Saturday, October 14, 2017

Kedudukan PNS adalah “NETRAL” Terhadap Partai Politik

“Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.”
Demikian penggalan Penjelasan UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara diawali dengan dasar politik (keinginan) hukum negara terhadap cita-cita bangsa atas aparaturnya yaitu PNS dan saat ini bernama  ASN. Penjelasan ini menjadi dasar filosofi sekaligus yuridis terhadap keberadaan ASN sebagaimana diatur dalam UU tersebut.
Penjelasan Pasal 2 Huruf f juga menyatakan “Yang dimaksud dengan “asas netralitas” adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
PNS yang merupakan ASN selain TNI dan POLRI merupakan “Abdi Negara” yang harus tunduk kepada seluruh peraturan-perundangan yang berlaku. Pengabdian PNS ini didasarkan kepada kepentingan konstitusi sebagai cita-cita rakyat dalam bernegara yang telah dimanifestasikan kedalam UUD NRI 1945  dan UU dibawahnya yang juga merupakan penjabaran dari konstitusi. Oleh sebab itu, PNS meng”abdi”kan dirinya untuk negara karena negara adalah wujud dari kehendak rakyat. Dengan kesadaran tersebut maka  PNS secara tidak langsung juga merupakan abdi rakyat. Realita dalam alam pikir masyarakat Indonesia, PNS merupakan warga negara yang ditokohkan oleh masyarakat sekitar tempatnya bermukim sehingga kodisi ini sangat berpotensi untuk menggiring suara rakyat pada kepentingan golongan tertentu. Mengingat hal itu, sehingga netralitas PNS dalam PEMILU merupakan sorotan utama dalam kacamata reformasi birokrasi.
Melalui sikap patuh terhadap UU, PNS harus menjadi pelaksana kehendak rakyat yang dilayaninya sehingga tujuan kerja PNS adalah menyenangkan rakyat melalui program-program pemerintah yang diharapkan akan  membawa bangsa ini menuju titik terdekat tujuan bersama sebagaimana amanat pembukaan UUD NRI 1945, dan sebaliknya tidak terjebak dalam politik praktis.
UU ASN juga secara tegas mengatur pengekangan terhadap naluri PNS dalam berpolitik serta afiliasi kepada pihak-pihak yang berpolitik. Ini adalah keinginan rakyat  atas nama reformasi untuk mengembalikan fungsi aparaturnya kepada posisi yang seharusnya. UU ASN 2014 mengaturnya dengan jelas sebagaimana Pasal 9 yang berbunyi :
(2) Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Larangan bagi PNS untuk berkampanye!
UU No. 24 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden memberikan pengertian dasar mengenai segala ikwal tentang kampanye. Menurut pengertian pada pasal 1 ayat 22,  “Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, selanjutnya disebut Kampanye, adalah kegiatan untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Pasangan Calon.”
Meskipun kampanye dilaksanakan oleh para calon presiden dan wapres serta tim sukses atau afiliasi partai, namun ikut menyebarkan hal tersebut juga dapat dikategorikan sebagai perluasan makna kampanye sebagaimana diatur dalam norma Pasal 47 sebagai berikut :
(1) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan Kampanye dapat dilakukan melalui media massa cetak dan lembaga penyiaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemberitaan, penyiaran, dan iklan Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka penyampaian pesan Kampanye oleh Pasangan Calon kepada masyarakat.
(3) Pesan Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, atau suara dan gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan.
Berangkat dari hal-hal itu, UU Pilpres 2008 ini mengharamkan bagi PNS untuk terlibat dalam kegiatan kampanye kecuali sebagai peserta “diam-diam” atau tersembunyi demi menjaga netralitas sebagaimana norma dalam Pasal 41:
(2) Pelaksana Kampanye dalam kegiatan Kampanye dilarang mengikutsertakan:
e. pegawai negeri sipil;
(3) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf i dilarang ikut serta sebagai pelaksana Kampanye.
(4) Sebagai peserta Kampanye, pegawai negeri sipil dilarang menggunakan atribut Partai Politik, Pasangan Calon, atau atribut pegawai negeri sipil.
Selanjutnya kekangan naluri juga diterapkan dalam situasi bukan kampanye yang berakibat semakin mengecilkan ruang gerak partisipasi politik para PNS dalam berpesta demokrasi. Pasal 44 yang menyatakan bahwa :
(1) Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta pegawai negeri lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Pasangan Calon yang menjadi peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada pegawai negeri dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
seakan-akan semakin mereduksi hasrat politik para PNS.
Sungguh malang nasib para PNS dalam berpesta politik. Satu-satunya hak yang “belum” dicabut adalah hak untuk memilih. Benarkah demikian?

Ancaman bagi warga negara “malang”
UU Pilpres 2008 sangat tegas membatasi hak para PNS dengan menerapkan larangan bagi PNS. Tidak cukup sampai disitu, UU ini juga melengkapi “pergumulan” para PNS dengan ancamannya pada Pasal 211 “Setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon atau Pasangan Calon dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah),”
dan Pasal 218 “Setiap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, dan perangkat desa, dan anggota badan permusyaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3), dan ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Hak konstitusi PNS
Hak konstitusi adalah hak dasar warga negara yang dilindungi oleh UUD NRI 1945. Konstitusi ini merupakan kontrak sosial antara rakyat dan negara supaya negara menjamin pelaksanaannya. Sebagai salah satu hak azasi, negara menjamin kebebasan warga negara sebagaimana dalam Pasal 28E yang berbunyi :
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Namun sayangnya kebebasan itu hanya untuk warga negara biasa dan PNS tidak termasuk didalam kategori tersebut. Karena dalam UUD juga mengatur pembatasan hak konstitusi dalam hal-hal tertentu yang diatur dalam UU seperti UU Pilpres 2008 sebagai contoh.
Didalam Pasal 28J UUD NRI 1945, konstitusi mengatur bahwa :
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
PNS dianggap warga negara khusus karena sebagai abdi negara yang memiliki dua tuan yaitu Presiden sebagai Kepala Negara serta pemerintahan dan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan. PNS harus tunduk dan menundukkan diri kepada konstitusi dan UU yang berlaku dibawahnya.
Konstitusi adalah hukum tertinggi, hukum adalah hukum selama masih berlaku. Disamping sebagai tatanan sosial untuk hidup bersama, hukum juga berlaku sebagai alat untuk merubah perilaku masyarakat sebagaimana teori Roscoe Pound yang terkenal Law as a tool of social engineering.
Suka atau tidak hukum berjalan pada relnya, menarik gerbong masyarakat menuju tujuan politik hukum yaitu kehendak rakyat.
Orang papua tidak senang daerahnya disebut Irian, tetapi sebutan itu tetap digunakan sampai hukum menyatakan frasa Papua.
Keturunan cina di Indonesia kedepan tidak lagi disebut cina karena hukum telah menyebutnya tionghoa.
Sebutan garpu bagi orang manado adalah for’k namun sekarang sudah banyak ditinggalkan karena hukum bahasa menetapkan istilah garpu sebagai lazim.
Andaikan hari  ini motor roda dua diberi nama honda oleh hukum maka berbahagialah penduduk jawa pedalaman yang dulu punya sebutan itu untuk sepeda motor.
Hukum di Indonesia menganut asas Lex specialis derogate legi generali(Peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum), karena itu, hak mengeluarkan pendapat PNS dalam politik telah dikekang oleh UU Pilpres 2008. Benarkah?
Antara kritik dan kampanye
Apabila hak politik PNS dikekang, apakah inklud didalamnya sikap kritis dan mengkritisi?
Kritikan adalah hal yang sangat berbeda dengan kampanye.
Kampanye perorangan pada dasarnya adalah tindakan yang menunjukkan dukungan (simpati, empati) terhadap pasangan calon Presiden dan Wapres dengan cara menyatakannya secara langsung dan atau terbuka dihadapan masyarakat disertai  pemaparan akan kelebihan calon tersebut dengan harapan bahwa tindakan tersebut akan mendapat perhatian serta dukungan dari masyarakat sehingga menjatuhkan keputusan untuk memilih calon yang diusung.
Sedangkan kritikan adalah bentuk kecaman atau tanggapan terhadap visi, misi, program, sikap, pendapat dan pernyataan dari calon tertentu dan atau pendukungnya guna mengingatkan perbedaan pandangan disertai alasan serta segala pertentangan yang mendasarinya dengan harapan untuk mendapat perhatian dari sang calon yang nantinya dapat digunakan sebagai disenting opinion untuk memperbaiki kekeliruan atau justru memperkuat posisi pasangan calon yang dikritik.
Kampanye adalah tindakan yang dilarang bagi PNS sesuai UU Pilpres 2008 sedangkan menyatakan pendapat termasuk kritikan dilindungi oleh UUD NRI 1945 Pasal 28E.
Akhirnya, menurut penulis “kampanye cenderung mendorong para simpatisan untuk bersikap fanatisme buta terhadap idolanya” sedangkan “kritikan cenderung membawa masyarakat untuk lebih cerdas dalam memilih”.
Bagi para PNS, saya ucapkan selamat menikmati masa pesta demokrasi! ..... namun waspadalah karena banyak kamera dan screenshot usil mengawasi anda... jadi berhati-hatilah terhadap niat jahat si usil !
Ayo mencerdaskan lewat kritikan...
Salam Damai Indonesia!


No comments:

Post a Comment

ISI MAKALAH HUBUNGAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI KONVENSI WINA 1961

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Menurut Jan Osmanczyk, Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasionalyan...