Monday, May 27, 2019

Gadai Menurut Hukum Islam & Hukum Perdata (KHUP Perdata)


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nyalah saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Berikut ini penyusun mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Gadai Menurut Hukum Islam & Hukum Perdata (KHUP Perdata)”, yang menurut penulis dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

                                                                              Serang, 05 Desember 2016
                                                                                       Penyusun,


                                                                                      Jon Efendy Purba, S.Pd., SH

                                                       

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah  .............................................................................................. 5
1.3. Maksud dan Tujuan ............................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian & Dasar Hukum Gadai (Rahn) Secara Menurut Hukum Islam &  
       Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP) Perdata .......................... 6
2.2. Rukun & Syarat Gadai (Rahn) secara Hukum Islam ...................................... 8
2.3. Sifat & Ciri-Ciri Gadai (Rahn) ...................................................................... 10
2.4. Ruang Lingkup Objek Gadai (Rahn) ............................................................ 12
2.5. Pengambilan Manfaat Barang Gadai (Rahn) .............................................. 12
2.6. Pandangan Ulama Mengenai Rukun Gadai (Rahn) ...................................... 13
2.7. Hapusnya Gadai (Rahn) Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP)
       Perdata dan Perum Pegadaian ....................................................................... 16
2.8. Pelunasan dari Hasil yang digadaikan ............................................................. 9
2.9. Perbedaan & Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional ............... 18
2.10. Perlakuan Bunga & Riba dalam Perjanjian Gadai (Menurut Pandangan Hukum Islam .......................................................................................... 20

BAB III PENUTUP
Kesimpulan .......................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 23

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai / rahn         (الرهن). Secara pengertian Gadai merupakan suatu yang diperoleh seseorang piutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang, atau oleh seorang lain atas namanya. Dan yang memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dan pada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.[1]
Yang dimaksud dengan benda bergerak termasuk baik benda berwujud maupun tidak berwujud, misalnya surat-surat berharga atas tunjuk, yakni pembayaran dapat dilakukan kepada orang yang disebut dalam surat itu atau kepada orang yang ditunjuk oleh orang itu (untuk surat-surat berharga, apabila diadakan gadai masih diperlukan penyumbatan dalam surat itu bahwa haknya dialihkan kepada pemegang gadai) disamping endossement diperlukan juga penyerahan surat-surat berharga.[2] 
Menurut Para ulama’ (secara Hukum Islam) berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui hukum dasar gadai tersebut. Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.[3] 
Berdasarkan dari uraian yang telah dijabarkan, maka penulis akan membahas Makalah mengenai “Gadai menurut Hukum Islam & Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata”.

1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang ingin dilihat dalam penulisan ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan Gadai (Rahn) baik secara Hukum Islam & Menurut Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata ?
2.      Apa saja Ruang Lingkup Objek Gadai (Rahn) ?
3.      Bagaimana Sifat & Ciri – Ciri Gadai (Rahn) baik secara Hukum Islam & Menurut Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata ?

1.3. Maksud dan Tujuan
      Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Mengetahui dan memahami pengertian & Dasar Hukum Gadai (Rahn) baik secara Hukum Islam & Menurut Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata.
2.      Mengetahui dan memahami Ruang Lingkup Objek Gadai (Rahn).
3.      Mengetahui dan memahami Sifat dan Ciri – Ciri Gadai (Rahn) baik secara Hukum Islam & Menurut Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Pengertian Gadai (Rahn) & Dasar Hukum Secara Menurut Hukum Islam & Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP) Perdata
Menurut Hukum Islam secara bahasa, gadai / ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung atau terjerat.[4]
         Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah :
1.    Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[5]
2.    Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutangselama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.[6]
3.    Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.[7]
4.    Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[8]
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan  (brog) adalah firman Allah Swt.
JikArtinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya”. (Surat ke-2 Al-Baqarah ayat 283).[9]
Syaikh Muhammad Ali as-sayis berpendapat, bahwa ayat Al-Qur’an tersebut adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang rahn (الرهن).
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata :

“Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran bagi yang memberi  piutang. 
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor : 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas.[10]
Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP) Perdata  bahwa Gadai atau yang disebut juga dengan Pand, merupakan salah satu kebendaan yang termasuk suatu lembaga jaminan yang di atur dalam buku ke II KUH Perdata. Dasar Hukum Gadai menurut pasal 1150 KUH Perdata gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkannya kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kepuasan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara di dahulukan dari pada orang. Orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk menyelamatkannya setelah barang itu di gadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
Pandrecht adalah suatu hak kebendaan atas suatu barang bergerak kepunyaan orang lain, hak mana semata - mata diperjanjikan menyerahkan benit atas benda bergerak bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu barang dari pendapatan penjualan benda itu lebih dahulu darin penagih-penagih lainnya.[11]
Sedangkan menurut pendapat R. Wiyono Prodjodikoro yaitu :
Gadai adalah suatu hak yang didapat oleh seorang berpiutang suatu benda bergerak yang padanya diserahkan oleh si berutang atau oleh seorang lain atau namanya untuk menjamin pembayaran hutang dan yang memberikan hak kepada si berutang untuk dibayar lebih dahulu dari berpiutang lainnya, yang diambil dari uang pendapatan penjualan barang itu”.[12]
Sedangkan menurut R. Subekti, gadai adalah sebagai berikut :
“Perjanjian yang menyebabkan bahwa tanahnya di serahkan untuk menerima tunai ke sejumlah uang, dengan permufakatan bahwa si penyerah akan berhak mengembalikan tanah itu ke dirinya sendiri dengan jalan membayar sejumlah uang yang sama maka perjanjian (transactie) dinamakan gadai tanah (Ground Verpanding).”[13]

2.2.  Rukun & Syarat Gadai (Rahn) Menurut Hukum Islam
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu :
1.      Akad dan ijab Kabul
2.      Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.[14]
3.      Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”.
4.      Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap.

Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain[15] :
1.      Dapat diperjual belikan,
2.      Bermanfaat,
3.      Jelas,
4.      Milik rahin,
5.      Bisa diserahkan,
6.      Tidak bersatu dengan harta lain,
7.      Dipegang oleh rahin, dan
8.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.

Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu[16] :
1.    Orangnya sudah dewasa.
2.    Berpikiran sehat.
3.    Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu  dapat diserahkan / diserahkan kepada penggadai.
4.    Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah).

2.3.  Sifat & Ciri – Ciri Gadai (Rahn)
Secara umum Gadai (Rahn) menurut konteks Hukum Islam dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan. Gadai (Rahn) juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.[17]
Menurut Hukum Perdata bahwa Gadai secara sifat terdiri 5 kategori sifat, sebagai berikut[18] :
1.    Gadai adalah hak kebendaan
Dalam Pasal 1150 KUH Perdata tidak disebutkan sifat gadai, namun demikian sifat kebendaan ini dapat diketahui dari Pasal 1152 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Pemegang gadai mempunyai hak revindikasi dari Pasal 1977 ayat (2) KUH Perdata apabila barang gadai hilang atau dicuri”. Oleh karena hak gadai mengandung hak revindikasi, maka hak gadai merupakan hak kebendaan sebab revindikasi merupakan ciri khas dari hak kebendaan. 
Hak kebendaan dari hak gadai bukanlah hak untuk menikmati suatu benda  diserahkan kepada kreditor tetapi tidak untuk dinikmati, melainkan untuk menjamin piutangnya dengan mengambil, penggantian dari benda tersebut guna membayar piutangnya.
2.    Hak gadai bersifat accesoir
Hak gadai hanya merupakan tambahan saja dari perjanjian pokoknya, yang berupa perjanjian pinjam uang. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa seseorang akan mempunyai hak gadai apabila ia mempunyai piutang, dan tidak mungkin seseorang dapat mempunyai hak gadai tanpa mempunyai piutang. Jadi hak gadai merupakan hak tambahan atau accesoir, yang ada dan tidaknya tergantung dari ada dan tidaknya piutang yang merupakan perjanjian pokoknya.
Dengan demikian hak gadai akan hapus jika perjanjian pokoknya hapus. Beralihnya piutang membawa serta beralihnya hak gadai, hak gadai berpindah kepada orang lain bersamasama dengan piutang yang dijamin dengan hak gadai tersebut, sehingga hak gadai tidak mempunyai kedudukan yang berdiri sendiri melainkan accesoir terhadap perjanjian pokoknya.
3.    Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi
Karena hak gadai tidak dapat dibagi-bagi, maka dengan dibayarnya sebagian hutang tidak akan membebaskan sebagian dari benda gadai. Hak gadai tetap membebani benda gadai secara keseluruhan. Dalam Pasal 1160 KUH Perdata disebutkan bahwa :
“Tak dapatnya hak gadai dan bagi-bagi dalam hal kreditor, atau debitur meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa ahli waris.“
Ketentuan ini tidak merupakan ketentuan hukum memaksa, sehingga para pihak dapat menentukan sebaliknya atau dengan perkataan lain sifat tidak dapat dibagi-bagi dalam gadai ini dapat disimpangi apabila telah diperjanjikan lebih dahulu oleh para pihak.
4.    Hak gadai adalah hak yang didahulukan
Hak gadai adalah hak yang didahulukan. Ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 1133 dan 1150 KUHPerdata. Karena piutang dengan hak gadai mempunyai hak untuk didahulukan daripada piutang-piutang lainnya, maka kreditor pemegang gadai mempunyai hak mendahulu (droit de preference). Benda yang menjadi obyek gadai adalah benda bergerak baik yang bertubuh maupun tidak bertubuh. 
5.    Hak gadai 
Adalah hak yang kuat dan mudah penyitaannya. Menurut Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Hak gadai dan hipotik lebih diutamakan daripada privilege, kecuali jika undang-undang menentukan sebaliknya“. Dari bunyi pasal tersebut jelas bahwa hak gadai mempunyai kedudukan yang kuat. Di samping itu kreditor pemegang gadai adalah termasuk kreditor separatis. Selaku separatis, pemegang gadai tidak terpengaruh oleh adanya kepailitan si debitor.
Kemudian apabila si debitor wanprestasi, pemegang gadai dapat dengan mudah menjual benda gadai tanpa memerlukan perantaraan hakim, asalkan penjualan benda gadai dilakukan di muka umum dengan lelang dan menurut kebiasaan setempat dan harus memberitahukan secara tertulis lebih dahulu akan maksud-maksud yang akan dilakukan oleh pemegang gadai apabila tidak ditebus (Pasal 1155 ayat (2) KUH Perdata). Jadi di sini acara penyitaan lewat juru sita dengan ketentuan-ketentuan menurut Hukum Acara Perdata tidak berlaku bagi gadai.

2.4.   Ruang Lingkup Gadai (Rahn)
Didalam perjanjian gadai objek-objek gadai menurut hukum perdata tersebut selalu mengikuti dari perjanjian gadai. Objek tersebut memiliki kekuatan hukum sesuai dengan hak kebendaan yang selalu mengikat dalam suatu perjanjian gadai. Hak kebendaan tersebut di dalam hukum perdata mengandung ciri-ciri sebagai berikut[19] :
1.      Benda yang dijadikan sebagai benda jaminan senantiasa dibebani hak tanggungan. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas sebagaimana diatur dalam pasal 1150 KUH Perdata.
2.      Si berpiutang yang memegang gadai menuntut haknya untuk menerima pelunasan pembayaran hutang dengan satu pembuktian pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 1151 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut "Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokok".
3.      Objeknya adalah benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud.
4.      Hak gadai merupakan hak yang dilakukan atas pembayaran dari pada orang-orang berpiutang lainnya.
5.      Benda yang dijadikan objek gadai merupakan benda yang tidak dalam sengketa dan bermasalah.
6.      Benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada pemegang gadai
7.      Semua barang bergerak dapat diterima sebagai jaminan sesuai dengan kriteria-kriteria pihak Perum Pegadaian.

2.5.  Pengambilan Barang Manfaat Gadai (Rahn)
Menurut Hukum Islam bahwa dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasullullah SAW. bersabda :
“Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba”  riwayat Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanyaJika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
Rasullullah SAW. bersabda :

           
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.[20]
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang di bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.[21]

2.6.  Pandangan Ulama Mengenai Rukun Gadai (Rahn)
Rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih (yang diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara detil mengnai rukun gadai beserta pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan rukun gadai terdiri dari tiga bagian:
Pertama: Orang yang menggadaikan
Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang menggadaikan adalah mahjur alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang berada dalam kekuasaanya manakala tindakan tersebut untuk melunasi hutang dan memang diperlukan, pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.
Menurut Syafi’i, washi dibolehkan menggadaikan karena ada kepentingan yang jelas. Menurut Malik, budak mukatab (budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara mencicil) dan orang yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak boleh, maka dalam hal ini Syafi’i juga mengemukakan pendapat yang sama.
Malik dan Syafi’i sependapat bahwa orang bangkruttidak boleh menggadaikan, namun Abu Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas dari Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya karena hutang, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat Malik yang terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi bangkrut.
Kedua : Akad gadai
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua, kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Malik membolehkan penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya. Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh tempo.
Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh, seperti tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang sudah jatuh tempo. Tentang penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari Syafi’i ada dua pendapat, boleh menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang paling benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang belum jelas nilainya seperti dinar dan dirham yang sudah dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman. Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa barang gadaian harus berada di tangan penerima gadaian. Kemudian mereka berselisih pendapat apabila penerima gadai menerima barang tersebut dengan cara merampas, kemudian orang yang dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang ada di tangannya. Dalam hal ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang dirampas itu dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan perampas, sebelum ia menerima barang itu. 
Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu tetap berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas menerima kembali barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang penggadaian bagian barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut Malik dan Syafi’i boleh. 
Ketiga: Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk semua barang yang berharga dan dapat diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu harus tunai. Karena itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam, meski pun menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf.
Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang pesanan. Demikian itu karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan.
Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada salam hutang, ghashab harga barang-barang konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti al-Ma’mumah dan al-Jaifah. 
Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh tanggungan dan tidak dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan pada sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan sebelumnya. Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh pada hudud, qishash atau proses kemerdekaan budak. 
Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.[22]

2.7. Hapus Gadai (Rahn) Menurut KUH Perdata dan Peraturan Perum Pegadaian
Setiap ada awal pasti ada akhir setiap permasalahan pasti ada penyelesaian. Begitu juga dengan gadai pasti akan ada pula hapus atau berakhirnya hak gadai. Berakhirnya persetujuan gadai adalah merupakan rentetan, setelah terlaksananya persetujuan.  
Mengenai cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai menurut KUH Perdata adalah sebagai berikut[23] :
1.       Hak gadai hapus apabila hutang telah dibayar oleh si berutang.
2.       Hak gadai hapus apabila barang yang di gadaikan keluar dari kekuasaan si penerima gadai.
3.       Apabila sudah dilepaskan oleh penerima gadai melunasi atas dasar atau kemauan sendiri dari penerima gadai maka penerima gadai mengembalikan barang yang digadai pada pemberi gadai.
4.       Karena persetujuan gadai bersifat uccessoir yang jika perjanjian pokok berakhir maka dengan sendirinya gadaipun berakhir.
5.       Bila barang yang digadaikan musnah atau terbakar diluar kehendak atau kemampuan pemegang gadai. Dimana penerima dan pemberi gadai sama-sama mengalami.
6.       Barang gadai menjadi milik dari si pemegang gadai atas kesepakatan atau persetujuan dari si pemberi gadai (pengalihan hak milik atas kesepakatan).
Berakhirnya gadai dapat juga berakhir apabila tanah gadai musnah karena bencana alam atau lainnya, maka perjanjian gadai berakhir dan pemegang gadai tidak berhak untuk meminta uang gadainya kembali dari penggadai.

2.8.  Pelunasan dari Hasil yang digadaikan
Pasal 1200-1206 berhubungan dengan hak-hak dan wajib-wajib dari pemegang gadai yang dapat dibela dalam hak-hak dan kewajiban yang ada selama adanya hak gadai dan hak-hak beserta kewajiban yang berhubungan dengan pengambilan pelunasan yang dapat dilakukan oleh pemegang gadai atas benda yang digadaikan dalam wanprestasi dari debitur. Arti dari hak gadai terdiri antara lain dari hal bahwa kreditur atau pemegang gadai adalah wewenang untuk melakukan penjualan atas kuasa sendiri benda yang digadaikan. Apabila debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya. Dalam umumnya kreditur dapat menguatkan benda yang digadaikan tersebut untuk mengambil pelunasan uang pokok, bunga dan biaya-biaya tanpa diharuskan pertama-tama memancing suatu penghukuman debitur oleh pengadilan. Dalam pada itu, ia terikat pada ketentuan untuk memperhatikan beberapa aturan yang dicantumkan dalam pasal 1201.
Dari hal tersebut perlu kita ketahui bahwa bagaimanapun juga tidak boleh terjadi dalam hal debitur melakukan wanprestasi. Dari pihak pemberi gadai dapatlah si pemegang gadai, berdasarkan pasal 1201 dan dengan mengindahkan formalitas-formalitas yang harus ada dalam pasal-pasal tersebut menyuruh agar benda tersebut dijual tetapi disamping itu pasal 1201 memberikan kepadanya hak untuk berhubungan dengan hakim dan untuk menuntut agar hakim menemukan suatu cara tertentu bagi penjualan benda yang digadaikan tersebut. Agar hakim menyetujui benda-benda yang digadaikan diterima oleh si pemegang gadai sebagai pembayar untuk sejumlah uang tertentu, jumlah mana akan ditetapkan oleh hakim.
Jika para pihak pada saat mengadakan perjanjian gadai sudah menghendaki untuk mengadakan peraturan tentang cara memperjuangkan benda yang digadaikan dalam hal demikianlah Hoge Raad (1 April 1927), tidak dibenarkan pemberian wewenang untuk pengambilan pelunasan dengan penjualan dibawah tangan, tetapi tidak dibolehkan ialah menentukan bahwa si pemegang gadai hanya atau dapat menempuh cara bertindak sebagaimana ditentukan dalam pasa 1203.
Sesudah perjanjian benda yang digadaikan, kreditur wajib untuk mempertanggungjawabkan hasil (pengurangan) kepada debitur dan untuk membayar kepadanya sisa lebihnya. Dalam hal kepailitan sesuai pemegang gadai berkedudukan  ebagai yang disebut separatis. Hogd Raad mengemukakan bahwa suatu penetapan expasal 1202 belum membuktikan adanya hak gadai, sebab piutang yang bersangkutan tidak ditujukan pada sebuah penetapan pengadilan mengenai adanya hak gadai (Ares. H. R. 25 Januari 1934). Dan selanjutnya mengenai cell-cell atas tunjuk, bahwa orang yang menerbitkan “cell cell” itu wajib kepada setiap pemegang yang jujur jadi c.q juga kepada si pemegang gadai yang sesudah penyerahan barang harus berbuat menurut pasal 1201 dengan barang-barang itu.[24]

2.9.  Perbedaan Gadai Konvensional & Gadai Syari’ah
1. Secara Pengertian 
a.           Pegadaian Syari’ah
Gadai dalam fiqh gadai (rahn) adalah prjanjian suatu barang sebagai tanggungan hutang, atau menjadikan suatu benda bernilai menutrut pandangan syara sebagai tanggungan pinjaman, sehingga dengan adanya tanggungan utang ini seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[25]

b.             Pegadaian Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu  hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai pitutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah barang itu digadaikan.[26]

2.   Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah
               Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah seperti berikut:
1.      Hak gadai berlaku atas pinjaman uang,
2.      Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang,
3.      Barang yang digadaikan di tanggung pemberi gadai, dan
4.     Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang di gadaikan boleh di jual atau di lelang.

3.   Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensiaonal
              Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional adalah sebagai berikut :
1.      Gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik keuntungan.
2.      Hak gadai syariah berlaku pada seluruh harta (beda bergerak dan benda tidak bergerak).
3.      Gadai syariah dilaksanakan melakukan suatu lembaga, sedangkan gadai konvensional dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum pegadaian).[27]


2.10.  Perlakuan Bunga & Riba dalam Perjanjian Gadai (Menurut Pandangan Hukum Islam)
Aktivitas perjanjian gadai yang selama ini telah berlaku, yang pada dasranya adalah perjanjian utang-piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba terjadi apabila dalam perjanjian gadai ditemukan bahwa harus memberikan tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh murtahin ( مرتحن ). Hal ini lebih sering disebut bunga gadai dan perbuatan yang dilarang syara’. Karena itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak membenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena larangan syara’, dan pihak yang terbebani, yaitu pihak penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.[28]
Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut tentu sudah bersifat komersil. Artinya pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa.[29] Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh syara’ menurut A.A. Basyir.[30]
Mengenai riba itu, Afzalurahman dalam Muhammad Skholikhul Hadi, memberikan pedoman bhwa yang dikatakan riba, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut :
1)      Kelebihan dari pokok pinjaman 
2)      Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran; 
3)      Sejumlah tambahan itu di syaratkan dalam transaksi [21]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
Secara Pengertian Gadai (Rahn)
Menurut Hukum Islam secara bahasa, gadai / ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung atau terjerat. Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor : 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas.
Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP) Perdata  bahwa Gadai atau yang disebut juga dengan Pand, merupakan salah satu kebendaan yang termasuk suatu lembaga jaminan yang di atur dalam buku ke II KUH Perdata. Dasar Hukum Gadai menurut pasal 1150 KUH Perdata gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkannya kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kepuasan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara di dahulukan dari pada orang. Orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk menyelamatkannya setelah barang itu di gadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
            Ruang Lingkup Gadai (Rahn)
Didalam perjanjian gadai objek - objek gadai menurut hukum perdata tersebut selalu mengikuti dari perjanjian gadai. Objek tersebut memiliki kekuatan hukum sesuai dengan hak kebendaan yang selalu mengikat dalam suatu perjanjian gadai. Hak kebendaan tersebut di dalam hukum perdata mengandung ciri-ciri sebagai berikut :
1.    Benda yang dijadikan sebagai benda jaminan senantiasa dibebani hak tanggungan. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas sebagaimana diatur dalam pasal 1150 KUH Perdata.
2.    Si berpiutang yang memegang gadai menuntut haknya untuk menerima pelunasan pembayaran hutang dengan satu pembuktian pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 1151 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut "Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokok".
3.    Objeknya adalah benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud.
4.    Hak gadai merupakan hak yang dilakukan atas pembayaran dari pada orang-orang berpiutang lainnya.
5.    Benda yang dijadikan objek gadai merupakan benda yang tidak dalam sengketa dan bermasalah.
6.    Benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada pemegang gadai
7.    Semua barang bergerak dapat diterima sebagai jaminan sesuai dengan kriteria-kriteria pihak Perum Pegadaian.
......... Sifat & Ciri – Ciri Gadai (Rahn)
Secara umum Gadai (Rahn) menurut konteks Hukum Islam dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan. Gadai (Rahn) juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.
Menurut Hukum Perdata bahwa Gadai secara sifat terdiri 5 kategori sifat, sebagai berikut :
1.    Gadai adalah hak kebendaan,
2.    Hak gadai bersifat accesoir,
3.    Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi,
4.    Hak gadai adalah hak yang didahulukan, dan
5.    Hak gadai.

DAFTAR PUSTAKA

Akses Sumber Berdasarkan Literatur Buku :
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung : Alfabeta, 2011).
Ahmad Azhar Basyir, Pembahasan mengenai : Riba, Utang - piutang, dan Gadai, Cetakan Ke - II, (Bandung : Al- Ma’arif, 1983).
Al-kahlani, Subul Al Salam.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar fiqh muamalah, (Jakarta : Bulan Bintang 1984).
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002).
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung : Alumni Bandung, 1992).
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, (Bairut : Dar al-Jiil, 1990).
Muhammad Skholikhul Hadi, Pegadaian Syari’ah, (Salemba Diniyah. 2003).
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 1997).
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. intermassa, 1997).
R. Wiryono, Prodjodikoro, Hukum Perdata Hak Atas Benda, (Jakarta : Pembimbing Massa, 1993).
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, (Kairo : Dar al-fath lil I’lam al-‘Arabi, 1990).
Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, (Jakarta : Al - Tahiriyah, 1973).

Akses Sumber Berdasarkan Al – Qur’an :
Landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan firman Allah Swt dalam Surat
ke – 2 : Al – Baqarah ayat 283.  

Akses Sumber Berdasarkan Internet Browser :
Hadi Muttaqin, “Pengertian dan Sifat - Sifat Gadai, yang berdasarakan link internet : http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-dan-sifat-sifat-gadai.html.
Ria Saidah, “Makalah Fiqh Muamalah Gadai (Rahn)”, diakses berdasarkan link internet browser : http://hamasfaiumi.blogspot.co.id/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html.
Sunaryo hadi, ”Pembahasan Mengenai Gadai”, diakses berdasarkan link internet browser :  http://datarental.blogspot.com/2009/06/gadai.html.
Wardah, Cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP) Perdata, yang berdasarakan link internet browser : http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/gadai.html.



[1] Sunaryo hadi, ”Pembahasan Mengenai Gadai”, diakses berdasarkan link internet :  http://datarental.blogspot.com/2009/06/gadai.html, pada hari Jum’at, tanggal 02 Desember 2016, jam 10.00 Wib.
[2]   Ibid.
[3] Ria Saidah, “Makalah Fiqh Muamalah Gadai (Rahn)”, diakses berdasarkan link internet :  http://hamasfaiumi.blogspot.co.id/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html, pada hari Jum’at, tanggal 02 Desember 2016, jam10.15 Wib.

[4] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, (Kairo : Dar al-fath lil I’lam al-‘Arabi, 1990), hal. 123.
[5] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar fiqh muamalah, (Jakarta : Bulan Bintang 1984), hal. 86-87.
[6] Sayyid Sabiq dalam fiqih al- sunnah, Op.Cit, hal. 187.              
[7] Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, (Jakarta : Al - Tahiriyah, 1973), hal. 295.
[8] Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-piutang, dan Gadai, Cet. Ke II, (Bandung : Al- Ma’arif, 1983), hal. 50.
[9]  Landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan firman Allah Swt dalam Surat ke – 2 : Al – Baqarah ayat 283.  
[10]  Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2001), Op.Cit, hal. 139.
[11]  R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 1997), hal. 65. 
[12] R. Wiryono, Prodjodikoro, Hukum Perdata Hak Atas Benda, (Jakarta : Pembimbing Massa, 1993), hal. 180. 
[13] R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. intermassa, 1997), hal. 112. 
[14] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2001), Op.Cit, hal. 162.
[15]  Ibid,  hal. 164.
[16]  Ibid,  hal. 256.
[17]   Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 105.
[18] Hadi Muttaqin, “Pengertian dan Sifat - Sifat Gadai, yang berdasarakan link internet : http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-dan-sifat-sifat-gadai.html, diakses pada hari Sabtu, tanggal 03 Desember 2016, jam 14 : 00 Wib.
[19] Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung : Alumni Bandung, 1992), hal. 19.
[20] Al-kahlani, Subul Al - Salam, hal. 51.
[21] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta:  Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 108-109. 
[22]   Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, (Bairut : Dar al-Jiil, 1990), hal. 204.
[23] Cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai menurut KUH Perdata, yang berdasarakan link internet : http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/gadai.html, diakses pada hari Sabtu, tanggal 03 Desember 2016, jam 14 : 20 Wib.

[24] Sunaryo hadi, ”Pembahasan Mengenai Gadai”, diakses berdasarkan link internet :  http://datarental.blogspot.com/2009/06/gadai.html, pada hari Sabtu, tanggal 03 Desember 2016, jam 14.30 Wib.
[25] Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung : Alfabeta, 2011), hal. 78. 
[26]  Ibid, hal. 78. 
[27]  Ibid, hal. 78. 
[28] Muhammad Skholikhul Hadi, Pegadaian Syari’ah, (Salemba Diniyah. 2003), hal. 3.
[29]  Ibid, hal. 61.
[30] Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-piutang, dan Gadai, Cet. Ke II,  (Bandung : Al- Ma’arif, 1983), hal. 50.

1 comment:

  1. deposit bos sudah kita proses ya bos.
    silahkan di cek kembali bos.
    terima kasih bos.
    jangan lupa ajak teman2nya main disini juga ya bosku :)

    ReplyDelete

ISI MAKALAH HUBUNGAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI KONVENSI WINA 1961

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Menurut Jan Osmanczyk, Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasionalyan...