Friday, May 24, 2019

Makalah Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa

HAK-HAK ATAS TANAH, BUMI, AIR, & RUANG ANGKASA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
HUKUM ARGARIA
  Dosen Pengajar :
  Bu Dian Evariana, SH., MH.
 






Disusun Oleh
                                                       ZAINI FIRDAOS, SE.Sy.
                                                              NIM : 1516.01.087




PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM (STIH) PAINAN NASIONAL
 BANTEN

2016





KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nyalah saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Berikut ini penyusun mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa", yang menurut penulis dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

                                                                                    Serang, 05 Oktober 2016
                                                                                                Penyusun,


                                                                                            Zaini Firdaos, SE.Sy.

                                                       


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 4
1.2. Rumusan Masalah  .............................................................................................. 8
1.3. Maksud dan Tujuan ............................................................................................ 8

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian & Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang
       Angkasa .......................................................................................................9
2.2. Hak Atas Tanah Dalam Pasal 16 UPPA .......................................................... ...9
2.3. Pengertian & Dasar Hukum Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB), Hak Membuka Tanah & Memungut Hasil Hutan, Hak Yang Bersifat Sementara, Hak Penguasaan Hutan & Pemungutan Hasil Hutan, Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan & Penangkapan Ikan, Hak Guna Ruang Angkasa, dan Hak Guna Suci & Sosial ................................................................................. 10
       2.3.1.  Hak Milik (HM)  .......................................................................... 10
        2.3.2.  Hak Guna Usaha (HGU)  .................................................................. 17
        2.3.3.  Hak Guna Bangunan (HGB)  .......................................................... 22
        2.3.4.  Hak Pakai (HP)  .......................................................................... 28
        2.3.5.  Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB)  ............................................. 33
       2.3.6.  Hak Membuka Tanah & Memungut Hasil Hutan     ........................... 37
        2.3.7.  Hak Yang Bersifat Sementara  .......................................................... 39
        2.3.8.  Hak Pengusaan Hutan & Pemungutan Hasil Hutan  .......................... 49
       2.3.9.  Hak Guna Air  ............................................................................. 51
       2.3.10. Hak Pemeliharan & Penangkapan Ikan  .......................................... 53
       2.3.11. Hak Guna Ruang Angkasa  ........................................................... 53
        2.3.12. Hak Guna Suci dan Sosial  ............................................................ 54

BAB III PENUTUP
Kesimpulan....................................................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 57
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... 58


BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Hak Milik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat dilindungi dan dituangkan pada hukum dasar Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan kepastian, jaminan, dan perlindungan terhadap hak-hak milik untuk setiap warga negaranya. Seperti yang dikatakan oleh Adrian Sutedi dalam Bukunya yang berjudul Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah “Negara Hukum yang memberikan jaminan dan memberikan perlindungan atas hak-hak warga negara, antara lain hak warga negara untuk mendapatkan, mempunyai dan menikmati hak milik.”[1] Hak Milik dalam lingkup kali ini adalah Hak Milik atas Tanah.
Fungsi tanah bagi kehidupan manusia adalah sebagai tempat dimana manusia tinggal, melaksanakan aktivitas sehari-hari, menanam tumbuh-tumbuhan, hingga menjadi tempat peristirahatan terahkir bagi manusia. Seperti pendapat Benhard Limbong dalam bukunya yang berjudul Konflik Pertanahan, tanah bagi kehidupan manusia memiliki arti yang sangat penting, karena sebagian besar dari kehidupannya tergantung pada tanah. Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia dimuka bumi. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis.[2] Tanah sendiri, menurut Achmad Rubaie, mempunyai fungsi ganda sebagai pengikat kesatuan sosial dan benda ekonomi sebagaimana berikut :
Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social aset dan capital aset. Sebagai social aset tanah merupakan sarana peningkat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital aset tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan obyek spekulasi. Di satu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-sebesarnya kesejahteraan rakyat, secara lahir, batin, adil, dan merata, sedangkan disisi lain juga harus di jaga kelestariannya.[3]
Pendapat Achmad Rubaie dikuatkan dengan pendapat Arie Sukanthi Hutagalung yang menjelaskan bahwa : Tanah adalah asset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dagangan, objek spekulasi dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.[4]
Definisi lain terkait dengan pengertian tanah dikemukanan oleh Simpson adalah sebagai berikut :
….. in its original definitions in English law, land is not regarded as comprising merely the surface; it is deemed to include everything which is fixed to it, and also the air which lies above it right up into the sky, and whatever lies below it right down into the center of the earth ; it includes land covered with water and so even the sea-bed is land. [5]
Terjemahan :
….. definisi asli dari tanah dalam hukum Inggeris adalah bahwa tanah tidak dipandang hanya terdiri atas permukaan bumi, akan tetapi juga dianggap termasuk segala sesuatu yang melekat padanya, dan juga udara yang terdapat di atasnya sampai ke langit, serta apa saja yang terletak di bawahnya sampai ke pusat bumi; termasuk pula tanah yang diliputi air dan karena itu bahkan dasar laut pun adalah tanah.
Dengan pendapat-pendapat yang telah diungkapkan di atas, penulis berkesimpulan, bahwa tanah adalah aset yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengelolaan dan pemanfaatan akan tanah juga harus diperhatikan sehingga sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Prinsip yang dimaksud pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dapat disimpulkan bahwa apa saja yang ada di bumi dan segala yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan Negara dalam hal ini mempergunakannya untuk kesejahteraan rakyat.
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh Negara, diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) yang menyatakan bahwa : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara memberi wewenang kepada Negara untuk :
1.       Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa,
2.       Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa,
3.       Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Dengan demikian hak menguasai dari Negara itu bukanlah hak untuk memiliki bumi dan lain-lain itu. Namun menurut sistem hukum tanah sekarang, tidak seperti asas domein dari Negara sebagaimana tersimpul dalam Domein Verklaring diatur dalam Agrarisch-Besluit Pasal 1 yang menyatakan bahwa : “semua tanah yang tidak terbukti menjadi hak eigendom orang lain adalah domein Negara (eigendom Negara).”[6]
Negara dapat memberikan jaminan kepastian hukum atas hak atas tanah kepada setiap Warga Negaranya. Pemberian jaminan kepastian hukum hak atas tanah, memerlukan tersedianya perangkat hukum yang memadai dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuan.
Hak atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam Pasal 16 dibedakan menjadi :
a.       Hak Milik (HM),
b.      Hak Guna Usaha (HGU),
c.       Hak Guna Bangunan (HGB),
d.      Hak Pakai,
e.       Hak Sewa,
f.       Hak Membuka Hutan,
g.      Hak Memungut Hasil Hutan,
h.      Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dalam undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
  Hak–hak atas tanah seperti yang telah disebutkan di atas dalam UUPA dikelompokkan sebagai berikut :
a.       Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Tanah Bangunan, dan Hak Pengelolaan.
b.      Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari : Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Obyek hukum tanah adalah hak-hak penguasaan atas tanah. Hak-hak penguasan tersebut dibagi dua, yaitu sebagai lembaga hukum dan sebagai hubungan konkret. Hak penguasaan tanah merupakan suatu lembaga hukum jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.
Hak Milik dalam suatu bangsa menjadi sangat penting terutama bagi masyarakat yang sedang membangun ke arah perkembangan industri. Tentu saja yang di maksudkan adalah Hak Milik atas tanah. Tanah yang merupakan hal pokok bagi manusia menghadapai beberapa macam masalah antara lain :
a.    Keterbatasan tanah, baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi, 
b.    Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dan tanah sebagai akibat perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan dan perubahan-perubahan sosial pada umumnya,
c.    Tanah disatu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi, dan
d.   Tanah disatu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesarsebesarnya kesejahteraan rakyat lahir, batin, adil dan merata, sementara di lain pihak harus dijaga kelestariannya.[7]
Berdasarkan dari uraian yang telah dijabarkan, maka penulis akan membahas Makalah mengenai Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa.

1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang ingin dilihat dalam penulisan ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa ?
2.      Apa Dasar Hukum dalam Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa ?
3.      Apa saja pembagian yang telah diatur Hak atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam Pasal 16?
4.      Apa yang dimaksud Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, Hak Sewa,Hak Membuka Hutan / Membuka Lahan dan Tanah, Hak yang bersifat sementara, Hak Penguasaan Hutan / Hak Memungut Hasil Hutan, Hak Pertambangan, Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan Ikan dan Penangkapan Ikan, Hak Guna Angkasa, dan Hak Guna Suci dan Sosial?

1.3. Maksud dan Tujuan
      Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Mengetahui dan memahami pengertian Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa.
2.      Mengetahui dan memahami Dasar Hukum Hukum dalam Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa.
3.      Mengetahui dan memahami pembagian yang telah diatur Hak atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam Pasal 16.
4.      Mengetahui dan memahami pengertian Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, Hak Sewa,Hak Membuka Hutan / Membuka Lahan dan Tanah, Hak yang bersifat sementara, Hak Penguasaan Hutan / Hak Memungut Hasil Hutan, Hak Pertambangan, Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan Ikan dan Penangkapan Ikan, Hak Guna Angkasa, dan Hak Guna Suci dan Sosial.
BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Pengertian & Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah, Air, dan Ruang Angkasa
Prinsip yang dimaksud Hak-hak atas tanah, air, dan ruang angkasa telah diatur sebagaimana pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) dapat disimpulkan bahwa apa saja yang ada di bumi dan segala yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan Negara dalam hal ini mempergunakannya untuk kesejahteraan rakyat.
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh Negara, diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) yang menyatakan bahwa : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2.2. Hak atas tanah dalam UUPA yang disebutkan dalam Pasal 16
Bahwa hak atas tanah yang telah diatur dalam UUPA pada pasal 16 dibedakan menjadi :
(1)   Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, antara lain :
a.       Hak Milik (HM),
b.      Hak Guna Usaha (HGU),
c.       Hak Guna Bangunan (HGB),
d.      Hak Pakai,
e.       Hak Sewa,
f.       Hak Membuka Hutan,
g.      Hak Memungut Hasil Hutan,
h.      Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dalam undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53 UUPA.
(2)   Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) UUPA, antara lain :
a.       Hak Guna Air,
b.      Hak Pemeliharaan dan Penangkapan  Ikan, dan
c.       Hak Guna Ruang Angkasa.
Hak–hak atas tanah seperti yang telah disebutkan di atas dalam UUPA dikelompokkan sebagai berikut :
a.       Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Tanah Bangunan, dan Hak Pengelolaan.
b.      Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari : Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian (Sebagaimana Pasal 53 UUPA).

2.3.  Pembahasan Mengenai Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), Hak Sewa (HS), Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan, Hak Yang Bersifat Sementara, Hak Penguasaan Hutan & Hak Memungut Hasil Hutan, Hak Pertambangan, Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan Ikan dan Penangkapan Ikan, Hak Guna Angkasa, dan Hak Guna Suci dan Sosial
         2.3.1. Hak Milik
                    2.3.1.1. Pengertian & Dasar Hukum Hak Milik (HM)
Hak milik diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA. Dalam Pasal 20 menyatakan bahwa : Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Kata “turun-temurun” dapat diartikan bahwa tanah tersebut dapat diteruskan pada ahli waris, sedangkan untuk kata “terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk membedakan dengan hak-hak lainnya. Terkuat dapat diartikan sebagai hak memiliki dan atau menguasai atas tanah tersebut dengan jangka waktu yang tak terbatas dengan dilandasi adanya pendaftaran tanah. Terpenuh sama halnya dengan hak yang paling luas dan dapat menjadi induk dari hak lain. Selain itu Hak Milik juga mempunyai fungsi sosial. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pendapat mengenai Hak Milik banyak diutarakan oleh beberapa pakar. Penulis merangkum beberapa pendapat mengenai hak milik antara lain :
a.    Kartini Mukjadi dan Gunawan Widjaya
Hak milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemegangnya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan atau hak pakai, dengan pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama dengan kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan eigendom atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang (paling) luas pada pemegangnya, dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan UUPA.[8]
b.    Adrian Sutedi :
Hak Milik bisa merupakan induk dari hak-hak lainnya. Artinya seseorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang dari hak milik: menyewakan, membagihasilkan, menggadaikan, meyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai. Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain.[9]
c.       Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto :
Meskipun Hak Milik adalah hak yang tertinggi dan terkuat, akan tetapi hak milik bukanlah hak yang mutlak dalam arti tidak dapat diganggu gugat, hak milik dibatasi dengan adanya fungsi sosial, dalam arti bahwa diatas hak milik tersebut juga melekat kepentingan sosial, kepentingan umum.[10]

d.      Badriyah Harun :
Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa tanah memiliki fungsi sosial. Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang “mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat” sebagai hak eigendom / hak milik menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian terang bertantangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak.[11]
Selain hak milik yang dikenal di Indonesia, di belanda dikenal juga istilah hak milik atas tanah (Eigendom). “Hak Kebendaan atas tanah yang paling penting di Belanda adalah hak milik. Setiap bagian tanah di Belanda dimiliki oleh seseorang.”[12] Sama seperti di Indonesia hak milik merupakan hak yang paling penting, yang dapat dimiliki oleh seseorang.
Seseorang dalam hal ini dijelaskan bahwa tidak hanya satu orang saja, tapi dapat dimiliki oleh beberapa orang secara sekaligus atas suatu tanah secara bersama-sama sebuah perusahaan atau badan hukum, bahkan pemerintah dapat memilikinya. “Hak dari seorang pemilik, kepemilikan (“ownership”, “eigendom”): hak yang paling komprehensif atas sebuah barang yang tidak bergerak.[13]
                    2.3.1.2. Sifat dan Ciri-Ciri Hak Milik (HM)
Sifat hak milik ialah turun temurun, terkuat, dan terpenuh. Turun temurun berarti hak milik adalah tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang memiliki hak tersebut, namun dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya jika pemegangnya meninggal dunia. Terkuat menunjukkan jangka waktu Hak Milik tidak terbatas dan merupakan hak yang terdaftar sehingga mudah dipertahankan terhadap pihak lain. Terpenuh dimaksudkan bahwa hak milik dapat dibebani dengan jenis hak atas tanah yang lain serta dapat juga dibebani hak tanggungan dan penggunaannya relatif lebih luas dari hak atas tanah yang lain. Hak Milik memberikan wewenang kepada pemegangnya yang paling kuat dibanding hak yang lain.
Hak Milik merupakan induk dari hak lainnya, tidak berinduk kepada hak atas tanah lain karena Hak Milik adalah hak yang paling penuh. Penggunaannya juga tak terbatas untuk keperluan tertentu saja, berbeda dengan hak atas tanah lainnya.
Selain dari turun-temurun, terkuat, dan terpenuh, ada sifat lain dari tanah Hak Milik yaitu mempunyai fungsi sosial. “Fungsi sosial berarti, bahwa hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.”[14]
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, bahwa “pemegang Hak Milik tidak boleh menggunakan atau tidak menggunakan tanahnya yang mengakibatkan kerugian kepentingan orang lain. Pemegang Hak Milik tidak boleh menelantarkan tanahnya, harus memanfaatkan tanahnya sesuai dengan fungsi tanahnya.”[15] “Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hak yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya.[16]
Selain membahas mengenai sifat dari pada Hak Milik, maka penulis juga akan membahas mengenai cirri-ciri dari hak milik. Hak Milik memiliki ciri-ciri antara lain :
a.    Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Selain Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan juga dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan Hak Tangunggan.
b.    Dapat digadaikan. Berbeda dengan Hak Tanggungan, gadai bukan hak jaminan. Hak milik dapat dijadikan utang tetapi tanahnya diserahkan pada kekuasaan pemegang gadai. Pemegang gadai berwenang mengusahakan tanah tersebut dan mangambil hasilnya. Pemegang gadai juga dapat menyewakan atau membagihasilkan tanah tersebut kepada orang lain, Hak gadai bukan hak jaminan tetapi hak atas tanah.
c.    Dapat dialihkan kepada orang lain. Peralihan hak milik dapat dilakukan dengan jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, dan lain-lain.
d.   Dapat dilepaskan dengan sukarela. Pelepasan hak tersebut ditujukan kepada pemerintah.
e.    Dapat diwakafkan, karena jangka waktunya tidak terbatas.
                    2.3.1.3. Subyek Hak Milik (HM)
Subyek Hak Milik hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) tunggal saja, dan tidak dapat dimiliki oleh Warga Negara asing dan badan hukum, baik yang didirikan di Indonesia maupun yang didirikan di luar negeri.
Pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat memiliki hak milik atas tanah. Namun diadakanlah escape clause yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai Hak Milik. “Escape clause adalah setiap klausa, atau ketentuan dalam kontrak yang memungkinkan pihak dalam kontrak bahwa untuk menghindari keharusan untuk melakukan kontrak.”[17]
 Pengecualian badan-badan hukum tertentu yang dapat memiliki Hak Milik atas tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963. Badan-badan hukum yang ditunjuk dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 terdiri dari :
1)      Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut bank Negara).
2)      Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang-undang Nomor 79 Tahun 1958.
3)      Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian / Agraria setelah mendengar Menteri Agama.
4)      Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian / Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.
Dengan ketentuan demikian, berarti setiap orang tidak dapat begitu saja melakukan pengalihan Hak Milik atas tanah. Ini berarti UUPA memberikan pembatasan peralihan hak milik atas tanah. “Hak Milik yang diberikan kepada badan-badan hukum tersebut hanya yang sudah dipunyai sebelum berlakunya UUPA, sedangkan sesudah berlakunya UUPA diberikan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.”[18]
Orang asing sesuai ketentuan Pasal 21 ayat (3) dapat memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan. Demikian pula WNI yang mempunyai Hak Milik kemudian kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu satu tahun sejak hilangnya kewarganegaraannya tersebut. Jika telah lewat satu tahun, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara. “Begitupula dengan pemilik kewarganegaraan ganda. Dalam UUPA diatur hal demikian bahwa selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik.”[19]
Sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) UUPA, yaitu badan-badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial dan keagamaan dapat mempunyai Hak Milik atas tanah, sepanjang penggunaan berhubungan dengan usaha sosial dan keagamaan adalah sebagai berikut :
1)      Kegiatan-kegiatan yang langsung berhubungan dengan keagamaan adalah :
a)      Penggunaan dan peruntukan langsung sebagai tempat ibadah Peribadatan (misalnya Masjid, Gereja, Pura, Vihara, dan lain-lain),
b)      Penggunaan dan peruntukannya benar-benar / langsung untuk syi’ar agama (misalnya Pondok pesantren, dan lain-lain).
2)      Hal-hal yang berhubungan dengan sosial adalah penggunaan dan peruntukan benar-benar bukan kegiatan mencari keuntungan, namun semata-mata untuk kegiatan sosial (non-profitoriented) misalnya, Yayasan yatim piatu, Panti Jompo, dan lain-lain.
2.3.1.4. Jangka Waktu Hak Milik (HM)
                   Bahwa jangka waktu Hak Milik atas tanah tidak terbatas.
2.3.1.5. Terjadinya Hak Milik (HM)
                                    Bahwa terjadinya Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara sebagaimana dalam Pasal 22 UUPA[20], yaitu :
a.       Hak Milik atas tanah yang terjadi Menurut Hukum Adat, misalnya : Terjadi karena Pembukaan Tanah (Pembukaan Hutan).
b.      Hak Milik atas tanah terjadi karena Penetapan Pemerintah, misalnya : Pemberian Hak Baru (melalui permohonan), Peningkatan Hak.
c.       Hak Milik atas tanah terjadi Undang-Undang, misalnya : Ketentuan Konversi Pasal I, II, VI.
2.3.1.6. Hapusnya Hak Milik (HM)
                                  Bahwa Hapusnya Hak Milik diatur dalam Pasal 27 UUPA[21] yang menetapkan faktor penyebab hapusnya Hak Milik Tanah, bila :
1)      Tanahnya jatuh kepada negara, yaitu :
a.       Karena Pencabutan Hak berdasarkan Pasal 18 UUPA,
b.      Dilepaskan secara suka rela oleh pemiliknya,
c.       Dicabut untuk kepentingan umum,
d.      Tanahnya ditelantarkan,
e.       Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas tanah, dan
f.       Karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas tanah.
2)      Tanahnya musnah, misalnya terjadi bencana alam.
2.3.2. Hak Guna Usaha (HGU)
2.3.2.1. Pengertian & Dasar Hukum Hak Guna Usaha (HGU)
    Ketentuan umum Hak Guna Usaha (HGU) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b, 28 s/d 34, 50 ayat (2) UUPA, Pasal 2 s/d 18 PP No. 40 / 1995 tentang HGU, HGB, dan HP.
Pengertian Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna kegiatan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan (sebagaiman pada Pasal 28 ayat (1), dan PP No. 40 / 1996).[22]
2.3.2.2. Sifat & Ciri-Ciri Hak Guna Usaha (HGU)
                  Sifat-sifat dan ciri-ciri Hak Guna Usaha (HGU), antara lain adalah[23] :
1)      Sesungguhnya tidak sekuat Hak Milik (HM), namun Hak Guna Usaha (HGU) tergolong hak atas tanah yang kuat, artinya tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu, maka Hak Guna Usaha (HGU) termasuk salah satu pihak yang wajib didaftarkan (sebagaimana pada Pasal 32 UUPA dan Pasal 10 No. 10 tahun 1961),
2)      Hak Guna Usaha (HGU) dapat beralih, artinya dapat diwariskan oleh ahli waris yang mempunyai hak (sebagaimana pada Pasal 28 ayat 3),
3)      Akan tetapi berlainan dengan Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU) jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu waktu pasti berakhir (sebagaimana pada Pasal 29),
4)      Hak Guna Usaha (HGU) dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu dengan cara dijual, ditukarkan dengan lain, dihibahkan atau diberikan dengan wasiat (sebagaimana pada Pasal 28 ayat 3), dan
5)      Hak Guna Usaha (HGU) dapat juga dilepaskan oleh pemiliknya hingga tanahnya menjadi tanah Negara (sebagaimana pada Pasal 34 huruf e).
2.3.2.3. Subyek, Objek, & Luas Hak Guna Usaha (HGU)
  Subyek Hak Guna Usaha (HGU) yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha (HGU) menurut Pasal 30 UUPA Jo. Pasal 2 PP No. 40 tahun 1996, adalah[24] :
1)      Warga Negara Indonesia (WNI), dan
2)      Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Asal atau Objek Hak Guna Usaha (HGU)  adalah tanah negara. Kalau asal tanah HGU berupa tanah hak, maka tanah hak tersebut harus dilakukan pelepasan ata penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian ganti kerugian oleh calon pemegang Hak Guna Usaha (HGU).
Luas Hak Guna Usaha (HGU) yang telah diatur Pasal 28 ayat 2 UUPA, Jo. Pasal 5 PP No. 40 Tahun 1996, antara lain sebagai berikut :
1)      Luas Hak Guna Usaha (HGU) untuk perseorangan luas minimal 5 hektar dan luas maksimal 25 hektar.
2)      Luas Hak Guna Usaha (HGU) untuk Badan hukum luas minimal 5 hektar dan luas maksimal ditetapkan oleh kepala Badan Pertanahan nasional.
2.3.2.4. Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha (HGU)
Pemegang Hak Guna Usaha (HGU) berhak untuk menguasai dan menggunakan tanah yang dipunyainya untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan. Untuk mendukung usahanya tersebut, maka pemegang Hak Guna Usaha (HGU) berhak untuk menguasai dan menggunakan sumber air dan sumber daya alam lainnya yang terdapat diatas tanah tersebut dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku dan kepentingan masyarakat sekitar.
Pemegang Hak Guna Usaha (HGU) berkewajiban untuk[25] :
1)      Membayar uang pemasukan kepada Negara,
2)      Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, pertanian, dan atau peternakan sesuai dengan peruntukan dan syarat yang ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya,
3)      Mengusahakan sendiri tanah tersebut dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha  yang ditetapkan oleh intansi teknis,
4)      Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada di lingkungan areal tanah tersebut,
5)      Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
6)      Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan tanah tersebut,
7)      Menyerahkan kembali tanah tersebut kepada negara setelah hak guna usahanya hapus, dan
8)      Menyerahkan Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang telah dihapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Selain kewajiban-kewajiban tersebut, pemegang Hak Guna Usaha (HGU) juga dilarang untuk menyerahkan pengusahaan tanah kepada pihak lain, kecuali diperbolehkan menurut ketentuan yang berlaku.
2.3.2.5. Jangka Waktu Hak Guna Usaha (HGU)
               Bahwa untuk jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU) terbatas, artinya pada suatu waktu pasti berakhir (sebagaimana pada Pasal 29). Hak Guna Usaha (HGU) dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, kecuali untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha (HGU) untuk waktu paling lama 35 tahun.[26]
2.3.2.6. Terjadinya Hak Guna Usaha (HGU)
                                  Hak Guna Usaha (HGU) terjadi karena penetapan pemerintah, yaitu melalui keputusan pemberian hak oleh mentri atau pejabat yang ditunjuk. Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) wajib didaftarkan di buku tanah pada Kantor Pertanahan dan terjadi sejak didaftarkan.[27]
2.3.2.7. Beralihnya Hak Guna Usaha (HGU)
                                    Hak Guna Usaha (HGU) dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain dengan cara[28] :
1)      Jual Beli,
2)      Tukar Menukar,
3)      Penyertaan Dalam Modal,
4)      Hibah, dan
5)      Kewarisan.
Peralihan Hak Guna Usaha (HGU) wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Apabila peralihan Hak Guna Usaha (HGU) dilakukan melalui Akta Jual Beli (kecuali lelang), tukar menukar, penyerataan dalam modal, dan hibah, maka wajib dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan terhadap peralihan hak yang dilakukan melalui jual beli secara lelang wajib dibuktikan melalui Berita Acara Lelang. Namun apabila peralihan Hak Guna Usaha (HGU) terjadi karena kewarisan, maka harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris.
2.3.2.8. Hapusnya Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Usaha (HGU) dapat dihapus, karena (Pasal 34 UUPA) [29] :
a.       Jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbaharui,
b.      Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir,
c.       Dicabut untuk kepentingan umum (berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya),
d.      Ditelantarkan,
e.       Tanahnya Musnah, dan
f.          Orang atau Badan Hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha (HGU) tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling lambat satu tahun).
Terhadap tanah Hak Guna Usaha (HGU) telah dihapus karena ketentuan tersebut, maka tanahnya menjadi tanah negara.

2.3.3. Hak Guna Bangunan (HGB)
2.3.3.1. Pengertian & Dasar Hukum Hak Guna Bangunan (HGB)
 Hak Guna Bangunan (selanjutnya disebut “HGB”) adalah salah satu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan (Pasal 35 dan Pasal 39 UUPA).[30]
2.3.3.2. Sifat & Ciri-Ciri Hak Guna Bangunan (HGB)
                   Sifat-sifat dan ciri-ciri Hak Guna Bangunan (HGB), antara lain adalah[31] :
1)      Sesungguhnya tidak sekuat Hak Milik (HM), namun sebagaimana halnya dengan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) tergolong hak-hak yang kuat, artinya tidak mudah hapus dan dapat dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu,  Hak Guna Bangunan (HGB) termasuk salah satu hak wajib yang di daftarkan (sebagaimana pada Pasal 38 UUPA dan Pasal 10 No. 10 Tahun 1971),
2)      Hak Guna Bangunan (HGB) dapat beralih, artinya dapat diwaris oleh ahli waris yang mempunyai hak (sebagaimana pada Pasal 35 ayat 2),
3)      Sebagaimana halnya dengan Hak Guna Usaha (HGU), maka Hak Guna Bangunan (HGB) jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu wilayah pasti berakhir (sebagaimana pada Pasal 35 ayat 1 dan 2),
4)      Hak Guna Bangunan (HGB) dapat dijadikan utang dengan dibebani hak tanggungan, hipotik, atau creditverband (sebagaimana pada Pasal 39),
5)      Hak Guna Bangunan (HGB) dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu dijual, ditukarkan dengan lain, dihibahkan atau diberikan wasiat (sebagaimana pada Pasal 35 ayat 3), dan
6)       Hak Guna Bangunan (HGB) dapat dilepaskan oleh yang pemilik hingga tanahnya menjadi tanah negara (sebagaimana pada Pasal 40 huruf c).
2.3.3.3. Subyek & Objek Hak Guna Bangunan (HGB)
Yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan (sebagaimana pada Pasal 36 ayat (1) UUPA jo Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996 jo Pasal 32 PMNA / KBPN No. 9 Tahun 1999), adalah[32] :
1)      Warga Negara Indonesia (WNI), dan
2)       Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Asal atau obyek tanah Hak Guna Bangunan berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara, tanah Hak Pengelolaan atau tanah milik orang lain (sebagaimana pada Pasal 39 UUPA dan Pasal 21 PP No. 40/1996).
2.3.3.4. Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan (HGB)
Pasal 32 PP 40 / 1996 menentukan bahwa pemegang Hak Guna Usaha (HGB) untuk menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha (HGB) selama jangka waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya.[33]
               Kewajiban-kewajiban pemegang Hak Guna Usaha (HGB) menurut Pasal 30 PP 340 / 1996, adalah :
1)      Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya,
2)      Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan yang ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberian haknya,
3)      Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelesetarian lingkungan hidup,
4)      Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada negara, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sesuadah Hak Guna Bangunan (HGB) itu hapus, dan
5)      Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang telah hapus kepada Kantor Pertanahan.
2.3.3.5. Jangka Waktu Hak Guna Bangunan (HGB)
Bahwa untuk jangka waktu Hak Guna Usaha (HGB) jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi. (Pasal 35 dan Pasal 39 UUPA).[34]
Adapun persyaratan untuk dapat memperpanjang dan memperbaharui jangka waktu Hak Guna Bangunan (HGB) adalah sebagai berikut[35] :
1)      Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut.
2)      Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak,
3)      Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak, yaitu merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) atau Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan Berkedudukan di Indonesia,
4)      Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan, dan
5)      Untuk Hak Guna Bangunan (HGB) yang berasal dari tanah hak pengelolaan, diperlukan persetujuan dari pemegang hak pengelolaan.
Permohonan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan (HGB) diajukan selambat-lambatnya 2 tahun sebelum jangka waktunya berakhir dan wajib dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.
Untuk Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah milik, jangka waktunya adalah paling lama 30 tahun. Setelah jangka waktu berakhir, maka Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diperbaharui atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) dengan pemegang hak milik. Pembaruan tersebut harus dimuat dalam akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Wajib didaftarkan.
2.3.3.6. Terjadinya Hak Guna Bangunan (HGB)
Ada 3 jenis tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan (HGB), yaitu tanah negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Untuk tanah negara, Hak Guna Bangunan (HGB) diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh mentri atau pejabat yang ditunjuk. Untuk tanah hak pengelolaan, Hak Guna Bangunan (HGB) diberikan dengan keputusan pemberian hak atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan. Sedangkan untuk tanah hak milik, terjadinya Hak Guna Bangunan (HGB) adalah melalui pemberian oleh pemegang hak milik dengan Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Setiap pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan.[36]
2.3.3.7. Beralihnya Hak Guna Bangunan (HGB)
                                    Hak Guna Bangunan (HGB) dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain dengan cara[37] :
1)      Jual Beli,
2)      Tukar Menukar,
3)      Penyertaan Dalam Modal,
4)      Hibah, dan
5)      Kewarisan.
Peralihan Hak Guna Bangunan (HGB) wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Untuk peralihan Hak Guna Bangunan (HGB) dilakukan melalui Jual Beli (kecuali lelang), tukar menukar, penyerataan dalam modal, dan hibah, maka wajib dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan terhadap peralihan Hak Guna Bangunan (HGB) yang dilakukan melalui jual beli secara lelang wajib dibuktikan melalui Berita Acara Lelang. Namun apabila peralihan Hak Guna Bangunan (HGB) terjadi karena kewarisan, maka harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris.
Perlu diperhatikan bahwa peralihan Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah hak pengelolaan atau tanah milik harus mendapatkan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik.
2.3.2.8. Hapusnya Hak Guna Bangunan (HGB)
Berikut ini adalah penyebab hapusnya Hak Guna Bangunan (HGB)[38] :
a.       Jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbaharui,
b.      Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik karena tidak dipenuhinya suatu syarat :
·         Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban memegang hak,
·         Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) dengan pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik, dan
·         Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
c.       Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir,
d.      Dicabut untuk kepentingan umum (berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya),
e.       Ditelantarkan,
f.          Tanahnya Musnah, dan
g.      Orang atau Badan Hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan (HGB) tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling lambat satu tahun).
Hapusnya Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah negara mengakibatkan tanah tersebut menjadi tanah negara. Hapusnya Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah hak pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam pengusaan pemegang hak pengelolaan. Hapusnya Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah milik mengakibatkan tanah tersebut kembali ke dalam penguasaan pemegang hak milik.
2.3.4. Hak Pakai
2.3.4.1. Pengertian & Dasar Hukum Hak Pakai
 Hak Pakai diatur dalam Pasal 41-43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Argaria (selanjutnya disebut UUPA). Hal-hal yang ditentukan di dalam UUPA tersebut kemudian dirincikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai atas Tanah. Pasal 41 ayat (1) UUPA menentukan sebagai berikut[39] :
                     “Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan / atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.
2.3.4.2. Sifat & Ciri-Ciri Hak Pakai
Sifat dan ciri-ciri dari Hak Pakai, antara lain sebagai berikut[40] :
1.      Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997,
2.      Dapat diwariskan,
3.      Dapat dialihkan, seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang, penyertaan modal,
4.      Dapat dilepaskan untuk kepentingan social,
5.      Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan,
6.      Haknya mempunyai jangka waktu tertentu,
7.      Dapat berinduk pada hak atas tanah yang lain, dan
8.      Peruntukkannya terbatas.

2.3.4.3. Subyek & Objek Hak Pakai
Subyek Hak Pakai (sebagaimana pada Pasal 42 UUPA dan Pasal 39 PP No. 40/1996), sebagai berikut[41] :
1)      Warga Negara Indonesia (WNI).
2)      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
3)      Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Daerah.
4)      Badan-badan keagamaan dan sosial.
5)      Orang asing yang berkedudukan di Indonesia (sebagaimana pada PP No. 41/1996).
6)      Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
7)      Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Asal atau obyek Hak Pakai (sebagaimana Pasal 41 (1) PP No. 40/1996), sebagai berikut :
1)      Tanah Negara.
2)      Tanah Hak Pengelolaan.
3)      Tanah Hak Milik.
2.3.4.4. Hak & Kewajiban Hak Pakai
Hak pemegang Hak Pakai (sebagaimana pada Pasal 52 PP No. 40.1996), sebagai berikut[42] :
1)      Menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya.
2)      Memindahkan hak tersebut kepada pihak lain.
3)      Membebani dengan Hak Tanggungan.
4)      Menguasai dan menggunakan tanah untuk janga waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
 Kewajiban pemegang Hak Pakai (sebagaimana pada Pasal 50 dan Pasal 51 PP No. 40/1996), sebagai berikut :
1)      Membayar uang pemasukan kepada negara, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau Hak Milik.
2)      Menggunakan tanah sesuai peruntukkannya sesuai keputusan pemberian haknya, perjanjian pengguanaan tanah Hak Pengelolaan atau Hak Milik..
3)      Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.
4)      Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Pakai hapus.
5)      Menyerahkan sertifikat Hak Pakai yang telah hapus kepada kepala Kantor Pertanahan.
6)      Memberikan jaln keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkuryng oleh tanah Hak Pakai.
2.3.4.5. Jangka Waktu Hak Pakai
 Jangka waktu Hak Pakai berbeda sesuai dengan asal tanahnya, (sebagaimana pada Pasal 45 s/d 49 PP No. 40/1996), sebagai berikut[43] :
1)   Hak Pakai atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Khusus Hak Pakai yang dipunyai oleh Departemen, Lembaga Non Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan keagamaan dan sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2)   Hak Pakai atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 25 tahun, tidak ada perpanjangan waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai dapat diperbarui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor BPN setempat.
2.3.4.6. Terjadinya Hak Pakai
Terjadinya Hak Pakai dapat terjadi karena[44]  :
1)      Penetapan Pemerintah (tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan).
2)      Perjanjian pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
3)      Undang-undang, ketentuan tentang Konversi.
2.3.4.7. Beralihnya Hak Pakai
                                    Hak Pakai  atas tanah negara yang diberikan untuk jangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas tanah hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Sedangkan Hak Pakai atas tanah hak milik hanya dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain apabila hal ini dimungkinkan dalam perjanjian Hak Pakai atas tanah hak milik tersebut. Adapun cara peralihannya adalah sebagai berikut[45] :
1)      Jual Beli,
2)      Tukar Menukar,
3)      Penyertaan Dalam Modal,
4)      Hibah, dan
5)      Kewarisan.
Peralihan Hak Pakai wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Untuk peralihan Hak Pakai dilakukan melalui Jual Beli (kecuali lelang), tukar menukar, penyerataan dalam modal, dan hibah, maka wajib dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan terhadap peralihan Hak Pakai yang dilakukan melalui jual beli secara lelang wajib dibuktikan melalui Berita Acara Lelang. Namun apabila peralihan Hak Pakai terjadi karena kewarisan, maka harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris.
Perlu diketahui bahwa peralihan Hak Pakai atas tanah negara harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang. Pengalihan Hak Pakai atas tanah hak pengelolaan harus dilakukan dengan perjanjian tertulis dari pemegang hak pengelolaan. Sedangkan pengalihan Hak Pakai atas tanah milik harus mendapatkan persetujuan tertulis dari pemegang hak milik tanah tersebut.
2.3.4.8. Hapusnya Hak Pakai
Berikut ini adalah penyebab hapusnya Hak Pakai [46] :
a.       Jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbaharui,
b.      Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik karena tidak dipenuhinya suatu syarat :
·         Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban memegang hak,
·         Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang disepakati oleh pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) dengan pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik, dan
·         Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
c.       Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir,
d.      Dicabut untuk kepentingan umum (berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya),
e.       Ditelantarkan,
f.          Tanahnya Musnah, dan
g.      Orang atau Badan Hukum yang mempunyai Hak Pakai tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling lambat satu tahun).
2.3.5. Hak Sewa Untuk Bangunan 
       2.3.5.1. Pengertian & Dasar Hukum Hak Sewa Untuk Bangunan 
Hak Sewa Untuk Bangunan disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1), 44, 45, 52 ayat (2) UUPA. Pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak Milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang HSUB (sebagaimana pada Pasal 44 ayat (1) UUPA). Hak Sewa Untuk Bangunan merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan yang berhubung dengan pertanian (sebagaimana pada Pasal 10 ayat (1)).[47]


        2.3.5.2. Sifat dan Ciri-Ciri Hak Sewa Untuk Bangunan 
  Sifat dan Ciri-Ciri Hak Sewa Untuk Bangunan, antara lain[48] :
1)      Tujuan pengunaannya sementara, artinya jangka waktu terbatas.
2)      Bersifat pribadi dan tidak boleh dialihkan.
3)      Tidak dapat diwariskan.
4)      Hubungan hak sewa tidak terputus dengan dialihkannya Hak Milik yang bersangkutan kepada pihak lain.
5)      Tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
6)      Pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan dapat melepas sendiri hak sewanya.
7)      Tidak termasuk golongan hak-hak yang harus didaftarkan.
2.3.5.3. Subyek & Objek Hak Sewa Untuk Bangunan 
             Subyek Hak Sewa Untuk Bangunan (sebagaimana pada Pasal 45 UUPA), sebagai berikut[49] :
1)      Warga Negara Indonesia (WNI).
2)      Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
3)      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
4)      Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Objek Hak Sewa Untuk Bangunan merupakan Hak atas tanah yang dapat disewakan kepada pihak lain adalah Hak Milik dan objek yang disewakan pemilik tanah kepada pemeganag HSUB adalah tanah bukan bangunan.
2.3.5.4. Jangka Waktu & Pembayaran Hak Sewa Untuk Bangunan 
Jangka waktu Hak Sewa Untuk Bangunan dalam UUPA tidak mengatur secara tegas berapa lama jangka waktu Hak Sewa Untuk Bangunan, jangka waktu Hak Sewa Untuk Bangunan diserahkan kepada kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan.
Pembayaran uang sewa dalam Hak Sewa Untuk Bangunan. Ketentuan mengenai pembanyaran uang sewa dapat dilakukan satu kali atau tiap-tiap waktu tertentu. Juga dapat dilakukan sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan oleh pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan. Tergantung kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan. [50]
2.3.5.5. Terjadinya Hak Sewa Untuk Bangunan
    Terjadinya Hak Sewa Untuk Bangunan karena perjanjian persewaan tanah yang tertulis antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan, yang tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengadung unsur-unsur pemerasan.[51]
2.3.5.6. Peralihan Hak Sewa Untuk Bangunan
    Pada dasarnya pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan tidak diperbolehkan mengalihkan hak sewanya kepada pihak lain tanpa seizin dari pemilik tanah. Pelanggaran terhadap larangan ini dapat berakibat terputusnya hubungan sewa-menyewa antara pemilik tanah dan pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan.[52]

2.3.5.7. Hapusnya Hak Sewa Untuk Bangunan
Faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Sewa Untuk Bangunan, adalah[53]:
a.       Jangka waktunya berakhir.
b.      Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan.
c.       Dilepaskan oleh pemegang Hak Sewa Untuk Bangunan sebelum jangka waktu berakhir.
d.      Hak Milik atas tanahnya dicabut untuk kepentingan umum.
e.       Tanahnya musnah.

2.3.6. Hak Membuka Tanah & Memungut Hasil Hutan 
       2.3.6.1. Pengertian & Dasar Hukum Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan 
Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan sebagaimana telah diatur pada Pasal 46 UU Nomor 5 Tahun 1960[54] :
1)       Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat mempunyai oleh warga-negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2)       Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.
Hak membuka hutan yakni memanfaatkan hutan dan penggunaan kawasan hutan oleh seluruh warga negara Indonesia dan memiliki untuk pembukaan kawasan hutan.
Hal-hal yang mesti diperhatikan dalam Pengunaan Hak Membuka Hutan[55] :
1)      Hutan yang dapat dimanfaatkan oleh setiap Warga Negara Indonesia adalah semua hutan, kecuali yang masuk hutan kawasan.
2)      Pastikan jika membuka dan memanfaatkan hutan, maka hutan tersebut tidak masuk dalam status hutan kawasan.
3)    Status hutan kawasan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh Warga Negara Indonesia, yakni hutan lindung, suaka, dan hutan konservasi.
      Hak Mengambil Hasil Hutan. Yang berhak mengambil hasil hutan yakni :
a.       Orang atau perorangan warga negara Indonesia (WNI)
·         Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan peraturan Perundang- undangan (Pasal 46 UU Pokok Agraria)
·         Masyarakat berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
b.      Masyarakat adat
Masyarakat hukum adat berhak untuk melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat bersangkutan dengan Pasal 67, dalam huruf (a) "melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan" Undang- Undang No 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan).
Hak memungut hasil hutan, diberikan oleh pemerintah kepada Warga Negara yang merupakan kontribusi pemerintah dalam memberikan kesejahteraan kepada masyarakat warga Negara. Pemungutan hasil hutan ada yang berasal dari hasil kayu maupun non kayu.

       2.3.6.2.  Asas & Tujuan Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan 
Asas Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan  dilaksanakan berdasarkan asas rasionalitas, optimalitas serta kelestarian hutan dan keseimbangan fungsi ekosistem dengan memperhatikan rasa keadilan dan manfaat bagi masyarakat (sebagaimana pada Pasal 3 PP Nomor 6 tahun 1999).
Tujuan Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan adalah mewujudkan keberadaan sumber daya hutan yang berkualitas tinggi, memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan ekologi yang maksimum dan lestari, serta menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan merata khususnya terhadap masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan (sebagaimana pada Pasal 4 PP Nomor 6 tahun 1999).[56]

2.3.7. Hak Yang Bersifat Sementara
Ketentuan Umum Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA. Macam-macam haknya disebutkan dalam pasal 53 UUPA, yang meliputi Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat semetara, dalam waktu yang singkat, diusahakan akan dihapus karma mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Kenyataannya sampai saat ini tidak dapat dihapuskan dan yang dapat dilakukan adalah mengurangi sifat-sifat pemerasan.[57]
Macam-macam Hak Atas Tanah yang bersifat Sementara secara berurutan macam-macam hak atas tanah ini dapat dijelaskan sebagai berikut[58]:
1)      Hak Gadai (Gadai tanah)
Pengertian Hak Gadai (Gadai Tanah)
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud denagn Hak Gadai (Gadai Tanah). Untuk memperoleh pemahaman tentangpengertian Gadai Tanah, berikut ini dikemukakan pendapat Boedi Harsono, Gadai tanah adalah hubungan hukum seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, Pengembalian uang gadai  atau yang lazim disebut penebusan tergantung pada kemauan dan kepampuan pemilik tanah yang yang menggadaikan, banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu melakukan penebusan.
Para pihak dalam Hak Gadai (Gadai Tanah)
Dalam hal Gadai (Gadai Tanah) terdapat dua pihak, yaitu pihak pemilik tanah pertanian tersebut pemberi gadai dan pihak yang menyerahkan uang kepada pemberi gadai disebut penerima (pemegang) gadai. Pada umunya, pemberi gadai berasal dari golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, Sebaliknya penerima (pemegang) gadai berasal dari golongan masyarakat yang mampu (kaya).

Terjadinya Hak Gadai (Gadai Tanah)
Hak Gadai (Gadai Tanah) pertanian bagi masyarakat Indonesia khususnya  petani bukanlah hal yang baru. Semula  lembaga ini diatur / tunduk pada hukum adat tentang tanah dan pada umumnya dibuat tidak tertulis. Kenyataan ini selaras dengan sistem dan cara berfikir hukum adat yang sifatnya sangat sederhana. Hak gadai (Gadai Tanah) dalam hukum adapt harus dilakukan dihadapan kepala desa/kepala adapt selaku kepala masyarakat. Hukum adat mempunyai wewenang untuk menentukan dan mengatur perbuatan -perbuatan hukum mengenai tanah yang terjadi dalam lingkungan wilayah kekuasaannya. Dalam praktiknya, Hak gadai (Gadai Tanah) pada umumnya dilakukan tanpa sepengetahuan kepala desa/kepala adat. Hak Gadai (Gadai Tanah) hanya dilakukan oleh pemilik tanah dan pihak yang memberikan uang gadai, dan dilakukan tidak tertulis.

Perbedaan Hak Gadai (Gadai Tanah) dan Gadai dalam Hukum Perdata Barat
Hak Gadai (Gadai Tanah) merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam-meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan. Objek Hak Gadai (Gadai Tanah) adalah tanah, sedangkan objek perjanjian pinjam-meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan utang adalah uang. Hak Gadai (Gadai Tanah) menurut hukum adapt merupakan perjanjian pokok yang berdiri sendiri, yang dapat disamakan dengan jual lepas (adol plas) ataujual tahunan (adol tahunan). Jadi tidak merupakan perjanjian tambahan sebagaimana halnya gadai dalam pengertian Hukum Perdata Barat. Perbedaan antara Hak Gadai (Gadai Tanah) dan Gadai menurut Hukum Perdata Barat, adalah pada Hak Gadai (Gadai Tanah) terdapat satu perbuatan hukum yang berupa perjanjian penggarapan tanah pertanian oleh orang yang memberikan uang gadai, sedangkan Gadai menurut Hukum Perdata Barat terdapat dua perbuatan hukum yang berupa perjanjian pinjam-meminjam uang sebagai perjanjian pokok dan penyerahan benda bergerak sebagai jaminan, sebagai perjanjian ikutan.

Jangka Waktu Hak Gadai Tanah (Gadai Tanah)
Jangka waktu Hak Gadai (Gadai Tanah) dalam praktiknya dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Hak Gadai (Gadai Tanah) yang lamanya tidak ditentukan
        Dalam hal Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak ditentukan lamanya, maka  pemilik tanah pertanian tidak boleh melekukan penebusan sewaktu-waktu, misalnya sekarang digadai, 1 atau 2 bulan kemudian ditebus. Penebusan baru dapat dilakukan apabila pemegang gadai minimal telah melakukan satu kali masa panen. Hal ini disebabkan karma Hak Gadai (Gadai Tanah) merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam-meminjam uang.
2. Gadai Tanah yang lamanya ditentukan      
Dalam Hak Gadai (Gadai Tanah) ini, pemilik tanah baru dapat menebus tanahnya kalau jangka waktu yang diperjanjikan dalam Hak Gadai (Gadai Tanah) berakhir. Kalau jangka waktu tersebut sudah berakhir dan pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, maka tidak dapat dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi sehingga pemegang gadai bias menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut. Apabila batas waktu yang telah ditentukan pemilik tanah tidak dapat menebusnya, maka pemegang gadai tidak dapat memaksa pemilik tanah untuk menebus tanahnya, dan kalau pemegang gadai tetap tetap memaksa menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut, maka pemilik tanah dapat menggugat pemegang gadai kecuali pemilik tanah dapat mengizinkan menjual tanah yang digadaikan.

Ciri-ciri Hak Gadai (Gadai Tanah)
Hak Gadai (Gadai Tanah) menurut hukum adat mengandung ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Hak menebus tidak mungkin kadaluarsa.
b.      Pemgang gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan tanahnya.
c.       Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera ditebus.
d.      Tanah yang digadaikan tidak bias secara otomatis menjadi milik pemegang gadai bila tidak ditebus.

Menurut Boedi Harsono sifat dan ciri-ciri Hak gadai (gadai tanah) :
a.       Hak gadai (gadai tanah) jangka waktunya terbatas artinya pada suatu waktu akan hapus.
b.      Hak gadai (gadai tanah) tidak berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai.
c.       Hak gadai (gadai tanah) dapat dibebani dengan hak-hak tanah yang lain.
d.      Hak gadai (gadai tanah) dengan persetujuan pemilik tanahnua dapat dialihkan kepada pihak ketiga, dalam arti hubungan gadai yang semula terjadi menjadi putus dan digantikan dengan hubungan gadai yang baru antara pemilik dengan pihak ketiga (memindahkan gadai atau doorverpanden).
e.       Hak gadai (gadai tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas tanahkanya dialihkan kepada pihak lain.
f.       Selama Hak gadai (gadai tanah) nya berlangsung maka atas persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah (mendalami gadai)
g.      Sebagai lembaga, Hak gadai (gadai tanah) pada waktunya akan habis.

2)       Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)

Pengertian Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)

Pasal 53 UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud hak usaha bagi hasil.
Menurut Boedi Harsono :
Hak usaha bagi hasil adalah hak seseorang atau badan hukum (yang disebut penggarap) untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah kepunyaan pihak lain (yang disebut pemilik) dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pihak menurut imbangan yang telah disepakati.[59]

Mekanisme Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
 Perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis di muka  Kepala desa, disaksikan oleh minimal dua orang saksi, dan disahkan oleh camat setempat serta diumumkan dalam kerapatan desa yang bersangkutan (Menurut UU No 2 tahun 1960).
Tujuan Mengatur Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)

Disebutkan dalam penjelasan Umum UU Nomor 2 Tahun 1960 :
a.       Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil.
b.      Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi penggarap.
c.       Dengan terselenggaranya apa yang disebut pada point a dan b diatas, maka bertambahlah kegembiraan bekerja bagi para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pada caranya memelihara kesuburan dan mengusahakan tanahnya.

