Thursday, May 30, 2019

MAKALAH HUBUNGAN MOU DENGAN KPA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perjanjian Internasional adalah suatu ikatan hukum yang terjadi berdasarkan kata sepakat antara negara-negara sebagai anggota organisasi bangsa-bangsa dengan tujuan melaksanakan hukum tertentu yang mempunyai akibat hukum tertentu. Perjanjian internasional adalah hasil kesepakatan yang dibuat oleh subjek hukum internasional baik yang berbentuk bilateral, regional maupun multilateral [1]
Kerja sama antar negara saat ini sudah tidak dapat lagi dihindarkan. Bentuk kehidupan sangat kompleks sangat rentan untuk terjadi perselisihan. Untuk menghindari agar perselisihan tidak terjadi maka masyarakat internasional harus senantiasa bertumpu pada aturan atau norma, aturan tersebut tidak hanya dibuat untuk menghindari perselisihan, akan tetapi juga untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan antarnegara.perwujudan kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian [2]. Oleh karena itu perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional yang penting. Tidak semua perjanjian internasional bisa dapat menciptakan suatu aturan hukum internasional. [3] Ruang lingkup perjanjian internasional meliputi subjek yang luas seperti bidang ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, perdagangan, dan teknik. Dewasa ini terdapat berbagai ragam jenis perjanjian internasional yang meliputi extradisi, batas antar negara, soal - soal pengungsi, kebudayaan, persekutuan - persekutuan militer, hubungan - hubungan diplomatik dan konsuler, komunikasi dan transportasi, industri, perdagangan, serta bidang - bidang lainnya. [4]
Konvensi,conventie,convention termasuk juga salah satu istilah yang sudah umum digunakan dalam bahasa Indonesia untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional multilateral, baik yang diprakarsai oleh negara - negara maupun oleh lembaga atau organisasi internasional. Pada umumnya konvensi digunakan untuk perjanjian - perjanjian multilateral yang mengatur tentang masalah besar dan penting dan dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang dapat berlaku secara luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum.[5] Perselisihan - perselisihan yang berkenaan dengan perjanjian internasional seperti halnya perselisihan - perselisihan dalam bidang lain pada umumnya, seyogyanya diselesaikan secara damai sesuai dengan prinsip - prinsip keadilan dan hukum internasional.("Affirming that disputes concerning treaties, like other internasional disputes,should be settled by peaceful means and in conformity with the principles of justice and international law"). Dalam konsideransi ini terkandung suatu harapan supaya negara - negara berusaha menyelesaikan perselisihannya yang timbul dari suatu perjanjian internasional secara damai.
Dalam hukum internasional dikenal berbagai macam cara penyelesaian perselisihan secara damai, misalnya melalui perundingan langsung antara pihak yang bersengketa, dengan melalui peranan pihak ketiga, baik pihak ketiga itu sebagai pemberi jasa baik, sebagai perantara, maupun sebagi penengah. Selain itu ada pula penyelesaian secara damai melalui jalur lembaga peradilan atau lembaga penyelesaian sengketa yang lain berdasarkan hukum, seperti melalui arbitrase, melalui Mahkamah Internasiaonal maupun Mahkamah Regional. Upaya penyelesaian sengketa secara damai lainnya yang dapat ditempuh adalah melalui lembaga atau organisasi internasional dimana pihak - pihak yang bersengketa menjadi anggotanya. Adanya harapan dan himbauan  ini dilandasi oleh suatu anggapan bahwa betapapun besar dan rumitnya suatu sengketa, masih tetap lebih baik diselesaikan dengan cara damai. Penyelesaian sengketa secara damai memang sangat sedikit, bahkan tidak ada yang menimbulkan dampak negatif terhadap para pihak manapun, jika dibandingkan dengan penyelesaian dengan kekerasan senjata, seperti perang maupun bentuk konflik bersenjata lainnya.[6] Nota kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya, harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967 dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission). Prinsip-prinsip utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya. Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi, adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab hukum.[7]

B.   Rumusan Masalah
1.  Bagaimana Konvensi WINA 1969 dan UU No.24 tahun 2000 yang mengatur tentang perjanjian internasional ?
2.  Bagaimana Hubungan Kaitannya Mou dengan KPA ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Asas Mou Helsinki
Gerakan Aceh Merdeka bersama Pemerintah Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman damai di Helsinki, 15 Agustus 2005 lalu. Kesepakatan itu telah disepakati beberapa poin menyelesaikan konflik Aceh berkepanjangan. GAM dan RI bertekad untuk menciptakan kondisi bersama, sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui proses demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
MoU Helsinki memuat beberapa item kesepakatan, di antaranya bidang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, ekonomi, politik, HAM, peraturan perundang-undangan, amnesti, dan reintegrasi.
Untuk menyegarkan ingatan akan nota kesepahaman bersama antara RI dan GAM itu, wartawan mengutip kembali beberapa butir kesepakatan yang dituangkan dalam MoU Helsinki, seperti peraturan perundang-undangan.
Dalam poin ini, kedua belah pihak sepakat mengakui adanya pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif di Aceh. Selain itu, Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dalam poin peraturan perundang-undangan tersebut juga disepakati mengenai adanya suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.
Selanjutnya RI dan GAM juga sepakat mengangkat Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar nasional yang berlaku.
Poin peraturan perundang-undangan yang disetujui tersebut juga mengatur tentang semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh.
Selain itu MoU Helsinki juga mengatur tentang kepatuhan Pemerintah RI terhadap Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Perjanjian damai yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 15 Agustus 2005 lalu tersebut juga setuju adanya sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia yang akan dibentuk untuk Aceh serta adanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia. Komisi ini bertugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsilias

B.  Dasar Mula Adanya KPA
Namanya Muzakir Manaf, tapi orang Aceh biasa menyapa lelaki ini dengan sebutan Mualem. Pada masa perang Aceh dahulu, gelar Mualem disematkan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi tentang ilmu kemiliteran dan memiliki kemampuan untuk melatih pasukannya. Namun, sekarang sebutan itu menjadi sapaan kehormatan. Tak hanya bagi mantan Panglima Gearakan Aceh Merdeka (GAM) ini, sapaan kehormatan tersebut juga untuk mantan kombatan lainnya yang tersebar di provinsi paling barat Indonesia tersebut.
Pria kelahiran Seuneudon, Aceh Utara pada 1964 itu, kini menjabat sebagai wakil gubernur Aceh mendampingi Zaini Abdullah sebagai gubernur. 
Sebelumnya, kehidupan Muzakir selalu akrab dengan sejanta dan hutan. Setelah Abdullah Syafie wafat pada 22 Januari 2002, dia pun ditunjuk untuk menggantikannya menjadi  Panglima Gerakan Aceh Merdeka (2002-2005).  
Usai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki ditandangani pada 15 Agustus 2005, sayap militer GAM dibubarkan. Kemudian dibentuk KPA (Komite Peralihan Aceh) sebagai wadah transisi mantan kombatan GAM ke masyarakat sipil biasa. Sejak pertamakali dibentuk pada 2005 hingga sekarang, dia menjabat Ketua KPA.  Muzakir juga sekaligus menjabat Ketua Umum Partai Aceh, sejak 2007 hingga sekarang.
Meski saat ini telah terjun langsung dalam dunia politik, namun tidak seperti kebanyakan politisi lainnya. Muzakir Manaf dikenal sebagai sosok yang tak banyak bicara. Dirinya tidak ingin membuat masyarakat Aceh bingung. Jika bicara pun dia memilih hal yang pasti-pasti saja. Kini perjuangannya tidak lagi dengan senjata, melainkan perjuangan politik untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya. Sosok tangguh dan penuh optimisme itu, bertekat membangun Aceh untuk mengejar i ketertinggalan dari daerah lainnya di Indonesia. Dia pun mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut bersama-sama memajukan daerahnya. Bahkan, dia membuka tangannya untuk merangkul semuanya, tanpa  membeda-bedakan suku , agama, ras dan antargolongan yang ada di Aceh.

C.  Analisis Hubungan MOU dengan KPA
Peranan perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional semakin bertambah penting maupun sebagai sarana untuk mengembangkan kerjasama internasional secara damai antara bangsa - bangsa, bagaimanapun sistem ketatanegaraan dan sistem sosial budaya masing - masing konsideransi ini disamping menggambarkan fakta mengenai peranan perjanjian internasional juga mengandung suatu pandangan ke depan yang sekaligus juga merupakan suatu pengakuan mengenai peranan dan arti pentingnya perjanjian internasional. Bahwa perbedaan sistem soaial budaya, ketatanegaraan, maupun perbedaan - perbedaan lainnya, bukanlah faktor penghalang bagi negara - negara untuk mengadakan perjanjian - perjanjian internasional.[8]
Pada bagian ke 3(part III) Konvensi WINA tahun 1969 berkenaan dengan penghormatan, penerapan, dan penafsiran internasional ( observance, application, and intepretation of treaties), terdiri dari 4 seksi dan 12 pasal yaitu pasal 26 sampai dengan 38. Seksi 1 terdiri dari pasal 26 dan 27. Pasal 26 menegaskan asas pacta sunt servanda, bahwa setiap perjanjian yang telah memiliki kekuatan mengikat terhadap para pihak, maka para pihak yang bersangkutan harus menghormati perjanjian itu dengan penuh itikad baik. Pasal 27 menegaskan, bahwa hukum nasional (internal law) tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan kegagalannya menaati perjanjian.
Seksi 2 tentang penerapan suatu perjanjian internasional (application of treaties) terdiri dari pasal 28,29, dan 30. Pasal 28 menegaskan tentang tidak berlaku surutnya suatu perjanjian internasional, kecuali para pihak bermaksud menentukan sebaliknya atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri bahwa perjanjian itu berlaku surut. Pasal 29 menegaskan tentang ruang lingkup wilayah dari berlakunya suatu perjanjian internasional, dengan menyatakan bahwa suatu perjanjian internasional berlaku di dalam seluruh wilayah para pihak, kecuali ditentuka sebaliknya oleh para pihak atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri.
Berkenaan dengan hubungan antara penjanjian dengan pihak ketiga, terdiri dari lima pasal yaitu pasal 34 sampai dengan 38. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa suatu perjanjian internasional tadak menciptakan hak maupun kewajiban bagi pihak ketiga tanpa persetujuan dari pihak ketiga yang bersangkutan. Pasal 35 ayat 1 dan 2 maupun pasal 36 ayat 1 dan 2, masing - masing mengatur tentang perjanjian yang menetapkan kewajiban bagi pihak ketiga dan perjanjian yang menetapkan hak bagi pihak ketiga. Selanjutnya dalam pasal 37 diatur tentang penarikan kembali dan pengubahan atas kewajiban - kewajiban maupun hak - hak yang ditetapkan bagi pihak ketiga tersebut. Sedangkan dalam pasal 38 diatur tentang ketentuan dalam suatu perjanjian internasional yang menjadi mengikat ihak ketiga melalui kebiasaan internasional.
Berkenaan dengan konsekuensi atau akibat dari ketidaksahan, pengakhiran, atau penundaan dari berlakunya suatu perjanjian internasional, yang semuanya terdiri dari 4 pasal yaitu dari pasal 69-72. Pasal 69 mengatur tentang akibat hukum dari pengakhiran suatu perjanjian internasional, pasal 71 berkenaan dengan ketidaksahan suatu perjanjian internasional yang bertentangan dengan kaidah hukum yang tergolong jus cogens dan pasal 72 mengatur tentang akibat hukum dari penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional.[9]  
Dan dalam UU No 24 tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 1 yaitu perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yangdiatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Dan dalam pembuatan perjanjian internasional juga harus memperhatikan kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internsional yang berlaku.dan dalam pemnbuatan perjanjian internasional harus berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Di dalam pasal 18 UU No 24 tahun 2000 dijelaskan  bahwa pengakhiran perjanjian internasional itu ada beberapa syarat yaitu :
a.       terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b.      tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c.       terdapat perubahan mendasar yang menpengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d.      salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e.       dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f.       muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
g.      objek perjanjian hilang;
h.      terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.[10]

Pro-kontra disekitar materi kesepakatan MoU antara GAM dengan RI, 15 Agustus di Helsinki masih tetap bergulir. Ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah dengan DPR jelas tidak dapat disembunyikan. Fraksi PDIP bersikukuh menuduh bahwa penandatanganan MoU tersebut telah melanggar konstitusi.
Butir-butir kesepakatan antara lain bendera dan hymne sebagai symbol cultural Aceh, partai local, dan sistem pemerintahan Aceh diklaim sebagai bukti pelanggaran tersebut. Tidak kalah agresif, Amin Rais menuding bahwa pemerintah yang melakukan penandatanganan MoU di Helsinki, tanpa ada kesepakatan dengan DPR/MPR, diibaratkan tindakan pukul dahulu urusan kemudian, sebagai pertanda kekalahan pemerintah RI terhadap GAM.
Dalam konteks penandatanganan MoU antara GAM dengan RI, sejak awal harus disasari bahwa pemerintah dan DPR tidak pernah ada kesamaan persepsi. Keanekaragaman persepsi telah menimbulkan implikasi dilematis, sejak setelah MoU tersebut ditandatangani.
Kenyataan bahwa penolakan penyelesaian damai secara internasional (internationalization) telah ditentang oleh banyak pihak, terbukti tidak menyurutkan usaha Management Crisis Center, Mantan Presiden Findlandia, Ahtisari pada akhirnya tidak dapat ditolak. Namun, perlu kita ketahui mengapa internasionalisasi itu ditolak. Hal ini terkait dalam Pemerintah Indonesia umumnya menganggap bahwa GAM itu bukan subjek hukum internasional. Sehingga menjadi tidak pantas jika kedudukan GAM dengan RI menjadi sejajar. Pandangan sepihak inilah yang menimbulkan dari sikap ignorance, pemerintah terhadap hukum internasional. Padahal dalam perspektif hukum internasional teori kedaulatan Negara telah berubah begitu substansial. Kekuatan global termasuk Civil-Society, tidak lagi dapat dipisahkan secara hitam putih sehingga factor lain itupun turut menentukan.
Misalnya apakah masih relevan bilamana GAM dipandang sebagai separatis atau musuh Negara. Tentu saja tidak demikian. Sebab, ketika nilai-nilai HAM diterima sebagai prinsip yang dapat membimbing kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka GAM mestinya harus diakui sebagai entitas politik yang diakui kedudukannya sebagai subjek hukum internasional. Atas dasar pengakuan tersebut, jika tidak pemerintah RI ketika itu menerima konsep GAM itu sebagai kelompok belligerensi atau insergency. Sungguh tidaklah akan menurunkan martabat RI ataukah juga mengangkat martabat GAM.
Dari praktek penandatanganan MoU antara GAM dengan RI di Helsinki tersebut, bukan saja pandangan terhadap GAM itu bukan subjek HI tidak relevan, juga telah menunjukkan bahwa pada penyelesaian sengketa dalam negeri melalui mekanisme internasional kali ini cukup berhasil dan efektif. Efektif hasil perundingan MoU Helsinki didukung oleh beberapa faktor. Pertama, faktor kemauan politik (Political Will) dari Pimpinan Nasional. Meskipun dalam parktek prosedural negoisasi itu diragukan mengingat perundingan tersebut tidak dilakukan oleh Presiden. Namun, mengingat sistem pemerintahan Indonesia Presidensil, maka perbuatan Wakil Presiden sebenarnya juga mewakili Presiden. Soal mengapa tidak Menteri Luar Negeri sebagai pelaku yang menandatangani memang agak menyamping di luar kelaziman, sekaligus merupakan ruang yang lemah. Sebab, mekanisme lobi negosiasi termasuk delegasi untuk perjanjian bilateral secara umum, Menlu memilki surat kepercayaan penuh dari kepala Negara Letters of Credence. Bagaimana peran Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Komunikasi dan Informasi memiliki mandat ini tentang praktek yang sungguh baru. Fakta, dimana Menteri Hukum dan HAM tersebut dalam negoisasi ini mengundang ruang yang sensitif, terutama bilamana ada pihak-pihak yang tidak mau patuh pada MoU tersebut. Tokoh Yusuf Kalla dan Hamid Awaludin adalah legendaris era reformasi dalam memediasi konflik di Poso dan Ambon adalah modal yang tidak disanksikan ketegasan mereka untuk tetap mempertahankan NKRI sebagai sesuatu yang final adalah patut dibanggakan.
Kedua, kesadaran masyarakat Eropa yang terdiri AMM, Monitoring Mission mendorong tokoh-tokoh GAM yang ada di Eropa turut peduli mendukung perdamaian. Tokoh Hasan Tiro, Malik Mahmood, Dr. Dahlan Zaeni, dan tokoh lainnya tidak menentangnya. Kedudukan Mantan Presiden Ahtisari, menanamkan peranan kharismatik. Sehingga modal utama keberhasilan perundingan adalah terletak pada full frast. Kepercayaan penuh diberikan untuk GAM maupun RI. Menumbuhkan modal kepercayaan  ini sungguh tidak mudah. Sehingga kesepakatan yang dibuat itupun menjadi kuat, ketika AMM juga turut mengawasi proses negosiasi dan juga realisasi teknis di lapangan.
Kondisi psikologis lapangan, yakni Aceh yang baru saja didera bencana Tsunami merambat masyarakat Eropa dan Barat menaruh perhatian dan iba hati. No more War, let the People of Aceh line in Peace.
Ketiga, masyarakat Aceh tanpa disanksikan i’tikad mereka akan kebutuhan hidup yang damai. Secara seremonial berbagai acara telah diselenggarakan dalam menyambut perdamaian abadi tanpa ragu dengan NKRI. Situasi ini sungguh menjadi lebih kuat, ketika hampir seluruh masyarakat Indonesia Aceh  penghuni NKRI abadi. No more War, No Redemption, No Violance.
Dengan demikian, penandatanganan MoU antar GAM dengan NKRI 15 Agustus di Helsinki adalah fakta sejaah berakhirnya permusuhan kekerasan, pertumpahan darah dan perang. Lebih berat beban setelah peristiwa penandatanganan MoU adalah menerapkan, memelihara dan mempertahankannya kesepakatan-kesepakatan tersebut dalam perilaku kehidupan sehari-hari yang lebih tertib, aman, sejahtera, adil dan makmur dalam NKRI.
Penolakan sebagaian elit politik nasional terhadap penandatanganan MoU Helsinki 15 Agustus 2005 antara GAM dengan tim NKRI mengisyaratkan adanya cacat hukum, invaliditas perundingan tersebut. Meskipun, pada akhirnya DPR menyetujui MoU, termasuk Keppres Presiden tentang Amnesti di abolisi atas mantan GAM, fraksi PDIP bersikukuh bahwa penandatanganan MoU tersebut melanggar UUD 1945 dan sejumlah undang-undang lainnya.
Tak kalah seru, Amin Rais sebagai tokoh PAN di Muhammadiyah menuding bahwa penandatanganan MoU tanpa persetujuan DPR/MPR manandakan kekalahan pemerintah RI. Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu, yang diusung oleh Abdurrahman Wahid , Try Sutrisno, Akbar Tanjung, Taufiq Kiemas, Norman Siregar dan Muhaemin Iskandar juga menolak MoU tersebut. Argumentasi mereka selain MoU tersebut melanggar UUD 1945 dan sejumlah UU yang lain, juga cenderung mengarah pada lakernya negara berbentuk Federalistik. Ketentuan Bendera, Hymne, Partai Lokal, dan Sistem pemerintahan adalah indikator yang dipandang menyimpang.
Terhadap pandangan negatif elit-elit politik tersebut, tampaknya pemerintah, khususnya Yusuf Kalla dengan Hamid Awaludin, MenKumdam tidaklah terlalu peduli. Bahkan Presiden SBY berkali-kali menegaskan, bahwa penandatanganan MoU oleh wakil GAM dan NKRI perlu dipegang teguh dalam rangka membangun Aceh.
Eksistensi MoU  yang sedang diimplementasikan tersebut, memang sudah final sejak terjadinya penadatanganan. Namun, suara-suara elit politik yang tidak setuju akan tetap berpengaruh negatif dalam proses realisasinya. Tulisan ini dikemukakan dalam upaya menjelaskan alasan mengapa validitas MoU dipertanyakan. Kemudian berikutnya, bagaimana bangsa Indonesia seharusnya menyikapi hsil-hasil perundingan tersebut secara gentlement agreement dan penuh kearifan.
Nota kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya, harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967 dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission).
Prinsip-prinsip utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya. Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi, adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab hukum pula.
Bagaimana kaitannya dengan kasus penandatanganan MoU antara GAM dengan NKRI. Secara jujur, sejak inisiatif perundingan yang oleh Presiden Gus Dur tahun 2001 di Davos, Swedia, dan dilanjutkan dengan DOHA di Tokyo 2003, pemerintah khususnya Departemen Luar Negeri bersikap ambigu atau tidak tegas. Sikap ambigu inilah yang menyisakan problematika lanjut atas lahirnya kesepakatan-kesepakatan MoU Helsinki. Pandangan yang menempatkan GAM bukan subjek hukum internasional, dan lebih mengakui GAM sebagai kelompok separatis. Kelompok separatis dalam khazanah ilmu politik adalah musuh negara berdaulat yang wajib dihancurkan. Dibalik pemikiran inilah penggunaan kekerasan mendapatkan pembenaran. Tentu saja, perilaku negeri seperti itu, bertentangan dengan nilai-nilai HAM.
Dapat dimaklumi mengapa pemerintah tidak setuju melaksanakan perjanjian dengan perangkat internasional. GAM buka sebjek HI, melainkan kelompok masyarakat sebangsa. Sepertinya, jika GAM dilakukan sebagai subjek HI, seakan-akan pemerintah Indonesia akan jatuh martabatnya. Dan dipihak lain GAM meningkat derajatnya. Atas dasar pemikiran inilah, sikap tidak tegas pemerintah Indonesia terhadap GAM dengan jelas terbaca. Keengganan sebagai masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan kasus GAM dan NKRI juga didasarkan oleh persepsi tersebut.[11]
Menurut hukum internasional dalam keadaan tertentu pihak yang berperang/pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa. Keadaan tertentu itu ditentukan oleh pengakuan pihak ketiga bagi pemberontak/pihak yang berperang.[12]





BAB III
KESIMPULAN

Konvensi WINA tahun 1969 mengatur tentang perjanjian internasional. Hal itu tertuang dalam 4 seksi dan 12 pasal yang ada di dalamnya, yaitu pasal 26 sampai 38. Seksi 1 terdiri dari pasal 26 dan 27. Pasal 26 menegaskan asas pacta sunt servanda, bahwa setiap perjanjian yang telah memiliki kekuatan mengikat terhadap para pihak, maka para pihak yang bersangkutan harus menghormati perjanjian itu dengan penuh itikad baik. Pasal 27 menegaskan, bahwa hukum nasional (internal law) tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan kegagalannya menaati perjanjian.
Seksi 2 tentang penerapan suatu perjanjian internasional (application of treaties) terdiri dari pasal 28,29, dan 30. Pasal 28 menegaskan tentang tidak berlaku surutnya suatu perjanjian internasional, kecuali para pihak bermaksud menentukan sebaliknya atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri bahwa perjanjian itu berlaku surut. Pasal 29 menegaskan tentang ruang lingkup wilayah dari berlakunya suatu perjanjian internasional, dengan menyatakan bahwa suatu perjanjian internasional berlaku di dalam seluruh wilayah para pihak, kecuali ditentukan sebaliknya oleh para pihak atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri.
Berkenaan dengan hubungan antara penjanjian dengan pihak ketiga, terdiri dari lima pasal yaitu pasal 34 sampai dengan 38. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa suatu perjanjian internasional tidak menciptakan hak maupun kewajiban bagi pihak ketiga tanpa persetujuan dari pihak ketiga yang bersangkutan. Pasal 35 ayat 1 dan 2 maupun pasal 36 ayat 1 dan 2, masing - masing mengatur tentang perjanjian yang menetapkan kewajiban bagi pihak ketiga dan perjanjian yang menetapkan hak bagi pihak ketiga. Selanjutnya dalam pasal 37 diatur tentang penarikan kembali dan pengubahan atas kewajiban - kewajiban maupun hak - hak yang ditetapkan bagi pihak ketiga tersebut. Sedangkan dalam pasal 38 diatur tentang ketentuan dalam suatu perjanjian internasional yang menjadi mengikat pihak ketiga melalui kebiasaan internasional.
Dalam UU No 24 tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 1 yaitu perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Dalam pembuatan perjanjian internasional juga harus memperhatikan kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internsional yang berlaku.dan dalam pemnbuatan perjanjian internasional harus berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Nota kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya, harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967 dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission).
Prinsip-prinsip utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya. Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi, adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab hukum pula.











DAFTAR PUSTAKA

Chairul Anwar SH;1989; Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa - Bangsa; Djambatan ; Jakarta.
I Wayan Parthiana SH.MH; 2005; Perjanjian Internasional Bagian 1; Mandar Maju; Bandung
Jawahir Thontowi SH., Ph.D; Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Sri Setianingsih Suwardi SH;1986; Intisari Hukum Internasional Publik;Alumni;Bandung.
http://nzhafira.wordpress.com/2012/03/14/perjanjian-internasional/
http://www.omrudi.info/2011/01/makalah-perjanjian-internasional.html

No comments:

Post a Comment

ISI MAKALAH HUBUNGAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI KONVENSI WINA 1961

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Menurut Jan Osmanczyk, Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasionalyan...