Oleh: Jon Efendy Purba, S.Pd, SH
I.
PENDAHULUAN
Tajuk
makalah ini erat kaitannya dengan Putusan yang merupakan salah satu produk
Hakim, untuk itu sebelum membahas pokok masalah tersebut akan dikemukakan
terlebih dahulu mengenai beberapa produk Hakim.
Produk Hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 (tiga) macam,
yaitu:
1) Putusan
2) Penetapan
3)
Akta perdamaian
Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai
hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
Penetapan ialah juga pernyataan Hakim yang dituangkan dalam
bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka bentuk umum,
sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).
Akta perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim yang
berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk
mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.
Dilihat dari segi fungsinya dalam
mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam, yaitu:
1. Putusan akhir
2. Putusan sela
Kemudian jika dilihat dari segi
hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, ada 3 (tiga) macam,
yaitu:
1. Putusan gugur
2. Putusan verstek
3. Putusan kontradiktoir
Jika dilihat dari segi isinya
terhadap gugatan/ perkara ada dua macam, yaitu positif dan negative, yang dapat
dirinci menjadi empat macam:
1. Tidak menerima
gugatan Penggugat
2. Menolak gugatan
Penggugat seluruhnya
3. Mengabulkan gugatan
Penggugat untuk sebagian dan menolak/ tidak menerima selebihnya
4. Mengabulkan gugatan
Penggugat seluruhnya
Dan jika dilihat dari segi
sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Diklaratoir
2. Konstitutif
3. Kondemnatoir
II. PUTUSAN GUGUR
Mengenai Putusan Gugur diatur dalam Pasal 124 HIR/ Pasal 148
Rbg, sebagai berikut: Putusan gugur ialah putusan yang menyatakan bahwa
gugatan/permohonan gugur karena Penggugat/ Pemohon tidak pernah hadir,
meskipun telah dipanggil (secara resmi sedang Tergugat hadir dan mohon putusan)
1. Putusan gugur
dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahap pembacaan gugatan/
permohonan.
2. Putusan gugur dapat
dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahap pembacaan gugatan/
permohonan.
3. Putusan gugur dapat
dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
a. Penggugat/Pemohon
telah dipanggil dengan resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu.
b. Penggugat/Pemohon
ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang
lain untuk hadir, serta ketidakhadirannya itu bukan karena sesuatu halangan
yang sah.
c. Tergugat/Termohon
hadir dalam sidang.
d. Tergugat/Termohon
mohon putusan.
4. Dalam hal
Penggugat/Pemohonnya lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula
diputus gugur.
5. Putusan gugur belum
menilai gugatan ataupun pokok perkara.
6. Dalam putusan gugur,
Penggugat/Pemohon dihukum membayar biaya perkara
Dari uraian di atas mungkin akan timbul pertanyaan: Dalam
hal apakah suatu perkara dikatakan gugur/ digugurkan? Apakah perkara tersebut
dapat serta merta digugurkan begitu saja?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab
dengan mengacu pada paparan BUKU II (PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS DAN ADMINISTRASI
PENGADILAN), sebagai berikut:
1. Apabila pada hari
sidang pertama Penggugat atau semua Penggugat tidak hadir, meskipun telah
dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah, sedangkan
Tergugat atau kuasanya yang sah datang maka Gugatan dapat digugurkan dan
Penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara (Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg.).
Harus diperhatikan apakah dalam
pemanggilan kepada Penggugat tersebut Jurusita telah bertemu sendiri dengan
Penggugat atau hanya melalui Kelurahan/ Kepala Desa. Dalam hal Jurusita tidak
dapat bertemu sendiri dan hanya melalui Kelurahan/Kepala Desa, maka Penggugat
dipanggil sekali lagi.
2. Dalam hal perkara
digugurkan, Penggugat dapat mengajukan gugatan tersebut sekali lagi dengan
membayar panjar biaya perkara lagi. Apabila telah dilakukan sita jaminan, maka
sita tersebut harus diangkat.