Sifat dan Ciri-Ciri Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
 Menurut Boedi Harsono :
a.   Perjanjian bagi hasil jangka waktunya terbatas.
b.  Perjanjian bagi hasil tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa seizin pemilik lahannya.
c.   Perjanjian bagi hasil tidak hapus dengan berpindahnya hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain.
d.  Perjanjian bagi hasil tidak hapus jika penggarap meninggal dunia, tetapi hak itu hapus jika pemilik tanahnya meninggal dunia.
e.   Perjanjian bagi hasil didaftar menurut peraturan khusus (Kantor Kepala Desa)
f.   Sebagai lembaga perjanjian bagi hasil ini pada waktunya akan dihapus.




Jangka Waktu Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
Menurut UU Nomor 2 Tahun 1960 :
a.     Lamanya jangka waktu perjanjian bagi hasil untuk tanah sawah sekurang-kurangnya 3 tahun dan untuk tanah kering sekurang-kurangnya 5 tahun.
b.    Perjanjian tidak terputus karena pemindahan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain.
c.     Jika penggarap meninggal dunia, maka perjanjian bagi hasil itu dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya dengan hak dan kewajiban yang sama.
d.    Pemutusan perjanjian bagi hasil sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian hanya dimungkinkan apabila jika ada persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan dan hal itu dilaporkan kepada kepala desa.



Hak & Kewajiban Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil) Bagi Penggarap Tanah

Hak Penggarap Tanah :
Selama perjanjian bagi hasil beralangsung berhak untuk mengusahakan tanah yang bersangkutan dan menerima bagian dari hasil tanah itu sesuai dengan imbangan yang ditetapkan atas dasar kesepakatan oleh kedua belah pihak.
Kewajiban Penggarap Tanah :
Mengusahakan tanah tersebut dengan baik, menyerahkan bagian hasil tanah yang menjadi hak pemilik tanah, memenuhi beban yang menjadi tanggungannya dan menyerahkan kembali tanah garapannya kepada pemilik tanah dalam keadaan baik setelah berakhirnya jangka waktu perjanjian bagi hasil.

Hapusnya Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
a.    Jangka waktunya berakhir.
b.    Atas persetujuan kedua belah pihak, perjanjian bagi hasil diakhiri.
c.    Pemegang tanahnya meninggal dunia.
d.   Adanya pelanggaran oleh penggarap terhadap larangan dalam perjanjian bagi hasil.
e.    Tanahnya musnah.

3)      Hak Menumpang
                      Pengertian Hak Menumpang
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud hak menumpang.
Menurut Boedi Harsono :
Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah diatas tanah perkarangan milik orang lain.[60]
     Cara Terjadinya Hak Menumpang
Hak menumpang biasanya terjadi atas dasar kepercayaan oleh pemilik tanah kepada orang lain yang belum mempunyai rumah sebagai tempat tinggal dalam bentuk tidak tertulis, tidak ada saksi dan tidak diketahui oleh perangkat desa / kelurahan, sehingg jauh dari kepastian dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.
     Sifat & Ciri-Ciri Hak Menumpang
a.       Tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena sewaktu-waktu dapat dihentikan.
b.      Hubuungan hukumnya lemah yaitu sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh pemilik tanah jika ia memerlukan tanah tersebut.
c.       Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu (uang sewa) kepada pemilik laha.
d.      Tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan.
e.       Bersifat turun temurun artinya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
f.       Tidak dapat dialihkan kepada pihak lainyang bukan ahli warisnya.
Hapusnya Hak Menumpang
a.       Pemilik tanah sewaktu-waktu dapat mengakhiri hubungan hukum antara pemegang hak menampung dengan tanah yang bersangkutan.
b.      Hak milik atas tanah yang bersangkutan dicabut untuk kepentingan umum.
c.       Pemegang hak menumpang melepaskan secara sukarela hak menumpang.
d.      Tanahnya musnah.


4)      Hak Sewa Pertanian
     Pengertian Hak Sewa Pertanian
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud hak menumpang.
Hak sewa tanah pertanian adalah suatu perbuatan hukum dalam bentuk penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik tanah kepada pihak lain (penyewa) dalam jangka waktu tertentu dan sejumlah uang sebagai sewa yang ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.[61]
Cara Terjadinya Hak Sewa Pertanian
Hak sewa tanah pertanian bisa terjadi dalam bentuk perjanjian  yang tidak tertulis atau tertulis yang memuat unsur-unsur para pihak, objek, uang sewa, jangka waktu hak dan kewajiban bagi pemilik tanah pertanian dan penyewa.
Hapusnya Hak Sewa Pertanian
a.       Jangka waktunya berakhir.
b.      Hak sewanya dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari pemilik tanah kecuali hal itu diperkenankan oleh pemilik tanah.
c.       Hak sewanya dilepaskan secara sukarela oleh penyewa.
d.      Hak atas tanah dilepaskan secara oleh penyewa.
e.       Hak atas tanah tersebut dicabut untuk kepentingan umum.
f.       Tanahnya musnah.


2.3.8. Hak Penguasan Hutan & Pemungutan Hasil Hutan
       2.3.8.1. Pengertian & Dasar Hukum Hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan
"Hak Pengusahaan Hutan" adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu Kawasan Hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayu, permudaan dan pemeliharaan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku serta berdasarkan azas kelestarian hutan dan azas perusahaan (sebagaimana pada Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 21 Tahun 1970 Tentang Hak Penguasan Hutan & Hak Pemungutan Hasil Hutan).
"Hak Pemungutan Hasil Hutan" adalah hak untuk menebang menurut kemampuan yang meliputi areal hutan paling luas 100 (seratus) ha untuk jangka waktu selama-lamanya 2 (dua) tahun serta untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya dalam jumlah yang ditetapkan dalam surat izin yang bersangkutan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan (sebagaimana pada Pasal 1 ayat (5) PP Nomor 21 Tahun 1970 Tentang Hak Penguasan Hutan & Hak Pemungutan Hasil Hutan).
       2.3.8.2. Pemegang Hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan
Pemegang Hak Penguasaan Hutan adalah Badan Hukum yang diberikan Hak Penguasaan Hutan oleh Mentri Pertanian (sebagaimana pada Pasal 1 ayat (2) PP Nomor 21 Tahun 1970 Tentang Hak Penguasan Hutan & Hak Pemungutan Hasil Hutan).

2.3.8.3. Subyek Hak Penguasaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan
Subyek Hak Penguasan Hutan (sebagaimana pada Pasal 9 PP Nomor 21 Tahun 1970)  dapat diberikan kepada :
a.       Perusahaan Milik Negara.
b.      Perusahaan Swasta.
c.       Perusahaan Campuran.
Subyek Hak Pemungutan Hasil Hutan (sebagaimana pada Pasal 11 PP Nomor 21 Tahun 1970) hanya dapat diberikan kepada :
a.       Warga Negara Indonesia (WNI).
b.      Badan-badan Hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia.
2.3.8.4. Kewajiban Hak Penguasaan Hutan & Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan
  Kewajibah Hak Penguasaan Hutan & Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (sebagaimana pada Pasal 3 PP Nomor 21 Tahun 1970), antara lain :
1)       Pemegang Hak Pengusahaan Hutan wajib membayar Iuran Hak Pengusahaan Hutan, Iuran Hasil Hutan dan lain-lain pembayaran dengan peraturan yang berlaku.
2)       Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan wajib membayar Iuran Hasil Hutan dan lain-lain pembayaran sesuai dengan peraturan yang berlaku.
3)       Pemegang Hak Pengusahaan Hutan wajib membuat Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang terdiri atas :
a.         Rencana Karya Tahunan yang harus diserahkan untuk disetujui Menteri Pertanian dua bulan sebelum penebangan dimulai.
b.        Rencana Karya Lima tahun yang harus diserahkan untuk disetujui Menteri Pertanian dalam waktu satu tahun setelah dikeluarkan Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan.
c.         Rencana Karya Pengusahaan Hutan yang meliputi seluruh jangka waktu Pengusahaan Hutan yang harus diserahkan untuk disetujui Menteri Pertanian dalam waktu tiga tahun setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan.
4)       Pemegang Hak Pengusahaan Hutan wajib mengelola areal Pengusahaan Hutan berdasarkan Rencana Karya Pengusahaan Hutan serta mentaati segala ketentuan di bidang Kehutanan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2.3.8.5. Jangka Waktu & Luas Hak Penguasaan Hutan
Hak Pengusahaan Hutan diberikan untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang apabila tidak bertentangan dengan kepentingan umum (sebagaimana pada Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 21 Tahun 1970).
Luas areal hutan yang diberikan sebagai areal kerja kepada Pemegang Hak sebagaimana dilukiskan pada peta lampiran Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan yang dikeluarkan Menteri Pertanian sekaligus merupakan penetapan Kawasan Hutan (sebagaimana pada Pasal 10 ayat (2) PP Nomor 21 Tahun 1970).
Luas areal hutan yang diberikan kepada Pemohon Hak Pengusahaan Hutan adalah sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan dan target produksi yang diajukan oleh yang bersangkutan dan disahkan oleh Menteri Pertanian (sebagaimana pada Pasal 10 ayat (3) PP Nomor 21 Tahun 1970).
2.3.8.6. Hapusnya Hak Penguasaan Hutan
1)       Hak Pengusahaan Hutan (sebagaimana pada Pasal 13 PP Nomor 21 Tahun 1970),  hapus karena :
a.   Jangka waktu yang diberikan telah berakhir.
b.  Dicabut, oleh Menteri Pertanian sebagai sanksi yang dikenakan kepada Pemegang Hak Pengusahaan Hutan.
c.   Diserahkan kembali oleh Pemegang Hak Pengusahaan Hutan kepada Pemerintah sebelum jangka waktu yang diberikan berakhir.
2)      Berakhirnya Hak Pengusahaan Hutan atas dasar ketentuan ayat (1) pasal ini tetap mewajibkan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan untuk :
a.       Melunasi Iuran Hak Pengusahaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan serta lain-lain kewajiban finansiil terhadap Pemerintah.
b.      Melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam rangka berakhirnya Hak Pengusahaan Hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  2.3.9.  Hak Guna Air
 Hak Guna Air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan Air untuk sebagai keperluan atau hak akan memperoleh air dari sungai, saluran, atau mata air yang berada diluar tanah miliknya sendiri, maka hal-hal itu sudah termasuk dari pada hak milik atas tanah (sebagaimana pada Pasal 47 UUPA Jo. Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 69 Tahun 2014).
Peraturan PP Nomor 69 Tahun 2014 bertujuan memberikan pengakuan, pemenuhan, dan pelindungan terhadap Hak Guna Air (sebagaimana pada Pasal 2 PP Nomor 69 Tahun 2014).
Hak Guna Air (sebagaimana pada Pasal 5 PP Nomor 69 Tahun 2014) terdiri atas :
a.    Hak Guna Pakai Air (HGPA) dibagai 2 bagian : ada yang memerlukan izin.dan tanpa memerlukan Izin.
Hak Guna Pakai Air (HGPA) yang diperoleh dengan memerlukan izin diperoleh jika (sebagaimana pada Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 69 Tahun 2014) :
v  Cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami Sumber Air.
v  Ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan Air dalam jumlah besar.
v  Digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada.
Izin dalam Hak Guna Pakai Air (sebagaimana pada Pasal 10 ayat (2) PP Nomor 69 Tahun 2014) yang dimaksud adalah :
v  Izin penggunaan Sumber Daya Air untuk Air Permukaan.
v  Izin penggunaan Sumber Daya Air untuk Air laut yang berada di darat.
v   Izin pemakaian Air Tanah untuk pemanfaatan Air Tanah.
Hak Guna Pakai Air (HGPA) yang diperoleh dengan tanpa memerlukan izin merupakan berdasarkan perintah Undang-Undang di bidang Sumber Daya Air (sebagaimana pada Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 69 Tahun 2014). Yang mana Hak Guna Pakai Air (HGPA) diperuntukkan untuk (sebagaimana pada Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 69 Tahun 2014) :
v Perseorangan guna pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari tanpa mengubah kondisi alami Sumber Air; dan
v Perkumpulan petani pemakai Air yang berada dalam sistem irigasi.
Hak Pemegang Hak Guna Pakai Air (HGPA) yang diperoleh dengan Tanpa Memerlukan Izin mempunyai hak untuk :
v Memperoleh Air dan memakai Air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan / atau pertanian rakyat, dan
v Mengalirkan Air dari atau ke tanahnya  melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya.
Hak Guna Pakai Air (HGPA) yang diperoleh dengan memerlukan izin, lahir dalam hal izin penggunaan Sumber Daya Air atau izin pemakaian Air Tanah memuat penetapan kuota Air yang dapat diperoleh dan dipakai.
Dalam hal izin penggunaan Sumber Daya Air atau izin pemakaian Air Tanah tidak menetapkan kuota Air yang dapat diperoleh dan dipakai, izin penggunaan Sumber Daya Air atau izin pemakaian Air Tanah tidak mengakibatkan timbulnya HGPA.
b.    Hak Guna Usaha Air (HGUA) / Memerlukan Izin
Hak Guna Usaha Air (HGUA) berdasarkan Izin pengusahaan Sumber Daya Air yang terdiri atas (sebagaimana pada Pasal 42 PP Nomor 69 Tahun 2014) :
v  Izin pengusahaan Sumber Daya Air untuk Air Permukaan.
v  Izin pengusahaan Sumber Daya Air untuk Air laut yang berada di darat.
v  Izin pengusahaan Air Tanah untuk pengusahaan Air Tanah.
Pengaturan Hak Guna Air
                                   Dalam Pengaturan Hak Guna Air (sebagaimana telah diatur pada Pasal 3 PP Nomor 69 Tahun 2014), sebagai berikut :
1)        Pengaturan Hak Guna Air diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
2)        Dalam melakukan pengaturan Hak Guna Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah harus memperhatikan :
v  Penjaminan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan Air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif, dan
v  Pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat setempat atas Air dan hak yang serupa dengan itu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundangundangan.
2.3.10. Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan
 Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan adalah mengenai air yang tidak berada diatas tanah miliknya sendiri. Jika mengenai air yang berada diatas tanah miliknya sendiri maka hal-hal itu sudah termasuk dalam isi daripada hak milik atas tanah (sebagaimana penjelasan pada Pasal 46 UUPA).



2.3.11. Hak Guna Ruang Angkasa
 Hak Guna Ruang Angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dari ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hak Guna Ruang Angkasa diatur dengan peraturan pemerintah (sebagaimana pada Pasal 48 UUPA).
2.3.12. Hak Tanah Untuk Keperluan Suci dan Sosial
Hak Tanah Untuk Keperluan Suci dan Sosial telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 pada Pasal 48, sebagai berikut :
1)        Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
2)        Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
3)        Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perwakafan tanah telah diatur dengan Peratura Pemerintah PP Nomor 41 & 42 Tahun 2004 Tentang Wakaf.











BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
Prinsip yang dimaksud Hak-hak atas tanah, air, dan ruang angkasa telah diatur sebagaimana pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) dapat disimpulkan bahwa apa saja yang ada di bumi dan segala yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan Negara dalam hal ini mempergunakannya untuk kesejahteraan rakyat.
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh Negara, diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) yang menyatakan bahwa : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Bahwa hak atas tanah yang telah diatur dalam UUPA pada pasal 16 dibedakan menjadi :
(1)   Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, antara lain :
a.       Hak Milik (HM),
b.      Hak Guna Usaha (HGU),
c.       Hak Guna Bangunan (HGB),
d.      Hak Pakai,
e.       Hak Sewa,
f.       Hak Membuka Hutan,
g.      Hak Memungut Hasil Hutan,
h.      Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dalam undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53 UUPA.
(2)   Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) UUPA, antara lain :
a.       Hak Guna Air,
b.      Hak Pemeliharaan dan Penangkapan  Ikan, dan
c.       Hak Guna Ruang Angkasa.
Hak–hak atas tanah seperti yang telah disebutkan di atas dalam UUPA dikelompokkan sebagai berikut :
a.       Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Tanah Bangunan, dan Hak Pengelolaan.
b.      Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari : Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian (Sebagaimana Pasal 53 UUPA).
















DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Sinar Grafika : Jakarta, 2006).
Benhard Limbong,  Konflik Pertanahan, (Margaretha Pustaka, Jakarta : 2012).
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Bayumedia Publishing, Malang : 2007).
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2008).
Herman Soesangobeng : Tanah dan Hak Ulayat, Makalah disampaikan dalam Seminar diterbitkan dalam buletin Pertanahan Balitbang DepKeh.HAM, Pertanahan : Jakarta 2003.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, (Liberty, Yogyakarta : 2000).
Kartini Mukjadi dan Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, (Kencana, Jakarta : 2004).
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Hak Atas Tanah dan Peralihannya, (Liberti, Yogyakarta : 2013).
Badriah Harun, Solusi Sengketa Tanah dn Bangunan, (Pustaka Yustisia, Yogyakarta : 2013)
Arie S Hutagalung dkk, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, (Pustaka Larasan, Denpasar : 2012).
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Alumni, Bandung : 1982).

Akses Sumber Internet Aturan Hukum Perundang-Undangan Pokok Argaria & Peraturan Pemerintah :
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Argaria (UUPA).
Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 69 Tahun 2014 Tentang Hak Guna Air.
Peraturan Pemerintah  (PP)  Nomor 6 tahun 1999 Tentang Hak Membuka Tanah.



Akses Sumber Internet Browser :
Hukum Argaria Hak Penguasaan, data diperoleh sumber akses internet berdasarkan link http://nandoxodnan.blogspot.co.id/2013/09/makalah-hukum-agraria-hak-penguasaan.html.
Penjelasan Sifat-Sifat & Ciri-Ciri Hak Guna Usaha, data diperoleh sumber akses internet berdasarkan link : https://dwisetiati.wordpress.com/2012/06/05/sifat-sifat-dan-ciri-ciri-hak-guna-usaha/
Penjelasan Hak Guna Usaha, data diperoleh sumber akses internet berdasarkan link :
http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-usaha/
Penjelasan Hak Guna Bangunan (HGB), Tinjauan Umum Hak Atas Tanah, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pengelolaan, data diperoleh dari sumber akses internet berdasarkan link : http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/131085-T%2027396-Analisis%20kasus-Analisis.pdf
Subyek Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari internet berdasarkan link :  http://eprints.undip.ac.id/17807/1/SUWITO.pdf
Penjelasan hak-hak atas tanah menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah (PP), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link :
http : //hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html
Penjelasan Pasal 46 UU No. 5 Tahun 1960 mengenai Dasar Hukum Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu No. 5 Tahun 1960.htm
Penjelasan Hak Membuka Hutan Tanah & Memungut Hasil data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link :
http://rezacacings.blogspot.co.id/2013/11/hak-membuka-tanah-dan-memungut-hasil.html
Penjelasa Hak-Hak Tanah Yang Bersifat Sementara, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link :
http://zonahukum.blogspot.co.id/2011/03/hak-hak-atas-tanah-yang-bersifat.html.






DAFTAR RIWAYAT HIDUP
(CURRICULUM VITAE)

DATA DIRI
 

Nama                                       : Zaini Firdaos, SE., Sy.
Tempat Tanggal Lahir             : Serang, 09 Juni 1990
Jenis kelamin                           : Laki-Laki
Kebangsaan                             : Indonesia
Agama                                     : Islam
Umur                                       : 26 Tahun
Status                                      : Belum Menikah
Pendidikan terakhir                 : UIN Syarif Hidayatullah, S1 Jurusan Perbankan Syariah
   Alamat                                    : Link. Gunung Watu RT 004 / RW. 002, Kel. Kotasari,
                                                     Kec. Gerogol, Kota Cilegon.
Telephone / Hp                        : 085782107246 / 082110782128
Email                                       : zaini_firdaos@yahoo.com / zaini.firdaos@gmail.com.

PENDIDIKAN FORMAL
 

  1. Pendidikan Sekolah Dasar di SDN Negalasari II Bandung, Tahun 1996 – 2002
  2. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 19 Bandung, Tahun 2002 2005
  3. Pendidikan Sekolah Menengah Umum di SMU Plus Babussalam Boardhing School Bandung, Tahun 2005 - 2008
  4. Pendidikan Kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008 – 2012




[1] Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Sinar Grafika : Jakarta, 2006), hal. 1
[2]  Benhard Limbong,  Konflik Pertanahan, (Margaretha Pustaka, Jakarta : 2012), hal.2
[3] Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Bayumedia Publishing, Malang : 2007), hal.1-2.
[4] Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, (Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2008), hal. 83.
[5] Herman Soesangobeng : Tanah dan Hak Ulayat, Makalah disampaikan dalam Seminar diterbitkan dalam buletin Pertanahan Balitbang DepKeh.HAM, Pertanahan : Jakarta 2003.
[6] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, (Liberty, Yogyakarta : 2000), hal. 9.
[7] Adrian Sutedi, Loc.cit
[8]   Kartini Mukjadi dan Gunawan Widjaya, Hak-Hak Atas Tanah, (Kencana, Jakarta : 2004), hal. 30.
[9]   Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 61.
[10] Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Hak Atas Tanah dan Peralihannya, (Liberti, Yogyakarta : 2013), hal. 49.
[11] Badriah Harun, Solusi Sengketa Tanah dn Bangunan, (Pustaka Yustisia, Yogyakarta : 2013), hal.16
[12] Arie S Hutagalung dkk, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, (Pustaka Larasan, Denpasar : 2012), hal.11.
[13] Ibid, hal. 9.
[14] Badriah Harun, Op.cit, hal. 17.
[15] Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, Op.cit, hal. 49.
[16] Badriah Harun, Op.cit, hal. 18
[17] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Alumni, Bandung : 1982), hal. 106-107.
[18] Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 63
[19]  Badriah Harun, Op.cit, hal. 21
[20] Makalah Hukum Argaria : Hak Penguasaan Atas Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional, data diperoleh dari internet berdasarkan link : http://nandoxodnan.blogspot.co.id/2013/09/makalah-hukum-agraria-hak-penguasaan.html., yang diunduh waktu 09.45 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[21] Makalah Hukum Argaria : Hak Penguasaan Atas Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional, data diperoleh dari internet berdasarkan link : http://nandoxodnan.blogspot.co.id/2013/09/makalah-hukum-agraria-hak-penguasaan.html., yang diunduh waktu 09.45 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[22] Makalah Hukum Argaria : Hak Penguasaan Atas Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link:  http://nandoxodnan.blogspot.co.id/2013/09/makalah-hukum-agraria-hak-penguasaan.html., yang diunduh waktu 09.50 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[23] Sifat dan ciri-ciri Hak Guna Usaha (HGU), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : https://dwisetiati.wordpress.com/2012/06/05/sifat-sifat-dan-ciri-ciri-hak-guna-usaha/ yang diunduh waktu 10.15 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[24] Makalah Hukum Argaria : Hak Penguasaan Atas Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://nandoxodnan.blogspot.co.id/2013/09/makalah-hukum-agraria-hak-penguasaan.html., yang diunduh waktu 10.20 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[25] Hak Guna Usaha (HGU) dalam ketentuan hal Hak dan Kewajiban Hak Guna Usaha (HGU), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-usaha/ yang diunduh waktu 10.25 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[26] Hak Guna Usaha (HGU) dalam ketentuan hal Jangka Waktu, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.legalakses.com/hak-guna-usaha-hgu/ yang diunduh waktu 10.30 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[27] Hak Guna Usaha (HGU) dalam ketentuan hal Terjadinya Hak Guna Usaha (HGU), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-usaha/ yang diunduh waktu 10.35 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[28] Hak Guna Usaha (HGU) dalam ketentuan hal Beralihnya Hak Guna Usaha (HGU), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-usaha/ yang diunduh waktu 10.35 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.

[29] Hak Guna Usaha (HGU) dalam ketentuan hal Hapusnya Hak Guna Usaha (HGU), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-usaha/ yang diunduh waktu 10.40 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.

[30] Penjelasan Hak Guna Bangunan (HGB), Tinjauan Umum Hak Atas Tanah, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pengelolaan, data diperoleh dari sumber akses internet berdasarkan link : http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/131085-T%2027396-Analisis%20kasus-Analisis.pdf., yang diunduh waktu 14.0 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[31] Sifat dan ciri-ciri Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : https://dwisetiati.wordpress.com/2012/06/05/sifat-sifat-dan-ciri-ciri-hak-guna-bangunan/ yang diunduh waktu 14.15 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[32] Subyek Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari internet berdasarkan link :  http://eprints.undip.ac.id/17807/1/SUWITO.pdf, yang diunduh waktu 14.15 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[33] Penjelasan Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari sumber akses internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan/ yang diunduh waktu 14.20 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[34] Penjelasan Jangka Waktu Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari sumber akses internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan/ yang diunduh waktu 14.20 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[35] Hak Guna Bangunan (HGB) dalam ketentuan hal Jangka Waktu Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan/ yang diunduh waktu 14.30 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.

[36] Hak Guna Bangunan (HGB) dalam ketentuan hal Terjadinya Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan/ yang diunduh waktu 14.30 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[37] Hak Guna Bangunan (HGB) dalam ketentuan hal Beralihnya Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan/ yang diunduh waktu 14.45 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[38] Hak Guna Bangunan (HGB) dalam ketentuan hal Hapusnya Hak Guna Bangunan (HGB), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan/ yang diunduh waktu 14.45 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.

[39] Penjelasan & Dasar Hukum Hak Pakai, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-pakai/, yang diunduh waktu 14.45 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[40] Hak Pakai dalam ketentuan hal Sifat dan Ciri-ciri Hak Pakai, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http : //hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak- hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html, yang diunduh waktu 14.50 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[41] Hak Pakai dalam ketentuan hal Subyek dan Objek Hak Pakai, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http : //hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak- hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html, yang diunduh waktu 14.50 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[42] Hak Pakai dalam ketentuan hal Hak dan Kewajiban Hak Pakai, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http : //hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak- hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html, yang diunduh waktu 14.55 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[43] Hak Pakai dalam ketentuan hal Jangka Waktu Hak Pakai, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http : //hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak- hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html, yang diunduh waktu 14.55 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[44] Hak Pakai dalam ketentuan hal Terjadinya Hak Pakai, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http : //hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak- hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html, yang diunduh waktu 15.00 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[45] Hak Pakai dalam ketentuan hal Beralihnya Hak Pakai, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-pakai/ yang diunduh waktu 15.00 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.

[46] Hak Pakai dalam ketentuan hal Hapusnya Hak Pakai, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://www.jurnalhukum.com/hak-pakai/ yang diunduh waktu 15.10 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.

[47] Penjelasan Pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html, yang diunduh waktu 15.10 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[48] Penjelasan Sifat dan Ciri-Ciri Hak Sewa Untuk Bangunan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html  yang diunduh waktu 15.15 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[49] Penjelasan Subjek dan Objek Hak Sewa Untuk Bangunan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html  yang diunduh waktu 15.15 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[50] Penjelasan Jangka Waktu dan Pembayaran Hak Sewa Untuk Bangunan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html  yang diunduh waktu 15.20 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[51] Penjelasan Terjadinya Hak Sewa Untuk Bangunan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html  yang diunduh waktu 15.20 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[52] Penjelasan Peralihanya Hak Sewa Untuk Bangunan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html  yang diunduh waktu 15.25 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[53] Penjelasan Hapusnyaa Hak Sewa Untuk Bangunan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html  yang diunduh waktu 15.25 WIB, pada tanggal 02 Oktober 2016.
[54] Pasal 46 UU No. 5 Tahun 1960 mengenai Dasar Hukum Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu No. 5 Tahun 1960.htm, yang diunduh waktu 07.00 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.
[55] Penjelasan Hak Membuka Hutan dan Memungut Hasil Hutan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://rezacacings.blogspot.co.id/2013/11/hak-membuka-tanah-dan-memungut-hasil.html, yang diunduh waktu 07.10 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.

[56] Penjelasan Asas & Tujuan Hak Membuka Hutan dan Memungut Hasil Hutan, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://rezacacings.blogspot.co.id/2013/11/hak-membuka-tanah-dan-memungut-hasil.html, yang diunduh waktu 07.10 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.
[57] Penjelasan Hak Bersifat Sementara, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link :  http://zonahukum.blogspot.co.id/2011/03/hak-hak-atas-tanah-yang-bersifat.html, yang diunduh waktu 07.10 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.
[58] Penjelasan Macam-Macam Hak Bersifat Sementara mengenai Hak Gadai : Pengertia, Para Pihak, Terjadinya, Perbedaan Hak Gadai (Gadai Tanah) dan Gadai Dalam Hukum Perdata, Jangka Waktu, dan Ciri - Ciri Gadai (baik dalam konteks adat dan pendapat Boedi Harsono), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://zonahukum.blogspot.co.id/2011/03/hak-hak-atas-tanah-yang-bersifat.html, yang diunduh waktu 07.20 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.
[59] Penjelasan Macam-Macam Hak Bersifat Sementara mengenai Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil) : Pengertian, Mekanisme, Tujuan Mengatur, Sifat & Ciri-Ciri, Jangka Waktu, Hak & Kewajiban, dan Hapusnya Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://zonahukum.blogspot.co.id/2011/03/hak-hak-atas-tanah-yang-bersifat.html, yang diunduh waktu 07.30 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.

[60] Penjelasan Macam-Macam Hak Bersifat Sementara mengenai Hak Menumpang : Pengertian, Cara Terjadinya, Sifat & Ciri-Ciri, dan Hapusnya Hak Menumpang, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link : http://zonahukum.blogspot.co.id/2011/03/hak-hak-atas-tanah-yang-bersifat.html, yang diunduh waktu 09.30 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.

[61] Penjelasan Macam-Macam Hak Bersifat Sementara mengenai Hak Sewa Pertanian : Pengertian, Cara Terjadinya, dan Hapusnya Hak Sewa Pertanian, data diperoleh dari sumber internet berdasarkan link :  http://zonahukum.blogspot.co.id/2011/03/hak-hak-atas-tanah-yang-bersifat.html, yang diunduh waktu 09.45 WIB, pada tanggal 03 Oktober 2016.

1 comment:

  1. deposit bos sudah kita proses ya bos.
    silahkan di cek kembali bos.
    terima kasih bos.
    jangan lupa ajak teman2nya main disini juga ya bosku :)

    ReplyDelete

ISI MAKALAH HUBUNGAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI KONVENSI WINA 1961

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Menurut Jan Osmanczyk, Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasionalyan...