Friday, December 18, 2020

GUGUR DAN VERSTEK SERTA PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK

Oleh: Jon Efendy Purba, S.Pd, SH

I.    PENDAHULUAN
Tajuk makalah ini erat kaitannya dengan Putusan yang merupakan salah satu produk Hakim, untuk itu sebelum membahas pokok masalah tersebut akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai beberapa produk Hakim. 
Produk Hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1)  Putusan
2)  Penetapan
3)  Akta perdamaian
Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
Penetapan ialah juga pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka bentuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).
Akta perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.
Dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam, yaitu:
1.   Putusan akhir
2.   Putusan sela
Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1.   Putusan gugur
2.   Putusan verstek
3.   Putusan kontradiktoir
Jika dilihat dari segi isinya terhadap gugatan/ perkara ada dua macam, yaitu positif dan negative, yang dapat dirinci menjadi empat macam:
1.   Tidak menerima gugatan Penggugat
2.   Menolak gugatan Penggugat seluruhnya
3.   Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak/ tidak menerima selebihnya
4.   Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya
 Dan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1.   Diklaratoir
2.   Konstitutif
3.   Kondemnatoir
 II.   PUTUSAN GUGUR
Mengenai Putusan Gugur diatur dalam Pasal 124 HIR/ Pasal 148 Rbg, sebagai berikut: Putusan gugur ialah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena Penggugat/ Pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil (secara resmi sedang Tergugat hadir dan mohon putusan)
1.   Putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahap pembacaan gugatan/ permohonan.
2.   Putusan gugur dapat dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahap pembacaan gugatan/ permohonan.
3.   Putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
a.   Penggugat/Pemohon telah dipanggil dengan resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu.
b.   Penggugat/Pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidakhadirannya itu bukan karena sesuatu halangan yang sah.
c.   Tergugat/Termohon hadir dalam sidang.
d.   Tergugat/Termohon mohon putusan.

4.   Dalam hal Penggugat/Pemohonnya lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus gugur.
5.   Putusan gugur belum menilai gugatan ataupun pokok perkara.
6.   Dalam putusan gugur, Penggugat/Pemohon dihukum membayar biaya perkara  
 Dari uraian di atas mungkin akan timbul pertanyaan: Dalam hal apakah suatu perkara dikatakan gugur/ digugurkan? Apakah perkara tersebut dapat serta merta digugurkan begitu saja?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mengacu pada paparan BUKU II (PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS DAN ADMINISTRASI PENGADILAN), sebagai berikut:
1.   Apabila pada hari sidang pertama Penggugat atau semua Penggugat tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah, sedangkan Tergugat atau kuasanya yang sah datang maka Gugatan dapat digugurkan dan Penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara (Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg.).
Harus diperhatikan apakah dalam pemanggilan kepada Penggugat tersebut Jurusita telah bertemu sendiri dengan Penggugat atau hanya melalui Kelurahan/ Kepala Desa. Dalam hal Jurusita tidak dapat bertemu sendiri dan hanya melalui Kelurahan/Kepala Desa, maka Penggugat dipanggil sekali lagi.
2.   Dalam hal perkara digugurkan, Penggugat dapat mengajukan gugatan tersebut sekali lagi dengan membayar panjar biaya perkara lagi. Apabila telah dilakukan sita jaminan, maka sita tersebut harus diangkat.
3.   Dalam hal-hal tertentu, misalnya apabila Penggugat tempat tinggalnya jauh atau mengirim kuasanya tetapi surat kuasanya tidak memenuhi syarat, maka Hakim dapat mengundurkan dan meminta Penggugat dipanggil sekali lagi. Kepada pihak yang datang diberitahukan agar ia menghadap lagi tanpa panggilan (Pasal 126 HIR/Pasal 150 RBg.).
4.   Jika Penggugat pada panggilan sidang pertama tidak datang, meskipun ia telah dipanggil dengan patut, tetapi pada panggilan kedua ini datang dan pada panggilan ketiga Penggugat tidak hadir lagi, perkaranya tidak dapat digugurkan (Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg).
5.   Apabila gugatan gugur maka dituangkan dalam putusan, tetapi apabila Gugatan dicabut maka dituangkan dalam bentuk penetapan; Dalam hal perkara perceraian, apabila salah satu pihak meninggal dunia sedangkan perkaranya belum diputus, maka perkara menjadi gugur dan dituangkan dalam putusan;
6.   Apabila Penggugat pernah hadir tetapi kemudian tidak hadir lagi maka Penggugat dipanggil sekali dengan peringatan (peremptoir) untuk hadir dan apabila tetap tidak hadir sedangkan Tergugat tetap hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan dan diputus secara kontradiktoir.
 AKIBAT HUKUM PUTUSAN GUGUR.
Akibat hukum putusan Gugur diatur dalam Pasal 77 Rv, sebagai berikut:
1.   Pihak Tergugat, dibebaskan dari perkara dimaksud. Putusan Pengguguran gugatan yang didasarkan atas keingkaran Penggugat menghadiri sidang pertama, merupakan putusan akhir (eind vonnis) yang bersifat menyudahi proses pemeriksaan secara formil. Artinya, putusan itu mengakhiri pemeriksaan meskipun pokok perkara belum diperiksa. Itu sebabnya undang-undang menyatakan dibebaskan dari perkara itu.
2.   Terhadap putusan pengguguran gugatan tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet. Sifat putusannya:
-      Langsung mengakhiri perkara, karena itu langsung pula mengikat kepada para pihak atau final and binding,
-      Selain terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan, juga tertutup upaya hukum, sehingga tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
3.   Penggugat dapat mengajukan gugatan baru. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh Penggugat adalah mengajukan gugatan baru dengan materi pokok perkara yang sama, karena dalam putusan gugur tidak melekat ne bis in idem sehingga dapat diajukan sebagai perkara baru, dan untuk itu Penggugat dibebani membayar biaya perkara baru.    
Untuk menambah wasasan kita tentang perkara gugur dan perkara dicoret karena habis biaya perkara, berikut akan diuraikan pendapat dari Drs. H. Marjohan Syam, SH., MH (Hakim Tinggi PTA Pekanbaru) dalam tulisannya yang berjudul: KOREKSI ATAS BUKU DR. AHMAD MUJAHIDIN, MH, PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PERDATA PENGADILAN AGAMA DAN MAHKAMAH SYARIYAH DI INDONESIA Tentang Pembatalan Perkara Yang Habis Biayanya, selengkapnya sebagai berikut: 
“Penulis dalam tulisan ini ingin urung rembuk sedikit menyampaikan koreksi dan barangkali belum tentu juga benar apa yang disampaikan ini, setidak-tidaknya merupakan pijakan bagi Hakim di lingkungan Peradilan Agama untuk mencari kebenaran sesuai dengan tujuan tertib beracara, mengikut azas-azas yang berlaku.
Walaupun penulis belum sempat membaca semua isi buku ini, namun penulis memperhatikan suatu masalah yang kebetulan sedang dibicarakan (discursus) di Pengadilan Agama Pekanbaru wilayah pengawasan penulis, yaitu yang mengenai huruf G. Kehabisan Panjar Biaya Perkara, dalam Bab VII halaman 142-143 buku Pembaharuan Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariyah di Indonesia; Mengenai mekanisme penambahan panjar biaya perkara dan tindak lanjutnya dari huruf a s/d i kecuali g penulis tidak mempersoalkannya karena masih lingkup atau wilayah administrasi perkara, tetapi pada huruf g berbunyi Berdasarkan surat keterangan panitera tersebut, majelis membuat “penetapan” berisi tentang batalnya perkara itu yang telah terdaftar dalam Register Induk Perkara bersangkutan, menurut penulis huruf g ini sudah termasuk wilayah Tehnis yudisial Hukum Acara, dimana harus ada aturan acaranya bahkan Hakim terikat dengan tekstual dan tidak boleh menafsirkan begitu leluasanya aturan acara tersebut apalagi membuat acara baru, kecuali sebatas usulan rancangan. Ada dua koreksi disini yaitu pertama penetapan majelis, dan kedua membatalkan perkara yaitu penetapan Majelis Hakim tentang batalnya perkara. Dalam memutuskan perkara apapun itu, Hakim semestinya berpegang kepada pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 bahwa disamping alasan dan dasar putusan tersebut, juga memuat pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Menurut sepengetahuan penulis tidak ada aturan yang mengatur bahwa Hakim membuat penetapan batalnya perkara dalam hal kehabisan panjar biaya perkara seperti halnya putusan gugur, verstek, atau pencabutan perkara yang sedang berjalan baik dalam HIR, RBg, Rv atau pun dalam BW. Sebagaimana Hakim dalam menggali peristiwa untuk menemukan hukumnya, Hakim menggunakan syllogisme yaitu suatu pola berpikir (redenering/reasoning) secara deduktif yang sah berpangkal pada dua premis mayor dan minor untuk mendapatkan kesimpulan yang logis dalam mengambil kesimpulan putusan atau penetapan. Disini premis mayor sebagai titik tolak Hakim mengambil kesimpulan yaitu merupakan pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan, bagaimana dan peraturan apa yang dapat diterapkan pada pembatalan perkara atau pencoretan pendaftaran? Ya tidak ada kecuali hanya dalam Buku Pedoman Kerja yang dikeluarkan IKAHI Wilayah Sulsera di Ujung Pandang tahun 1989 pada halaman 17 berbunyi; “Apabila suatu perkara yang telah diajukan pada pengadilan ternyata biayanya telah habis sebelum perkara itu selesai, maka untuk memeriksa perkara tersebut lebih lanjut dibuatlah teguran kepada Penggugat agar dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal teguran tersebut, Penggugat harus menambah biaya perkara dan apabila dalam jangka waktu satu bulan tersebut Penggugat tidak memenuhinya, maka pendaftaran perkaranya dibatalkan dengan suatu penetapan pengadilan, setelah lebih dahulu Panitera Kepala membuat suatu keterangan”, Dalam hal ini penulis berkesimpulan bahwa yang tepat barangkali adalah pembatalan pendaftaran atau pencoretan pendaftaran dengan penetapan yang bukan pembatalan perkaranya, dan penetapan tersebut dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan bukan produk penetapan Majelis Hakim, dengan alasan seperti berikut:
1)  Bahwa produk Majelis Hakim adalah tehnis yudisial yang jelas tidak ada cantolannya dalam HIR/RBg, Rv atau BW;
2)  Bahwa produk Ketua Pengadilan adalah bagian dari produk administrasi perkara yaitu tentang keuangan/biaya perkara yang tidak tergantung dengan peraturan perundangan;
3)  Bahwa perkara tersebut walaupun diserahkan kepada majelis dengan PMH (Penetapan Majelis Hakim), tetapi penunjukan majelis itu juga bagian dari administrasi perkara atau administrasi persidangan, jadi dengan penetapan tersebut seakan-akan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI menjelaskan kepada Majelis Hakim bahwa perkara tidak bisa dilanjutkan karena pendaftaran sudah dicoret atau dibatalkan karena biaya perkara dari pihak tidak ada lagi, dengan begitu perkara dihentikan oleh Majelis Hakim. Jadi penyelesaian perkara tidak bisa diteruskan karena administasi perkaranya tidak lengkap, sekalipun itu terjadi di tengah jalan.
4)  Dengan pencoretan pendaftaran oleh Ketua Pengadilan tidak menghapus semua dokumen yang ada dalam bundel perkara tersebut dan masih tetap berlaku sepanjang tertera jelas dalam berita acara. Penulis ingin mengajak kita mau sejenak melihat kebelakang, bahwa pencoretan pendaftaran karena habis biaya perkara adalah petunjuk yang diberikan oleh Bapak Hensyah Syahlani, SH guna mengatasi penumpukkan perkara yang habis biayanya. Masih terngiang-ngiang ditelinga penulis ucapan Bapak Hensyah Syahlani, SH bercerita bahwa untuk mengurangi penumpukan perkara dulu ada SEMA yang mengatur tentang dapat dicoret pendaftaran perkara yang habis biaya perkara/tidak dipenuhi biaya perkara setelah ditegur, akan tetapi SEMA tersebut sudah dicabut, namun kata pak Hensyah aturan SEMA tersebut dapat diperlakukan untuk Pengadilan Agama supaya tidak terjadi penumpukkan perkara yang kekurangan biaya, caranya:
a.      Pengadilan membuat teguran dalam tenggang waktu tertentu supaya menambah panjar biaya perkara,
b.      Panitera membuat surat keterangan tentang hal tersebut jika tidak ditambah panjar biaya oleh pihak Penggugat,