3. Dalam hal-hal
tertentu, misalnya apabila Penggugat tempat tinggalnya jauh atau mengirim
kuasanya tetapi surat kuasanya tidak memenuhi syarat, maka Hakim dapat
mengundurkan dan meminta Penggugat dipanggil sekali lagi. Kepada pihak yang
datang diberitahukan agar ia menghadap lagi tanpa panggilan (Pasal 126
HIR/Pasal 150 RBg.).
4. Jika Penggugat pada
panggilan sidang pertama tidak datang, meskipun ia telah dipanggil dengan
patut, tetapi pada panggilan kedua ini datang dan pada panggilan ketiga Penggugat
tidak hadir lagi, perkaranya tidak dapat digugurkan (Pasal 124 HIR/Pasal 148
RBg).
5. Apabila gugatan gugur
maka dituangkan dalam putusan, tetapi apabila Gugatan dicabut maka dituangkan
dalam bentuk penetapan; Dalam hal perkara perceraian, apabila salah satu pihak
meninggal dunia sedangkan perkaranya belum diputus, maka perkara menjadi gugur
dan dituangkan dalam putusan;
6. Apabila Penggugat
pernah hadir tetapi kemudian tidak hadir lagi maka Penggugat dipanggil sekali
dengan peringatan (peremptoir) untuk hadir dan apabila tetap tidak hadir
sedangkan Tergugat tetap hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan dan diputus secara
kontradiktoir.
AKIBAT HUKUM PUTUSAN GUGUR.
Akibat hukum putusan Gugur diatur dalam Pasal 77 Rv, sebagai
berikut:
1. Pihak Tergugat,
dibebaskan dari perkara dimaksud. Putusan Pengguguran gugatan yang didasarkan
atas keingkaran Penggugat menghadiri sidang pertama, merupakan putusan akhir (eind
vonnis) yang bersifat menyudahi proses pemeriksaan secara formil. Artinya,
putusan itu mengakhiri pemeriksaan meskipun pokok perkara belum diperiksa. Itu
sebabnya undang-undang menyatakan dibebaskan dari perkara itu.
2. Terhadap putusan
pengguguran gugatan tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet. Sifat
putusannya:
-
Langsung mengakhiri perkara, karena itu langsung pula mengikat kepada para
pihak atau final and binding,
-
Selain terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan, juga tertutup upaya hukum,
sehingga tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
3. Penggugat dapat
mengajukan gugatan baru. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh Penggugat
adalah mengajukan gugatan baru dengan materi pokok perkara yang sama, karena
dalam putusan gugur tidak melekat ne bis in idem sehingga dapat diajukan
sebagai perkara baru, dan untuk itu Penggugat dibebani membayar biaya perkara
baru.
Untuk menambah wasasan kita tentang perkara gugur dan
perkara dicoret karena habis biaya perkara, berikut akan diuraikan pendapat
dari Drs. H. Marjohan Syam, SH., MH (Hakim Tinggi PTA Pekanbaru) dalam tulisannya
yang berjudul: KOREKSI ATAS BUKU DR. AHMAD MUJAHIDIN, MH, PEMBAHARUAN HUKUM
ACARA PERDATA PENGADILAN AGAMA DAN MAHKAMAH SYARIYAH DI INDONESIA Tentang
Pembatalan Perkara Yang Habis Biayanya, selengkapnya sebagai berikut:
“Penulis dalam tulisan ini ingin urung rembuk sedikit
menyampaikan koreksi dan barangkali belum tentu juga benar apa yang disampaikan
ini, setidak-tidaknya merupakan pijakan bagi Hakim di lingkungan Peradilan
Agama untuk mencari kebenaran sesuai dengan tujuan tertib beracara, mengikut azas-azas
yang berlaku.
Walaupun penulis belum sempat
membaca semua isi buku ini, namun penulis memperhatikan suatu masalah yang
kebetulan sedang dibicarakan (discursus) di Pengadilan Agama Pekanbaru wilayah
pengawasan penulis, yaitu yang mengenai huruf G. Kehabisan Panjar Biaya
Perkara, dalam Bab VII halaman 142-143 buku Pembaharuan Hukum Acara Perdata
Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariyah di Indonesia; Mengenai mekanisme
penambahan panjar biaya perkara dan tindak lanjutnya dari huruf a s/d i kecuali
g penulis tidak mempersoalkannya karena masih lingkup atau wilayah administrasi
perkara, tetapi pada huruf g berbunyi Berdasarkan surat keterangan panitera
tersebut, majelis membuat “penetapan” berisi tentang batalnya perkara itu yang
telah terdaftar dalam Register Induk Perkara bersangkutan, menurut penulis
huruf g ini sudah termasuk wilayah Tehnis yudisial Hukum Acara, dimana harus
ada aturan acaranya bahkan Hakim terikat dengan tekstual dan tidak boleh
menafsirkan begitu leluasanya aturan acara tersebut apalagi membuat acara baru,
kecuali sebatas usulan rancangan. Ada dua koreksi disini yaitu pertama
penetapan majelis, dan kedua membatalkan perkara yaitu penetapan Majelis Hakim
tentang batalnya perkara. Dalam memutuskan perkara apapun itu, Hakim semestinya
berpegang kepada pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 bahwa
disamping alasan dan dasar putusan tersebut, juga memuat pasal-pasal dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili. Menurut sepengetahuan penulis tidak ada
aturan yang mengatur bahwa Hakim membuat penetapan batalnya perkara dalam hal
kehabisan panjar biaya perkara seperti halnya putusan gugur, verstek, atau
pencabutan perkara yang sedang berjalan baik dalam HIR, RBg, Rv atau pun dalam
BW. Sebagaimana Hakim dalam menggali peristiwa untuk menemukan hukumnya, Hakim
menggunakan syllogisme yaitu suatu pola berpikir (redenering/reasoning) secara
deduktif yang sah berpangkal pada dua premis mayor dan minor untuk mendapatkan kesimpulan
yang logis dalam mengambil kesimpulan putusan atau penetapan. Disini premis
mayor sebagai titik tolak Hakim mengambil kesimpulan yaitu merupakan
pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan, bagaimana dan peraturan apa
yang dapat diterapkan pada pembatalan perkara atau pencoretan pendaftaran? Ya
tidak ada kecuali hanya dalam Buku Pedoman Kerja yang dikeluarkan IKAHI Wilayah
Sulsera di Ujung Pandang tahun 1989 pada halaman 17 berbunyi; “Apabila suatu
perkara yang telah diajukan pada pengadilan ternyata biayanya telah habis
sebelum perkara itu selesai, maka untuk memeriksa perkara tersebut lebih lanjut
dibuatlah teguran kepada Penggugat agar dalam jangka waktu satu bulan sejak
tanggal teguran tersebut, Penggugat harus menambah biaya perkara dan apabila
dalam jangka waktu satu bulan tersebut Penggugat tidak memenuhinya, maka
pendaftaran perkaranya dibatalkan dengan suatu penetapan pengadilan, setelah
lebih dahulu Panitera Kepala membuat suatu keterangan”, Dalam hal ini penulis
berkesimpulan bahwa yang tepat barangkali adalah pembatalan pendaftaran atau
pencoretan pendaftaran dengan penetapan yang bukan pembatalan perkaranya, dan
penetapan tersebut dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan bukan produk penetapan
Majelis Hakim, dengan alasan seperti berikut:
1)
Bahwa produk Majelis Hakim adalah tehnis yudisial yang jelas tidak ada
cantolannya dalam HIR/RBg, Rv atau BW;
2)
Bahwa produk Ketua Pengadilan adalah bagian dari produk administrasi perkara
yaitu tentang keuangan/biaya perkara yang tidak tergantung dengan peraturan
perundangan;
3)
Bahwa perkara tersebut walaupun diserahkan kepada majelis dengan PMH (Penetapan
Majelis Hakim), tetapi penunjukan majelis itu juga bagian dari administrasi
perkara atau administrasi persidangan, jadi dengan penetapan tersebut
seakan-akan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI menjelaskan kepada
Majelis Hakim bahwa perkara tidak bisa dilanjutkan karena pendaftaran sudah
dicoret atau dibatalkan karena biaya perkara dari pihak tidak ada lagi, dengan
begitu perkara dihentikan oleh Majelis Hakim. Jadi penyelesaian perkara tidak
bisa diteruskan karena administasi perkaranya tidak lengkap, sekalipun itu
terjadi di tengah jalan.
4)
Dengan pencoretan pendaftaran oleh Ketua Pengadilan tidak menghapus semua
dokumen yang ada dalam bundel perkara tersebut dan masih tetap berlaku
sepanjang tertera jelas dalam berita acara. Penulis ingin mengajak kita mau
sejenak melihat kebelakang, bahwa pencoretan pendaftaran karena habis biaya
perkara adalah petunjuk yang diberikan oleh Bapak Hensyah Syahlani, SH guna
mengatasi penumpukkan perkara yang habis biayanya. Masih terngiang-ngiang
ditelinga penulis ucapan Bapak Hensyah Syahlani, SH bercerita bahwa untuk
mengurangi penumpukan perkara dulu ada SEMA yang mengatur tentang dapat dicoret
pendaftaran perkara yang habis biaya perkara/tidak dipenuhi biaya perkara
setelah ditegur, akan tetapi SEMA tersebut sudah dicabut, namun kata pak
Hensyah aturan SEMA tersebut dapat diperlakukan untuk Pengadilan Agama supaya
tidak terjadi penumpukkan perkara yang kekurangan biaya, caranya:
a.
Pengadilan membuat teguran dalam tenggang waktu tertentu supaya menambah panjar
biaya perkara,
b.
Panitera membuat surat keterangan tentang hal tersebut jika tidak ditambah
panjar biaya oleh pihak Penggugat,
c.
Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan penetapan pencoretan pendaftaran perkaranya
berdasarkan surat keterangan tersebut.
Tetapi sampai saat terakhir bersama
Pak Hensyah membina Pengadilan Agama, penulis tidak pernah melihat SEMA
tersebut."
Dalam hukum acara kita mengenal hal-hal yang kemungkinan
terjadi dalam persidangan seperti gugatan digugurkan (Pasal 124 HIR, 148 RBg),
walau kelihatannya Pengadilan terlalu kejam kepada Penggugat, tetapi itu
aturannya untuk menjaga hak orang lain in casu Tergugat yang hadir memenuhi
panggilan, begitu juga tidak hadirnya Tergugat diputus “verstek” (Pasal 125
HIR, 149 RBg) untuk menjaga hak Penggugat dikala Tergugat ingkar menghadiri
persidangan, demikian juga pencabutan gugatan oleh pihak Penggugat (Pasal
271-272 Rv) diatur dengan tegas, akan tetapi mengenai pembatalan perkara karena
kekurangan/habis biaya perkara, tidak diatur dalam Hukum Acara Perdata.
Kecuali itu, dalam Pasal 273 ; 277 Rv mengenal aturan yang
mengatur tentang pengguguran perkara bukan pencoretan pendaftaran, tetapi tidak
dijelaskan dengan tegas sebab-sebab digugurkannya perkara dan dapat dipastikan
di sini termasuk karena kelalaian pihak apa karena kekurangan biaya perkara
ataupun sebab-sebab lainnya. Namun sebelum digugurkan tersebut ada beberapa tahap
yang harus dilalui sebagai berikut:
1) Perkara
sudah terhenti selama tiga tahun, dan masih ada kesempatan dalam waktu enam
bulan untuk melanjutkan perkara;
2) Adanya
permohonan untuk digugurkan dari pihak yang berkepentingan, dan permohonan untuk
menggugurkan itu dapat dicegah dengan tindakan hukum oleh salah satu pihak
sebelum pernyataan gugur;
3)
Pernyataan gugur itu dilakukan dalam sidang secara sederhana dan diberitahukan
kepada pihak yang bersangkutan atau ditempat tinggalnya;
4)
Pernyataan gugur itu tidak membatalkan tuntutan, melainkan hanya acara perkara
yang telah dimulai;
5) Biaya
perkara karena pernyataan gugur itu dianggap sudah dibayar;
6) Dan bila
mengajukan gugatan baru, maka pihak-pihak satu sama lain berhak untuk
mengajukan lagi sumpah-sumpah, pengakuan-pengakuan dan keterangan-keterangan
yang telah diberikan olehnya dalam perkara yang terdahulu, begitu juga
keterangan-keterangan yang telah diberikan oleh saksi-saksi yang sudah
meninggal dunia, jika hal itu dicantumkan dalam berita acara yang dibuat dengan
baik. Ketentuan-ketentuan dalam Rv tersebut jelas acaranya, Hakim jelas apa
yang diperbuat sebagai tugas tehnis yudisial karena ada cantolannya, hal ini
jelas tidak sama dengan pembatalan/pencoretan pendaftaran perkara seperti yang
kita bicarakan. Kalau kita analisa secara mendalam lagi barangkali perkara yang
habis biayanya dan Penggugat tidak mampu lagi memenuhi biaya perkara akan lebih
bijaksana jika tidak di coret pendaftarannya dan solusinya pengadilan menyarankan
untuk melanjutkan perkara dengan mengurus proses beracara dengan prodeo,
kenapa? Logikanya jika ada yustisiabel sejak awal berperkara tidak mampu
membayar biaya perkara bisa berperkara dengan prodeo, maka apa salahnya
Penggugat yang semula beritikad baik mau membayar biaya dan ternyata ditengah
jalan tidak mampu, dilanjutkan dengan prodeo? Bukankah cara begini adalah
bagian client service improvement? Bukankah semua warga mendapat kesempatan
yang sama dalam mendapatkan pelayan hukum di pengadilan?, wallahu a’lam.
III. PUTUSAN VERSTEK
BUKU II sebagai bahan rujukan para
Hakim dan aparat peradilan melaksanakan tugasnya, telah mengurai mengenai
Perkara Verstek sebagai berikut:
1. Pasal 125 ayat (1)
HIR menentukan bahwa gugatan dapat dikabulkan dengan Verstek apabila:
a) Tergugat atau para Tergugat
tidak datang pada hari sidang pertama yang telah ditentukan atau tidak
mengirimkan jawaban.
b) Tergugat atau para Tergugat
tersebut tidak mengirimkan wakil / kuasanya yang sah untuk menghadap atau tidak
mengirimkan jawaban.
c) Tergugat atau para Tergugat
telah dipanggil dengan patut.
d) Gugatan beralasan dan
berdasarkan hukum.
2. Dalam hal Tergugat
tidak hadir pada panggilan sidang pertama dan tidak mengirim kuasanya yang sah,
tetapi ia mengajukan jawaban tertulis berupa tangkisan tentang Pengadilan Agama
tidak berwenang mengadili, maka diputus berdasarkan Pasal 125 HIR.
3. Dalam perkara
perceraian yang Tergugatnya tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, harus diperhatikan apakah dilakukan
dengan patut, yaitu dengan cara dipanggil ke alamatnya yang terakhir. Apabila
setelah dilakukan hal tersebut masih juga tidak datang, maka diumumkan melalui
satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh
Pengadilan, yang dilakukan sebanyak 2 kali dengan tenggat waktu 1 bulan antara
pengumuman pertama dan kedua selanjutnya tenggat waktu antara panggilan
terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 bulan (Pasal 27
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).
4. Lihat Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 9 Tahun 1964 mengenai Verstek.
A. PENGERTIAN VERSTEK
- Putusan Verstek ialah
putusan yang dijatuhkan karena Tergugat/ Termohon tidak pernah hadir meskipun
telah dipanggil secara resmi, sedang Penggugat hadir dan mohon putusan.
- Verstek artinya
Tergugat tidak hadir.
- Putusan Verstek diatur
dalam Pasal 125-129 HIR dan 196-197 HIR, Pasal 148-153 Rbg dan 207-208 Rbg, UU
no. 20 tahun 1947 dan SEMA No. 9/1964.
B. SYARAT ACARA VERSTEK
Perihal sahnya penerapan Acara
Verstek kepada Tergugat, merujuk kepada ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR atau
Pasal 78 Rv. Bertitik tolak dari Pasal tersebut, dapat dikemukakan
syarat-syarat sebagai berikut:
-
Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut.
-
Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain serta
tidak ternyata pula bahwa ketidakhadirannya itu karena sesuatu alasan yang sah.
-
Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan.
-
Penggugat hadir di persidangan.
-
Penggugat mohon keputusan.
C. PENERAPAN ACARA VERSTEK
TIDAK IMPERATIF
Pada satu sisi Undang-undang
menghadirkan kedudukan Tergugat di persidangan sebagai hak, bukan kewajiban
yang bersifat imperatif. Hukum menyerahkan sepenuhnya, apakah Tergugat
mempergunakan hak itu untuk kepentingannya atau tidak. Di sisi lain
Undang-undang tidak memaksakan acara verstek secara imperatif. Hukum tidak
mesti menjatuhkan putusan verstek terhadap Tergugat yang tidak hadir memenuhi
panggilan. Penerapannya bersifat fakultatif. Kepada Hakim diberi kebebasan
untuk menerapkannya atau tidak. Sifat penerapan yang fakultatif tersebut,
diatur dalam Pasal 126 HIR sebagai acuan:
-
Ketidakhadiran Tergugat pada sidang pertama, langsung memberi wewenang kepada
Hakim menjatuhkan putusan Verstek.
-
Mengundurkan sidang dan memanggil Tergugat sekali lagi.
-
Batas toleransi pengunduran.
Pasal 126 HIR tidak mengatur batas
toleransi atau batas kebolehan pengunduran sidang apabila Tergugat tidak mentaati
panggilan. Pasal itu hanya mengatakan Pengadilan atau Hakim dapat memerintahkan
pengunduran, namun tidak menjelaskan berapa kali pengunduran dapat dilakukan,
akan tetapi penerapannya harus disesuaikan dengan asas peradilan sederhana,
cepat dan biaya ringan.
D. PENERAPAN ACARA VERSTEK
APABILA TERGUGAT LEBIH DARI SATU ORANG
Rujukan penerapan acara verstek
dalam perkara Tergugat lebih dari satu orang bertitik tolak dari Pasal 127 HIR,
Pasal 151 Rbg:
- Pada
sidang pertama semua Tergugat tidak hadir, langsung dapat diterapkan acara
verstek, dengan jalan menjatuhkan putusan verstek atau mengundur sidang dengan
memanggil para Tergugat sekali lagi.
- Pada
sidang berikutnya semua Tergugat tetap tidak hadir, dapat diterapkan acara
verstek.
-
Salah seorang Tergugat tidak hadir, sidang wajib diundurkan.
-
Salah seorang atau semua Tergugat yang hadir pada sidang pertama, tidak hadir
pada sidang berikut, tetapi Tergugat yang dahulu tidak hadir, sekarang hadir,
maka Hakim dapat memilih alternatif, sebagai berikut:
a. Mengundurkan
persidangan;
b. Melangsungkan
persidangan secara kontradiktor;
c. Salah seorang
Tergugat terus menerus tidak hadir sampai Putusan dijatuhkan, proses
pemeriksaan kontradiktor;
E. SAAT PUTUSAN VERSTEK DIUCAPKAN
Dalam bukunya, Hukum Acara Perdata,
M. Yahya Harahap, SH. Berpendapat sebagai berikut: Terhadap putusan verstek
Mahkamah Agung memberi penjelasan yang berpatokan pada Pasal 125 ayat (1) HIR.
Apabila Hakim hendak menjatuhkan putusan verstek disebabkan Tergugat tidak
hadir memenuhi panggilan sidang tanpa alasan yang sah:
-
Putusan harus dijatuhkan pada hari itu juga ;
-
Dengan demikian putusan verstek yang dijatuhkan dan diucapkan di luar hari itu,
tidak sah (illegal) karena bertentangan dengan tata tertib beracara (undue
process), yang berakibat putusan batal demi hukum (null and void)
Sekiranya Hakim ragu-ragu atas
kebenaran dalil gugatan, sehingga diperlukan pemeriksaan saksi-saksi atau alat
bukti lain, tindakan yang dapat dilakukan:
-
Mengundurkan persidangan dan sekaligus memanggil Tergugat, sehingga dapat
direalisasi proses dan pemeriksaan kontradiktor (op tegenspraak),
atau
-
Menjatuhkan putusan verstek, yang berisi dictum: menyatakan gugatan
tidak dapat diterima atas alasan dalil gugatan bertentangan dengan hukum atau
dalil gugatan tidak mempunyai dasar hukum.
F. BENTUK PUTUSAN VERSTEK
Mengenai bentuk putusan Verstek, yang
dapat dijatuhkan, diatur dalam pasal 125 ayat (1) HIR, Pasal 149 RBg, dan Pasal
78 Rv. Pasal 125 ayat (1) berbunyi:
“Jika Tergugat tidak datang pada hari perkara itu
diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun
ia dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan tidak hadir
(Verstek), kecuali kalau nyata kepada Pengadilan bahwa pendakwaan itu melawan
hak atau tidak beralasan.”
Bentuk Putusan Verstek yang
dijatuhkan Pengadilan, terdiri dari:
1. Mengabulkan gugatan
Penggugat;
2. Menyatakan gugatan tidak
dapat diterima;
3. Menolak gugatan Penggugat;
IV.
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN VERSTEK
Buku II menerangkan tentang Perlawanan Terhadap Putusan
Verstek, sebagai berikut:
1) Sesuai Pasal 129 HIR/153
Rbg. Tergugat/ Para Tergugat yang dihukum dengan Verstek berhak mengajukan
Verzet atau perlawanan dalam waktu 14 hari terhitung setelah tanggal
pemberitahuan putusan verstek itu kepada Tergugat semula jika pembeitahuan
tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. (Pasal 391 HIR:
Dalam menghitung Tenggat waktu maka tanggal/ hari saat dimulainya penghitungan
waktu tidak dihitung).
2) Jika Putusan itu tidak
langsung diberitahukan kepada Tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning
Tergugat hadir, maka tenggat waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah aanmaning
(peringatan).
3) Jika Tergugat tidak hadir
pada waktu aanmaning, maka tenggat waktunya adalah hari kedelapan
sesudah sita eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129 ayat (2) jo Pasal 207 RBG).
Kedua perkara tersebut (perkara verstek dan Verzet terhadap Verstek) didaftar
dalam satu nomor perkara.
4) Perkara Verzet sedapat
mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan Putusan Verstek.
5) Hakim yang melakukan
pemeriksaan perkara Verzet atas putusan Verstek harus memeriksa gugatan yang
telah diputus Verstek secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara Verzet dilakukan
secara biasa (lihat pasal 129 ayat (3) HIR, Pasal 153 ayat (3) Rbg. Dan SEMA
nomor 9 Tahun 1964).
6) Apabila dalam pemeriksaan
Verzet pihak Penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilakukan
secara contradictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir,
maka Hakim menjatuhkan Putusan Verstek untuk kedua kalinya. Terhadap Putusan
Verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan,
tetapi bisa diajukan upaya hukum banding (Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 153
ayat(5) RBg.).
7) Apabila Verzet
diterima dan putusan Verstek dibatalkan maka amar putusannya berbunyi:
a) Menyatakan Pelawan adalah
Pelawan yang benar.
b) Membatalkan putusan verstek.
c) Mengabulkan gugatan
Penggugat atau menolak gugatan Penggugat.
8) Apabila verzet tidak
diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan, maka amar putusannya
berbunyi:
a. Menyatakan Pelawan
adalah Pelawan yang tidak benar.
b. Menguatkan Putusan verstek
tersebut.
9) Terhadap putusan Verzet
tersebut kedua belah pihak berhak mengajukan banding. Dalam hal diajukan
banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan dalam
satu berkas dan dikirim ke Pengadilan Tinggi dan hanya menggunakan satu nomor
perkara.
V.
PENUTUP
Demikianlah, Makalah mengenai
GUGUR DAN VERSTEK SERTA PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK, tidak lain harapan
kami bahwa sekecil apapun karya ini dapat menjadi sumbangan pemikiran yang
bernilai untuk menambah wawasan dan selanjutnya dapat diselaraskan dengan
aplikasinya di Instansi tempat kita mengabdi.