“Dalam rangka mencapai tujuan
nasional sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), diperlukan ASN yang
profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat
dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tujuan nasional seperti tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam upaya menjaga netralitas
ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan
persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga
pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus
partai politik.”
Demikian penggalan Penjelasan UU
No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara diawali dengan dasar politik
(keinginan) hukum negara terhadap cita-cita bangsa atas aparaturnya yaitu PNS
dan saat ini bernama ASN. Penjelasan ini menjadi dasar filosofi sekaligus
yuridis terhadap keberadaan ASN sebagaimana diatur dalam UU tersebut.
Penjelasan Pasal 2 Huruf f juga
menyatakan “Yang dimaksud dengan “asas netralitas” adalah bahwa setiap
Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak
memihak kepada kepentingan siapapun.
PNS yang merupakan ASN selain
TNI dan POLRI merupakan “Abdi Negara” yang harus tunduk kepada seluruh
peraturan-perundangan yang berlaku. Pengabdian PNS ini didasarkan kepada
kepentingan konstitusi sebagai cita-cita rakyat dalam bernegara yang telah
dimanifestasikan kedalam UUD NRI 1945 dan UU dibawahnya yang juga
merupakan penjabaran dari konstitusi. Oleh sebab itu, PNS meng”abdi”kan dirinya
untuk negara karena negara adalah wujud dari kehendak rakyat. Dengan kesadaran
tersebut maka PNS secara tidak langsung juga merupakan abdi rakyat.
Realita dalam alam pikir masyarakat Indonesia, PNS merupakan warga negara yang
ditokohkan oleh masyarakat sekitar tempatnya bermukim sehingga kodisi ini sangat
berpotensi untuk menggiring suara rakyat pada kepentingan golongan tertentu.
Mengingat hal itu, sehingga netralitas PNS dalam PEMILU merupakan sorotan utama
dalam kacamata reformasi birokrasi.
Melalui sikap patuh terhadap UU,
PNS harus menjadi pelaksana kehendak rakyat yang dilayaninya sehingga tujuan
kerja PNS adalah menyenangkan rakyat melalui program-program pemerintah yang
diharapkan akan membawa bangsa ini menuju titik terdekat tujuan bersama
sebagaimana amanat pembukaan UUD NRI 1945, dan sebaliknya tidak terjebak dalam
politik praktis.
UU ASN juga secara tegas
mengatur pengekangan terhadap naluri PNS dalam berpolitik serta afiliasi kepada
pihak-pihak yang berpolitik. Ini adalah keinginan rakyat atas nama
reformasi untuk mengembalikan fungsi aparaturnya kepada posisi yang seharusnya.
UU ASN 2014 mengaturnya dengan jelas sebagaimana Pasal 9 yang berbunyi :
(2) Pegawai ASN harus bebas
dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Larangan bagi PNS untuk
berkampanye!
UU No. 24 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden memberikan pengertian dasar mengenai
segala ikwal tentang kampanye. Menurut pengertian pada pasal 1 ayat 22,
“Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, selanjutnya disebut
Kampanye, adalah kegiatan untuk meyakinkan para Pemilih dengan menawarkan visi,
misi, dan program Pasangan Calon.”
Meskipun kampanye dilaksanakan
oleh para calon presiden dan wapres serta tim sukses atau afiliasi partai,
namun ikut menyebarkan hal tersebut juga dapat dikategorikan sebagai perluasan
makna kampanye sebagaimana diatur dalam norma Pasal 47 sebagai berikut :
(1) Pemberitaan, penyiaran, dan
iklan Kampanye dapat dilakukan melalui media massa cetak dan lembaga penyiaran
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemberitaan, penyiaran, dan
iklan Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka
penyampaian pesan Kampanye oleh Pasangan Calon kepada masyarakat.
(3) Pesan Kampanye sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat berupa tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar,
atau suara dan gambar, yang bersifat naratif, grafis, karakter, interaktif atau
tidak interaktif, serta yang dapat diterima melalui perangkat penerima pesan.
Berangkat dari hal-hal itu, UU
Pilpres 2008 ini mengharamkan bagi PNS untuk terlibat dalam kegiatan kampanye
kecuali sebagai peserta “diam-diam” atau tersembunyi demi menjaga netralitas
sebagaimana norma dalam Pasal 41:
(2) Pelaksana Kampanye dalam
kegiatan Kampanye dilarang mengikutsertakan:
e. pegawai negeri sipil;
(3) Setiap orang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf i dilarang ikut serta
sebagai pelaksana Kampanye.
(4) Sebagai peserta Kampanye,
pegawai negeri sipil dilarang menggunakan atribut Partai Politik, Pasangan
Calon, atau atribut pegawai negeri sipil.
Selanjutnya kekangan naluri juga
diterapkan dalam situasi bukan kampanye yang berakibat semakin mengecilkan
ruang gerak partisipasi politik para PNS dalam berpesta demokrasi. Pasal 44
yang menyatakan bahwa :
(1) Pejabat negara, pejabat
struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta pegawai negeri
lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
Pasangan Calon yang menjadi peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebelum,
selama, dan sesudah masa Kampanye.
(2) Larangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau
pemberian barang kepada pegawai negeri dalam lingkungan unit kerjanya, anggota
keluarga, dan masyarakat.
seakan-akan semakin mereduksi
hasrat politik para PNS.