c.      Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan penetapan pencoretan pendaftaran perkaranya berdasarkan surat keterangan tersebut.
Tetapi sampai saat terakhir bersama Pak Hensyah membina Pengadilan Agama, penulis tidak pernah melihat SEMA tersebut."
Dalam hukum acara kita mengenal hal-hal yang kemungkinan terjadi dalam persidangan seperti gugatan digugurkan (Pasal 124 HIR, 148 RBg), walau kelihatannya Pengadilan terlalu kejam kepada Penggugat, tetapi itu aturannya untuk menjaga hak orang lain in casu Tergugat yang hadir memenuhi panggilan, begitu juga tidak hadirnya Tergugat diputus “verstek” (Pasal 125 HIR, 149 RBg) untuk menjaga hak Penggugat dikala Tergugat ingkar menghadiri persidangan, demikian juga pencabutan gugatan oleh pihak Penggugat (Pasal 271-272 Rv) diatur dengan tegas, akan tetapi mengenai pembatalan perkara karena kekurangan/habis biaya perkara, tidak diatur dalam Hukum Acara Perdata. 
Kecuali itu, dalam Pasal 273 ; 277 Rv mengenal aturan yang mengatur tentang pengguguran perkara bukan pencoretan pendaftaran, tetapi tidak dijelaskan dengan tegas sebab-sebab digugurkannya perkara dan dapat dipastikan di sini termasuk karena kelalaian pihak apa karena kekurangan biaya perkara ataupun sebab-sebab lainnya. Namun sebelum digugurkan tersebut ada beberapa tahap yang harus dilalui sebagai berikut:
1)     Perkara sudah terhenti selama tiga tahun, dan masih ada kesempatan dalam waktu enam bulan untuk  melanjutkan perkara;
2)     Adanya permohonan untuk digugurkan dari pihak yang berkepentingan, dan permohonan untuk menggugurkan itu dapat dicegah dengan tindakan hukum oleh salah satu pihak sebelum pernyataan gugur;
3)     Pernyataan gugur itu dilakukan dalam sidang secara sederhana dan diberitahukan kepada pihak yang bersangkutan atau ditempat tinggalnya;
4)     Pernyataan gugur itu tidak membatalkan tuntutan, melainkan hanya acara perkara yang telah dimulai;
5)     Biaya perkara karena pernyataan gugur itu dianggap sudah dibayar;
6)     Dan bila mengajukan gugatan baru, maka pihak-pihak satu sama lain berhak untuk mengajukan lagi sumpah-sumpah, pengakuan-pengakuan dan keterangan-keterangan yang telah diberikan olehnya dalam perkara yang terdahulu, begitu juga keterangan-keterangan yang telah diberikan oleh saksi-saksi yang sudah meninggal dunia, jika hal itu dicantumkan dalam berita acara yang dibuat dengan baik. Ketentuan-ketentuan dalam Rv tersebut jelas acaranya, Hakim jelas apa yang diperbuat sebagai tugas tehnis yudisial karena ada cantolannya, hal ini jelas tidak sama dengan pembatalan/pencoretan pendaftaran perkara seperti yang kita bicarakan. Kalau kita analisa secara mendalam lagi barangkali perkara yang habis biayanya dan Penggugat tidak mampu lagi memenuhi biaya perkara akan lebih bijaksana jika tidak di coret pendaftarannya dan solusinya pengadilan menyarankan untuk melanjutkan perkara dengan mengurus proses beracara dengan prodeo, kenapa? Logikanya jika ada yustisiabel sejak awal berperkara tidak mampu membayar biaya perkara bisa berperkara dengan prodeo, maka apa salahnya Penggugat yang semula beritikad baik mau membayar biaya dan ternyata ditengah jalan tidak mampu, dilanjutkan dengan prodeo? Bukankah cara begini adalah bagian client service improvement? Bukankah semua warga mendapat kesempatan yang sama dalam mendapatkan pelayan hukum di pengadilan?, wallahu a’lam. 
III. PUTUSAN VERSTEK
BUKU II sebagai bahan rujukan para Hakim dan aparat peradilan melaksanakan tugasnya, telah mengurai  mengenai Perkara Verstek sebagai berikut:
1.   Pasal 125 ayat (1) HIR menentukan bahwa gugatan dapat dikabulkan dengan Verstek apabila:
a)  Tergugat atau para Tergugat tidak datang pada hari sidang pertama yang telah ditentukan atau tidak mengirimkan jawaban.
b)  Tergugat atau para Tergugat tersebut tidak mengirimkan wakil / kuasanya yang sah untuk menghadap atau tidak mengirimkan jawaban.
c)  Tergugat atau para Tergugat telah dipanggil dengan patut.
d)  Gugatan beralasan dan berdasarkan hukum. 
2.   Dalam hal Tergugat tidak hadir pada panggilan sidang pertama dan tidak mengirim kuasanya yang sah, tetapi ia mengajukan jawaban tertulis berupa tangkisan tentang Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili, maka diputus berdasarkan Pasal 125 HIR.
3.   Dalam perkara perceraian yang Tergugatnya tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, harus diperhatikan apakah dilakukan dengan patut, yaitu dengan cara dipanggil ke alamatnya yang terakhir. Apabila setelah dilakukan hal tersebut masih juga tidak datang, maka diumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan, yang dilakukan sebanyak 2 kali dengan tenggat waktu 1 bulan antara pengumuman pertama dan kedua selanjutnya tenggat waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 bulan (Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).
4.   Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9 Tahun 1964 mengenai Verstek.

A.  PENGERTIAN VERSTEK
-   Putusan Verstek ialah putusan yang dijatuhkan karena Tergugat/ Termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang Penggugat hadir dan mohon putusan.
-   Verstek artinya Tergugat tidak hadir.
-   Putusan Verstek diatur dalam Pasal 125-129 HIR dan 196-197 HIR, Pasal 148-153 Rbg dan 207-208 Rbg, UU no. 20 tahun 1947 dan SEMA No. 9/1964.

B.  SYARAT ACARA VERSTEK
Perihal sahnya penerapan Acara Verstek kepada Tergugat, merujuk kepada ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR atau Pasal 78 Rv. Bertitik tolak dari Pasal tersebut, dapat dikemukakan syarat-syarat sebagai berikut:
-      Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut.
-      Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain serta tidak ternyata pula bahwa ketidakhadirannya itu karena sesuatu alasan yang sah.
-      Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan.
-      Penggugat hadir di persidangan.
-      Penggugat mohon keputusan.

C.  PENERAPAN ACARA VERSTEK TIDAK IMPERATIF
Pada satu sisi Undang-undang menghadirkan kedudukan Tergugat di persidangan sebagai hak, bukan kewajiban yang bersifat imperatif. Hukum menyerahkan sepenuhnya, apakah Tergugat mempergunakan hak itu untuk kepentingannya atau tidak. Di sisi lain Undang-undang tidak memaksakan acara verstek secara imperatif. Hukum tidak mesti menjatuhkan putusan verstek terhadap Tergugat yang tidak hadir memenuhi panggilan. Penerapannya bersifat fakultatif. Kepada Hakim diberi kebebasan untuk menerapkannya atau tidak. Sifat penerapan yang fakultatif tersebut, diatur dalam Pasal 126 HIR sebagai acuan:
-      Ketidakhadiran Tergugat pada sidang pertama, langsung memberi wewenang kepada Hakim menjatuhkan putusan Verstek.
-      Mengundurkan sidang dan memanggil Tergugat sekali lagi.
-      Batas toleransi pengunduran.
Pasal 126 HIR tidak mengatur batas toleransi atau batas kebolehan pengunduran sidang apabila Tergugat tidak mentaati panggilan. Pasal itu hanya mengatakan Pengadilan atau Hakim dapat memerintahkan pengunduran, namun tidak menjelaskan berapa kali pengunduran dapat dilakukan, akan tetapi penerapannya harus disesuaikan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.    

D.  PENERAPAN ACARA VERSTEK APABILA TERGUGAT LEBIH DARI SATU ORANG
Rujukan penerapan acara verstek dalam perkara Tergugat lebih dari satu orang bertitik tolak dari Pasal 127 HIR, Pasal 151 Rbg:
-      Pada sidang pertama semua Tergugat tidak hadir, langsung dapat diterapkan acara verstek, dengan jalan menjatuhkan putusan verstek atau mengundur sidang dengan memanggil para Tergugat sekali lagi.
-      Pada sidang berikutnya semua Tergugat tetap tidak hadir, dapat diterapkan acara verstek.
-      Salah seorang Tergugat tidak hadir, sidang wajib diundurkan.
-      Salah seorang atau semua Tergugat yang hadir pada sidang pertama, tidak hadir pada sidang berikut, tetapi Tergugat yang dahulu tidak hadir, sekarang hadir, maka Hakim dapat memilih alternatif, sebagai berikut: 
a.   Mengundurkan persidangan;
b.   Melangsungkan persidangan secara kontradiktor;
c.   Salah seorang Tergugat terus menerus tidak hadir sampai Putusan dijatuhkan, proses pemeriksaan kontradiktor;
 
E.  SAAT PUTUSAN VERSTEK DIUCAPKAN
Dalam bukunya, Hukum Acara Perdata, M. Yahya Harahap, SH. Berpendapat sebagai berikut: Terhadap putusan verstek Mahkamah Agung memberi penjelasan yang berpatokan pada Pasal 125 ayat (1) HIR. Apabila Hakim hendak menjatuhkan putusan verstek disebabkan Tergugat tidak hadir memenuhi panggilan sidang tanpa alasan yang sah:
-      Putusan harus dijatuhkan pada hari itu juga ;
-      Dengan demikian putusan verstek yang dijatuhkan dan diucapkan di luar hari itu, tidak sah (illegal) karena bertentangan dengan tata tertib beracara (undue process), yang berakibat putusan batal demi hukum (null and void)
Sekiranya Hakim ragu-ragu atas kebenaran dalil gugatan, sehingga diperlukan pemeriksaan saksi-saksi atau alat bukti lain, tindakan yang dapat dilakukan:
-      Mengundurkan persidangan dan sekaligus memanggil Tergugat, sehingga dapat direalisasi proses dan pemeriksaan  kontradiktor (op tegenspraak), atau
-      Menjatuhkan putusan verstek, yang berisi dictum: menyatakan gugatan tidak dapat diterima atas alasan dalil gugatan bertentangan dengan hukum atau dalil gugatan tidak mempunyai dasar hukum. 

F.  BENTUK PUTUSAN VERSTEK
Mengenai bentuk putusan Verstek, yang dapat dijatuhkan, diatur dalam pasal 125 ayat (1) HIR, Pasal 149 RBg, dan Pasal 78 Rv. Pasal 125 ayat (1) berbunyi:
Jika Tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan tidak hadir (Verstek), kecuali kalau nyata kepada Pengadilan bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.”    
Bentuk Putusan Verstek yang dijatuhkan Pengadilan, terdiri dari:
1.  Mengabulkan gugatan Penggugat;
2.  Menyatakan gugatan tidak dapat diterima;
3.  Menolak gugatan Penggugat;

IV. UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN VERSTEK
Buku II menerangkan tentang Perlawanan Terhadap Putusan Verstek, sebagai berikut:
1)  Sesuai Pasal 129 HIR/153 Rbg. Tergugat/ Para Tergugat yang dihukum dengan Verstek berhak mengajukan Verzet atau perlawanan dalam waktu 14 hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada Tergugat semula jika pembeitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. (Pasal 391 HIR: Dalam menghitung Tenggat waktu maka tanggal/ hari saat dimulainya penghitungan waktu tidak dihitung).
2)  Jika Putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada Tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning Tergugat hadir, maka tenggat waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah aanmaning (peringatan).
3)  Jika Tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning, maka tenggat waktunya adalah hari kedelapan sesudah sita eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129 ayat (2) jo Pasal 207 RBG). Kedua perkara tersebut (perkara verstek dan Verzet terhadap Verstek) didaftar dalam satu nomor perkara.
4)  Perkara Verzet sedapat mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan Putusan Verstek.
5)  Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara Verzet atas putusan Verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus Verstek secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara Verzet dilakukan secara biasa (lihat pasal 129 ayat (3) HIR, Pasal 153 ayat (3) Rbg. Dan SEMA nomor 9 Tahun 1964).
6)  Apabila dalam pemeriksaan Verzet pihak Penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilakukan secara contradictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir, maka Hakim menjatuhkan Putusan Verstek untuk kedua kalinya. Terhadap Putusan Verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding (Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 153 ayat(5) RBg.).
7)  Apabila Verzet diterima dan putusan Verstek dibatalkan maka amar putusannya berbunyi:
a)  Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang benar.
b)  Membatalkan putusan verstek.
c)  Mengabulkan gugatan Penggugat atau menolak gugatan Penggugat.
8)  Apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan, maka amar putusannya berbunyi:
a.   Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak benar.
b.   Menguatkan Putusan verstek tersebut.
9)  Terhadap putusan Verzet tersebut kedua belah pihak berhak mengajukan banding. Dalam hal diajukan banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan dalam satu berkas dan dikirim ke Pengadilan Tinggi dan hanya menggunakan satu nomor perkara.

V.   PENUTUP
 Demikianlah, Makalah mengenai GUGUR DAN VERSTEK SERTA PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK, tidak lain harapan kami bahwa sekecil apapun karya ini dapat menjadi sumbangan pemikiran yang bernilai untuk menambah wawasan dan selanjutnya dapat diselaraskan dengan aplikasinya di Instansi tempat kita mengabdi.


ISI MAKALAH HUBUNGAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI KONVENSI WINA 1961

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Menurut Jan Osmanczyk, Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasionalyan...