Wednesday, October 2, 2019
Thursday, May 30, 2019
MAKALAH HUBUNGAN MOU DENGAN KPA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perjanjian
Internasional adalah suatu ikatan hukum yang terjadi berdasarkan kata sepakat
antara negara-negara sebagai anggota organisasi bangsa-bangsa dengan tujuan
melaksanakan hukum tertentu yang mempunyai akibat hukum tertentu. Perjanjian
internasional adalah hasil kesepakatan yang dibuat oleh subjek hukum
internasional baik yang berbentuk bilateral, regional maupun multilateral [1]
Kerja
sama antar negara saat ini sudah tidak dapat lagi dihindarkan. Bentuk kehidupan
sangat kompleks sangat rentan untuk terjadi perselisihan. Untuk menghindari
agar perselisihan tidak terjadi maka masyarakat internasional harus senantiasa
bertumpu pada aturan atau norma, aturan tersebut tidak hanya dibuat untuk
menghindari perselisihan, akan tetapi juga untuk menertibkan, mengatur dan
memelihara hubungan antarnegara.perwujudan kerjasama tersebut dituangkan dalam
bentuk perjanjian [2].
Oleh karena itu perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum
internasional yang penting. Tidak semua perjanjian internasional bisa dapat menciptakan suatu aturan hukum
internasional. [3]
Ruang lingkup perjanjian internasional meliputi subjek yang luas seperti bidang
ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, perdagangan, dan teknik. Dewasa ini
terdapat berbagai ragam jenis perjanjian internasional yang meliputi extradisi, batas antar
negara, soal - soal pengungsi, kebudayaan, persekutuan - persekutuan militer,
hubungan - hubungan diplomatik dan konsuler, komunikasi dan transportasi,
industri, perdagangan, serta bidang - bidang lainnya. [4]
Konvensi,conventie,convention
termasuk juga salah satu istilah yang sudah umum digunakan dalam bahasa
Indonesia untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional multilateral, baik
yang diprakarsai oleh negara - negara maupun oleh lembaga atau organisasi
internasional. Pada umumnya konvensi digunakan untuk perjanjian - perjanjian
multilateral yang mengatur tentang masalah besar dan penting dan dimaksudkan
untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang dapat berlaku secara
luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum.[5] Perselisihan
- perselisihan yang berkenaan dengan perjanjian internasional seperti halnya
perselisihan - perselisihan dalam bidang lain pada umumnya, seyogyanya
diselesaikan secara damai sesuai dengan prinsip - prinsip keadilan dan hukum internasional.("Affirming
that disputes concerning treaties, like other internasional disputes,should be
settled by peaceful means and in conformity with the principles of justice and
international law"). Dalam konsideransi ini terkandung suatu harapan
supaya negara - negara berusaha menyelesaikan perselisihannya yang timbul dari
suatu perjanjian internasional secara damai.
Dalam
hukum internasional dikenal berbagai macam cara penyelesaian perselisihan
secara damai, misalnya melalui perundingan langsung antara pihak yang
bersengketa, dengan melalui peranan pihak ketiga, baik pihak ketiga itu sebagai
pemberi jasa baik, sebagai perantara, maupun sebagi penengah. Selain itu ada
pula penyelesaian secara damai melalui jalur lembaga peradilan atau lembaga
penyelesaian sengketa yang lain berdasarkan hukum, seperti melalui arbitrase,
melalui Mahkamah Internasiaonal maupun Mahkamah Regional. Upaya penyelesaian
sengketa secara damai lainnya yang dapat ditempuh adalah melalui lembaga atau
organisasi internasional dimana pihak - pihak yang bersengketa menjadi
anggotanya. Adanya harapan dan himbauan ini dilandasi oleh suatu anggapan
bahwa betapapun besar dan rumitnya suatu sengketa, masih tetap lebih baik
diselesaikan dengan cara damai. Penyelesaian sengketa secara damai memang
sangat sedikit, bahkan tidak ada yang menimbulkan dampak negatif terhadap para
pihak manapun, jika dibandingkan dengan penyelesaian dengan kekerasan senjata,
seperti perang maupun bentuk konflik bersenjata lainnya.[6] Nota kesepahaman, Memorandum of
Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian
internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya, harus mematuhi
kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967 dari Komisi
Hukum Internasional (International Law Commission). Prinsip-prinsip utama yang
biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak sebagai subjek
hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta
Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya. Mereka ini
memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh karena
memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of Credence).
Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi, adapsi,
penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan
mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab hukum.[7]
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konvensi WINA 1969 dan UU No.24 tahun
2000 yang mengatur tentang perjanjian internasional ?
2. Bagaimana
Hubungan Kaitannya Mou dengan KPA ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Asas
Mou Helsinki
Gerakan
Aceh Merdeka bersama Pemerintah Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman
damai di Helsinki, 15 Agustus 2005 lalu. Kesepakatan itu telah disepakati
beberapa poin menyelesaikan konflik Aceh berkepanjangan. GAM dan RI bertekad
untuk menciptakan kondisi bersama, sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat
diwujudkan melalui proses demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan
konstitusi Republik Indonesia.
MoU
Helsinki memuat beberapa item kesepakatan, di antaranya bidang penyelenggaraan
pemerintahan di Aceh, ekonomi, politik, HAM, peraturan perundang-undangan,
amnesti, dan reintegrasi.
Untuk
menyegarkan ingatan akan nota kesepahaman bersama antara RI dan GAM itu,
wartawan mengutip kembali beberapa butir kesepakatan yang dituangkan dalam MoU
Helsinki, seperti peraturan perundang-undangan.
Dalam
poin ini, kedua belah pihak sepakat mengakui adanya pemisahan kekuasaan antara
badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif di Aceh. Selain itu, Legislatif
Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan
prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan
Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan
mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dalam
poin peraturan perundang-undangan tersebut juga disepakati mengenai adanya
suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan
tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.
Selanjutnya
RI dan GAM juga sepakat mengangkat Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi
mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan
pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan
berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan
standar nasional yang berlaku.
Poin
peraturan perundang-undangan yang disetujui tersebut juga mengatur tentang
semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili
pada pengadilan sipil di Aceh.
Selain
itu MoU Helsinki juga mengatur tentang kepatuhan Pemerintah RI terhadap Kovenan
Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan
mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Perjanjian
damai yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 15 Agustus 2005 lalu
tersebut juga setuju adanya sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia yang akan
dibentuk untuk Aceh serta adanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan
dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia. Komisi ini
bertugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsilias
B. Dasar
Mula Adanya KPA
Namanya
Muzakir Manaf, tapi orang Aceh biasa menyapa lelaki ini
dengan sebutan Mualem. Pada masa perang Aceh dahulu, gelar Mualem
disematkan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi tentang ilmu
kemiliteran dan memiliki kemampuan untuk melatih pasukannya. Namun, sekarang
sebutan itu menjadi sapaan kehormatan. Tak hanya bagi mantan Panglima Gearakan
Aceh Merdeka (GAM) ini, sapaan kehormatan tersebut juga untuk mantan kombatan
lainnya yang tersebar di provinsi paling barat Indonesia tersebut.
Pria
kelahiran Seuneudon, Aceh Utara pada 1964 itu, kini menjabat sebagai wakil
gubernur Aceh mendampingi Zaini Abdullah sebagai gubernur.
Sebelumnya,
kehidupan Muzakir selalu akrab dengan sejanta dan hutan. Setelah
Abdullah Syafie wafat pada 22 Januari 2002, dia pun ditunjuk untuk
menggantikannya menjadi Panglima Gerakan Aceh
Merdeka (2002-2005).
Usai Memorandum
of Understanding (MoU) Helsinki ditandangani pada 15 Agustus 2005,
sayap militer GAM dibubarkan. Kemudian dibentuk KPA (Komite
Peralihan Aceh) sebagai wadah transisi mantan kombatan GAM ke masyarakat
sipil biasa. Sejak pertamakali dibentuk pada 2005 hingga sekarang, dia menjabat
Ketua KPA. Muzakir juga sekaligus menjabat Ketua Umum Partai Aceh,
sejak 2007 hingga sekarang.
Meski
saat ini telah terjun langsung dalam dunia politik, namun tidak seperti
kebanyakan politisi lainnya. Muzakir Manaf dikenal sebagai sosok
yang tak banyak bicara. Dirinya tidak ingin membuat
masyarakat Aceh bingung. Jika bicara pun dia memilih hal yang
pasti-pasti saja. Kini perjuangannya tidak lagi dengan senjata, melainkan
perjuangan politik untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Sosok tangguh dan penuh optimisme itu, bertekat membangun Aceh untuk mengejar i
ketertinggalan dari daerah lainnya di Indonesia. Dia pun mengajak seluruh
elemen masyarakat untuk ikut bersama-sama memajukan daerahnya. Bahkan, dia
membuka tangannya untuk merangkul semuanya, tanpa membeda-bedakan suku ,
agama, ras dan antargolongan yang ada di Aceh.
C.
Analisis Hubungan MOU dengan KPA
Peranan
perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional semakin bertambah
penting maupun sebagai sarana untuk mengembangkan kerjasama internasional
secara damai antara bangsa - bangsa, bagaimanapun sistem ketatanegaraan dan
sistem sosial budaya masing - masing konsideransi ini disamping menggambarkan
fakta mengenai peranan perjanjian internasional juga mengandung suatu pandangan
ke depan yang sekaligus juga merupakan suatu pengakuan mengenai peranan dan
arti pentingnya perjanjian internasional. Bahwa perbedaan sistem soaial budaya,
ketatanegaraan, maupun perbedaan - perbedaan lainnya, bukanlah faktor
penghalang bagi negara - negara untuk mengadakan perjanjian - perjanjian
internasional.[8]
Pada
bagian ke 3(part III) Konvensi WINA tahun 1969 berkenaan dengan penghormatan,
penerapan, dan penafsiran internasional ( observance, application, and
intepretation of treaties), terdiri dari 4 seksi dan 12 pasal yaitu pasal 26
sampai dengan 38. Seksi 1 terdiri dari pasal 26 dan 27. Pasal 26 menegaskan
asas pacta sunt servanda, bahwa setiap perjanjian yang telah memiliki kekuatan
mengikat terhadap para pihak, maka para pihak yang bersangkutan harus
menghormati perjanjian itu dengan penuh itikad baik. Pasal 27 menegaskan, bahwa
hukum nasional (internal law) tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan
kegagalannya menaati perjanjian.
Seksi
2 tentang penerapan suatu perjanjian internasional (application of treaties)
terdiri dari pasal 28,29, dan 30. Pasal 28 menegaskan tentang tidak berlaku
surutnya suatu perjanjian internasional, kecuali para pihak bermaksud
menentukan sebaliknya atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri bahwa
perjanjian itu berlaku surut. Pasal 29 menegaskan tentang ruang lingkup wilayah
dari berlakunya suatu perjanjian internasional, dengan menyatakan bahwa suatu
perjanjian internasional berlaku di dalam seluruh wilayah para pihak, kecuali
ditentuka sebaliknya oleh para pihak atau tersimpul dari perjanjian itu
sendiri.
Berkenaan
dengan hubungan antara penjanjian dengan pihak ketiga, terdiri dari lima pasal
yaitu pasal 34 sampai dengan 38. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa suatu
perjanjian internasional tadak menciptakan hak maupun kewajiban bagi pihak
ketiga tanpa persetujuan dari pihak ketiga yang bersangkutan. Pasal 35 ayat 1
dan 2 maupun pasal 36 ayat 1 dan 2, masing - masing mengatur tentang perjanjian
yang menetapkan kewajiban bagi pihak ketiga dan perjanjian yang menetapkan hak
bagi pihak ketiga. Selanjutnya dalam pasal 37 diatur tentang penarikan kembali
dan pengubahan atas kewajiban - kewajiban maupun hak - hak yang ditetapkan bagi
pihak ketiga tersebut. Sedangkan dalam pasal 38 diatur tentang ketentuan dalam
suatu perjanjian internasional yang menjadi mengikat ihak ketiga melalui
kebiasaan internasional.
Berkenaan
dengan konsekuensi atau akibat dari ketidaksahan, pengakhiran, atau penundaan
dari berlakunya suatu perjanjian internasional, yang semuanya terdiri dari 4
pasal yaitu dari pasal 69-72. Pasal 69 mengatur tentang akibat hukum dari
pengakhiran suatu perjanjian internasional, pasal 71 berkenaan dengan
ketidaksahan suatu perjanjian internasional yang bertentangan dengan kaidah
hukum yang tergolong jus cogens dan pasal 72 mengatur tentang akibat hukum dari
penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional.[9]
Dan
dalam UU No 24 tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 1 yaitu perjanjian internasional
adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yangdiatur dalam hukum
internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban
di bidang hukum publik. Dan dalam pembuatan perjanjian internasional juga harus
memperhatikan kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip - prinsip persamaan
kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun
hukum internsional yang berlaku.dan dalam pemnbuatan perjanjian internasional
harus berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan,
dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Di
dalam pasal 18 UU No 24 tahun 2000 dijelaskan bahwa pengakhiran
perjanjian internasional itu ada beberapa syarat yaitu :
a. terdapat
kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b. tujuan
perjanjian tersebut telah tercapai;
c. terdapat
perubahan mendasar yang menpengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d. salah
satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e. dibuat
suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f. muncul
norma-norma baru dalam hukum internasional;
g. objek
perjanjian hilang;
Pro-kontra
disekitar materi kesepakatan MoU antara GAM dengan RI, 15 Agustus di Helsinki
masih tetap bergulir. Ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah dengan DPR
jelas tidak dapat disembunyikan. Fraksi PDIP bersikukuh menuduh bahwa
penandatanganan MoU tersebut telah melanggar konstitusi.
Butir-butir
kesepakatan antara lain bendera dan hymne sebagai symbol cultural Aceh, partai
local, dan sistem pemerintahan Aceh diklaim sebagai bukti pelanggaran tersebut.
Tidak kalah agresif, Amin Rais menuding bahwa pemerintah yang melakukan
penandatanganan MoU di Helsinki, tanpa ada kesepakatan dengan DPR/MPR,
diibaratkan tindakan pukul dahulu urusan kemudian, sebagai pertanda kekalahan
pemerintah RI terhadap GAM.
Dalam
konteks penandatanganan MoU antara GAM dengan RI, sejak awal harus disasari
bahwa pemerintah dan DPR tidak pernah ada kesamaan persepsi. Keanekaragaman
persepsi telah menimbulkan implikasi dilematis, sejak setelah MoU tersebut
ditandatangani.
Kenyataan
bahwa penolakan penyelesaian damai secara internasional (internationalization)
telah ditentang oleh banyak pihak, terbukti tidak menyurutkan usaha Management
Crisis Center, Mantan Presiden Findlandia, Ahtisari pada akhirnya tidak dapat
ditolak. Namun, perlu kita ketahui mengapa internasionalisasi itu ditolak. Hal
ini terkait dalam Pemerintah Indonesia umumnya menganggap bahwa GAM itu bukan
subjek hukum internasional. Sehingga menjadi tidak pantas jika kedudukan GAM
dengan RI menjadi sejajar. Pandangan sepihak inilah yang menimbulkan dari sikap
ignorance, pemerintah terhadap hukum internasional. Padahal dalam perspektif
hukum internasional teori kedaulatan Negara telah berubah begitu substansial.
Kekuatan global termasuk Civil-Society, tidak lagi dapat dipisahkan secara
hitam putih sehingga factor lain itupun turut menentukan.
Misalnya
apakah masih relevan bilamana GAM dipandang sebagai separatis atau musuh
Negara. Tentu saja tidak demikian. Sebab, ketika nilai-nilai HAM diterima
sebagai prinsip yang dapat membimbing kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
maka GAM mestinya harus diakui sebagai entitas politik yang diakui kedudukannya
sebagai subjek hukum internasional. Atas dasar pengakuan tersebut, jika tidak
pemerintah RI ketika itu menerima konsep GAM itu sebagai kelompok belligerensi
atau insergency. Sungguh tidaklah akan menurunkan martabat RI ataukah juga
mengangkat martabat GAM.
Dari
praktek penandatanganan MoU antara GAM dengan RI di Helsinki tersebut, bukan
saja pandangan terhadap GAM itu bukan subjek HI tidak relevan, juga telah
menunjukkan bahwa pada penyelesaian sengketa dalam negeri melalui mekanisme
internasional kali ini cukup berhasil dan efektif. Efektif hasil perundingan
MoU Helsinki didukung oleh beberapa faktor. Pertama, faktor kemauan politik
(Political Will) dari Pimpinan Nasional. Meskipun dalam parktek prosedural
negoisasi itu diragukan mengingat perundingan tersebut tidak dilakukan oleh
Presiden. Namun, mengingat sistem pemerintahan Indonesia Presidensil, maka
perbuatan Wakil Presiden sebenarnya juga mewakili Presiden. Soal mengapa tidak
Menteri Luar Negeri sebagai pelaku yang menandatangani memang agak menyamping
di luar kelaziman, sekaligus merupakan ruang yang lemah. Sebab, mekanisme lobi
negosiasi termasuk delegasi untuk perjanjian bilateral secara umum, Menlu
memilki surat kepercayaan penuh dari kepala Negara Letters of Credence.
Bagaimana peran Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Komunikasi dan Informasi
memiliki mandat ini tentang praktek yang sungguh baru. Fakta, dimana Menteri
Hukum dan HAM tersebut dalam negoisasi ini mengundang ruang yang sensitif,
terutama bilamana ada pihak-pihak yang tidak mau patuh pada MoU tersebut. Tokoh
Yusuf Kalla dan Hamid Awaludin adalah legendaris era reformasi dalam memediasi
konflik di Poso dan Ambon adalah modal yang tidak disanksikan ketegasan mereka
untuk tetap mempertahankan NKRI sebagai sesuatu yang final adalah patut
dibanggakan.
Kedua,
kesadaran masyarakat Eropa yang terdiri AMM, Monitoring Mission mendorong
tokoh-tokoh GAM yang ada di Eropa turut peduli mendukung perdamaian. Tokoh
Hasan Tiro, Malik Mahmood, Dr. Dahlan Zaeni, dan tokoh lainnya tidak
menentangnya. Kedudukan Mantan Presiden Ahtisari, menanamkan peranan
kharismatik. Sehingga modal utama keberhasilan perundingan adalah terletak pada
full frast. Kepercayaan penuh diberikan untuk GAM maupun RI. Menumbuhkan modal
kepercayaan ini sungguh tidak mudah. Sehingga kesepakatan yang dibuat
itupun menjadi kuat, ketika AMM juga turut mengawasi proses negosiasi dan juga
realisasi teknis di lapangan.
Kondisi
psikologis lapangan, yakni Aceh yang baru saja didera bencana Tsunami merambat
masyarakat Eropa dan Barat menaruh perhatian dan iba hati. No more War, let the
People of Aceh line in Peace.
Ketiga,
masyarakat Aceh tanpa disanksikan i’tikad mereka akan kebutuhan hidup yang
damai. Secara seremonial berbagai acara telah diselenggarakan dalam menyambut
perdamaian abadi tanpa ragu dengan NKRI. Situasi ini sungguh menjadi lebih
kuat, ketika hampir seluruh masyarakat Indonesia Aceh penghuni NKRI
abadi. No more War, No Redemption, No Violance.
Dengan
demikian, penandatanganan MoU antar GAM dengan NKRI 15 Agustus di Helsinki
adalah fakta sejaah berakhirnya permusuhan kekerasan, pertumpahan darah dan
perang. Lebih berat beban setelah peristiwa penandatanganan MoU adalah
menerapkan, memelihara dan mempertahankannya kesepakatan-kesepakatan tersebut
dalam perilaku kehidupan sehari-hari yang lebih tertib, aman, sejahtera, adil
dan makmur dalam NKRI.
Penolakan
sebagaian elit politik nasional terhadap penandatanganan MoU Helsinki 15
Agustus 2005 antara GAM dengan tim NKRI mengisyaratkan adanya cacat hukum,
invaliditas perundingan tersebut. Meskipun, pada akhirnya DPR menyetujui MoU,
termasuk Keppres Presiden tentang Amnesti di abolisi atas mantan GAM, fraksi
PDIP bersikukuh bahwa penandatanganan MoU tersebut melanggar UUD 1945 dan
sejumlah undang-undang lainnya.
Tak
kalah seru, Amin Rais sebagai tokoh PAN di Muhammadiyah menuding bahwa
penandatanganan MoU tanpa persetujuan DPR/MPR manandakan kekalahan pemerintah
RI. Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu, yang diusung oleh Abdurrahman Wahid ,
Try Sutrisno, Akbar Tanjung, Taufiq Kiemas, Norman Siregar dan Muhaemin Iskandar
juga menolak MoU tersebut. Argumentasi mereka selain MoU tersebut melanggar UUD
1945 dan sejumlah UU yang lain, juga cenderung mengarah pada lakernya negara
berbentuk Federalistik. Ketentuan Bendera, Hymne, Partai Lokal, dan Sistem
pemerintahan adalah indikator yang dipandang menyimpang.
Terhadap
pandangan negatif elit-elit politik tersebut, tampaknya pemerintah, khususnya
Yusuf Kalla dengan Hamid Awaludin, MenKumdam tidaklah terlalu peduli. Bahkan
Presiden SBY berkali-kali menegaskan, bahwa penandatanganan MoU oleh wakil GAM
dan NKRI perlu dipegang teguh dalam rangka membangun Aceh.
Eksistensi
MoU yang sedang diimplementasikan tersebut, memang sudah final sejak
terjadinya penadatanganan. Namun, suara-suara elit politik yang tidak setuju
akan tetap berpengaruh negatif dalam proses realisasinya. Tulisan ini
dikemukakan dalam upaya menjelaskan alasan mengapa validitas MoU dipertanyakan.
Kemudian berikutnya, bagaimana bangsa Indonesia seharusnya menyikapi hsil-hasil
perundingan tersebut secara gentlement agreement dan penuh kearifan.
Nota
kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep
hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya,
harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967
dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission).
Prinsip-prinsip
utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak
sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar
Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya.
Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh
karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of
Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi,
adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang
dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab
hukum pula.
Bagaimana
kaitannya dengan kasus penandatanganan MoU antara GAM dengan NKRI. Secara
jujur, sejak inisiatif perundingan yang oleh Presiden Gus Dur tahun 2001 di
Davos, Swedia, dan dilanjutkan dengan DOHA di Tokyo 2003, pemerintah khususnya
Departemen Luar Negeri bersikap ambigu atau tidak tegas. Sikap ambigu inilah
yang menyisakan problematika lanjut atas lahirnya kesepakatan-kesepakatan MoU
Helsinki. Pandangan yang menempatkan GAM bukan subjek hukum internasional, dan
lebih mengakui GAM sebagai kelompok separatis. Kelompok separatis dalam
khazanah ilmu politik adalah musuh negara berdaulat yang wajib dihancurkan.
Dibalik pemikiran inilah penggunaan kekerasan mendapatkan pembenaran. Tentu
saja, perilaku negeri seperti itu, bertentangan dengan nilai-nilai HAM.
Dapat
dimaklumi mengapa pemerintah tidak setuju melaksanakan perjanjian dengan
perangkat internasional. GAM buka sebjek HI, melainkan kelompok masyarakat
sebangsa. Sepertinya, jika GAM dilakukan sebagai subjek HI, seakan-akan
pemerintah Indonesia akan jatuh martabatnya. Dan dipihak lain GAM meningkat
derajatnya. Atas dasar pemikiran inilah, sikap tidak tegas pemerintah Indonesia
terhadap GAM dengan jelas terbaca. Keengganan sebagai masyarakat Indonesia
untuk menyelesaikan kasus GAM dan NKRI juga didasarkan oleh persepsi tersebut.[11]
Menurut
hukum internasional dalam keadaan tertentu pihak yang berperang/pemberontak
dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa. Keadaan
tertentu itu ditentukan oleh pengakuan pihak ketiga bagi pemberontak/pihak yang
berperang.[12]
BAB III
KESIMPULAN
Konvensi
WINA tahun 1969 mengatur tentang perjanjian internasional. Hal itu tertuang
dalam 4 seksi dan 12 pasal yang ada di dalamnya, yaitu pasal 26 sampai 38.
Seksi 1 terdiri dari pasal 26 dan 27. Pasal 26 menegaskan asas pacta sunt
servanda, bahwa setiap perjanjian yang telah memiliki kekuatan mengikat
terhadap para pihak, maka para pihak yang bersangkutan harus menghormati
perjanjian itu dengan penuh itikad baik. Pasal 27 menegaskan, bahwa hukum
nasional (internal law) tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan
kegagalannya menaati perjanjian.
Seksi
2 tentang penerapan suatu perjanjian internasional (application of treaties)
terdiri dari pasal 28,29, dan 30. Pasal 28 menegaskan tentang tidak berlaku
surutnya suatu perjanjian internasional, kecuali para pihak bermaksud
menentukan sebaliknya atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri bahwa
perjanjian itu berlaku surut. Pasal 29 menegaskan tentang ruang lingkup wilayah
dari berlakunya suatu perjanjian internasional, dengan menyatakan bahwa suatu
perjanjian internasional berlaku di dalam seluruh wilayah para pihak, kecuali
ditentukan sebaliknya oleh para pihak atau tersimpul dari perjanjian itu
sendiri.
Berkenaan
dengan hubungan antara penjanjian dengan pihak ketiga, terdiri dari lima pasal
yaitu pasal 34 sampai dengan 38. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa suatu
perjanjian internasional tidak menciptakan hak maupun kewajiban bagi pihak
ketiga tanpa persetujuan dari pihak ketiga yang bersangkutan. Pasal 35 ayat 1
dan 2 maupun pasal 36 ayat 1 dan 2, masing - masing mengatur tentang perjanjian
yang menetapkan kewajiban bagi pihak ketiga dan perjanjian yang menetapkan hak
bagi pihak ketiga. Selanjutnya dalam pasal 37 diatur tentang penarikan kembali
dan pengubahan atas kewajiban - kewajiban maupun hak - hak yang ditetapkan bagi
pihak ketiga tersebut. Sedangkan dalam pasal 38 diatur tentang ketentuan dalam
suatu perjanjian internasional yang menjadi mengikat pihak ketiga melalui
kebiasaan internasional.
Dalam
UU No 24 tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 1 yaitu perjanjian internasional adalah
perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum
internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban
di bidang hukum publik. Dalam pembuatan perjanjian internasional juga harus
memperhatikan kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip - prinsip persamaan
kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun
hukum internsional yang berlaku.dan dalam pemnbuatan perjanjian internasional
harus berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan,
dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Nota
kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep
hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya,
harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967
dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission).
Prinsip-prinsip
utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak
sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar
Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya.
Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh
karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of
Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi,
adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang
dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab
hukum pula.
DAFTAR
PUSTAKA
Chairul
Anwar SH;1989; Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa - Bangsa;
Djambatan ; Jakarta.
I
Wayan Parthiana SH.MH; 2005; Perjanjian Internasional Bagian 1;
Mandar Maju; Bandung
Jawahir Thontowi SH., Ph.D;
Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan
Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Sri Setianingsih Suwardi
SH;1986; Intisari Hukum Internasional Publik;Alumni;Bandung.
http://nzhafira.wordpress.com/2012/03/14/perjanjian-internasional/
http://www.omrudi.info/2011/01/makalah-perjanjian-internasional.html
Monday, May 27, 2019
Gadai Menurut Hukum Islam & Hukum Perdata (KHUP Perdata)
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur
kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan
rahmat-Nyalah saya dapat
menyelesaikan tugas makalah ini
dengan tepat waktu. Berikut ini penyusun mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Gadai Menurut Hukum Islam
& Hukum Perdata (KHUP Perdata)”,
yang menurut penulis dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita.
Melalui kata pengantar
ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan
yang kami buat kurang tepat.
Dengan ini saya
mempersembahkan makalah
ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini
sehingga dapat memberikan manfaat.
Serang, 05 Desember 2016
Penyusun,
Jon
Efendy Purba, S.Pd., SH
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
............................................................................................. i
DAFTAR ISI
........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2.
Rumusan Masalah
.............................................................................................. 5
1.3.
Maksud dan Tujuan
............................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian & Dasar Hukum Gadai (Rahn) Secara Menurut Hukum
Islam &
Menurut Kitab Undang - Undang Hukum
(KUHP) Perdata ..........................
6
2.2.
Rukun & Syarat Gadai (Rahn) secara Hukum Islam
...................................... 8
2.3.
Sifat & Ciri-Ciri Gadai (Rahn) ...................................................................... 10
2.4. Ruang
Lingkup Objek Gadai (Rahn) ............................................................ 12
2.5.
Pengambilan Manfaat Barang Gadai (Rahn) .............................................. 12
2.6.
Pandangan Ulama Mengenai Rukun Gadai (Rahn) ...................................... 13
2.7. Hapusnya
Gadai (Rahn) Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP)
Perdata dan Perum Pegadaian
....................................................................... 16
2.8. Pelunasan dari Hasil yang digadaikan ............................................................. 9
2.9.
Perbedaan & Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional ............... 18
2.10. Perlakuan
Bunga & Riba dalam Perjanjian Gadai (Menurut Pandangan Hukum Islam ..........................................................................................
20
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ..........................................................................................................
21
DAFTAR PUSTAKA
......................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam segenap aspek kehidupan
bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara untuk mencari uang dan salah
satunya dengan cara gadai / rahn (الرهن). Secara pengertian Gadai merupakan suatu yang
diperoleh seseorang piutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan
kepadanya oleh seorang berhutang, atau oleh seorang lain atas namanya. Dan yang
memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan dan pada orang-orang berpiutang lainnya,
dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya
mana yang harus didahulukan.[1]
Yang dimaksud dengan benda bergerak termasuk baik
benda berwujud maupun tidak berwujud, misalnya surat-surat berharga atas
tunjuk, yakni pembayaran dapat dilakukan kepada orang yang disebut dalam surat
itu atau kepada orang yang ditunjuk oleh orang itu (untuk surat-surat berharga,
apabila diadakan gadai masih diperlukan penyumbatan dalam surat itu bahwa
haknya dialihkan kepada pemegang gadai) disamping endossement diperlukan
juga penyerahan surat-surat berharga.[2]
Menurut
Para ulama’ (secara Hukum Islam)
berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila
memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan
masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan
tanpa mengetahui hukum dasar gadai tersebut. Dalam syari’at bermuamalah,
seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai
dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal
ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang
tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil
perbekalan demi perjalanan selanjutnya.[3]
Berdasarkan dari
uraian
yang telah dijabarkan, maka penulis
akan membahas Makalah mengenai “Gadai menurut Hukum Islam & Kitab
Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang ingin dilihat dalam
penulisan ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Gadai (Rahn) baik secara Hukum
Islam & Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata ?
2. Apa saja Ruang Lingkup Objek
Gadai (Rahn) ?
3. Bagaimana Sifat & Ciri – Ciri Gadai (Rahn) baik secara Hukum
Islam & Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata ?
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Mengetahui dan
memahami pengertian & Dasar Hukum Gadai (Rahn) baik secara Hukum
Islam & Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata.
2.
Mengetahui dan
memahami Ruang Lingkup Objek Gadai (Rahn).
3.
Mengetahui dan
memahami Sifat dan Ciri –
Ciri Gadai (Rahn) baik secara Hukum Islam & Menurut Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Gadai
(Rahn) & Dasar Hukum Secara Menurut Hukum Islam & Menurut Kitab Undang
- Undang Hukum (KUHP) Perdata
Menurut Hukum Islam secara bahasa, gadai / ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan
al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung atau terjerat.[4]
Menurut
istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah :
1. Akad yang objeknya menahan harga
terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[5]
2. Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan
syara’ sebagai jaminan hutangselama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang
itu atau mengambil sebagian benda itu.[6]
3. Gadai adalah suatu barang yang
dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.[7]
4. Gadai ialah menjadikan suatu
benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau
sebagian hutang dapat diterima.[8]
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam
dengan jaminan (brog) adalah firman Allah Swt.
JikArtinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya”.
(Surat ke-2 Al-Baqarah ayat 283).[9]
Syaikh Muhammad Ali as-sayis berpendapat, bahwa ayat
Al-Qur’an tersebut adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila
seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu
dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang
berpiutang rahn (الرهن).
Diriwayatkan
oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata :
“Rasullah Saw, telah
meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau
menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk
keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah
dibenarkan juga dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan,
sehingga tidak ada ke khawatiran bagi yang memberi piutang.
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai
hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor :
25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai
hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut
oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama)
membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam
hadist di atas.[10]
Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP)
Perdata bahwa Gadai atau yang disebut
juga dengan Pand, merupakan salah satu kebendaan yang termasuk
suatu lembaga jaminan yang di atur dalam buku ke II KUH Perdata. Dasar Hukum
Gadai menurut pasal 1150 KUH Perdata gadai adalah suatu hak yang diperoleh
seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkannya kepadanya
oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan
kepuasan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara di dahulukan dari pada orang. Orang berpiutang lainnya dengan
kekecualian biaya untuk menyelamatkannya setelah barang itu di gadaikan,
biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
Pandrecht adalah suatu hak kebendaan atas
suatu barang bergerak kepunyaan orang lain, hak mana semata - mata
diperjanjikan menyerahkan benit atas benda bergerak bertujuan
untuk mengambil pelunasan suatu barang dari pendapatan penjualan benda itu
lebih dahulu darin penagih-penagih lainnya.[11]
Sedangkan menurut pendapat R.
Wiyono Prodjodikoro yaitu :
“Gadai adalah suatu hak yang didapat oleh seorang
berpiutang suatu benda bergerak yang padanya diserahkan oleh si berutang atau
oleh seorang lain atau namanya untuk menjamin pembayaran hutang dan yang
memberikan hak kepada si berutang untuk dibayar lebih dahulu dari berpiutang
lainnya, yang diambil dari uang pendapatan penjualan barang itu”.[12]
Sedangkan menurut R. Subekti,
gadai adalah sebagai berikut :
“Perjanjian yang menyebabkan bahwa tanahnya di
serahkan untuk menerima tunai ke sejumlah uang, dengan permufakatan bahwa si
penyerah akan berhak mengembalikan tanah itu ke dirinya sendiri dengan jalan
membayar sejumlah uang yang sama maka perjanjian (transactie) dinamakan gadai
tanah (Ground Verpanding).”[13]
2.2. Rukun & Syarat Gadai (Rahn) Menurut Hukum Islam
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda
memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu :
1. Akad dan ijab Kabul
2. Aqid, yaitu orang yang
menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat yang
berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal
ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama
Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual
beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.[14]
3. Barang yang dijadikan jaminan
(borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu
tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang
yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”.
4. Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap.
Menurut ulam Hanafiyah
mensyaratkan marhun, antara lain[15]
:
1. Dapat diperjual belikan,
2. Bermanfaat,
3. Jelas,
4. Milik rahin,
5. Bisa diserahkan,
6. Tidak bersatu dengan harta lain,
7. Dipegang oleh rahin, dan
8. Harta yang tetap atau dapat
dipindahkan.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah
apabila memenuhi empat syarat, yaitu[16]
:
1. Orangnya sudah dewasa.
2. Berpikiran sehat.
3. Barang yang akan digadaikan sudah
ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu dapat diserahkan /
diserahkan kepada penggadai.
4. Barang atau benda yang dapat
dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan
dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah).
2.3. Sifat & Ciri – Ciri Gadai (Rahn)
Secara umum Gadai (Rahn) menurut konteks Hukum Islam
dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan
penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan
sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas
barang yang digadaikan. Gadai (Rahn) juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna
apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam
meminajam, titipan dan qirad.[17]
Menurut Hukum Perdata bahwa Gadai secara sifat terdiri
5 kategori sifat, sebagai berikut[18]
:
1. Gadai adalah hak kebendaan
Dalam Pasal 1150 KUH Perdata tidak disebutkan sifat gadai, namun demikian
sifat kebendaan ini dapat diketahui dari Pasal 1152 ayat (3) KUH Perdata yang
menyatakan bahwa: “Pemegang gadai mempunyai hak revindikasi dari Pasal 1977
ayat (2) KUH Perdata apabila barang gadai hilang atau dicuri”. Oleh karena hak
gadai mengandung hak revindikasi, maka hak gadai merupakan hak kebendaan sebab
revindikasi merupakan ciri khas dari hak kebendaan.
Hak kebendaan dari hak gadai bukanlah hak untuk menikmati suatu benda diserahkan kepada kreditor tetapi tidak untuk
dinikmati, melainkan untuk menjamin piutangnya dengan mengambil, penggantian
dari benda tersebut guna membayar piutangnya.
2. Hak gadai bersifat accesoir
Hak gadai hanya merupakan tambahan saja dari perjanjian pokoknya, yang
berupa perjanjian pinjam uang. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa seseorang
akan mempunyai hak gadai apabila ia mempunyai piutang, dan tidak mungkin
seseorang dapat mempunyai hak gadai tanpa mempunyai piutang. Jadi hak gadai
merupakan hak tambahan atau accesoir, yang ada dan tidaknya
tergantung dari ada dan tidaknya piutang yang merupakan perjanjian pokoknya.
Dengan demikian hak gadai akan hapus jika perjanjian pokoknya hapus.
Beralihnya piutang membawa serta beralihnya hak gadai, hak gadai berpindah
kepada orang lain bersamasama dengan piutang yang dijamin dengan hak gadai
tersebut, sehingga hak gadai tidak mempunyai kedudukan yang berdiri sendiri
melainkan accesoir terhadap perjanjian pokoknya.
3. Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi
Karena hak gadai tidak dapat dibagi-bagi, maka dengan dibayarnya sebagian
hutang tidak akan membebaskan sebagian dari benda gadai. Hak gadai tetap membebani
benda gadai secara keseluruhan. Dalam Pasal 1160 KUH Perdata disebutkan bahwa :
“Tak dapatnya hak gadai dan bagi-bagi dalam hal kreditor, atau debitur
meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa ahli waris.“
Ketentuan ini tidak merupakan ketentuan hukum memaksa, sehingga para pihak
dapat menentukan sebaliknya atau dengan perkataan lain sifat tidak dapat
dibagi-bagi dalam gadai ini dapat disimpangi apabila telah diperjanjikan lebih
dahulu oleh para pihak.
4. Hak gadai adalah hak yang
didahulukan
Hak gadai adalah hak yang didahulukan. Ini dapat diketahui dari ketentuan
Pasal 1133 dan 1150 KUHPerdata. Karena piutang dengan hak gadai mempunyai hak
untuk didahulukan daripada piutang-piutang lainnya, maka kreditor pemegang
gadai mempunyai hak mendahulu (droit de preference). Benda yang menjadi
obyek gadai adalah benda bergerak baik yang bertubuh maupun tidak
bertubuh.
5. Hak gadai
Adalah hak yang kuat dan mudah penyitaannya. Menurut Pasal 1134 ayat (2)
KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Hak gadai dan hipotik lebih diutamakan
daripada privilege, kecuali jika undang-undang menentukan
sebaliknya“. Dari bunyi pasal tersebut jelas bahwa hak gadai mempunyai
kedudukan yang kuat. Di samping itu kreditor pemegang gadai adalah termasuk
kreditor separatis. Selaku separatis, pemegang gadai tidak terpengaruh oleh
adanya kepailitan si debitor.
Kemudian apabila si debitor wanprestasi, pemegang gadai dapat dengan mudah
menjual benda gadai tanpa memerlukan perantaraan hakim, asalkan penjualan benda
gadai dilakukan di muka umum dengan lelang dan menurut kebiasaan setempat dan
harus memberitahukan secara tertulis lebih dahulu akan maksud-maksud yang akan
dilakukan oleh pemegang gadai apabila tidak ditebus (Pasal 1155 ayat (2) KUH
Perdata). Jadi di sini acara penyitaan lewat juru sita dengan
ketentuan-ketentuan menurut Hukum Acara Perdata tidak berlaku bagi gadai.
2.4. Ruang Lingkup Gadai (Rahn)
Didalam perjanjian gadai objek-objek gadai menurut
hukum perdata tersebut selalu mengikuti dari perjanjian gadai. Objek tersebut
memiliki kekuatan hukum sesuai dengan hak kebendaan yang selalu mengikat dalam
suatu perjanjian gadai. Hak kebendaan tersebut di dalam hukum perdata
mengandung ciri-ciri sebagai berikut[19]
:
1.
Benda yang dijadikan sebagai benda jaminan senantiasa
dibebani hak tanggungan. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas sebagaimana
diatur dalam pasal 1150 KUH Perdata.
2. Si berpiutang yang memegang gadai
menuntut haknya untuk menerima pelunasan pembayaran hutang dengan satu
pembuktian pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 1151 KUH Perdata yang berbunyi
sebagai berikut "Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang
diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokok".
3. Objeknya adalah benda bergerak
baik berwujud maupun tidak berwujud.
4. Hak gadai merupakan hak yang
dilakukan atas pembayaran dari pada orang-orang berpiutang lainnya.
5. Benda yang dijadikan objek gadai
merupakan benda yang tidak dalam sengketa dan bermasalah.
6. Benda gadai harus diserahkan oleh
pemberi gadai kepada pemegang gadai
7. Semua barang bergerak dapat
diterima sebagai jaminan sesuai dengan kriteria-kriteria pihak Perum Pegadaian.
2.5. Pengambilan Barang Manfaat Gadai (Rahn)
Menurut Hukum Islam bahwa dalam pengambilan manfaat barang-barang yang
digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu
manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena
hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila
dimanfaatkan termasuk riba.
Rasullullah SAW. bersabda :
“Setiap orang yang menarik
manfaat adalah termasuk riba” riwayat
Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian
berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat
diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda
tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama
kendaraaan atau binatang itu ada padanyaJika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh
menggunakan barang gadai tersebut.
Rasullullah SAW. bersabda :
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila
digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya,
bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan
biaya”.[20]
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut
ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan.
Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu
adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa
kendaraan. Jadi yang di bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan
terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.[21]
2.6. Pandangan Ulama Mengenai Rukun Gadai (Rahn)
Rukun
gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih (yang
diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara
detil mengnai rukun gadai beserta pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan
rukun gadai terdiri dari tiga bagian:
Pertama: Orang yang menggadaikan
Tidak ada perselsihan bahwa
di antara sifat-sifat orang yang menggadaikan adalah mahjur alaih dan
dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang
dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang
berada dalam kekuasaanya manakala tindakan tersebut untuk melunasi hutang dan
memang diperlukan, pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.
Menurut Syafi’i, washi
dibolehkan menggadaikan karena ada kepentingan yang jelas. Menurut Malik, budak
mukatab (budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara mencicil) dan
orang yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang
menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak boleh, maka
dalam hal ini Syafi’i juga mengemukakan pendapat yang sama.
Malik dan Syafi’i sependapat
bahwa orang bangkruttidak boleh menggadaikan, namun Abu Hanifah membolehkan
bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas dari Malik berkenaan dengan
orang yang habis hartanya karena hutang, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam
arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat Malik yang
terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi bangkrut.
Kedua : Akad gadai
Ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, harus
berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua, kepemilikan barang
yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Malik membolehkan penggadaikan
mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya. Perselisihan dalam hal ini
berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala
pelunasan hutang itu sudah jatuh tempo.
Menurut imam Malik
menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh, seperti tanaman tani
dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka
menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang sudah jatuh tempo.
Tentang penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari Syafi’i ada dua
pendapat, boleh menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah
tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang
paling benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang belum
jelas nilainya seperti dinar dan dirham yang sudah dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafi’i,
kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai.
Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman. Para fuqaha
sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa barang
gadaian harus berada di tangan penerima gadaian. Kemudian mereka berselisih
pendapat apabila penerima gadai menerima barang tersebut dengan cara merampas,
kemudian orang yang dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai
barang gadai an yang ada di tangannya. Dalam hal ini imam Malik membolehkan
pemindahan barang yang dirampas itu dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan
gadai. Orang yang dirampas barangnya itu menganggap barangnya tersebut sebagai
barang gadai di tangan perampas, sebelum ia menerima barang itu.
Berbeda dengan Malik, maka
menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu tetap berada dalam tanggungan
ghashab, kecuali jika orang yang dirampas menerima kembali barangnya. Dalam
kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang penggadaian bagian
barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut
Malik dan Syafi’i boleh.
Ketiga: Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab
Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk semua barang yang berharga dan
dapat diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu harus tunai. Karena
itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam, meski
pun menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf.
Sekelompok fuqaha zahiri
berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang pesanan. Demikian itu
karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang
barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan.
Menurut madzhab Maliki
dibolehkan mengambil gadai pada salam hutang, ghashab harga barang-barang
konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak
penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti al-Ma’mumah dan
al-Jaifah.
Gadai juga dibolehkan pada
barang pinjaman yang diboleh tanggungan dan tidak dibolehkan pada barang
pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan pada sewa
menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan sebelumnya.
Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh pada hudud,
qishash atau proses kemerdekaan budak.
Dalam hubungan ini menurut
pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat.
Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan.
Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika
seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi
Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam
proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam
kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.[22]
2.7. Hapus Gadai (Rahn) Menurut KUH Perdata dan Peraturan Perum Pegadaian
Setiap ada awal pasti ada akhir setiap permasalahan
pasti ada penyelesaian. Begitu juga dengan gadai pasti akan ada pula hapus atau
berakhirnya hak gadai. Berakhirnya persetujuan gadai adalah merupakan rentetan,
setelah terlaksananya persetujuan.
Mengenai cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai
menurut KUH Perdata adalah sebagai berikut[23]
:
1.
Hak gadai hapus
apabila hutang telah dibayar oleh si berutang.
2.
Hak gadai hapus
apabila barang yang di gadaikan keluar dari kekuasaan si penerima gadai.
3.
Apabila sudah
dilepaskan oleh penerima gadai melunasi atas dasar atau kemauan sendiri dari
penerima gadai maka penerima gadai mengembalikan barang yang digadai pada
pemberi gadai.
4.
Karena
persetujuan gadai bersifat uccessoir yang jika perjanjian pokok berakhir maka
dengan sendirinya gadaipun berakhir.
5.
Bila barang yang digadaikan musnah atau terbakar
diluar kehendak atau kemampuan pemegang gadai. Dimana penerima dan pemberi
gadai sama-sama mengalami.
6.
Barang gadai menjadi milik dari si pemegang gadai atas
kesepakatan atau persetujuan dari si pemberi gadai (pengalihan hak milik atas
kesepakatan).
Berakhirnya gadai dapat juga berakhir apabila tanah
gadai musnah karena bencana alam atau lainnya, maka perjanjian gadai berakhir
dan pemegang gadai tidak berhak untuk meminta uang gadainya kembali dari penggadai.
2.8. Pelunasan dari Hasil yang digadaikan
Pasal 1200-1206 berhubungan dengan hak-hak dan wajib-wajib dari pemegang
gadai yang dapat dibela dalam hak-hak dan kewajiban yang ada selama adanya hak
gadai dan hak-hak beserta kewajiban yang berhubungan dengan pengambilan
pelunasan yang dapat dilakukan oleh pemegang gadai atas benda yang digadaikan
dalam wanprestasi dari debitur. Arti dari hak gadai terdiri antara lain dari
hal bahwa kreditur atau pemegang gadai adalah wewenang untuk melakukan
penjualan atas kuasa sendiri benda yang digadaikan. Apabila debitur atau
pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya. Dalam umumnya kreditur dapat
menguatkan benda yang digadaikan tersebut untuk mengambil pelunasan uang pokok,
bunga dan biaya-biaya tanpa diharuskan pertama-tama memancing suatu penghukuman
debitur oleh pengadilan. Dalam pada itu, ia terikat pada ketentuan untuk
memperhatikan beberapa aturan yang dicantumkan dalam pasal 1201.
Dari hal tersebut perlu kita ketahui bahwa bagaimanapun juga tidak boleh
terjadi dalam hal debitur melakukan wanprestasi. Dari pihak pemberi gadai
dapatlah si pemegang gadai, berdasarkan pasal 1201 dan dengan mengindahkan
formalitas-formalitas yang harus ada dalam pasal-pasal tersebut menyuruh agar
benda tersebut dijual tetapi disamping itu pasal 1201 memberikan kepadanya hak
untuk berhubungan dengan hakim dan untuk menuntut agar hakim menemukan suatu
cara tertentu bagi penjualan benda yang digadaikan tersebut. Agar hakim
menyetujui benda-benda yang digadaikan diterima oleh si pemegang gadai sebagai
pembayar untuk sejumlah uang tertentu, jumlah mana akan ditetapkan oleh hakim.
Jika para pihak pada saat mengadakan perjanjian gadai sudah menghendaki
untuk mengadakan peraturan tentang cara memperjuangkan benda yang digadaikan dalam
hal demikianlah Hoge Raad (1 April 1927), tidak dibenarkan pemberian wewenang
untuk pengambilan pelunasan dengan penjualan dibawah tangan, tetapi tidak
dibolehkan ialah menentukan bahwa si pemegang gadai hanya atau dapat menempuh
cara bertindak sebagaimana ditentukan dalam pasa 1203.
Sesudah perjanjian benda yang digadaikan, kreditur wajib untuk
mempertanggungjawabkan hasil (pengurangan) kepada debitur dan untuk membayar
kepadanya sisa lebihnya. Dalam hal kepailitan sesuai pemegang gadai
berkedudukan ebagai yang disebut separatis. Hogd Raad mengemukakan
bahwa suatu penetapan expasal 1202 belum membuktikan adanya hak gadai, sebab
piutang yang bersangkutan tidak ditujukan pada sebuah penetapan pengadilan
mengenai adanya hak gadai (Ares. H. R. 25 Januari 1934). Dan selanjutnya
mengenai cell-cell atas tunjuk, bahwa orang yang menerbitkan “cell cell” itu
wajib kepada setiap pemegang yang jujur jadi c.q juga kepada si pemegang gadai
yang sesudah penyerahan barang harus berbuat menurut pasal 1201 dengan
barang-barang itu.[24]
2.9. Perbedaan Gadai
Konvensional & Gadai Syari’ah
1. Secara Pengertian
a.
Pegadaian
Syari’ah
Gadai dalam
fiqh gadai (rahn) adalah prjanjian suatu barang sebagai tanggungan hutang, atau
menjadikan suatu benda bernilai menutrut pandangan syara sebagai tanggungan
pinjaman, sehingga dengan adanya tanggungan utang ini seluruh atau sebagian
utang dapat diterima.[25]
b.
Pegadaian
Konvensional
Pegadaian
Konvensional (Umum) adalah suatu hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai pitutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh orang lain atas nama
orang yang mempunyai utang, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah barang itu digadaikan.[26]
2. Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah
Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah
seperti berikut:
1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang,
2. Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang,
3. Barang yang digadaikan di tanggung pemberi gadai, dan
4. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang
yang di gadaikan boleh di jual atau di lelang.
3. Perbedaan
gadai syariah dengan gadai konvensiaonal
Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional adalah sebagai berikut :
1. Gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari
keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong-
menolong tetapi juga menarik keuntungan.
2. Hak gadai syariah berlaku pada seluruh harta (beda
bergerak dan benda tidak bergerak).
3. Gadai syariah dilaksanakan melakukan suatu lembaga,
sedangkan gadai konvensional dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum
pegadaian).[27]
2.10. Perlakuan
Bunga & Riba dalam Perjanjian Gadai (Menurut Pandangan Hukum Islam)
Aktivitas perjanjian gadai
yang selama ini telah berlaku, yang pada dasranya adalah perjanjian
utang-piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba
terjadi apabila dalam perjanjian gadai ditemukan bahwa harus memberikan
tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang, pada waktu
membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh murtahin ( مرتØÙ† ). Hal
ini lebih sering disebut bunga gadai dan perbuatan yang dilarang syara’. Karena
itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak membenarkan adanya praktik
pemungutan bunga karena larangan syara’, dan pihak yang terbebani, yaitu pihak
penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan
utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.[28]
Kondisi saat ini, gadai
sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah.
Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut tentu sudah bersifat komersil.
Artinya pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya
yang telah dikeluarkan, sehingga pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang
tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa.[29]
Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai yang ada saat
ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang
memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh
syara’ menurut A.A. Basyir.[30]
Mengenai riba itu,
Afzalurahman dalam Muhammad Skholikhul Hadi, memberikan pedoman bhwa yang
dikatakan riba, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut :
1) Kelebihan dari pokok pinjaman
2) Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo
pembayaran;
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Secara Pengertian Gadai (Rahn)
Menurut Hukum Islam secara bahasa, gadai / ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan
dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung atau terjerat. Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai
hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor :
25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai
hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut
oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama)
membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam
hadist di atas.
Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP)
Perdata bahwa Gadai atau yang disebut
juga dengan Pand, merupakan salah satu kebendaan yang termasuk
suatu lembaga jaminan yang di atur dalam buku ke II KUH Perdata. Dasar Hukum
Gadai menurut pasal 1150 KUH Perdata gadai adalah suatu hak yang diperoleh
seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkannya kepadanya
oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan
kepuasan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara di dahulukan dari pada orang. Orang berpiutang lainnya dengan
kekecualian biaya untuk menyelamatkannya setelah barang itu di gadaikan,
biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
Ruang Lingkup Gadai (Rahn)
Didalam perjanjian gadai objek - objek gadai menurut
hukum perdata tersebut selalu mengikuti dari perjanjian gadai. Objek tersebut
memiliki kekuatan hukum sesuai dengan hak kebendaan yang selalu mengikat dalam
suatu perjanjian gadai. Hak kebendaan tersebut di dalam hukum perdata
mengandung ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Benda yang dijadikan sebagai benda jaminan senantiasa
dibebani hak tanggungan. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas sebagaimana
diatur dalam pasal 1150 KUH Perdata.
2.
Si berpiutang yang memegang gadai menuntut haknya
untuk menerima pelunasan pembayaran hutang dengan satu pembuktian pokok
sebagaimana diatur dalam Pasal 1151 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut
"Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan
bagi pembuktian persetujuan pokok".
3.
Objeknya adalah benda bergerak baik berwujud maupun
tidak berwujud.
4.
Hak gadai merupakan hak yang dilakukan atas pembayaran
dari pada orang-orang berpiutang lainnya.
5.
Benda yang dijadikan objek gadai merupakan benda yang
tidak dalam sengketa dan bermasalah.
6.
Benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada
pemegang gadai
7.
Semua barang bergerak dapat diterima sebagai jaminan
sesuai dengan kriteria-kriteria pihak Perum Pegadaian.
......... Sifat
& Ciri – Ciri Gadai (Rahn)
Secara umum Gadai (Rahn) menurut konteks Hukum Islam
dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan
penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan
sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas
barang yang digadaikan. Gadai (Rahn) juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna
apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam
meminajam, titipan dan qirad.
Menurut Hukum Perdata bahwa Gadai secara sifat terdiri
5 kategori sifat, sebagai berikut :
1. Gadai adalah hak kebendaan,
2. Hak gadai bersifat accesoir,
3. Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi,
4. Hak gadai adalah hak yang
didahulukan, dan
5. Hak gadai.
DAFTAR PUSTAKA
Akses
Sumber Berdasarkan Literatur Buku :
Adrian Sutedi, Hukum
Gadai Syariah, (Bandung :
Alfabeta, 2011).
Ahmad
Azhar Basyir,
Pembahasan mengenai : Riba, Utang - piutang, dan Gadai, Cetakan Ke - II, (Bandung : Al-
Ma’arif, 1983).
Al-kahlani, Subul Al – Salam.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar
fiqh muamalah, (Jakarta : Bulan Bintang 1984).
Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, Cet. 1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002).
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung : Alumni Bandung, 1992).
Ibnu
Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihaya al-Muqtashid, (Bairut : Dar
al-Jiil, 1990).
Muhammad Skholikhul Hadi, Pegadaian
Syari’ah, (Salemba Diniyah. 2003).
R. Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, (Jakarta :
Intermasa, 1997).
R. Subekti, Jaminan-Jaminan
Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. intermassa, 1997).
R. Wiryono, Prodjodikoro, Hukum
Perdata Hak Atas Benda, (Jakarta : Pembimbing Massa, 1993).
Sayyid
Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad
al-Tsalis, (Kairo : Dar al-fath lil I’lam al-‘Arabi, 1990).
Sulaiman
Rasyid. Fiqh islam, (Jakarta : Al - Tahiriyah, 1973).
Akses
Sumber Berdasarkan Al – Qur’an :
Landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan firman Allah Swt dalam Surat
ke – 2 : Al – Baqarah ayat 283.
Akses
Sumber Berdasarkan Internet Browser :
Hadi
Muttaqin, “Pengertian dan Sifat - Sifat Gadai, yang berdasarakan link internet : http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-dan-sifat-sifat-gadai.html.
Ria
Saidah, “Makalah Fiqh Muamalah Gadai
(Rahn)”, diakses berdasarkan link internet browser
: http://hamasfaiumi.blogspot.co.id/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html.
Sunaryo hadi, ”Pembahasan Mengenai Gadai”, diakses berdasarkan link internet browser
: http://datarental.blogspot.com/2009/06/gadai.html.
Wardah, Cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai
menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP) Perdata, yang berdasarakan link internet browser : http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/gadai.html.
[1] Sunaryo hadi, ”Pembahasan Mengenai Gadai”, diakses berdasarkan link internet : http://datarental.blogspot.com/2009/06/gadai.html, pada hari Jum’at, tanggal 02 Desember 2016, jam 10.00 Wib.
[3] Ria Saidah,
“Makalah Fiqh Muamalah Gadai (Rahn)”,
diakses berdasarkan link internet : http://hamasfaiumi.blogspot.co.id/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html, pada hari Jum’at, tanggal 02 Desember 2016,
jam10.15 Wib.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, (Kairo : Dar al-fath lil I’lam al-‘Arabi, 1990), hal. 123.
[8] Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-piutang, dan
Gadai, Cet. Ke II, (Bandung : Al- Ma’arif, 1983), hal. 50.
[9] Landasan hukum pinjam-meminjam
dengan jaminan firman Allah Swt dalam Surat ke – 2 : Al – Baqarah ayat 283.
[12] R. Wiryono, Prodjodikoro, Hukum Perdata Hak Atas Benda,
(Jakarta :
Pembimbing Massa, 1993), hal. 180.
[13] R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian
Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. intermassa, 1997), hal.
112.
[18] Hadi Muttaqin, “Pengertian dan Sifat - Sifat Gadai, yang berdasarakan link internet : http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-dan-sifat-sifat-gadai.html, diakses pada hari Sabtu, tanggal 03 Desember 2016, jam 14 : 00 Wib.
[22] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya
al-Muqtashid, (Bairut : Dar al-Jiil,
1990), hal. 204.
[23] Cara berakhirnya atau hapusnya
suatu gadai menurut KUH Perdata, yang berdasarakan link internet : http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/gadai.html,
diakses pada hari Sabtu, tanggal 03 Desember 2016, jam 14 : 20 Wib.
[24] Sunaryo hadi, ”Pembahasan Mengenai Gadai”, diakses berdasarkan link internet : http://datarental.blogspot.com/2009/06/gadai.html, pada hari Sabtu, tanggal 03 Desember 2016, jam 14.30 Wib.
[30] Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-piutang, dan
Gadai, Cet. Ke II, (Bandung : Al- Ma’arif, 1983), hal. 50.
Subscribe to:
Posts (Atom)
ANALISIS PENGATURAN MENGENAI PPPK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2023 TENTANG ASN
PENGATURAN MENGENAI PPPK Pentingnya pemahaman mengenai ASN PPPK, sehingga perlu melakukan analisis atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 t...
-
A. Pengertian Penganiayaan Delik penganiayaan dalam tatanan hukum termasuk suatu kejahatan, yaitu suatu perbuatan yang dapat dikenai...
-
Adapun pasal-pasal yang mengatur tindak pidana perkosaan sebagaimana yang tercantum dalam KUHP, adalah sebagai berikut : Pasal 285 KUHP ...
-
Oleh: Jon Efendy Purba, S.Pd, SH I. PENDAHULUAN Tajuk makalah ini erat kaitannya dengan Putusan yang merupakan salah satu produk H...