Sungguh malang nasib para PNS
dalam berpesta politik. Satu-satunya hak yang “belum” dicabut adalah hak untuk
memilih. Benarkah demikian?
Ancaman bagi warga
negara “malang”
UU Pilpres 2008 sangat tegas
membatasi hak para PNS dengan menerapkan larangan bagi PNS. Tidak cukup sampai
disitu, UU ini juga melengkapi “pergumulan” para PNS dengan ancamannya pada
Pasal 211 “Setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan
dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon atau
Pasangan Calon dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda
paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah),”
dan Pasal 218 “Setiap
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, kepala desa, dan perangkat desa, dan anggota badan
permusyaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (3), dan ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah).”
Hak konstitusi PNS
Hak konstitusi adalah hak dasar
warga negara yang dilindungi oleh UUD NRI 1945. Konstitusi ini merupakan
kontrak sosial antara rakyat dan negara supaya negara menjamin pelaksanaannya.
Sebagai salah satu hak azasi, negara menjamin kebebasan warga negara
sebagaimana dalam Pasal 28E yang berbunyi :
(3) Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Namun sayangnya kebebasan itu
hanya untuk warga negara biasa dan PNS tidak termasuk didalam kategori
tersebut. Karena dalam UUD juga mengatur pembatasan hak konstitusi dalam
hal-hal tertentu yang diatur dalam UU seperti UU Pilpres 2008 sebagai contoh.
Didalam Pasal 28J
UUD NRI 1945, konstitusi mengatur bahwa :
(2) Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
PNS dianggap warga negara khusus
karena sebagai abdi negara yang memiliki dua tuan yaitu Presiden sebagai Kepala
Negara serta pemerintahan dan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan. PNS harus
tunduk dan menundukkan diri kepada konstitusi dan UU yang berlaku dibawahnya.
Konstitusi adalah hukum
tertinggi, hukum adalah hukum selama masih berlaku. Disamping sebagai tatanan
sosial untuk hidup bersama, hukum juga berlaku sebagai alat untuk merubah
perilaku masyarakat sebagaimana teori Roscoe Pound yang terkenal Law as a
tool of social engineering.
Suka atau tidak hukum berjalan
pada relnya, menarik gerbong masyarakat menuju tujuan politik hukum yaitu
kehendak rakyat.
Orang papua tidak senang daerahnya
disebut Irian, tetapi sebutan itu tetap digunakan sampai hukum menyatakan frasa
Papua.
Keturunan cina di Indonesia
kedepan tidak lagi disebut cina karena hukum telah menyebutnya tionghoa.
Sebutan garpu bagi orang manado
adalah for’k namun sekarang sudah banyak ditinggalkan karena hukum
bahasa menetapkan istilah garpu sebagai lazim.
Andaikan hari ini motor
roda dua diberi nama honda oleh hukum maka berbahagialah penduduk jawa
pedalaman yang dulu punya sebutan itu untuk sepeda motor.
Hukum di Indonesia menganut asas
Lex specialis derogate legi generali(Peraturan yang lebih khusus
mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum), karena itu, hak
mengeluarkan pendapat PNS dalam politik telah dikekang oleh UU Pilpres 2008.
Benarkah?
Antara kritik dan
kampanye
Apabila hak politik PNS
dikekang, apakah inklud didalamnya sikap kritis dan mengkritisi?
Kritikan adalah hal yang sangat
berbeda dengan kampanye.
Kampanye perorangan pada
dasarnya adalah tindakan yang menunjukkan dukungan (simpati, empati) terhadap
pasangan calon Presiden dan Wapres dengan cara menyatakannya secara langsung
dan atau terbuka dihadapan masyarakat disertai pemaparan akan kelebihan
calon tersebut dengan harapan bahwa tindakan tersebut akan mendapat perhatian
serta dukungan dari masyarakat sehingga menjatuhkan keputusan untuk memilih
calon yang diusung.
Sedangkan kritikan adalah bentuk
kecaman atau tanggapan terhadap visi, misi, program, sikap, pendapat dan
pernyataan dari calon tertentu dan atau pendukungnya guna mengingatkan perbedaan
pandangan disertai alasan serta segala pertentangan yang mendasarinya dengan
harapan untuk mendapat perhatian dari sang calon yang nantinya dapat digunakan
sebagai disenting opinion untuk memperbaiki kekeliruan atau justru
memperkuat posisi pasangan calon yang dikritik.
Kampanye adalah tindakan yang
dilarang bagi PNS sesuai UU Pilpres 2008 sedangkan menyatakan pendapat termasuk
kritikan dilindungi oleh UUD NRI 1945 Pasal 28E.
Akhirnya, menurut penulis
“kampanye cenderung mendorong para simpatisan untuk bersikap fanatisme buta
terhadap idolanya” sedangkan “kritikan cenderung membawa masyarakat untuk lebih
cerdas dalam memilih”.
Bagi para PNS, saya ucapkan
selamat menikmati masa pesta demokrasi! ..... namun waspadalah karena banyak
kamera dan screenshot usil mengawasi anda... jadi berhati-hatilah terhadap niat
jahat si usil !
Ayo mencerdaskan lewat
kritikan...
Salam Damai Indonesia!
No comments:
Post a Comment