebut,
5)
Memelihara
kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian
kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
6)
Menyampaikan
laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan tanah tersebut,
7)
Menyerahkan
kembali tanah tersebut kepada negara setelah hak guna usahanya hapus, dan
8)
Menyerahkan
Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang telah dihapus kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
Selain
kewajiban-kewajiban tersebut, pemegang Hak Guna Usaha (HGU) juga dilarang untuk
menyerahkan pengusahaan tanah kepada pihak lain, kecuali diperbolehkan menurut
ketentuan yang berlaku.
2.3.2.5.
Jangka Waktu Hak Guna Usaha (HGU)
Bahwa untuk jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU) terbatas,
artinya pada suatu waktu pasti berakhir (sebagaimana pada Pasal 29). Hak Guna
Usaha (HGU) dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, kecuali untuk
perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha
(HGU) untuk waktu paling lama 35 tahun.[26]
2.3.2.6.
Terjadinya Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Usaha (HGU) terjadi karena penetapan pemerintah,
yaitu melalui keputusan pemberian hak oleh mentri atau pejabat yang ditunjuk.
Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) wajib didaftarkan di buku tanah pada Kantor
Pertanahan dan terjadi sejak didaftarkan.[27]
2.3.2.7.
Beralihnya Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Usaha (HGU) dapat beralih atau dialihkan kepada
pihak lain dengan cara[28]
:
1)
Jual
Beli,
2)
Tukar
Menukar,
3)
Penyertaan
Dalam Modal,
4)
Hibah,
dan
5)
Kewarisan.
Peralihan Hak
Guna Usaha (HGU) wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Apabila peralihan
Hak Guna Usaha (HGU) dilakukan melalui Akta Jual Beli (kecuali lelang), tukar
menukar, penyerataan dalam modal, dan hibah, maka wajib dilakukan dengan Akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan terhadap peralihan hak yang dilakukan
melalui jual beli secara lelang wajib dibuktikan melalui Berita Acara Lelang.
Namun apabila peralihan Hak Guna Usaha (HGU) terjadi karena kewarisan, maka
harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris.
2.3.2.8. Hapusnya Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Usaha
(HGU) dapat dihapus, karena (Pasal 34 UUPA) [29]
:
a.
Jangka
waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbaharui,
b.
Dilepaskan
oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir,
c.
Dicabut
untuk kepentingan umum (berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya),
d.
Ditelantarkan,
e.
Tanahnya
Musnah, dan
f.
Orang atau Badan Hukum yang mempunyai Hak
Guna Usaha (HGU) tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak (wajib
melepaskan atau mengalihkan haknya paling lambat satu tahun).
Terhadap tanah Hak Guna Usaha (HGU) telah dihapus karena
ketentuan tersebut, maka tanahnya menjadi tanah negara.
2.3.3. Hak
Guna Bangunan (HGB)
2.3.3.1. Pengertian & Dasar Hukum Hak Guna Bangunan
(HGB)
Hak Guna Bangunan
(selanjutnya disebut “HGB”) adalah salah
satu hak
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan
waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dapat
dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan (Pasal 35 dan Pasal 39
UUPA).[30]
2.3.3.2. Sifat & Ciri-Ciri Hak Guna Bangunan (HGB)
Sifat-sifat
dan ciri-ciri Hak Guna Bangunan (HGB), antara lain adalah[31]
:
1)
Sesungguhnya
tidak sekuat Hak Milik (HM), namun sebagaimana halnya dengan Hak Guna Usaha
(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) tergolong hak-hak yang kuat, artinya tidak mudah
hapus dan dapat dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena
itu, Hak Guna Bangunan (HGB) termasuk
salah satu hak wajib yang di daftarkan (sebagaimana pada Pasal 38 UUPA dan
Pasal 10 No. 10 Tahun 1971),
2)
Hak
Guna Bangunan (HGB) dapat beralih, artinya dapat diwaris oleh ahli waris yang
mempunyai hak (sebagaimana pada Pasal 35 ayat 2),
3)
Sebagaimana
halnya dengan Hak Guna Usaha (HGU), maka Hak Guna Bangunan (HGB) jangka
waktunya terbatas, artinya pada suatu wilayah pasti berakhir (sebagaimana pada
Pasal 35 ayat 1 dan 2),
4)
Hak
Guna Bangunan (HGB) dapat dijadikan utang dengan dibebani hak tanggungan,
hipotik, atau creditverband (sebagaimana pada Pasal 39),
5)
Hak
Guna Bangunan (HGB) dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu dijual, ditukarkan
dengan lain, dihibahkan atau diberikan wasiat (sebagaimana pada Pasal 35 ayat
3), dan
6)
Hak Guna Bangunan (HGB) dapat dilepaskan oleh
yang pemilik hingga tanahnya menjadi tanah negara (sebagaimana pada Pasal 40
huruf c).
2.3.3.3.
Subyek & Objek Hak Guna Bangunan (HGB)
Yang dapat menjadi pemegang Hak Guna
Bangunan (sebagaimana pada Pasal 36 ayat (1) UUPA jo Pasal 19 PP
No. 40 Tahun 1996 jo Pasal 32 PMNA / KBPN No. 9 Tahun 1999), adalah[32] :
1)
Warga Negara Indonesia (WNI), dan
2)
Badan Hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Asal atau obyek tanah Hak
Guna Bangunan berasal dari tanah yang dikuasai
langsung oleh negara, tanah Hak Pengelolaan atau tanah milik orang lain (sebagaimana pada Pasal 39 UUPA dan Pasal 21 PP No. 40/1996).
2.3.3.4. Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan
(HGB)
Pasal 32 PP 40 / 1996 menentukan bahwa pemegang
Hak Guna Usaha (HGB) untuk menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan
dengan Hak Guna Usaha (HGB) selama jangka waktu tertentu untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk
mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya.[33]
Kewajiban-kewajiban
pemegang Hak Guna Usaha (HGB) menurut Pasal 30 PP 340 / 1996, adalah :
1)
Membayar
uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan
pemberian haknya,
2)
Menggunakan
tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan yang ditetapkan dalam
keputusan dan perjanjian pemberian haknya,
3)
Memelihara
dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelesetarian
lingkungan hidup,
4)
Menyerahkan
kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada negara,
pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sesuadah Hak Guna Bangunan
(HGB) itu hapus, dan
5)
Menyerahkan
sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang telah hapus kepada Kantor Pertanahan.
2.3.3.5. Jangka Waktu Hak Guna Bangunan (HGB)
Bahwa untuk
jangka waktu Hak Guna Usaha (HGB) jangka waktu paling
lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi. (Pasal 35 dan Pasal 39 UUPA).[34]
Adapun
persyaratan untuk dapat memperpanjang dan memperbaharui jangka waktu Hak Guna
Bangunan (HGB) adalah sebagai berikut[35]
:
1)
Tanahnya
masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan
pemberian hak tersebut.
2)
Syarat-syarat
pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak,
3)
Pemegang
hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak, yaitu merupakan Warga Negara
Indonesia (WNI) atau Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan
Berkedudukan di Indonesia,
4)
Tanah
tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan, dan
5)
Untuk
Hak Guna Bangunan (HGB) yang berasal dari tanah hak pengelolaan, diperlukan
persetujuan dari pemegang hak pengelolaan.
Permohonan
perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan (HGB) diajukan
selambat-lambatnya 2 tahun sebelum jangka waktunya berakhir dan wajib dicatat
dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.
Untuk Hak Guna
Bangunan (HGB) atas tanah milik, jangka waktunya adalah paling lama 30 tahun.
Setelah jangka waktu berakhir, maka Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diperbaharui
atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) dengan pemegang hak
milik. Pembaruan tersebut harus dimuat dalam akta yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah dan Wajib didaftarkan.
2.3.3.6. Terjadinya Hak Guna Bangunan (HGB)
Ada 3 jenis
tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan (HGB), yaitu tanah negara, tanah
hak pengelolaan dan tanah hak milik. Untuk tanah negara, Hak Guna Bangunan
(HGB) diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh mentri atau pejabat yang
ditunjuk. Untuk tanah hak pengelolaan, Hak Guna Bangunan (HGB) diberikan dengan
keputusan pemberian hak atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang
hak pengelolaan. Sedangkan untuk tanah hak milik, terjadinya Hak Guna Bangunan
(HGB) adalah melalui pemberian oleh pemegang hak milik dengan Akta yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Setiap pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) wajib
didaftarkan di Kantor Pertanahan.[36]
2.3.3.7.
Beralihnya Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Guna Bangunan (HGB) dapat beralih atau dialihkan
kepada pihak lain dengan cara[37]
:
1)
Jual
Beli,
2)
Tukar
Menukar,
3)
Penyertaan
Dalam Modal,
4)
Hibah,
dan
5)
Kewarisan.
Peralihan Hak
Guna Bangunan (HGB) wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Untuk peralihan
Hak Guna Bangunan (HGB) dilakukan melalui Jual Beli (kecuali lelang), tukar
menukar, penyerataan dalam modal, dan hibah, maka wajib dilakukan dengan Akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan terhadap peralihan Hak Guna Bangunan
(HGB) yang dilakukan melalui jual beli secara lelang wajib dibuktikan melalui
Berita Acara Lelang. Namun apabila peralihan Hak Guna Bangunan (HGB) terjadi
karena kewarisan, maka harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat
keterangan waris.
Perlu
diperhatikan bahwa peralihan Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah hak pengelolaan
atau tanah milik harus mendapatkan persetujuan tertulis dari pemegang hak
pengelolaan atau pemegang hak milik.
2.3.2.8.
Hapusnya Hak Guna Bangunan (HGB)
Berikut ini adalah penyebab hapusnya Hak Guna Bangunan
(HGB)[38] :
a.
Jangka
waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbaharui,
b.
Diberhentikan
sebelum jangka waktunya berakhir oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau pemegang hak milik karena tidak dipenuhinya suatu syarat :
·
Tidak
dipenuhinya kewajiban-kewajiban memegang hak,
·
Tidak
dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh
pemegang Hak
Guna Bangunan (HGB) dengan pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik,
dan
·
Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
c.
Dilepaskan
oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir,
d.
Dicabut
untuk kepentingan umum (berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya),
e.
Ditelantarkan,
f.
Tanahnya Musnah, dan
g.
Orang
atau Badan Hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan (HGB) tidak lagi memenuhi
syarat sebagai pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling
lambat satu tahun).
Hapusnya Hak Guna Bangunan
(HGB) atas tanah negara mengakibatkan tanah tersebut menjadi tanah negara.
Hapusnya Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah hak pengelolaan mengakibatkan
tanahnya kembali ke dalam pengusaan pemegang hak pengelolaan. Hapusnya Hak Guna
Bangunan (HGB) atas tanah milik mengakibatkan tanah tersebut kembali ke dalam
penguasaan pemegang hak milik.
2.3.4. Hak
Pakai
2.3.4.1. Pengertian & Dasar Hukum Hak Pakai
Hak Pakai diatur dalam Pasal 41-43
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Argaria
(selanjutnya disebut UUPA). Hal-hal yang ditentukan di dalam UUPA tersebut
kemudian dirincikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai atas Tanah. Pasal
41 ayat (1) UUPA menentukan sebagai berikut[39]
:
“Hak Pakai adalah hak untuk
menggunakan dan / atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.
2.3.4.2. Sifat & Ciri-Ciri Hak Pakai
Sifat dan ciri-ciri dari Hak Pakai, antara lain sebagai berikut[40] :
1.
Tergolong hak yang
wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997,
2.
Dapat diwariskan,
3.
Dapat dialihkan,
seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang, penyertaan modal,
4.
Dapat dilepaskan untuk
kepentingan social,
5.
Dapat dijadikan jaminan
hutang dengan dibebani Hak Tanggungan,
6.
Haknya mempunyai jangka
waktu tertentu,
7.
Dapat berinduk pada hak
atas tanah yang lain, dan
8.
Peruntukkannya
terbatas.
2.3.4.3.
Subyek & Objek Hak Pakai
Subyek Hak Pakai
(sebagaimana
pada Pasal 42 UUPA dan Pasal 39 PP No. 40/1996), sebagai berikut[41] :
1)
Warga Negara Indonesia (WNI).
2)
Badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
3)
Departemen, Lembaga
Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Daerah.
4)
Badan-badan keagamaan
dan sosial.
5)
Orang asing yang
berkedudukan di Indonesia (sebagaimana pada PP
No. 41/1996).
6)
Badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia.
7)
Perwakilan negara asing
dan perwakilan badan internasional.
Asal atau obyek Hak Pakai
(sebagaimana Pasal 41 (1) PP No. 40/1996), sebagai berikut :
1)
Tanah Negara.
2)
Tanah Hak Pengelolaan.
3)
Tanah Hak Milik.
2.3.4.4. Hak
& Kewajiban Hak Pakai
Hak pemegang Hak Pakai
(sebagaimana
pada Pasal 52 PP No. 40.1996), sebagai berikut[42] :
1)
Menguasai dan
mempergunakan tanah selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau
usahanya.
2)
Memindahkan hak
tersebut kepada pihak lain.
3)
Membebani dengan Hak
Tanggungan.
4)
Menguasai dan menggunakan
tanah untuk janga waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tertentu.
Kewajiban
pemegang Hak
Pakai (sebagaimana pada Pasal 50 dan Pasal 51 PP No. 40/1996), sebagai berikut :
1)
Membayar uang pemasukan
kepada negara, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau Hak Milik.
2)
Menggunakan tanah
sesuai peruntukkannya sesuai keputusan pemberian haknya, perjanjian pengguanaan
tanah Hak Pengelolaan atau Hak Milik..
3)
Memelihara dengan baik
tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan
hidup.
4)
Menyerahkan kembali
tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada negara,
pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Pakai
hapus.
5)
Menyerahkan sertifikat
Hak Pakai yang telah hapus kepada kepala Kantor Pertanahan.
6)
Memberikan jaln keluar
atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang
terkuryng oleh tanah Hak Pakai.
2.3.4.5.
Jangka Waktu Hak Pakai
Jangka
waktu Hak
Pakai berbeda sesuai dengan asal tanahnya, (sebagaimana pada Pasal 45 s/d 49 PP No. 40/1996), sebagai berikut[43] :
1)
Hak Pakai
atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali
paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20
tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Khusus Hak Pakai yang
dipunyai oleh Departemen, Lembaga Non Departemen, Pemerintah Daerah,
badan-badan keagamaan dan sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan
internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2)
Hak Pakai
atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 25 tahun, tidak ada
perpanjangan waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan
pemegang Hak
Pakai dapat diperbarui dengan pemberian Hak Pakai
baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor BPN
setempat.
2.3.4.6.
Terjadinya Hak Pakai
Terjadinya Hak Pakai dapat terjadi
karena[44]
:
1)
Penetapan Pemerintah
(tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan).
2)
Perjanjian pemberian
oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
3)
Undang-undang,
ketentuan tentang Konversi.
2.3.4.7.
Beralihnya Hak Pakai
Hak Pakai atas
tanah negara yang diberikan untuk jangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas tanah
hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Sedangkan Hak
Pakai atas tanah hak milik hanya dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain
apabila hal ini dimungkinkan dalam perjanjian Hak Pakai atas tanah hak milik
tersebut. Adapun cara peralihannya adalah sebagai berikut[45]
:
1)
Jual
Beli,
2)
Tukar
Menukar,
3)
Penyertaan
Dalam Modal,
4)
Hibah,
dan
5)
Kewarisan.
Peralihan Hak
Pakai wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Untuk peralihan Hak Pakai
dilakukan melalui Jual Beli (kecuali lelang), tukar menukar, penyerataan dalam
modal, dan hibah, maka wajib dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Sedangkan terhadap peralihan Hak Pakai yang dilakukan melalui jual beli secara
lelang wajib dibuktikan melalui Berita Acara Lelang. Namun apabila peralihan
Hak Pakai terjadi karena kewarisan, maka harus dibuktikan dengan surat wasiat
atau surat keterangan waris.
Perlu
diketahui bahwa peralihan Hak Pakai atas tanah negara harus mendapatkan izin
dari pejabat yang berwenang. Pengalihan Hak Pakai atas tanah hak pengelolaan
harus dilakukan dengan perjanjian tertulis dari pemegang hak pengelolaan.
Sedangkan pengalihan Hak Pakai atas tanah milik harus mendapatkan persetujuan
tertulis dari pemegang hak milik tanah tersebut.
2.3.4.8.
Hapusnya Hak Pakai
Berikut ini adalah penyebab hapusnya Hak Pakai [46] :
a.
Jangka
waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbaharui,
b.
Diberhentikan
sebelum jangka waktunya berakhir oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau pemegang hak milik karena tidak dipenuhinya suatu syarat :
·
Tidak
dipenuhinya kewajiban-kewajiban memegang hak,
·
Tidak
dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh
pemegang Hak
Guna Bangunan (HGB) dengan pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik,
dan
·
Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
c.
Dilepaskan
oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir,
d.
Dicabut
untuk kepentingan umum (berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya),
e.
Ditelantarkan,
f.
Tanahnya Musnah, dan
g.
Orang
atau Badan Hukum yang mempunyai Hak Pakai tidak lagi memenuhi syarat sebagai
pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling lambat satu
tahun).
2.3.5. Hak
Sewa Untuk Bangunan
2.3.5.1. Pengertian & Dasar Hukum
Hak Sewa Untuk Bangunan
Hak Sewa Untuk Bangunan disebutkan dalam
Pasal 16 ayat (1), 44, 45, 52 ayat (2) UUPA. Pengertian
Hak Sewa Untuk Bangunan adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak Milik orang lain dengan
membayar sejumlah uang sewa tertentu dalam jangka waktu tertentu yang
disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang HSUB (sebagaimana pada Pasal 44 ayat (1)
UUPA). Hak
Sewa Untuk Bangunan merupakan hak pakai
yang mempunyai sifat-sifat khusus. Hak sewa hanya
disediakan untuk bangunan-bangunan yang berhubung dengan
pertanian (sebagaimana
pada Pasal 10 ayat (1)).[47]
2.3.5.2. Sifat dan Ciri-Ciri Hak Sewa
Untuk Bangunan
Sifat dan Ciri-Ciri Hak Sewa Untuk Bangunan,
antara lain[48] :
1)
Tujuan pengunaannya
sementara, artinya jangka waktu terbatas.
2)
Bersifat pribadi dan
tidak boleh dialihkan.
3)
Tidak dapat diwariskan.
4)
Hubungan hak sewa tidak
terputus dengan dialihkannya Hak Milik yang bersangkutan kepada pihak lain.
5)
Tidak dapat dijadikan
jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
6)
Pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan
dapat melepas sendiri hak sewanya.
7)
Tidak termasuk golongan
hak-hak yang harus didaftarkan.
2.3.5.3. Subyek & Objek Hak Sewa Untuk Bangunan
Subyek Hak Sewa Untuk Bangunan (sebagaimana pada Pasal 45 UUPA), sebagai
berikut[49]
:
1)
Warga Negara Indonesia (WNI).
2)
Orang asing yang
berkedudukan di Indonesia.
3)
Badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
4)
Badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia.
Objek Hak Sewa Untuk Bangunan merupakan Hak atas tanah yang dapat disewakan kepada pihak lain adalah
Hak Milik dan objek yang disewakan pemilik tanah kepada pemeganag HSUB adalah
tanah bukan bangunan.
2.3.5.4. Jangka Waktu & Pembayaran Hak Sewa Untuk Bangunan
Jangka waktu Hak Sewa Untuk Bangunan dalam UUPA tidak mengatur secara tegas berapa lama jangka waktu Hak Sewa Untuk Bangunan,
jangka waktu Hak Sewa Untuk
Bangunan diserahkan kepada kesepakatan antara
pemilik tanah dengan pemegang Hak
Sewa Untuk Bangunan.
Pembayaran uang sewa
dalam Hak Sewa Untuk Bangunan. Ketentuan mengenai pembanyaran uang sewa dapat dilakukan
satu kali atau tiap-tiap waktu tertentu. Juga dapat dilakukan sebelum atau
sesudah tanahnya dipergunakan oleh pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan.
Tergantung kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan. [50]
2.3.5.5.
Terjadinya Hak Sewa Untuk Bangunan
Terjadinya
Hak Sewa Untuk Bangunan
karena perjanjian persewaan tanah yang tertulis antara pemilik tanah dengan
pemegang Hak Sewa Untuk
Bangunan, yang tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengadung
unsur-unsur pemerasan.[51]
2.3.5.6.
Peralihan Hak Sewa Untuk Bangunan
Pada
dasarnya pemegang Hak Sewa Untuk
Bangunan tidak diperbolehkan mengalihkan hak sewanya kepada pihak
lain tanpa seizin dari pemilik tanah. Pelanggaran terhadap larangan ini dapat
berakibat terputusnya hubungan sewa-menyewa antara pemilik tanah
dan pemegang Hak Sewa Untuk
Bangunan.[52]
2.3.5.7.
Hapusnya Hak Sewa Untuk Bangunan
Faktor-faktor penyebab
hapusnya Hak Sewa Untuk
Bangunan, adalah[53]:
a.
Jangka waktunya
berakhir.
b.
Dihentikan sebelum
jangka waktunya berakhir karena pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan tidak memenuhi
syarat sebagai pemegang Hak
Sewa Untuk Bangunan.
c.
Dilepaskan oleh pemegang
Hak Sewa Untuk Bangunan
sebelum jangka waktu berakhir.
d.
Hak Milik atas tanahnya
dicabut untuk kepentingan umum.
e.
Tanahnya musnah.
2.3.6. Hak Membuka Tanah & Memungut Hasil Hutan
2.3.6.1.
Pengertian & Dasar Hukum Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan
Hak Membuka
Tanah dan Memungut Hasil Hutan sebagaimana telah diatur pada Pasal 46 UU Nomor
5 Tahun 1960[54] :
1)
Hak membuka tanah dan memungut hasil
hutan hanya dapat mempunyai
oleh warga-negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2)
Dengan mempergunakan hak memungut hasil
hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.
Hak membuka hutan yakni memanfaatkan hutan
dan penggunaan kawasan hutan oleh seluruh warga negara Indonesia dan memiliki
untuk pembukaan kawasan hutan.
Hal-hal yang mesti diperhatikan dalam Pengunaan
Hak Membuka Hutan[55]
:
1)
Hutan yang
dapat dimanfaatkan oleh setiap Warga Negara Indonesia adalah semua hutan,
kecuali yang masuk hutan kawasan.
2)
Pastikan
jika membuka dan memanfaatkan hutan, maka hutan tersebut tidak masuk dalam
status hutan kawasan.
3) Status hutan kawasan yang tidak dapat
dimanfaatkan oleh Warga Negara Indonesia, yakni hutan lindung, suaka, dan hutan
konservasi.
Hak Mengambil Hasil Hutan. Yang
berhak mengambil hasil hutan yakni :
a. Orang atau perorangan
warga negara Indonesia (WNI)
·
Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat
dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan peraturan Perundang-
undangan (Pasal 46 UU Pokok Agraria)
·
Masyarakat berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan
sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
b. Masyarakat adat
Masyarakat hukum adat
berhak untuk melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan
sehari-hari masyarakat bersangkutan dengan Pasal 67, dalam huruf (a) "melakukan
pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat
adat yang bersangkutan" Undang- Undang No 41 tahun 1999 Tentang
Kehutanan).
Hak memungut
hasil hutan, diberikan oleh pemerintah kepada Warga Negara yang merupakan
kontribusi pemerintah dalam memberikan kesejahteraan kepada masyarakat warga
Negara. Pemungutan hasil hutan ada yang berasal dari hasil kayu maupun non
kayu.
2.3.6.2. Asas & Tujuan Hak Membuka Tanah dan
Memungut Hasil Hutan
Asas Hak
Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan
dilaksanakan berdasarkan asas rasionalitas, optimalitas serta
kelestarian hutan dan keseimbangan fungsi ekosistem dengan memperhatikan rasa
keadilan dan manfaat bagi masyarakat (sebagaimana pada Pasal 3 PP Nomor 6 tahun
1999).
Tujuan Hak
Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan adalah mewujudkan keberadaan sumber daya
hutan yang berkualitas tinggi, memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan ekologi
yang maksimum dan lestari, serta menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan
merata khususnya terhadap masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar
hutan (sebagaimana pada Pasal 4 PP Nomor 6 tahun 1999).[56]
2.3.7. Hak
Yang Bersifat Sementara
Ketentuan Umum Hak-hak atas tanah yang bersifat
sementara disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA. Macam-macam haknya
disebutkan dalam pasal 53 UUPA, yang meliputi Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak
Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah
Pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat semetara,
dalam waktu yang singkat, diusahakan akan dihapus karma mengandung sifat-sifat
pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Kenyataannya sampai saat ini tidak
dapat dihapuskan dan yang dapat dilakukan adalah mengurangi sifat-sifat
pemerasan.[57]
Macam-macam Hak Atas Tanah yang bersifat Sementara
secara berurutan macam-macam hak atas tanah ini dapat dijelaskan sebagai
berikut[58]:
1) Hak Gadai (Gadai tanah)
Pengertian Hak Gadai (Gadai Tanah)
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud
denagn Hak Gadai (Gadai Tanah). Untuk memperoleh pemahaman tentangpengertian
Gadai Tanah, berikut ini dikemukakan pendapat Boedi Harsono, Gadai tanah adalah
hubungan hukum seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima
uang gadai daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut
dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak
pemegang gadai, Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut
penebusan tergantung pada kemauan dan kepampuan pemilik tanah yang yang
menggadaikan, banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun bahkan sampai
puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu melakukan penebusan.
Para pihak dalam Hak Gadai (Gadai Tanah)
Dalam hal Gadai (Gadai Tanah) terdapat dua pihak,
yaitu pihak pemilik tanah pertanian tersebut pemberi gadai dan pihak yang
menyerahkan uang kepada pemberi gadai disebut penerima (pemegang) gadai. Pada
umunya, pemberi gadai berasal dari golongan masyarakat yang berpenghasilan
rendah, Sebaliknya penerima (pemegang) gadai berasal dari golongan masyarakat
yang mampu (kaya).
Terjadinya Hak Gadai (Gadai Tanah)
Hak Gadai (Gadai Tanah) pertanian bagi masyarakat
Indonesia khususnya petani bukanlah hal yang baru.
Semula lembaga ini diatur / tunduk pada hukum adat tentang tanah dan
pada umumnya dibuat tidak tertulis. Kenyataan ini selaras dengan sistem dan
cara berfikir hukum adat yang sifatnya sangat sederhana. Hak gadai (Gadai
Tanah) dalam hukum adapt harus dilakukan dihadapan kepala desa/kepala adapt
selaku kepala masyarakat. Hukum adat mempunyai wewenang untuk menentukan dan
mengatur perbuatan -perbuatan hukum mengenai tanah yang terjadi dalam
lingkungan wilayah kekuasaannya. Dalam praktiknya, Hak gadai (Gadai Tanah) pada
umumnya dilakukan tanpa sepengetahuan kepala desa/kepala adat. Hak Gadai (Gadai
Tanah) hanya dilakukan oleh pemilik tanah dan pihak yang memberikan uang gadai,
dan dilakukan tidak tertulis.
Perbedaan Hak Gadai (Gadai Tanah) dan Gadai dalam Hukum Perdata Barat
Hak Gadai (Gadai Tanah) merupakan perjanjian
penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam-meminjam uang dengan tanah sebagai
jaminan. Objek Hak Gadai (Gadai Tanah) adalah tanah, sedangkan objek perjanjian
pinjam-meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan utang adalah uang. Hak Gadai
(Gadai Tanah) menurut hukum adapt merupakan perjanjian pokok yang berdiri
sendiri, yang dapat disamakan dengan jual lepas (adol plas) ataujual
tahunan (adol tahunan). Jadi tidak merupakan perjanjian tambahan
sebagaimana halnya gadai dalam pengertian Hukum Perdata Barat. Perbedaan antara
Hak Gadai (Gadai Tanah) dan Gadai menurut Hukum Perdata Barat, adalah pada Hak
Gadai (Gadai Tanah) terdapat satu perbuatan hukum yang berupa perjanjian
penggarapan tanah pertanian oleh orang yang memberikan uang gadai, sedangkan
Gadai menurut Hukum Perdata Barat terdapat dua perbuatan hukum yang berupa
perjanjian pinjam-meminjam uang sebagai perjanjian pokok dan penyerahan benda
bergerak sebagai jaminan, sebagai perjanjian ikutan.
Jangka Waktu Hak Gadai Tanah (Gadai Tanah)
Jangka waktu Hak Gadai (Gadai Tanah) dalam praktiknya
dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Hak Gadai (Gadai Tanah) yang lamanya tidak ditentukan
Dalam hal Hak Gadai (Gadai
Tanah) tidak ditentukan lamanya, maka pemilik tanah pertanian tidak
boleh melekukan penebusan sewaktu-waktu, misalnya sekarang digadai, 1 atau 2
bulan kemudian ditebus. Penebusan baru dapat dilakukan apabila pemegang gadai
minimal telah melakukan satu kali masa panen. Hal ini disebabkan karma Hak
Gadai (Gadai Tanah) merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian
pinjam-meminjam uang.
2. Gadai Tanah yang lamanya ditentukan
Dalam Hak Gadai (Gadai Tanah) ini, pemilik tanah baru
dapat menebus tanahnya kalau jangka waktu yang diperjanjikan dalam Hak Gadai
(Gadai Tanah) berakhir. Kalau jangka waktu tersebut sudah berakhir dan pemilik
tanah tidak dapat menebus tanahnya, maka tidak dapat dikatakan bahwa ia
melakukan wanprestasi sehingga pemegang gadai bias menjual lelang tanah yang
digadaikan tersebut. Apabila batas waktu yang telah ditentukan pemilik tanah
tidak dapat menebusnya, maka pemegang gadai tidak dapat memaksa pemilik tanah
untuk menebus tanahnya, dan kalau pemegang gadai tetap tetap memaksa menjual
lelang tanah yang digadaikan tersebut, maka pemilik tanah dapat menggugat
pemegang gadai kecuali pemilik tanah dapat mengizinkan menjual tanah yang
digadaikan.
Ciri-ciri Hak Gadai (Gadai Tanah)
Hak Gadai (Gadai Tanah) menurut hukum adat mengandung
ciri-ciri sebagai berikut :
a. Hak menebus tidak mungkin
kadaluarsa.
b. Pemgang gadai selalu berhak untuk
mengulanggadaikan tanahnya.
c. Pemegang gadai tidak boleh
menuntut supaya tanahnya segera ditebus.
d. Tanah yang digadaikan tidak bias
secara otomatis menjadi milik pemegang gadai bila tidak ditebus.
Menurut Boedi Harsono sifat dan ciri-ciri Hak gadai (gadai tanah) :
a. Hak gadai (gadai tanah) jangka
waktunya terbatas artinya pada suatu waktu akan hapus.
b. Hak gadai (gadai tanah) tidak
berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai.
c. Hak gadai (gadai tanah) dapat
dibebani dengan hak-hak tanah yang lain.
d. Hak gadai (gadai tanah) dengan
persetujuan pemilik tanahnua dapat dialihkan kepada pihak ketiga, dalam arti
hubungan gadai yang semula terjadi menjadi putus dan digantikan dengan hubungan
gadai yang baru antara pemilik dengan pihak ketiga (memindahkan gadai atau doorverpanden).
e. Hak gadai (gadai tanah) tidak
menjadi hapus jika hak atas tanahkanya dialihkan kepada pihak lain.
f. Selama Hak gadai (gadai tanah)
nya berlangsung maka atas persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat
ditambah (mendalami gadai)
g. Sebagai lembaga, Hak gadai (gadai
tanah) pada waktunya akan habis.
2) Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian
Bagi Hasil)
Pengertian
Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
Pasal 53 UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud hak usaha
bagi hasil.
Menurut Boedi Harsono :
Hak usaha bagi hasil adalah hak seseorang atau badan hukum (yang
disebut penggarap) untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah
kepunyaan pihak lain (yang disebut pemilik) dengan perjanjian bahwa hasilnya
akan dibagi antara kedua belah pihak menurut imbangan yang telah disepakati.[59]
Mekanisme Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian
Bagi Hasil)
Perjanjian
bagi hasil harus dibuat secara tertulis di muka Kepala desa, disaksikan oleh minimal dua orang saksi,
dan disahkan oleh camat setempat serta diumumkan dalam kerapatan desa yang
bersangkutan (Menurut UU No 2 tahun 1960).
Tujuan Mengatur Hak Usaha Bagi
Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
Disebutkan dalam penjelasan Umum UU Nomor 2 Tahun 1960 :
a. Agar pembagian hasil tanah antara
pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil.
b. Dengan menegaskan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan
hukum yang layak bagi penggarap.
c. Dengan terselenggaranya apa yang
disebut pada point a dan b diatas, maka bertambahlah kegembiraan bekerja bagi
para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pada caranya memelihara
kesuburan dan mengusahakan tanahnya.
Sifat dan Ciri-Ciri Hak
Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
Menurut Boedi Harsono :
a. Perjanjian bagi hasil jangka
waktunya terbatas.
b. Perjanjian bagi hasil tidak dapat
dialihkan kepada pihak lain tanpa seizin pemilik lahannya.
c. Perjanjian bagi hasil tidak hapus
dengan berpindahnya hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain.
d. Perjanjian bagi hasil tidak hapus
jika penggarap meninggal dunia, tetapi hak itu hapus jika pemilik tanahnya
meninggal dunia.
e. Perjanjian bagi hasil didaftar
menurut peraturan khusus (Kantor Kepala Desa)
f. Sebagai lembaga perjanjian bagi
hasil ini pada waktunya akan dihapus.
Jangka Waktu Hak
Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
Menurut UU Nomor 2 Tahun 1960 :
a. Lamanya jangka waktu perjanjian
bagi hasil untuk tanah sawah sekurang-kurangnya 3 tahun dan untuk tanah kering
sekurang-kurangnya 5 tahun.
b. Perjanjian tidak terputus karena
pemindahan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain.
c. Jika penggarap meninggal dunia,
maka perjanjian bagi hasil itu dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya dengan hak
dan kewajiban yang sama.
d. Pemutusan perjanjian bagi hasil
sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian hanya dimungkinkan apabila jika ada
persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan dan hal itu dilaporkan kepada
kepala desa.
Hak & Kewajiban Hak
Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil) Bagi Penggarap Tanah
Hak Penggarap Tanah :
Selama perjanjian bagi hasil beralangsung berhak untuk mengusahakan tanah
yang bersangkutan dan menerima bagian dari hasil tanah itu sesuai dengan
imbangan yang ditetapkan atas dasar kesepakatan oleh kedua belah pihak.
Kewajiban Penggarap Tanah :
Mengusahakan tanah tersebut dengan baik, menyerahkan bagian hasil tanah
yang menjadi hak pemilik tanah, memenuhi beban yang menjadi tanggungannya dan
menyerahkan kembali tanah garapannya kepada pemilik tanah dalam keadaan baik
setelah berakhirnya jangka waktu perjanjian bagi hasil.
Hapusnya Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian
Bagi Hasil)
a. Jangka waktunya berakhir.
b. Atas persetujuan kedua belah
pihak, perjanjian bagi hasil diakhiri.
c. Pemegang tanahnya meninggal
dunia.
d. Adanya pelanggaran oleh penggarap
terhadap larangan dalam perjanjian bagi hasil.
e. Tanahnya musnah.
3) Hak Menumpang
Pengertian Hak Menumpang
UUPA tidak memberikan
pengertian apa yang dimaksud hak menumpang.
Menurut Boedi Harsono :
Hak menumpang adalah hak
yang memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah
diatas tanah perkarangan milik orang lain.[60]
Cara Terjadinya Hak Menumpang
Hak menumpang biasanya terjadi
atas dasar kepercayaan oleh pemilik tanah kepada orang lain yang belum
mempunyai rumah sebagai tempat tinggal dalam bentuk tidak tertulis, tidak ada
saksi dan tidak diketahui oleh perangkat desa / kelurahan, sehingg jauh dari
kepastian dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.
Sifat & Ciri-Ciri Hak Menumpang
a. Tidak mempunyai jangka waktu yang pasti
karena sewaktu-waktu dapat dihentikan.
b. Hubuungan hukumnya lemah yaitu
sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh pemilik tanah jika ia memerlukan tanah
tersebut.
c. Pemegang hak menumpang tidak wajib
membayar sesuatu (uang sewa) kepada pemilik laha.
d. Tidak wajib didaftarkan ke kantor
pertanahan.
e. Bersifat turun temurun artinya dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya.
f. Tidak dapat dialihkan kepada pihak
lainyang bukan ahli warisnya.
Hapusnya Hak
Menumpang
a. Pemilik tanah sewaktu-waktu dapat
mengakhiri hubungan hukum antara pemegang hak menampung dengan tanah yang
bersangkutan.
b. Hak milik atas tanah yang
bersangkutan dicabut untuk kepentingan umum.
c. Pemegang hak menumpang melepaskan
secara sukarela hak menumpang.
d. Tanahnya musnah.
4) Hak Sewa Pertanian
Pengertian Hak Sewa Pertanian
UUPA tidak memberikan pengertian
apa yang dimaksud hak menumpang.
Hak sewa tanah pertanian adalah suatu
perbuatan hukum dalam bentuk penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik
tanah kepada pihak lain (penyewa) dalam jangka waktu tertentu dan sejumlah uang sebagai sewa yang ditetapkan
atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.[61]
Cara Terjadinya Hak Sewa Pertanian
Hak sewa tanah pertanian bisa terjadi
dalam bentuk perjanjian yang tidak tertulis atau tertulis yang memuat
unsur-unsur para pihak, objek, uang sewa, jangka waktu hak dan kewajiban bagi
pemilik tanah pertanian dan penyewa.
Hapusnya Hak Sewa
Pertanian
a. Jangka waktunya berakhir.
b. Hak sewanya dialihkan kepada
pihak lain tanpa persetujuan dari pemilik tanah kecuali hal itu diperkenankan
oleh pemilik tanah.
c. Hak sewanya dilepaskan secara
sukarela oleh penyewa.
d. Hak atas tanah dilepaskan secara
oleh penyewa.
e. Hak atas tanah tersebut dicabut
untuk kepentingan umum.
f. Tanahnya musnah.
2.3.8. Hak Penguasan
Hutan & Pemungutan Hasil Hutan
2.3.8.1.
Pengertian & Dasar Hukum Hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan
"Hak Pengusahaan Hutan" adalah hak untuk mengusahakan hutan di
dalam suatu Kawasan Hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayu,
permudaan dan pemeliharaan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai
dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku
serta berdasarkan azas kelestarian hutan dan azas perusahaan (sebagaimana pada Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 21
Tahun 1970 Tentang Hak Penguasan Hutan & Hak Pemungutan Hasil Hutan).
"Hak Pemungutan Hasil Hutan" adalah hak untuk menebang
menurut kemampuan yang meliputi areal hutan paling luas 100 (seratus) ha untuk
jangka waktu selama-lamanya 2 (dua) tahun serta untuk mengambil kayu dan hasil
hutan lainnya dalam jumlah yang ditetapkan dalam surat izin yang bersangkutan
untuk jangka waktu 6 (enam) bulan
(sebagaimana pada Pasal 1 ayat (5) PP Nomor 21 Tahun 1970 Tentang Hak Penguasan
Hutan & Hak Pemungutan Hasil Hutan).
2.3.8.2.
Pemegang Hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan
Pemegang Hak Penguasaan
Hutan adalah Badan Hukum yang diberikan Hak Penguasaan Hutan oleh Mentri
Pertanian (sebagaimana pada Pasal 1 ayat (2) PP Nomor 21 Tahun 1970 Tentang Hak
Penguasan Hutan & Hak Pemungutan Hasil Hutan).
2.3.8.3.
Subyek Hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan
Subyek Hak Penguasan Hutan
(sebagaimana pada Pasal 9 PP Nomor 21 Tahun 1970) dapat diberikan kepada :
a. Perusahaan Milik Negara.
b. Perusahaan Swasta.
c. Perusahaan Campuran.
Subyek Hak Pemungutan Hasil Hutan (sebagaimana pada Pasal 11 PP Nomor 21
Tahun 1970) hanya dapat diberikan kepada :
a. Warga
Negara Indonesia (WNI).
b. Badan-badan
Hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia.
2.3.8.4. Kewajiban Hak Penguasaan Hutan & Pemegang
Hak Pemungutan Hasil Hutan
Kewajibah Hak Penguasaan Hutan & Pemegang
Hak Pemungutan Hasil Hutan (sebagaimana pada Pasal 3 PP Nomor 21 Tahun 1970),
antara lain :
1) Pemegang Hak Pengusahaan Hutan wajib membayar
Iuran Hak Pengusahaan Hutan, Iuran Hasil Hutan dan lain-lain pembayaran dengan
peraturan yang berlaku.
2) Pemegang Hak Pemungutan
Hasil Hutan wajib membayar Iuran Hasil Hutan dan lain-lain pembayaran sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
3) Pemegang Hak Pengusahaan
Hutan wajib membuat Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang terdiri atas :
a.
Rencana Karya Tahunan yang harus diserahkan untuk
disetujui Menteri Pertanian dua bulan sebelum penebangan dimulai.
b.
Rencana Karya Lima tahun yang harus diserahkan untuk
disetujui Menteri Pertanian dalam waktu satu tahun setelah dikeluarkan Surat
Keputusan Hak Pengusahaan Hutan.
c.
Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang meliputi seluruh
jangka waktu Pengusahaan Hutan yang harus diserahkan untuk disetujui Menteri
Pertanian dalam waktu tiga tahun setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Hak
Pengusahaan Hutan.
4) Pemegang Hak Pengusahaan Hutan wajib mengelola
areal Pengusahaan Hutan berdasarkan Rencana Karya Pengusahaan Hutan serta
mentaati segala ketentuan di bidang Kehutanan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2.3.8.5. Jangka Waktu & Luas Hak Penguasaan Hutan
Hak Pengusahaan Hutan diberikan untuk
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang apabila
tidak bertentangan dengan kepentingan umum (sebagaimana pada Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 21 Tahun
1970).
Luas areal hutan yang diberikan sebagai
areal kerja kepada Pemegang Hak sebagaimana dilukiskan pada peta lampiran Surat
Keputusan Hak Pengusahaan Hutan yang dikeluarkan Menteri Pertanian sekaligus
merupakan penetapan Kawasan Hutan
(sebagaimana pada Pasal 10 ayat (2) PP Nomor 21 Tahun 1970).
Luas areal hutan yang diberikan kepada
Pemohon Hak Pengusahaan Hutan adalah sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan
Hutan dan target produksi yang diajukan oleh yang bersangkutan dan disahkan
oleh Menteri Pertanian (sebagaimana
pada Pasal 10 ayat (3) PP Nomor 21 Tahun 1970).
2.3.8.6. Hapusnya Hak Penguasaan Hutan
1) Hak Pengusahaan Hutan (sebagaimana pada Pasal
13 PP Nomor 21 Tahun 1970),
hapus karena :
a. Jangka waktu yang diberikan telah
berakhir.
b. Dicabut, oleh Menteri Pertanian
sebagai sanksi yang dikenakan kepada Pemegang Hak Pengusahaan Hutan.
c. Diserahkan kembali oleh Pemegang
Hak Pengusahaan Hutan kepada Pemerintah sebelum jangka waktu yang diberikan
berakhir.
2) Berakhirnya Hak Pengusahaan Hutan
atas dasar ketentuan ayat (1) pasal ini tetap mewajibkan Pemegang Hak
Pengusahaan Hutan untuk :
a. Melunasi Iuran Hak Pengusahaan
Hutan dan Iuran Hasil Hutan serta lain-lain kewajiban finansiil terhadap
Pemerintah.
b. Melaksanakan semua
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam rangka berakhirnya Hak Pengusahaan
Hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2.3.9. Hak Guna Air
Hak Guna Air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau
mengusahakan Air untuk sebagai keperluan atau hak akan memperoleh air dari
sungai, saluran, atau mata air yang berada diluar tanah miliknya sendiri, maka
hal-hal itu sudah termasuk dari pada hak milik atas tanah (sebagaimana pada
Pasal 47 UUPA Jo. Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 69 Tahun 2014).
Peraturan PP
Nomor 69 Tahun 2014 bertujuan memberikan pengakuan, pemenuhan, dan pelindungan
terhadap Hak Guna Air (sebagaimana pada Pasal 2 PP Nomor 69 Tahun 2014).
Hak Guna Air
(sebagaimana pada Pasal 5 PP Nomor 69 Tahun 2014) terdiri atas :
a.
Hak
Guna Pakai Air (HGPA) dibagai 2 bagian : ada yang memerlukan izin.dan tanpa
memerlukan Izin.
Hak Guna Pakai Air (HGPA) yang diperoleh dengan
memerlukan izin diperoleh jika (sebagaimana pada Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 69
Tahun 2014) :
v
Cara
menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami Sumber Air.
v
Ditujukan
untuk keperluan kelompok yang memerlukan Air dalam jumlah besar.
v
Digunakan
untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada.
Izin dalam Hak Guna Pakai Air (sebagaimana pada Pasal 10
ayat (2) PP Nomor 69 Tahun 2014) yang dimaksud adalah :
v
Izin
penggunaan Sumber Daya Air untuk Air Permukaan.
v
Izin
penggunaan Sumber Daya Air untuk Air laut yang berada di darat.
v
Izin
pemakaian Air Tanah untuk pemanfaatan Air Tanah.
Hak Guna Pakai Air (HGPA) yang diperoleh dengan tanpa
memerlukan izin merupakan berdasarkan perintah Undang-Undang di bidang Sumber Daya
Air (sebagaimana pada Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 69 Tahun 2014). Yang mana Hak
Guna Pakai Air (HGPA) diperuntukkan untuk (sebagaimana pada Pasal 7 ayat (2) PP
Nomor 69 Tahun 2014) :
v Perseorangan guna pemenuhan kebutuhan
pokok sehari-hari tanpa mengubah kondisi alami Sumber Air; dan
v Perkumpulan petani pemakai Air yang
berada dalam sistem irigasi.
Hak Pemegang Hak Guna Pakai Air (HGPA) yang diperoleh
dengan Tanpa Memerlukan Izin mempunyai hak untuk :
v Memperoleh Air dan memakai Air untuk memenuhi kebutuhan pokok
sehari-hari dan / atau pertanian rakyat, dan
v Mengalirkan Air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang
lain yang berbatasan dengan tanahnya.
Hak Guna Pakai Air (HGPA) yang diperoleh
dengan memerlukan izin, lahir dalam hal izin penggunaan Sumber Daya Air atau
izin pemakaian Air Tanah memuat penetapan kuota Air yang dapat diperoleh dan
dipakai.
Dalam
hal izin penggunaan Sumber Daya Air atau izin pemakaian Air Tanah tidak
menetapkan kuota Air yang dapat diperoleh dan dipakai, izin penggunaan Sumber
Daya Air atau izin pemakaian Air Tanah tidak mengakibatkan timbulnya HGPA.
b.
Hak
Guna Usaha Air (HGUA) / Memerlukan Izin
Hak Guna Usaha Air (HGUA) berdasarkan Izin
pengusahaan Sumber Daya Air yang terdiri atas (sebagaimana pada Pasal 42 PP Nomor 69 Tahun 2014) :
v
Izin
pengusahaan Sumber Daya Air untuk Air Permukaan.
v
Izin
pengusahaan Sumber Daya Air untuk Air laut yang berada di darat.
v
Izin
pengusahaan Air Tanah untuk pengusahaan Air Tanah.
Pengaturan Hak Guna Air
Dalam Pengaturan Hak Guna Air
(sebagaimana telah diatur pada Pasal 3 PP Nomor 69 Tahun 2014), sebagai berikut
:
1)
Pengaturan Hak Guna Air diselenggarakan
oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
2)
Dalam melakukan pengaturan Hak Guna Air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah harus
memperhatikan :
v
Penjaminan
terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan Air bagi kebutuhan pokok minimal
sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif, dan
v
Pengakuan
terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat setempat atas Air dan hak yang serupa
dengan itu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
peraturan perundangundangan.
2.3.10. Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan
Hak Pemeliharaan
dan Penangkapan Ikan adalah mengenai air yang tidak berada diatas
tanah miliknya sendiri. Jika mengenai air yang berada diatas tanah miliknya
sendiri maka hal-hal itu sudah termasuk dalam isi daripada hak milik atas tanah
(sebagaimana penjelasan pada Pasal 46 UUPA).
2.3.11. Hak Guna Ruang Angkasa
Hak Guna Ruang Angkasa
memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dari ruang angkasa
guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hak Guna Ruang Angkasa diatur dengan
peraturan pemerintah (sebagaimana
pada Pasal 48 UUPA).
2.3.12. Hak Tanah Untuk Keperluan Suci dan Sosial
Hak Tanah
Untuk Keperluan Suci dan Sosial telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 pada Pasal 48, sebagai berikut :
1)
Hak milik tanah
badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam
bidang keagamaan
dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan
memperoleh tanah yang
cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
2)
Untuk keperluan
peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat
diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
3)
Perwakafan tanah milik
dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perwakafan tanah telah
diatur dengan Peratura Pemerintah PP Nomor 41 & 42 Tahun 2004 Tentang
Wakaf.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
:
Prinsip yang dimaksud Hak-hak atas tanah, air, dan ruang angkasa telah diatur
sebagaimana pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, adalah “Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) dapat
disimpulkan bahwa apa saja yang ada di bumi dan segala yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan Negara dalam hal ini mempergunakannya untuk
kesejahteraan rakyat.
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai
tanah oleh Negara, diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) yang menyatakan bahwa : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Bahwa hak atas
tanah yang telah diatur dalam UUPA pada pasal 16 dibedakan
menjadi :
(1)
Hak-hak
atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, antara lain :
a.
Hak Milik (HM),
b.
Hak Guna Usaha (HGU),
c.
Hak Guna Bangunan (HGB),
d.
Hak Pakai,
e.
Hak Sewa,
f.
Hak Membuka Hutan,
g.
Hak Memungut Hasil Hutan,
h.
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam
hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dalam undang-undang serta hak-hak
yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53 UUPA.
(2)
Hak-hak
atas air dan ruang angkasa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
UUPA, antara lain :
a.
Hak
Guna Air,
b.
Hak
Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, dan
c.
Hak
Guna Ruang Angkasa.
Hak–hak
atas tanah seperti yang telah disebutkan di atas dalam UUPA dikelompokkan
sebagai berikut :
a.
Hak atas tanah yang bersifat tetap,
terdiri dari : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak
Sewa Tanah Bangunan, dan Hak Pengelolaan.
b.
Hak atas tanah yang bersifat sementara,
terdiri dari : Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa
Tanah Pertanian (Sebagaimana Pasal
53 UUPA).
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, Peralihan
Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Sinar Grafika : Jakarta, 2006).
Benhard
Limbong, Konflik Pertanahan, (Margaretha
Pustaka, Jakarta : 2012).
Achmad Rubaie, Hukum
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Bayumedia Publishing, Malang : 2007).
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus
Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, (Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2008).
Herman Soesangobeng : Tanah dan Hak Ulayat, Makalah disampaikan dalam Seminar diterbitkan dalam buletin Pertanahan
Balitbang DepKeh.HAM, Pertanahan :
Jakarta 2003.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata :
Hukum Benda, (Liberty, Yogyakarta : 2000).
Kartini Mukjadi dan Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, (Kencana, Jakarta : 2004).
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Hak Atas Tanah dan Peralihannya, (Liberti, Yogyakarta : 2013).
Badriah
Harun, Solusi Sengketa Tanah dn Bangunan,
(Pustaka Yustisia, Yogyakarta : 2013)
Arie S Hutagalung dkk, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia,
(Pustaka Larasan, Denpasar : 2012).
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Alumni,
Bandung : 1982).
Akses Sumber Internet Aturan Hukum Perundang-Undangan
Pokok Argaria & Peraturan Pemerintah :
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Argaria (UUPA).
Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2014
Tentang Hak Guna Air.
Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 1999 Tentang Hak Membuka Tanah.
Akses Sumber
Internet Browser :
Hukum Argaria Hak
Penguasaan, data diperoleh sumber akses internet berdasarkan link http://nandoxodnan.blogspot.co.id/2013/09/makalah-hukum-agraria-hak-penguasaan.html.
Penjelasan
Sifat-Sifat & Ciri-Ciri Hak Guna Usaha, data diperoleh sumber akses internet
berdasarkan link : https://dwisetiati.wordpress.com/2012/06/05/sifat-sifat-dan-ciri-ciri-hak-guna-usaha/
Penjelasan Hak
Guna Usaha, data diperoleh sumber akses internet berdasarkan link :
http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-usaha/
Penjelasan Hak
Guna Bangunan (HGB), Tinjauan
Umum Hak Atas Tanah, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pengelolaan, data diperoleh dari sumber akses internet berdasarkan
link : http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/131085-T%2027396-Analisis%20kasus-Analisis.pdf
Subyek Hak Guna
Bangunan (HGB), data diperoleh dari internet berdasarkan link : http://eprints.undip.ac.id/17807/1/SUWITO.pdf
Penjelasan hak-hak
atas tanah menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah (PP), data diperoleh dari
sumber internet berdasarkan link :
http : //hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html
Penjelasan Pasal
46 UU No. 5 Tahun 1960 mengenai Dasar Hukum Hak Membuka Tanah dan Memungut
Hasil Hutan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link
: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu No. 5 Tahun 1960.htm
Penjelasan Hak
Membuka Hutan Tanah & Memungut Hasil data diperoleh dari sumber internet
berdasarkan link :
http://rezacacings.blogspot.co.id/2013/11/hak-membuka-tanah-dan-memungut-hasil.html
Penjelasa
Hak-Hak Tanah Yang Bersifat Sementara, data diperoleh dari sumber internet
berdasarkan link :
http://zonahukum.blogspot.co.id/2011/03/hak-hak-atas-tanah-yang-bersifat.html.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
(CURRICULUM VITAE)
DATA DIRI
Nama : Zaini Firdaos, SE., Sy.
Tempat
Tanggal Lahir : Serang, 09 Juni
1990
Jenis
kelamin : Laki-Laki
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Umur : 26 Tahun
Status : Belum
Menikah
Pendidikan
terakhir : UIN Syarif
Hidayatullah, S1 Jurusan
Perbankan Syariah
Alamat :
Link. Gunung Watu RT 004 / RW. 002, Kel. Kotasari,
Kec. Gerogol, Kota Cilegon.
Telephone / Hp : 085782107246 / 082110782128
Email : zaini_firdaos@yahoo.com
/ zaini.firdaos@gmail.com.
PENDIDIKAN FORMAL
- Pendidikan Sekolah Dasar di
SDN Negalasari II
Bandung, Tahun 1996 – 2002
- Pendidikan Sekolah Menengah
Pertama di SMP Negeri 19
Bandung, Tahun 2002 – 2005
- Pendidikan Sekolah Menengah
Umum di SMU Plus
Babussalam Boardhing School Bandung, Tahun 2005 - 2008
- Pendidikan Kuliah di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008 – 2012
[1] Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan
Pendaftarannya,
(Sinar
Grafika :
Jakarta, 2006), hal.
1
[2] Benhard Limbong, Konflik
Pertanahan, (Margaretha
Pustaka, Jakarta : 2012), hal.2
[3] Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum,
(Bayumedia
Publishing, Malang : 2007),
hal.1-2.
[4] Arie Sukanti
Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan
Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Raja Grafindo Persada,
Jakarta : 2008), hal. 83.
[5] Herman Soesangobeng : Tanah dan Hak Ulayat, Makalah
disampaikan dalam Seminar diterbitkan dalam buletin Pertanahan Balitbang DepKeh.HAM,
Pertanahan : Jakarta 2003.
[6] Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, (Liberty,
Yogyakarta :
2000),
hal. 9.
[7] Adrian Sutedi,
Loc.cit
[8] Kartini
Mukjadi dan Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas
Tanah,
(Kencana,
Jakarta : 2004),
hal. 30.
[9] Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 61.
[10] Erna Sri Wibawanti
dan R. Murjiyanto, Hak Atas Tanah dan
Peralihannya, (Liberti,
Yogyakarta : 2013),
hal. 49.
[11] Badriah Harun, Solusi Sengketa Tanah dn Bangunan, (Pustaka Yustisia,
Yogyakarta : 2013),
hal.16
[12] Arie S Hutagalung
dkk, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia,
(Pustaka
Larasan, Denpasar : 2012),
hal.11.
[13] Ibid, hal. 9.
[14] Badriah
Harun, Op.cit, hal. 17.
[15] Erna
Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Op.cit, hal. 49.
[16] Badriah Harun,
Op.cit, hal. 18
[17] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Alumni, Bandung :
1982),
hal. 106-107.
[18] Adrian
Sutedi, Op.cit, hal. 63
[19] Badriah Harun, Op.cit, hal. 21
[20] Makalah
Hukum Argaria : Hak Penguasaan Atas Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional, data
diperoleh dari internet berdasarkan link : http://nandoxodnan.blogspot.co.id/2013/09/makalah-hukum-agraria-hak-penguasaan.html.,
yang diunduh waktu 09.45 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[21] Makalah
Hukum Argaria : Hak Penguasaan Atas Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional, data
diperoleh dari internet berdasarkan link : http://nandoxodnan.blogspot.co.id/2013/09/makalah-hukum-agraria-hak-penguasaan.html.,
yang diunduh waktu 09.45 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[22] Makalah
Hukum Argaria : Hak Penguasaan Atas Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional, data
diperoleh dari sumber internet berdasarkan link: http://nandoxodnan.blogspot.co.id/2013/09/makalah-hukum-agraria-hak-penguasaan.html.,
yang diunduh waktu 09.50 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[23]
Sifat dan ciri-ciri Hak Guna Usaha (HGU), data diperoleh dari sumber internet
berdasarkan link : https://dwisetiati.wordpress.com/2012/06/05/sifat-sifat-dan-ciri-ciri-hak-guna-usaha/
yang diunduh waktu 10.15 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[24] Makalah Hukum Argaria : Hak Penguasaan Atas Tanah Menurut
Hukum Tanah Nasional, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://nandoxodnan.blogspot.co.id/2013/09/makalah-hukum-agraria-hak-penguasaan.html.,
yang diunduh waktu 10.20 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[25] Hak Guna Usaha (HGU) dalam ketentuan hal Hak dan
Kewajiban Hak Guna Usaha (HGU),
data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-usaha/
yang diunduh waktu 10.25 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[26] Hak
Guna Usaha (HGU) dalam ketentuan hal Jangka Waktu, data
diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.legalakses.com/hak-guna-usaha-hgu/
yang diunduh waktu 10.30 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[27] Hak
Guna Usaha (HGU) dalam ketentuan hal Terjadinya Hak Guna Usaha (HGU), data
diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-usaha/
yang diunduh waktu 10.35 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[28] Hak
Guna Usaha (HGU) dalam ketentuan hal Beralihnya Hak Guna Usaha (HGU), data
diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-usaha/
yang diunduh waktu 10.35 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[29] Hak
Guna Usaha (HGU) dalam ketentuan hal Hapusnya Hak Guna Usaha (HGU), data
diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-usaha/
yang diunduh waktu 10.40 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[30] Penjelasan
Hak Guna Bangunan (HGB), Tinjauan Umum Hak
Atas Tanah, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pengelolaan, data
diperoleh dari sumber akses internet berdasarkan link : http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/131085-T%2027396-Analisis%20kasus-Analisis.pdf.,
yang diunduh waktu 14.0 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[31]
Sifat dan ciri-ciri Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari sumber
internet berdasarkan link : https://dwisetiati.wordpress.com/2012/06/05/sifat-sifat-dan-ciri-ciri-hak-guna-bangunan/ yang diunduh waktu 14.15 WIB,
pada tanggal 02 Oktober 2016.
[32]
Subyek Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari internet berdasarkan link :
http://eprints.undip.ac.id/17807/1/SUWITO.pdf,
yang diunduh waktu 14.15 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[33] Penjelasan
Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari sumber
akses internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan/
yang diunduh waktu 14.20 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[34] Penjelasan
Jangka Waktu Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari sumber akses internet
berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan/
yang diunduh waktu 14.20 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[35] Hak Guna Bangunan (HGB) dalam ketentuan hal Jangka Waktu
Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan/ yang diunduh waktu 14.30 WIB,
pada tanggal 02 Oktober 2016.
[36] Hak Guna Bangunan (HGB) dalam ketentuan hal Terjadinya
Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan/ yang diunduh waktu 14.30 WIB,
pada tanggal 02 Oktober 2016.
[37] Hak
Guna Bangunan (HGB) dalam ketentuan hal Beralihnya Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan/
yang diunduh waktu 14.45 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[38] Hak
Guna Bangunan (HGB) dalam ketentuan hal Hapusnya Hak Guna Bangunan (HGB), data
diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan/ yang diunduh waktu 14.45 WIB,
pada tanggal 02 Oktober 2016.
[39]
Penjelasan & Dasar Hukum Hak Pakai, data diperoleh dari sumber internet
berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-pakai/,
yang diunduh waktu 14.45 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[40] Hak Pakai dalam ketentuan hal Sifat dan Ciri-ciri Hak
Pakai, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http : //hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak- hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html,
yang diunduh waktu 14.50 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[41] Hak Pakai dalam ketentuan hal Subyek dan Objek Hak Pakai,
data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http : //hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak- hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html,
yang diunduh waktu 14.50 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[42] Hak Pakai dalam ketentuan hal Hak dan Kewajiban Hak
Pakai, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http : //hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak- hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html,
yang diunduh waktu 14.55 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[43] Hak Pakai dalam ketentuan hal Jangka Waktu Hak Pakai,
data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http : //hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak- hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html,
yang diunduh waktu 14.55 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[44] Hak Pakai dalam ketentuan hal Terjadinya Hak Pakai, data
diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http : //hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak- hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html,
yang diunduh waktu 15.00 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[45] Hak Pakai
dalam ketentuan hal Beralihnya Hak Pakai, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-pakai/
yang diunduh waktu 15.00 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[46] Hak
Pakai dalam ketentuan hal Hapusnya Hak Pakai, data diperoleh dari sumber
internet berdasarkan link :
http://www.jurnalhukum.com/hak-pakai/ yang diunduh waktu 15.10 WIB,
pada tanggal 02 Oktober 2016.
[47] Penjelasan
Pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan, data diperoleh dari sumber internet
berdasarkan link :
http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html,
yang diunduh waktu 15.10 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[48] Penjelasan Sifat dan Ciri-Ciri Hak Sewa Untuk Bangunan,
data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html
yang diunduh waktu
15.15 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[49] Penjelasan Subjek dan Objek Hak Sewa Untuk Bangunan, data
diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html
yang diunduh waktu
15.15 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[50] Penjelasan Jangka Waktu dan Pembayaran Hak Sewa Untuk
Bangunan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html
yang diunduh waktu
15.20 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[51] Penjelasan Terjadinya Hak Sewa Untuk Bangunan, data
diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html
yang diunduh waktu
15.20 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[52] Penjelasan Peralihanya Hak Sewa Untuk Bangunan, data
diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html
yang diunduh waktu
15.25 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[53] Penjelasan Hapusnyaa Hak Sewa Untuk Bangunan, data
diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html
yang diunduh waktu
15.25 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[54] Pasal
46 UU No. 5 Tahun 1960 mengenai Dasar Hukum Hak Membuka Tanah dan Memungut
Hasil Hutan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu No. 5 Tahun 1960.htm,
yang diunduh waktu 07.00 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.
[55] Penjelasan
Hak Membuka Hutan dan Memungut Hasil Hutan, data diperoleh dari sumber internet
berdasarkan link
: http://rezacacings.blogspot.co.id/2013/11/hak-membuka-tanah-dan-memungut-hasil.html,
yang diunduh waktu 07.10 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.
[56] Penjelasan
Asas & Tujuan Hak Membuka Hutan dan Memungut Hasil Hutan, data diperoleh
dari sumber internet berdasarkan link : http://rezacacings.blogspot.co.id/2013/11/hak-membuka-tanah-dan-memungut-hasil.html,
yang diunduh waktu 07.10 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.
[57] Penjelasan Hak Bersifat Sementara, data diperoleh dari
sumber internet berdasarkan link
: http://zonahukum.blogspot.co.id/2011/03/hak-hak-atas-tanah-yang-bersifat.html,
yang diunduh waktu 07.10 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.
[58] Penjelasan Macam-Macam Hak Bersifat Sementara mengenai
Hak Gadai : Pengertia, Para Pihak, Terjadinya, Perbedaan Hak Gadai (Gadai
Tanah) dan Gadai Dalam Hukum Perdata, Jangka Waktu, dan Ciri - Ciri Gadai (baik
dalam konteks adat dan pendapat Boedi Harsono), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://zonahukum.blogspot.co.id/2011/03/hak-hak-atas-tanah-yang-bersifat.html,
yang diunduh waktu 07.20 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.
[59] Penjelasan Macam-Macam Hak Bersifat Sementara mengenai
Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil) :
Pengertian, Mekanisme, Tujuan Mengatur, Sifat & Ciri-Ciri, Jangka Waktu,
Hak & Kewajiban, dan Hapusnya Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), data
diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://zonahukum.blogspot.co.id/2011/03/hak-hak-atas-tanah-yang-bersifat.html,
yang diunduh waktu 07.30 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.
[60] Penjelasan Macam-Macam Hak Bersifat Sementara mengenai
Hak Menumpang :
Pengertian, Cara Terjadinya, Sifat & Ciri-Ciri, dan Hapusnya Hak Menumpang,
data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://zonahukum.blogspot.co.id/2011/03/hak-hak-atas-tanah-yang-bersifat.html,
yang diunduh waktu 09.30 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.
[61] Penjelasan Macam-Macam Hak Bersifat Sementara mengenai
Hak Sewa Pertanian :
Pengertian, Cara Terjadinya, dan Hapusnya Hak Sewa Pertanian, data diperoleh
dari sumber internet berdasarkan link : http://zonahukum.blogspot.co.id/2011/03/hak-hak-atas-tanah-yang-bersifat.html,
yang diunduh waktu 09.45 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.