Saturday, October 14, 2017

Kedudukan PNS adalah “NETRAL” Terhadap Partai Politik

“Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.”
Demikian penggalan Penjelasan UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara diawali dengan dasar politik (keinginan) hukum negara terhadap cita-cita bangsa atas aparaturnya yaitu PNS dan saat ini bernama  ASN. Penjelasan ini menjadi dasar filosofi sekaligus yuridis terhadap keberadaan ASN sebagaimana diatur dalam UU tersebut.
Penjelasan Pasal 2 Huruf f juga menyatakan “Yang dimaksud dengan “asas netralitas” adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
PNS yang merupakan ASN selain TNI dan POLRI merupakan “Abdi Negara” yang harus tunduk kepada seluruh peraturan-perundangan yang berlaku. Pengabdian PNS ini didasarkan kepada kepentingan konstitusi sebagai cita-cita rakyat dalam bernegara yang telah dimanifestasikan kedalam UUD NRI 1945  dan UU dibawahnya yang juga merupakan penjabaran dari konstitusi. Oleh sebab itu, PNS meng”abdi”kan dirinya untuk negara karena negara adalah wujud dari kehendak rakyat. Dengan kesadaran tersebut maka  PNS secara tidak langsung juga merupakan abdi rakyat. Realita dalam alam pikir masyarakat Indonesia, PNS merupakan warga negara yang ditokohkan oleh masyarakat sekitar tempatnya bermukim sehingga kodisi ini sangat berpotensi untuk menggiring suara rakyat pada kepentingan golongan tertentu. Mengingat hal itu, sehingga netralitas PNS dalam PEMILU merupakan sorotan utama dalam kacamata reformasi birokrasi.
Melalui sikap patuh terhadap UU, PNS harus menjadi pelaksana kehendak rakyat yang dilayaninya sehingga tujuan kerja PNS adalah menyenangkan rakyat melalui program-program pemerintah yang diharapkan akan  membawa bangsa ini menuju titik terdekat tujuan bersama sebagaimana amanat pembukaan UUD NRI 1945, dan sebaliknya tidak terjebak dalam politik praktis.
UU ASN juga secara tegas mengatur pengekangan terhadap naluri PNS dalam berpolitik serta afiliasi kepada pihak-pihak yang berpolitik. Ini adalah keinginan rakyat  atas nama reformasi untuk mengembalikan fungsi aparaturnya kepada posisi yang seharusnya. UU ASN 2014 mengaturnya dengan jelas sebagaimana Pasal 9 yang berbunyi :
(2) Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Larangan bagi PNS untuk berkampanye!
UU No. 24 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden memberikan pengertian dasar mengenai segala ikwal tentang kampanye. Menurut pengertian pada pasal 1 ayat 22,  “Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, selanjutnya disebut Kampanye, adalah kegiatan untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Pasangan Calon.”
Meskipun kampanye dilaksanakan oleh para calon presiden dan wapres serta tim sukses atau afiliasi partai, namun ikut menyebarkan hal tersebut juga dapat dikategorikan sebagai perluasan makna kampanye sebagaimana diatur dalam norma Pasal 47 sebagai berikut :
(1) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan Kampanye dapat dilakukan melalui media massa cetak dan lembaga penyiaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka penyampaian pesan Kampanye oleh Pasangan Calon kepada masyarakat.
(3) Pesan Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suara dan gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan.
Berangkat dari hal-hal itu, UU Pilpres 2008 ini mengharamkan bagi PNS untuk terlibat dalam kegiatan kampanye kecuali sebagai peserta “diam-diam” atau tersembunyi demi menjaga netralitas sebagaimana norma dalam Pasal 41:
(2) Pelaksana Kampanye dalam kegiatan Kampanye dilarang mengikutsertakan:
e. pegawai negeri sipil;
(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf i dilarang ikut serta sebagai pelaksana Kampanye.
(4) Sebagai peserta Kampanye, pegawai negeri sipil dilarang menggunakan atribut Partai Politik, Pasangan Calon, atau atribut pegawai negeri sipil.
Selanjutnya kekangan naluri juga diterapkan dalam situasi bukan kampanye yang berakibat semakin mengecilkan ruang gerak partisipasi politik para PNS dalam berpesta demokrasi. Pasal 44 yang menyatakan bahwa :
(1) Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta pegawai negeri lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Pasangan Calon yang menjadi peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada pegawai negeri dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
seakan-akan semakin mereduksi hasrat politik para PNS.
Sungguh malang nasib para PNS dalam berpesta politik. Satu-satunya hak yang “belum” dicabut adalah hak untuk memilih. Benarkah demikian?

Ancaman bagi warga negara “malang”
UU Pilpres 2008 sangat tegas membatasi hak para PNS dengan menerapkan larangan bagi PNS. Tidak cukup sampai disitu, UU ini juga melengkapi “pergumulan” para PNS dengan ancamannya pada Pasal 211 “Setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon atau Pasangan Calon dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah),”
dan Pasal 218 “Setiap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, dan perangkat desa, dan anggota badan permusyaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3), dan ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Hak konstitusi PNS
Hak konstitusi adalah hak dasar warga negara yang dilindungi oleh UUD NRI 1945. Konstitusi ini merupakan kontrak sosial antara rakyat dan negara supaya negara menjamin pelaksanaannya. Sebagai salah satu hak azasi, negara menjamin kebebasan warga negara sebagaimana dalam Pasal 28E yang berbunyi :
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Namun sayangnya kebebasan itu hanya untuk warga negara biasa dan PNS tidak termasuk didalam kategori tersebut. Karena dalam UUD juga mengatur pembatasan hak konstitusi dalam hal-hal tertentu yang diatur dalam UU seperti UU Pilpres 2008 sebagai contoh.
Didalam Pasal 28J UUD NRI 1945, konstitusi mengatur bahwa :
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
PNS dianggap warga negara khusus karena sebagai abdi negara yang memiliki dua tuan yaitu Presiden sebagai Kepala Negara serta pemerintahan dan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan. PNS harus tunduk dan menundukkan diri kepada konstitusi dan UU yang berlaku dibawahnya.
Konstitusi adalah hukum tertinggi, hukum adalah hukum selama masih berlaku. Disamping sebagai tatanan sosial untuk hidup bersama, hukum juga berlaku sebagai alat untuk merubah perilaku masyarakat sebagaimana teori Roscoe Pound yang terkenal Law as a tool of social engineering.
Suka atau tidak hukum berjalan pada relnya, menarik gerbong masyarakat menuju tujuan politik hukum yaitu kehendak rakyat.
Orang papua tidak senang daerahnya disebut Irian, tetapi sebutan itu tetap digunakan sampai hukum menyatakan frasa Papua.
Keturunan cina di Indonesia kedepan tidak lagi disebut cina karena hukum telah menyebutnya tionghoa.
Sebutan garpu bagi orang manado adalah for’k namun sekarang sudah banyak ditinggalkan karena hukum bahasa menetapkan istilah garpu sebagai lazim.
Andaikan hari  ini motor roda dua diberi nama honda oleh hukum maka berbahagialah penduduk jawa pedalaman yang dulu punya sebutan itu untuk sepeda motor.
Hukum di Indonesia menganut asas Lex specialis derogate legi generali(Peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum), karena itu, hak mengeluarkan pendapat PNS dalam politik telah dikekang oleh UU Pilpres 2008. Benarkah?
Antara kritik dan kampanye
Apabila hak politik PNS dikekang, apakah inklud didalamnya sikap kritis dan mengkritisi?
Kritikan adalah hal yang sangat berbeda dengan kampanye.
Kampanye perorangan pada dasarnya adalah tindakan yang menunjukkan dukungan (simpati, empati) terhadap pasangan calon Presiden dan Wapres dengan cara menyatakannya secara langsung dan atau terbuka dihadapan masyarakat disertai  pemaparan akan kelebihan calon tersebut dengan harapan bahwa tindakan tersebut akan mendapat perhatian serta dukungan dari masyarakat sehingga menjatuhkan keputusan untuk memilih calon yang diusung.
Sedangkan kritikan adalah bentuk kecaman atau tanggapan terhadap visi, misi, program, sikap, pendapat dan pernyataan dari calon tertentu dan atau pendukungnya guna mengingatkan perbedaan pandangan disertai alasan serta segala pertentangan yang mendasarinya dengan harapan untuk mendapat perhatian dari sang calon yang nantinya dapat digunakan sebagai disenting opinion untuk memperbaiki kekeliruan atau justru memperkuat posisi pasangan calon yang dikritik.
Kampanye adalah tindakan yang dilarang bagi PNS sesuai UU Pilpres 2008 sedangkan menyatakan pendapat termasuk kritikan dilindungi oleh UUD NRI 1945 Pasal 28E.
Akhirnya, menurut penulis “kampanye cenderung mendorong para simpatisan untuk bersikap fanatisme buta terhadap idolanya” sedangkan “kritikan cenderung membawa masyarakat untuk lebih cerdas dalam memilih”.
Bagi para PNS, saya ucapkan selamat menikmati masa pesta demokrasi! ..... namun waspadalah karena banyak kamera dan screenshot usil mengawasi anda... jadi berhati-hatilah terhadap niat jahat si usil !
Ayo mencerdaskan lewat kritikan...
Salam Damai Indonesia!


HAK GUNA USAHA DALAM ATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Pengertian Hak Guna Usaha


Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan.

Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, pengertian tanah negara ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 (L.N. 1953, No. 14, T.L.N. No. 362). Dalam Peraturan Permerintah tersebut tanah negara dimaknai sebagai tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Substansi dari pengertian tanah negara ini adalah tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang melekat diatas tanah tersebut, apakah hak barat maupun hak adat (vrij landsdomein). Dengan terbitnya UUPA tahun 1960, pengertian tanah Negara ditegaskan bukan dikuasai penuh akan tetapi merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.[1] Artinya, negara di kontruksikan bukan sebagai pemilik tanah. negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang bertindak selaku badan penguasa, yang diberikan wewenang dalam hal sebagai berikut :

a. mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;

b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas ( bagian dari ) bumi, air dan ruang angkasa itu;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai buni, air dan ruang angkasa.

Setelah lahirnya UUPA, di dalam berbagai peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa pengertian tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah. Atas pemahaman konsep dan peraturan perundang-undangan tentang pengertian tanah negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran yuridis bahwa terdapat dua kategori tanah negara dilihat dari asal usulnya:

1. tanah negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada hak atas tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah negara bebas;

2. tanah negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya, karena sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah negara. Tanah bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang telah berakhir jangka waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya.[2]

Berdasarkan pengertian tersebut, Hak Guna Usaha merupakan suatu hak yang diberikan oleh negara kepada subjek hukum tertentu dengan syarat yang tertentu pula untuk mengelola dan mengusahakan tanah negara dengan orientasi yang bergerak dalam bidang pertanian, perikanan atau peternakan.[3]

Ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum, dalam catatan Satjipto Rahardjo[4], mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari pada hak.

b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.

c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan, yang disebut sebagai isi dari pada hak

d. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang disebut sebagai objek dari hak,

e. Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu kepada pemiliknya.


1. Subjek Hak Guna Usaha

Suatu hak hanya dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan yang akan memiliki hak tersebut cakap secara hukum untuk menghaki objek yang menjadi haknya. Pengertian yang termasuk pada hak meliputi, hak dalam arti sempit yang dikorelasikan dengan kewajiban, kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas.

Adapun subjek yang dapat memegang Hak Guna Usaha telah diatur dalam pasal 30 UUPA yang menjelaskan subjek hukum yang dapat menjadi pemegang hak atas tanah, yaitu :

a. Warga Negara Indonesia

Sebagai subjek hukum, warga negara Indonesia memiliki otoritas untuk melakukan kewajiban dan mendapatkan haknya. Dengan kata lain, warga negara Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, misalnya mengadakan suatu perjanjian, mengadakan perkawinan, membuat surat wasiat, dan lain sebagainya termasuk mengadakan suatu perbuatan hukum yang menyangkut dengan tanah dan hak-hak atas tanah.[5]

Pada prinsipnya setiap orang adalah subjek hukum (natuurljik persoon). Dikaitkan dengan kemampuan menjunjung hak dan kewajiban, orang akan menjadi subjek hukum apabila perorangan tersebut mampu mendukung hak dan kewajibannya. Dalam pengertian ini, maka orang-orang yang belum dewasa, orang yang dibawah perwalian dan orang yang dicabut hak-hak keperdataanya tidak dapat digolongkan sebagai subjek hukum dalam konteks kemampuan menjunjung hak dan kewajiban. Intinya, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi agar seseorang warga negara dapat digolongkan sebagai subjek hukum,[6] yaitu :

1) telah dewasa (jika telah mencapai usia 21 tahun ke atas)

2) tidak berada dibawah pengampuan (curatele), dalam hal ini seseorang yang dalam keadaan gila, mabuk, mempunyai sifat boros, dan mereka yang belum dewasa.

b. Badan Hukum Indonesia

Badan hukum juga disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa. Perbedaannya dengan subjek hukum orang perorangan adalah badan hukum itu hanya dapat bergerak bila ia dibantu oleh subjek hukum orang. Artinya, ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa didukung oleh pihak-pihak lain. Selain itu, badan hukum tidak dapat dikenakan hukuman penjara (kecuali hukuman denda)[7]

Untuk dapat menjadi subjek Hak Guna Usaha, badan hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :

1. didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia

2. berkedudukan di indonesia.

Hal ini membawa konsekwensi bahwa setiap badan hukum, selama didirikan menurut ketentuan hukum dan berkedudukan di Indonesia dapat menjadi subjek hak guna usaha. Apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana di atas, maka berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, maka dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna Usaha tersebut wajib dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila tidak dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.

2. Objek Hak Guna Usaha

Objek tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah negara. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan belum atau tidak terdapat hak-hak lain di atas tanah tersebut.

Jika tanah yang diberikan Hak Guna Usaha tersebut merupakan tanah negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha baru dapat dilakukan setelah adanya pencabutan statusnya sebagai kawasan hutan. Demikian juga bila di atas tanah tersebut terdapat hak-hak lain, maka pemberian Hak Guna Usaha baru dapat dilakukan apabila pelepasan hak yang sebelumnya telah selesai. Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Selanjutnya, dalam rumusan Pasal 4 ayat (4) disebutkan bahwa apabila di atas tanah yang akan diberikan Hak Guna Usaha tersebut terdapat bangunan dan/atau tanaman milik pihak lain yang keberadaannya sah secara hukum, maka pemegang Hak Guna Usaha dibebankan untuk memberikan ganti kerugian kepada pemilik bangunan/tanaman yang ada di areal itu sebagai penghargaan terhadap hak atas tanah yang dihaki oleh pemegang hak sebelumnya.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya menyebutkan bahwa ganti rugi yang layak itu disandarkan pada nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang bersangkutan. Ganti kerugian ini ditetapkan oleh Pemerintah atas usul Panitia Penaksir yang terdiri dari pejabat ahli dalam bidangnya.

Dalam penetapan besarnya ganti rugi terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : penetapannya harus didasarkan atas musyawarah antara Panitia dengan parapemegang hak atas tanah dan penetapannya harus memperhatikan harga umum setempat, disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga tanah.[8] Selain itu, perlu pula dipertimbangkan adanya faktor-faktor non fisik (immateril) dalam penentuan besarnya ganti rugi. Misalnya, turunnya penghasilan pemegang hak dan ganti kerugian yang disebabkan karena harus melakukan perpindahan tempat/pekerjaan.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya yang menyebutkan bahwa musyawarah merupakan salah satu tahapan yang tidak dapat dikesampingkan dalam proses penetapan ganti kerugian, yaitu peran aktif masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah sebelum hak atas tanah tersebut dialihkan kepada pihak lain. Pentingnya jaminan bahwa proses musyawarah berjalan sebagai proses tercapainya kesepakatan secara sukarela dan bebas dari tekanan pihak manapun dan dalam berbagai bentuknya juga sangat diperlukan.[9] Hal ini dikarenakan syarat-syarat untuk tercapainya musyawarah secara sukarela dan bebas tersebut sangat menetukan jalannya proses penetapan ganti kerugian. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

a) ketersediaan informasi secara jelas dan menyeluruh tentang hal-hal yang berhubungan langsung dengan parapihak (dampak dan manfaat, besarnya ganti kerugian, rencana relokasi bila diperlukan, rencana pemulihan pendapatan dan lain sebaginya),

b) suasana yang kondusif

c) keterwakilan parapihak

d) kemampuan parapihak untuk melakukan negosiasi

e) jaminan bahwa tidak adanya tipuan, pemaksaan, atau kekerasan dalam proses musyawarah.[10]

Walaupun secara prosedural musyawarah telah memenuhi syarat-syarat di atas, namun apabila keputusan yang dihasilkan dilandasi adanya tekanan, maka tidaklah dapat dikatakan telah dicapai kesepakatan karena tekanan itu merupakan wujud dari pemaksaan kehendak dari satu pihak untuk menekan pihak lain agar mengikuti kehendaknya. Dengan kata lain, kesepakatan itu terjadi dalam keadaan terpaksa. Disamping itu, keterlibatan orang/pihak di luar kepanitaan yang tidak jelas/fungsi dan tanggungjawabnya akan semakin mengaburkan arti musyawarah tersebut.

Bila dikarenakan ada sebab-sebab tertentu yang terjadi sehingga proses musywarah tidak dapat berlangsung sebagaimana diharapkan, maka upaya parapemegang hak atas tanah tersebut sebelum dialihkan kepada pemegang hak atas tanah yang baru dapat melakukan beberapa upaya penyelesaian sengketa,baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi.

Dalam rangka pemberian Hak Guna Usaha, tidak semua tanah dapat menajdi objek Hak Guna Usaha. Adapun tanah-tanah yang dikecualikan sebagai objek Hak Guna Usaha tersebut adalah[11]:

a. tanah yang sudah merupakan perkampungan rakyat,

b. tanah yang sudah diusahakan oleh rakyat secara menetap,

c. tanah yang diperlukan oleh pemerintah.

Dalam konteks luas tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha, Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyebutkan bahwa luas minimum tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha adalah lima hektar. Sedangkan luas maksimum dari tanah yang dapat diberikan kepada perorangan adalah dua puluhlima hektar. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3). Untuk luas tanah yang akan diberikan kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan dengan mengingat luas tanah yang diperlukan untuk melaksanakan usaha yang paling berdaya guna di bidang usaha yang bersangkutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahu 1996.[12]

3. Jangka Waktu Hak Guna Usaha

Jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Dalam rumusan pasal tersebut disebutkan bahwa:

(1) Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.

(2) untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.

(3) atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.

Berdasarkan rumusan pasal 29 sebagaimana tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu antara 25 tahun hingga 35 tahun, dengan ketentuan bahwa setelah berakhirnya jangka waktu tersebut, Hak Guna Usaha tersebut dapat diperpanjang untuk masa 25 tahun berikutnya.

Ketentuan mengenai jangka waktu dan perpanjangan Hak Guna Usaha dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 8 menyatakan bahwa:

(1) Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun

(2) sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.

Berdasarkan rumusan pasal 8 tersebut, diketahui bahwa Hak guna Usaha dapat diberikan untuk jangka waktu maksimum (selama-lamanya) enam puluh tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. tanah tersebut masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.

b. syarat-syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak

c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.[13]

Dengan demikian, setelah berakhirnya jangka waktu 35 tahun dengan perpanjangan selama 25 tahun (seluruhnya berjumlah 60 tahun), Hak Guna Usaha hapus demi hukum. Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak dapat diperbaharui. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 yang menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha yang telah berkahir jangka waktunya atau hapus dapat diperpanjang kembali.

4. Hapusnya Hak Guna Usaha

Hapusnya Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur di dalam pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menjelaskan sebagai berikut

a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan pemberian hak atau perpanjangannya,

b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena :

1) pemegang hak tidak melakukan kewajiban-kewajibannya, yaitu :

a) tidak membayar uang pemasukan kepada negara;

b) tidak melaksanakan usaha dibidang pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai dengan peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputuan pemberian haknya;

c) tidak mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;

d) tidak membangun dan/atau menjaga prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;

e) tidak memelihara kesuburan tanah dan tidak mencegah terjadinya kerusahan sumber daya alam serta kelestarian lingkungan;

f) tidak menyampaikan laporan secara tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan dan pengelolaan Hak Guna Usaha;

g) tidak menyerahkan kembali tanah dengan Hak Guna Usaha kepada negara setelah hak tersebut hapus;

h) tidak menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah berakhir jangka waktunya kepada kantor pertanahan.

2) adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

c. dilepaskan oleh pemegang hak secara sukarela sebelum jangka waktunya berakhir;

d. dicabut untuk kepentingan umum;

e. ditelantarkan (objek Hak Guna Usaha tidak dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pemegang hak);

f. tanahnya musnah, misalnya akibat terjadi bencana alam;

g. pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak. [14]


B. Pemberian Hak Guna Usaha Atas Tanah


1. Kewenangan Pemberian Hak Guna Usaha Atas Tanah
Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah menyebutkan bahwa yang berwenang memberikan hak atas tanah adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang merupakan pejabat pemerintah pusat yang meliputi Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Kepala Kanwil BPN Propinsi dan Kepala BPN Pusat sesuai dengan pelimpahan kewenangan yang diberikan kepada masing-masing pejabat.

Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tersebut, kewenangan pemberian Hak Guna Usaha tidak dilimpahkan pada Kantor Kabupaten/Kota, tetapi pada kantor wilayah BPN Propinsi dan BPN Pusat. Kewenangan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi hanya terhadap pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 hektar (dua ratus hektar), sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1999 bahwa Kepala kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 ha (dua ratus hektar). Dengan demikian pemberian Hak Guna Usaha di atas tanah yang luasnya lebih dari 200 ha merupakan kewenangan dari Badan Pertanahan Nasional Pusat.

2. Syarat-syarat permohonan Hak Guna Usaha

Syarat-syarat permohonan Hak Guna Usaha atas tanah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

1. untuk mengajukan permohonan Hak Guna Usaha atas tanah harus diajukan secara tertulis dan pemohon harus warga negara Indonesia. Jika badan hukum yang mengajukan perrmohonan Hak Guna Usaha, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum yang didirikan di Indonesia dan berdasarkan hukum Indonesia.

2. permohonan yang diajukan harus memuat keterangan mengenai hal-hal berikut sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999, yaitu :

a. keterangan mengenai pemohon :

1). apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjannya;

2) apabila badan hukum: nama badan hukum, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik, yaitu:

1). dasar penguasaanya, dapat berupa akta pelepasan kawasan hutan, akta pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya;

2). letak, batas-batas dan luasnya (jika sudah ada surat ukur disebutkan tanggal dan nomornya);

3). jenis usaha (pertanian, perikanan atau peternakan).

c. keterangan lainnya, yaitu :

1). keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah yang dimiliki, termasuk bidang tanah yang dimohon;

2). keterangan lain yang dianggap perlu.

3. permohonan harus melampirkan hal-hal sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999, yaitu :

a. foto copy identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan yang telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum;
b. rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang.
c. izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan tanah sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah;
d. bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
e. persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing (PMA) atau surat persetujuan dari Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentu atau surat persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non Penanaman Modal Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asing;
f. surat ukur apabila ada.
Mengenai syarat izin lokasi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 19 huruf c prosedur untuk mendapatkan izin lokasi tersebut diatur dalam pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999 tentang Izin Lokasi.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999, disebutkan bahwa Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai zin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya[15] Sedangkan menurut BF. Sihombing, izin lokasi didefinisikan sebagai izin yang diberikan kepada perusahaan unutk memperoleh tanah yang telah diberikan pencadangan tanah.[16]

Dalam pemberiannya, izin lokasi berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan dan tehnis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, termasuk juga penguasaan fisik wilayah, penggunaan tanah serta kemampuan tanah[17]. Adapun tanah yang dapat ditunjuk dalam izin lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan berdasarkan persetujuan penanaman modalnya dan Izin lokasi hanya dapat diberikan kepada perusahaan yang sudah mendapatkan persetujuan penanaman modal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bila ditinjau jangka waktu pemberian izin lokasi, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999, izin lokasi diberikan untuk jangka waktu sebagai berikut :

a. 1 (satu) tahun : izin lokasi seluas sampai dengan 25 ha,

b. 2 (dua) tahun : izin lokasi seluas lebih dari 25 ha samapi dengan 50 ha,

c. 3 (tiga) tahun : tahun lokasi seluas lebih dari 50 ha.

Dengan demikian, syarat permohonan mendapatkan Hak Guna Usaha atas tanah baru dapat diberikan setelah menyelesaikan prosedur mendapatkan izin lokasi. Dengan kata lain, Hak Guna Usaha atas tanah tidak dapat diberikan sebelum penyelesaian terhadap pelepasan atau pembebasan hak-hak di atas tanah yang dimohon, baik berupa hak perorangan atas tanah ataupun perubahan status hak tertentu yang terdapat di atas tanah tersebut.

3. Tata Cara Pemberian Hak Guna Usaha

Tata cara pemberian Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999. Dalam Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa : permohonan Hak Guna Usaha diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah tanah yang bersangkutan. Sedangkan dalam Pasal 20 ayat (2) dijelaskan bahwa apabila tanah yang dimohon terletak dalam lebih dari satu daerah Kabupaten/Kotamadya, maka tembusan permohonan disampaikan kepada masing-masing Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan.

Pasal 20 ayat (1) menjelaskan bahwa pemohon harus mengajukan permohonan kepada Menteri, bukan kepada Kepala Kantor Wilayah. Artinya, Kepala Wilayah bukanlah pejabat yang berhak memberikan jawaban langsung atas permohonan yang diajukan oleh calon pemegang Hak Guna Usaha. Dalam Pasal 20 ayat (2) sebagaimana disebutkan di atas bahwa calon pemegang dimungkinkan mengajukan permohonan atas beberapa areal tanah yang tersebar di tempat berbeda, namun permohonan yang ditujukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah harus disampaikan tembusannya kepada Kepala Kantor Pertanahan di daerah masing-masing tempat areal atanah itu berada. Keputusan diterima atau ditolaknya permohonan calon pemegang hak tetap berada pada Menteri dan akan disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada pihak yang berhak sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999.



[1] Hal ini telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum II (2) UUPA yang secara jelas meyatakan prinsip untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah.

[2] BF Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, hal. 79

[3] www.property.net, diakses pada tanggal 20 November 2008.


[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 55

[5] Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005, hal. 24

[6] CTS Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 118

[7] Ibid, hal. 118

[8] Maria Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, ha.251.

[9] Hal ini sebagaimana telah diatur secara jelas dalam Pasal 9 Keppres Nomor 55/1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

[10] Op.cit, hal. 272

[11] Sudharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Edisi Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 24

[12] Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 112

[13] Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan, Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2008 hal.158

[14] Ibid, hal. 172

[15] CST. Kansil, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pelaksanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal.837

[16]B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2005, hal. 267.

[17]Hal ini sebagaimana di atur dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999.

Tulisan ini merupakan bagian dari Tugas Akhir (Skripsi) penulis dengan judul "Pelaksanaan Pemberian Hak Guna Usaha Kepada PT. Bumi Flora di Kecamatan Banda Alam Kabupaten Aceh Timur"


Astiruddin Purba, SH, MH

PELAKSANAAN (EKSEKUSI) PUTUSAN PENGADILAN TINGKAT KASASI

PELAKSANAAN (EKSEKUSI) PUTUSAN PENGADILAN TINGKAT KASASI

Dasar Hukum :
Pasal 270 KUHAP
“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di lakukan oleh Jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.”

Skema Eksekusi Putusan Pengadilan tingkat Kasasi. 





-          Jika dalam putusan menjatuhkan pidana denda kepada terpidana di berikan jangka waktu 1 (satu) bulan untuk membayar denda tersebut, dan jika terdapat alasan kuat jangka waktu tersebut dapat di perpanjang untuk paling lama satu (satu) bulan
( Pasal 273 ayat 1 dan 2 KUHAP)
-          Jika putusan menetapkan barang bukti di rampas untuk Negara (selain pasal 46 KUHAP), Jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang Negara dan dalam waktu 3 (tiga bulan) di jual lelang yang hasilnya masuk kas Negara untuk dan atas nama jaksa dan dapat di perpanjang selama 1 (satu) bulan
( Pasal 273 ayat 3 dan 4 KUHAP)
-          Jika putusan pengadilan menjatuhkan putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 99 KUHAP, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tatacara  putusan perdata.

( Pasal 274 KUHAP)

Friday, October 13, 2017

Unsur-Unsur Pidana Pembunuhan Ditinjau dari KUHP

1.  Pengertian Tindak pidana pembunuhan
Perkataan "nyawa" sering disinonimkan dengan "jiwa". Kata nyawa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya antara lain sebagai berikut:

  1. Pernberi hidup
  2. Jiwa, roh
Sedang kata "jiwa" dimuat artinya, antara lain:

  1. roh manusia (yang ada di tubuh dan yang menyebabkan hidup)
  2. seluruh kehidupan batin manusia
Pengertian nyawa dimaksudkan adalah yang menyebabkan kehidupan pada manusia, Menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia yang secara umum disebut "pembunuhan"(Maipaung, 2002 : 4).

Dalam KUHP kejahatan terhadap nyawa diatur dalam pasal 338 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: (Soesilo,1988:240)
"Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain dihukum, karena makar mati, dengan hukunian penjara selama-lamanya lima belas tahun."

Unsur-unsur dari pasal 338 KUHP, terdiri dari: (Chazawi,2004:5-7)
1) Unsur obyektif:

  1. Perbuatan : menghilangkan nyawa;
  2. Obyeknya: nyawa orang lain;
2) Unsur subyektif:dengan sengaja.
Dalam ilmu hukum pidana, dikenal 3 (tiga) jenis bentuk sengaja (dolus) yakni: (Marpaung, 2002:22)

  1. Sengaja sebagai maksud
  2. Sengaja dengan keinsyafan
  3. Sengaja dengan keinsyafan kemungkinan/dolus eventualis
  4. Menghilangkan nyawa orang lain
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain)  terdapat syarat yang harus dipenuhi: (Chazawi, 2004:57)

  1. adanya wujud perbuatan;
  2. adanya suatu kematian (orang lain);
  3. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain).
Sebagian pakar mempergunakan Istilah: "merampas jiwa orang lain". Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan/merampas jiwa orang lain adalah pembunuhan.
Perbuatan yang mana dapat merampas/menghilangkan nyawa orang lain, menimbulkan beberapa pendapat yakni: (Marpaung, 2002:22)

  1. Teori Aequivalensi dari von Buri yang disebut juga teori condition sine qua non (syarat mutlak yang harus ada) yang menyamaratakan semua faktor yang turut serta menyebabkan suatu akibat.
  2. Teori Adequate dari van kries yang juga disebut dengan teori keseimbangan yakni perbuatan yang seimbang dengan akibat.
  3. Teori Individualis dan Teori dari Dr.T.Trager yang pada dasarnya mengemukakan bahwa yang paling menentukan terjadinya akibat tersebut itulah yang menyebabka, sedangkan menurut teori generalisasi berusaha memisahkan setiap faktor yang rnenyebabkan akibat tersebut.


PENGERTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN


Disebutkan dalam Pasal 362 KUHP bahwa :
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Pencurian mempunyai beberapa unsur yaitu:
1.   Unsur objektif, terdiri dari:
a.         Perbuatan mengambil
b.        Objeknya suatu benda
c.         Unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
2.  Unsur-unsur subjektif, terdiri dari:
a.         Adanya maksud
b.        Yang ditujukan untuk memiliki
c.         Dengan melawan hukum
Suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila terdapat semua unsur tersebut diatas.[1] 
Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari-jari dan tangan yang kemudian diarahakan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ketempat lain atau kedalam kekuasaannya.
Sebagaimana banyak tulisan, aktifitas tangan dan jari-jari sebagaimana tersebut di atas bukanlah merupakan syarat dari adanya perbuatan mengambil. Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak.
Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna.
Kekuasaan benda apabila belum nyata dan mutlak beralih ke tangan si petindak, pencurian belum terjadi, yang terjadi barulah percobaan mencuri. Dari perbuatan mengambil berakibat pada beralihnya kekuasaan atas bendanya saja, dan tidak berarti juga beralihnya hak milik atas benda itu ke tangan petindak. Oleh karena untuk mengalihkan hak milik atas suatu benda tidak dapat terjadi dengan perbuatan yang melanggar hukum, melainkan harus melalui perbuatan-perbuatan hukum, misalnya dengan jalan jual beli, hibah dan lain sebagainya.[2]
Bilamana dapat dikatakan seseorang telah selesai melakukan perbuatan mengambil, atau dengan kata lain ia dalam selesai memindahkan kekuasaan atas sesuatu benda dalam tangannya secara mutlak dan nyata. Orang yang telah berhasil menguasai suatu benda, ialah bila ia dapat melakukan segala macam perbuatan terhadap benda itu secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu.
Mengenai pembentukan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak (rorend goed) dan benda-benda berwujud (stoffelijk goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja.
Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. Seperti sebuah sepeda milik A dan B, yang kemudian A mengambilnya dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan.[3]
Jadi benda yang dapat menjadi obyek pencurian ini haruslah benda-benda yang ada pemiliknya. Benda-benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian. Mengenai benda-benda yang tidak ada pemiliknya ini dibedakan antara:
1.         Benda-benda yang sejak semula tidak ada pemiliknya, disebut res nulius, seperti batu di sungai, buah-buahan di hutan.
2.         Benda-benda yang semula ada pemiliknya, kemudian kepemilikannya itu dilepaskan, disebut resderelictae. Misalnya sepatu bekas yang sudah dibuang di kotak sampah.
Mengenai apa yang dimaksud dengan hak milik ini, adalah suatu pengertian menurut hukum, baik hukum adat maupun menurut hukum perdata. Walaupun pengertian hak milik menurut hukum adat dan menurut hukum perdata pada dasarnya jauh berbeda, yaitu sebagai hak yang terkuat dan paling sempurna, namun karena azas dalam peralihan hak itu berbeda, menyebabkan kadang-kadang timbul kesulitan untuk menentukan siapa pemilik dari suatu benda.
Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud/opzetals oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya.
Dari gabungan kedua unsur itulah yang menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak, dengan alasan, pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja.
Sebagai unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubungakan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.
Maksud memiliki melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum.
Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan hukum subujektif. Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu.[4] Dilihat dari mana atau oleh sebab apa sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu, dalam doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu pertama melawan hukum formil dan kedua melawan hukum materiil.
Melawan hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, artinya sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu terletak atau oleh sebab dari hukum tertulis. Seperti pendapat simons yang menyatakan bahwa untuk dapat dipidananya perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam undang-undang.[5]
Sedangkan melawan hukum materiil adalah bertentangan dengan azas-azas hukum masyarakat, azas mana dapat saja dalam hukum tidak tertulis maupun sudah terbentuk dalam hukum tertulis. Dengan kata lain dalam hukum materiil ini, sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan terletak pada masyarakat. Sifat tercelanya suatu perbuatan dari sudut masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana pendapat Vos yang menyatakan bahwa melawan hukum itu sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak dikehendaki atau tidak diperbolehkan.[6]
Ada kekhawatiran akan adanya perbuatan merampas kemerdekaan seseorang oleh orang-orang tertentu yang tidak bersifat melawan hukum. Misalnya seorang penyidik dengan syarat yang syah melakukan penahanan terhadap seseorang tersangka. Apabila melawan hukum tidak dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, pejabat penyidik tersebut dapat dipidana. Demikian juga halnya dengan memasukkan unsur melawan hukum ke dalam rumusan pencurian. Pembentuk UU merasa khawatir adanya perbuatan-perbuatan mengambil benda milik orang lain dengan maksud untuk memilikinya tanpa dengan melawan hukum. Apabila unsur melawan hukum tidak dicantumkan dalam rumusan hukum, maka orang seperti itu dapat dipidana. Keadaan ini bisa terjadi, misalnya seorang calon pembeli di toko swalayan dengan mengambil sendiri barang yang akan dibelinya.
Sistem hukum pidana Indonesia memperkenalkan dua pundi utama dalam mendeskripsikan tindakan yang dianggap melanggar hukum (melawan undang-undang) yaitu, tindakan yang dianggap sebagai suatu pelanggaran dan tindakan yang dianggap sebagai kejahatan. Mengulas hukum pidana, didalamnya menyangkut kepentingan masyarakat dan negara. Masyarakat sebagai penghuni suatu negara tentunya memiliki hak dan kewajiban yang tidak jarang bersentuhan dengan anggota masyarakat lainnya dan tentunya dengan kepentingan negara. Dalam konteks ini, negara miliki otoritas untuk mengatur dan memberikan jaminan pemenuhan hak dan kewajiban kepada masyarakat secara luas dan tidak diskriminatif.
Suatu perbuatan dapat dipidana jika perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana atau memenuhi unsur-unsur di dalam suatu KUHP (azas legalitas). Bagaimana jika hal itu tidak diatur di dalam peraturan pidana yang ada? Apakah terhadap perbuatan tersebut dapat dilakukan penyelidikan atau penyidikan guna menemukan tersangkanya.[7] Dapat tidaknya seseorang atau pelaku kejahatan itu di pidana tergantung dari pembuktian di pengadilan di mana yang bersangkuta telah dapat dibuktikan bersalah melakukan perbuatan tersebut. Namun yang paling pokok dalam menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan di pidana adalah perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana, kemudian setelah itu baru diadakan suatu tindakan hukum dari tahap penyelidikan hingga tahap putusan pengadilan.




[1] Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Bayu Media, Malang, 2003), halaman 5
[2] ibid, halaman 7
[3] ibid, halaman 7
[4] ibid, halaman 16
[5] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Rineka Cipta, Jakarta, 1983), halaman 132
[6] ibid, halaman 131
[7] Ednom Makarin, Kompilasi Hukum Telematika, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003), halaman 391


ISI MAKALAH HUBUNGAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI KONVENSI WINA 1961

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Menurut Jan Osmanczyk, Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasionalyan...