BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perjanjian
Internasional adalah suatu ikatan hukum yang terjadi berdasarkan kata sepakat
antara negara-negara sebagai anggota organisasi bangsa-bangsa dengan tujuan
melaksanakan hukum tertentu yang mempunyai akibat hukum tertentu. Perjanjian
internasional adalah hasil kesepakatan yang dibuat oleh subjek hukum
internasional baik yang berbentuk bilateral, regional maupun multilateral [1]
Kerja
sama antar negara saat ini sudah tidak dapat lagi dihindarkan. Bentuk kehidupan
sangat kompleks sangat rentan untuk terjadi perselisihan. Untuk menghindari
agar perselisihan tidak terjadi maka masyarakat internasional harus senantiasa
bertumpu pada aturan atau norma, aturan tersebut tidak hanya dibuat untuk
menghindari perselisihan, akan tetapi juga untuk menertibkan, mengatur dan
memelihara hubungan antarnegara.perwujudan kerjasama tersebut dituangkan dalam
bentuk perjanjian [2].
Oleh karena itu perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum
internasional yang penting. Tidak semua perjanjian internasional bisa dapat menciptakan suatu aturan hukum
internasional. [3]
Ruang lingkup perjanjian internasional meliputi subjek yang luas seperti bidang
ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, perdagangan, dan teknik. Dewasa ini
terdapat berbagai ragam jenis perjanjian internasional yang meliputi extradisi, batas antar
negara, soal - soal pengungsi, kebudayaan, persekutuan - persekutuan militer,
hubungan - hubungan diplomatik dan konsuler, komunikasi dan transportasi,
industri, perdagangan, serta bidang - bidang lainnya. [4]
Konvensi,conventie,convention
termasuk juga salah satu istilah yang sudah umum digunakan dalam bahasa
Indonesia untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional multilateral, baik
yang diprakarsai oleh negara - negara maupun oleh lembaga atau organisasi
internasional. Pada umumnya konvensi digunakan untuk perjanjian - perjanjian
multilateral yang mengatur tentang masalah besar dan penting dan dimaksudkan
untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang dapat berlaku secara
luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum.[5] Perselisihan
- perselisihan yang berkenaan dengan perjanjian internasional seperti halnya
perselisihan - perselisihan dalam bidang lain pada umumnya, seyogyanya
diselesaikan secara damai sesuai dengan prinsip - prinsip keadilan dan hukum internasional.("Affirming
that disputes concerning treaties, like other internasional disputes,should be
settled by peaceful means and in conformity with the principles of justice and
international law"). Dalam konsideransi ini terkandung suatu harapan
supaya negara - negara berusaha menyelesaikan perselisihannya yang timbul dari
suatu perjanjian internasional secara damai.
Dalam
hukum internasional dikenal berbagai macam cara penyelesaian perselisihan
secara damai, misalnya melalui perundingan langsung antara pihak yang
bersengketa, dengan melalui peranan pihak ketiga, baik pihak ketiga itu sebagai
pemberi jasa baik, sebagai perantara, maupun sebagi penengah. Selain itu ada
pula penyelesaian secara damai melalui jalur lembaga peradilan atau lembaga
penyelesaian sengketa yang lain berdasarkan hukum, seperti melalui arbitrase,
melalui Mahkamah Internasiaonal maupun Mahkamah Regional. Upaya penyelesaian
sengketa secara damai lainnya yang dapat ditempuh adalah melalui lembaga atau
organisasi internasional dimana pihak - pihak yang bersengketa menjadi
anggotanya. Adanya harapan dan himbauan ini dilandasi oleh suatu anggapan
bahwa betapapun besar dan rumitnya suatu sengketa, masih tetap lebih baik
diselesaikan dengan cara damai. Penyelesaian sengketa secara damai memang
sangat sedikit, bahkan tidak ada yang menimbulkan dampak negatif terhadap para
pihak manapun, jika dibandingkan dengan penyelesaian dengan kekerasan senjata,
seperti perang maupun bentuk konflik bersenjata lainnya.[6] Nota kesepahaman, Memorandum of
Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian
internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya, harus mematuhi
kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967 dari Komisi
Hukum Internasional (International Law Commission). Prinsip-prinsip utama yang
biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak sebagai subjek
hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta
Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya. Mereka ini
memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh karena
memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of Credence).
Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi, adapsi,
penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan
mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab hukum.[7]
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konvensi WINA 1969 dan UU No.24 tahun
2000 yang mengatur tentang perjanjian internasional ?
2. Bagaimana
Hubungan Kaitannya Mou dengan KPA ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Asas
Mou Helsinki
Gerakan
Aceh Merdeka bersama Pemerintah Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman
damai di Helsinki, 15 Agustus 2005 lalu. Kesepakatan itu telah disepakati
beberapa poin menyelesaikan konflik Aceh berkepanjangan. GAM dan RI bertekad
untuk menciptakan kondisi bersama, sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat
diwujudkan melalui proses demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan
konstitusi Republik Indonesia.
MoU
Helsinki memuat beberapa item kesepakatan, di antaranya bidang penyelenggaraan
pemerintahan di Aceh, ekonomi, politik, HAM, peraturan perundang-undangan,
amnesti, dan reintegrasi.
Untuk
menyegarkan ingatan akan nota kesepahaman bersama antara RI dan GAM itu,
wartawan mengutip kembali beberapa butir kesepakatan yang dituangkan dalam MoU
Helsinki, seperti peraturan perundang-undangan.
Dalam
poin ini, kedua belah pihak sepakat mengakui adanya pemisahan kekuasaan antara
badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif di Aceh. Selain itu, Legislatif
Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan
prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan
Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan
mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dalam
poin peraturan perundang-undangan tersebut juga disepakati mengenai adanya
suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan
tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.
Selanjutnya
RI dan GAM juga sepakat mengangkat Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi
mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan
pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan
berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan
standar nasional yang berlaku.
Poin
peraturan perundang-undangan yang disetujui tersebut juga mengatur tentang
semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili
pada pengadilan sipil di Aceh.
Selain
itu MoU Helsinki juga mengatur tentang kepatuhan Pemerintah RI terhadap Kovenan
Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan
mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Perjanjian
damai yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 15 Agustus 2005 lalu
tersebut juga setuju adanya sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia yang akan
dibentuk untuk Aceh serta adanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan
dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia. Komisi ini
bertugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsilias
B. Dasar
Mula Adanya KPA
Namanya
Muzakir Manaf, tapi orang Aceh biasa menyapa lelaki ini
dengan sebutan Mualem. Pada masa perang Aceh dahulu, gelar Mualem
disematkan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi tentang ilmu
kemiliteran dan memiliki kemampuan untuk melatih pasukannya. Namun, sekarang
sebutan itu menjadi sapaan kehormatan. Tak hanya bagi mantan Panglima Gearakan
Aceh Merdeka (GAM) ini, sapaan kehormatan tersebut juga untuk mantan kombatan
lainnya yang tersebar di provinsi paling barat Indonesia tersebut.
Pria
kelahiran Seuneudon, Aceh Utara pada 1964 itu, kini menjabat sebagai wakil
gubernur Aceh mendampingi Zaini Abdullah sebagai gubernur.
Sebelumnya,
kehidupan Muzakir selalu akrab dengan sejanta dan hutan. Setelah
Abdullah Syafie wafat pada 22 Januari 2002, dia pun ditunjuk untuk
menggantikannya menjadi Panglima Gerakan Aceh
Merdeka (2002-2005).
Usai Memorandum
of Understanding (MoU) Helsinki ditandangani pada 15 Agustus 2005,
sayap militer GAM dibubarkan. Kemudian dibentuk KPA (Komite
Peralihan Aceh) sebagai wadah transisi mantan kombatan GAM ke masyarakat
sipil biasa. Sejak pertamakali dibentuk pada 2005 hingga sekarang, dia menjabat
Ketua KPA. Muzakir juga sekaligus menjabat Ketua Umum Partai Aceh,
sejak 2007 hingga sekarang.
Meski
saat ini telah terjun langsung dalam dunia politik, namun tidak seperti
kebanyakan politisi lainnya. Muzakir Manaf dikenal sebagai sosok
yang tak banyak bicara. Dirinya tidak ingin membuat
masyarakat Aceh bingung. Jika bicara pun dia memilih hal yang
pasti-pasti saja. Kini perjuangannya tidak lagi dengan senjata, melainkan
perjuangan politik untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Sosok tangguh dan penuh optimisme itu, bertekat membangun Aceh untuk mengejar i
ketertinggalan dari daerah lainnya di Indonesia. Dia pun mengajak seluruh
elemen masyarakat untuk ikut bersama-sama memajukan daerahnya. Bahkan, dia
membuka tangannya untuk merangkul semuanya, tanpa membeda-bedakan suku ,
agama, ras dan antargolongan yang ada di Aceh.
C.
Analisis Hubungan MOU dengan KPA
Peranan
perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional semakin bertambah
penting maupun sebagai sarana untuk mengembangkan kerjasama internasional
secara damai antara bangsa - bangsa, bagaimanapun sistem ketatanegaraan dan
sistem sosial budaya masing - masing konsideransi ini disamping menggambarkan
fakta mengenai peranan perjanjian internasional juga mengandung suatu pandangan
ke depan yang sekaligus juga merupakan suatu pengakuan mengenai peranan dan
arti pentingnya perjanjian internasional. Bahwa perbedaan sistem soaial budaya,
ketatanegaraan, maupun perbedaan - perbedaan lainnya, bukanlah faktor
penghalang bagi negara - negara untuk mengadakan perjanjian - perjanjian
internasional.[8]
Pada
bagian ke 3(part III) Konvensi WINA tahun 1969 berkenaan dengan penghormatan,
penerapan, dan penafsiran internasional ( observance, application, and
intepretation of treaties), terdiri dari 4 seksi dan 12 pasal yaitu pasal 26
sampai dengan 38. Seksi 1 terdiri dari pasal 26 dan 27. Pasal 26 menegaskan
asas pacta sunt servanda, bahwa setiap perjanjian yang telah memiliki kekuatan
mengikat terhadap para pihak, maka para pihak yang bersangkutan harus
menghormati perjanjian itu dengan penuh itikad baik. Pasal 27 menegaskan, bahwa
hukum nasional (internal law) tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan
kegagalannya menaati perjanjian.
Seksi
2 tentang penerapan suatu perjanjian internasional (application of treaties)
terdiri dari pasal 28,29, dan 30. Pasal 28 menegaskan tentang tidak berlaku
surutnya suatu perjanjian internasional, kecuali para pihak bermaksud
menentukan sebaliknya atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri bahwa
perjanjian itu berlaku surut. Pasal 29 menegaskan tentang ruang lingkup wilayah
dari berlakunya suatu perjanjian internasional, dengan menyatakan bahwa suatu
perjanjian internasional berlaku di dalam seluruh wilayah para pihak, kecuali
ditentuka sebaliknya oleh para pihak atau tersimpul dari perjanjian itu
sendiri.
Berkenaan
dengan hubungan antara penjanjian dengan pihak ketiga, terdiri dari lima pasal
yaitu pasal 34 sampai dengan 38. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa suatu
perjanjian internasional tadak menciptakan hak maupun kewajiban bagi pihak
ketiga tanpa persetujuan dari pihak ketiga yang bersangkutan. Pasal 35 ayat 1
dan 2 maupun pasal 36 ayat 1 dan 2, masing - masing mengatur tentang perjanjian
yang menetapkan kewajiban bagi pihak ketiga dan perjanjian yang menetapkan hak
bagi pihak ketiga. Selanjutnya dalam pasal 37 diatur tentang penarikan kembali
dan pengubahan atas kewajiban - kewajiban maupun hak - hak yang ditetapkan bagi
pihak ketiga tersebut. Sedangkan dalam pasal 38 diatur tentang ketentuan dalam
suatu perjanjian internasional yang menjadi mengikat ihak ketiga melalui
kebiasaan internasional.
Berkenaan
dengan konsekuensi atau akibat dari ketidaksahan, pengakhiran, atau penundaan
dari berlakunya suatu perjanjian internasional, yang semuanya terdiri dari 4
pasal yaitu dari pasal 69-72. Pasal 69 mengatur tentang akibat hukum dari
pengakhiran suatu perjanjian internasional, pasal 71 berkenaan dengan
ketidaksahan suatu perjanjian internasional yang bertentangan dengan kaidah
hukum yang tergolong jus cogens dan pasal 72 mengatur tentang akibat hukum dari
penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional.[9]
Dan
dalam UU No 24 tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 1 yaitu perjanjian internasional
adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yangdiatur dalam hukum
internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban
di bidang hukum publik. Dan dalam pembuatan perjanjian internasional juga harus
memperhatikan kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip - prinsip persamaan
kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun
hukum internsional yang berlaku.dan dalam pemnbuatan perjanjian internasional
harus berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan,
dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Di
dalam pasal 18 UU No 24 tahun 2000 dijelaskan bahwa pengakhiran
perjanjian internasional itu ada beberapa syarat yaitu :
a. terdapat
kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b. tujuan
perjanjian tersebut telah tercapai;
c. terdapat
perubahan mendasar yang menpengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d. salah
satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e. dibuat
suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f. muncul
norma-norma baru dalam hukum internasional;
g. objek
perjanjian hilang;
Pro-kontra
disekitar materi kesepakatan MoU antara GAM dengan RI, 15 Agustus di Helsinki
masih tetap bergulir. Ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah dengan DPR
jelas tidak dapat disembunyikan. Fraksi PDIP bersikukuh menuduh bahwa
penandatanganan MoU tersebut telah melanggar konstitusi.
Butir-butir
kesepakatan antara lain bendera dan hymne sebagai symbol cultural Aceh, partai
local, dan sistem pemerintahan Aceh diklaim sebagai bukti pelanggaran tersebut.
Tidak kalah agresif, Amin Rais menuding bahwa pemerintah yang melakukan
penandatanganan MoU di Helsinki, tanpa ada kesepakatan dengan DPR/MPR,
diibaratkan tindakan pukul dahulu urusan kemudian, sebagai pertanda kekalahan
pemerintah RI terhadap GAM.
Dalam
konteks penandatanganan MoU antara GAM dengan RI, sejak awal harus disasari
bahwa pemerintah dan DPR tidak pernah ada kesamaan persepsi. Keanekaragaman
persepsi telah menimbulkan implikasi dilematis, sejak setelah MoU tersebut
ditandatangani.
Kenyataan
bahwa penolakan penyelesaian damai secara internasional (internationalization)
telah ditentang oleh banyak pihak, terbukti tidak menyurutkan usaha Management
Crisis Center, Mantan Presiden Findlandia, Ahtisari pada akhirnya tidak dapat
ditolak. Namun, perlu kita ketahui mengapa internasionalisasi itu ditolak. Hal
ini terkait dalam Pemerintah Indonesia umumnya menganggap bahwa GAM itu bukan
subjek hukum internasional. Sehingga menjadi tidak pantas jika kedudukan GAM
dengan RI menjadi sejajar. Pandangan sepihak inilah yang menimbulkan dari sikap
ignorance, pemerintah terhadap hukum internasional. Padahal dalam perspektif
hukum internasional teori kedaulatan Negara telah berubah begitu substansial.
Kekuatan global termasuk Civil-Society, tidak lagi dapat dipisahkan secara
hitam putih sehingga factor lain itupun turut menentukan.
Misalnya
apakah masih relevan bilamana GAM dipandang sebagai separatis atau musuh
Negara. Tentu saja tidak demikian. Sebab, ketika nilai-nilai HAM diterima
sebagai prinsip yang dapat membimbing kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
maka GAM mestinya harus diakui sebagai entitas politik yang diakui kedudukannya
sebagai subjek hukum internasional. Atas dasar pengakuan tersebut, jika tidak
pemerintah RI ketika itu menerima konsep GAM itu sebagai kelompok belligerensi
atau insergency. Sungguh tidaklah akan menurunkan martabat RI ataukah juga
mengangkat martabat GAM.
Dari
praktek penandatanganan MoU antara GAM dengan RI di Helsinki tersebut, bukan
saja pandangan terhadap GAM itu bukan subjek HI tidak relevan, juga telah
menunjukkan bahwa pada penyelesaian sengketa dalam negeri melalui mekanisme
internasional kali ini cukup berhasil dan efektif. Efektif hasil perundingan
MoU Helsinki didukung oleh beberapa faktor. Pertama, faktor kemauan politik
(Political Will) dari Pimpinan Nasional. Meskipun dalam parktek prosedural
negoisasi itu diragukan mengingat perundingan tersebut tidak dilakukan oleh
Presiden. Namun, mengingat sistem pemerintahan Indonesia Presidensil, maka
perbuatan Wakil Presiden sebenarnya juga mewakili Presiden. Soal mengapa tidak
Menteri Luar Negeri sebagai pelaku yang menandatangani memang agak menyamping
di luar kelaziman, sekaligus merupakan ruang yang lemah. Sebab, mekanisme lobi
negosiasi termasuk delegasi untuk perjanjian bilateral secara umum, Menlu
memilki surat kepercayaan penuh dari kepala Negara Letters of Credence.
Bagaimana peran Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Komunikasi dan Informasi
memiliki mandat ini tentang praktek yang sungguh baru. Fakta, dimana Menteri
Hukum dan HAM tersebut dalam negoisasi ini mengundang ruang yang sensitif,
terutama bilamana ada pihak-pihak yang tidak mau patuh pada MoU tersebut. Tokoh
Yusuf Kalla dan Hamid Awaludin adalah legendaris era reformasi dalam memediasi
konflik di Poso dan Ambon adalah modal yang tidak disanksikan ketegasan mereka
untuk tetap mempertahankan NKRI sebagai sesuatu yang final adalah patut
dibanggakan.
Kedua,
kesadaran masyarakat Eropa yang terdiri AMM, Monitoring Mission mendorong
tokoh-tokoh GAM yang ada di Eropa turut peduli mendukung perdamaian. Tokoh
Hasan Tiro, Malik Mahmood, Dr. Dahlan Zaeni, dan tokoh lainnya tidak
menentangnya. Kedudukan Mantan Presiden Ahtisari, menanamkan peranan
kharismatik. Sehingga modal utama keberhasilan perundingan adalah terletak pada
full frast. Kepercayaan penuh diberikan untuk GAM maupun RI. Menumbuhkan modal
kepercayaan ini sungguh tidak mudah. Sehingga kesepakatan yang dibuat
itupun menjadi kuat, ketika AMM juga turut mengawasi proses negosiasi dan juga
realisasi teknis di lapangan.
Kondisi
psikologis lapangan, yakni Aceh yang baru saja didera bencana Tsunami merambat
masyarakat Eropa dan Barat menaruh perhatian dan iba hati. No more War, let the
People of Aceh line in Peace.
Ketiga,
masyarakat Aceh tanpa disanksikan i’tikad mereka akan kebutuhan hidup yang
damai. Secara seremonial berbagai acara telah diselenggarakan dalam menyambut
perdamaian abadi tanpa ragu dengan NKRI. Situasi ini sungguh menjadi lebih
kuat, ketika hampir seluruh masyarakat Indonesia Aceh penghuni NKRI
abadi. No more War, No Redemption, No Violance.
Dengan
demikian, penandatanganan MoU antar GAM dengan NKRI 15 Agustus di Helsinki
adalah fakta sejaah berakhirnya permusuhan kekerasan, pertumpahan darah dan
perang. Lebih berat beban setelah peristiwa penandatanganan MoU adalah
menerapkan, memelihara dan mempertahankannya kesepakatan-kesepakatan tersebut
dalam perilaku kehidupan sehari-hari yang lebih tertib, aman, sejahtera, adil
dan makmur dalam NKRI.
Penolakan
sebagaian elit politik nasional terhadap penandatanganan MoU Helsinki 15
Agustus 2005 antara GAM dengan tim NKRI mengisyaratkan adanya cacat hukum,
invaliditas perundingan tersebut. Meskipun, pada akhirnya DPR menyetujui MoU,
termasuk Keppres Presiden tentang Amnesti di abolisi atas mantan GAM, fraksi
PDIP bersikukuh bahwa penandatanganan MoU tersebut melanggar UUD 1945 dan
sejumlah undang-undang lainnya.
Tak
kalah seru, Amin Rais sebagai tokoh PAN di Muhammadiyah menuding bahwa
penandatanganan MoU tanpa persetujuan DPR/MPR manandakan kekalahan pemerintah
RI. Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu, yang diusung oleh Abdurrahman Wahid ,
Try Sutrisno, Akbar Tanjung, Taufiq Kiemas, Norman Siregar dan Muhaemin Iskandar
juga menolak MoU tersebut. Argumentasi mereka selain MoU tersebut melanggar UUD
1945 dan sejumlah UU yang lain, juga cenderung mengarah pada lakernya negara
berbentuk Federalistik. Ketentuan Bendera, Hymne, Partai Lokal, dan Sistem
pemerintahan adalah indikator yang dipandang menyimpang.
Terhadap
pandangan negatif elit-elit politik tersebut, tampaknya pemerintah, khususnya
Yusuf Kalla dengan Hamid Awaludin, MenKumdam tidaklah terlalu peduli. Bahkan
Presiden SBY berkali-kali menegaskan, bahwa penandatanganan MoU oleh wakil GAM
dan NKRI perlu dipegang teguh dalam rangka membangun Aceh.
Eksistensi
MoU yang sedang diimplementasikan tersebut, memang sudah final sejak
terjadinya penadatanganan. Namun, suara-suara elit politik yang tidak setuju
akan tetap berpengaruh negatif dalam proses realisasinya. Tulisan ini
dikemukakan dalam upaya menjelaskan alasan mengapa validitas MoU dipertanyakan.
Kemudian berikutnya, bagaimana bangsa Indonesia seharusnya menyikapi hsil-hasil
perundingan tersebut secara gentlement agreement dan penuh kearifan.
Nota
kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep
hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya,
harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967
dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission).
Prinsip-prinsip
utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak
sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar
Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya.
Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh
karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of
Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi,
adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang
dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab
hukum pula.
Bagaimana
kaitannya dengan kasus penandatanganan MoU antara GAM dengan NKRI. Secara
jujur, sejak inisiatif perundingan yang oleh Presiden Gus Dur tahun 2001 di
Davos, Swedia, dan dilanjutkan dengan DOHA di Tokyo 2003, pemerintah khususnya
Departemen Luar Negeri bersikap ambigu atau tidak tegas. Sikap ambigu inilah
yang menyisakan problematika lanjut atas lahirnya kesepakatan-kesepakatan MoU
Helsinki. Pandangan yang menempatkan GAM bukan subjek hukum internasional, dan
lebih mengakui GAM sebagai kelompok separatis. Kelompok separatis dalam
khazanah ilmu politik adalah musuh negara berdaulat yang wajib dihancurkan.
Dibalik pemikiran inilah penggunaan kekerasan mendapatkan pembenaran. Tentu
saja, perilaku negeri seperti itu, bertentangan dengan nilai-nilai HAM.
Dapat
dimaklumi mengapa pemerintah tidak setuju melaksanakan perjanjian dengan
perangkat internasional. GAM buka sebjek HI, melainkan kelompok masyarakat
sebangsa. Sepertinya, jika GAM dilakukan sebagai subjek HI, seakan-akan
pemerintah Indonesia akan jatuh martabatnya. Dan dipihak lain GAM meningkat
derajatnya. Atas dasar pemikiran inilah, sikap tidak tegas pemerintah Indonesia
terhadap GAM dengan jelas terbaca. Keengganan sebagai masyarakat Indonesia
untuk menyelesaikan kasus GAM dan NKRI juga didasarkan oleh persepsi tersebut.[11]
Menurut
hukum internasional dalam keadaan tertentu pihak yang berperang/pemberontak
dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa. Keadaan
tertentu itu ditentukan oleh pengakuan pihak ketiga bagi pemberontak/pihak yang
berperang.[12]
BAB III
KESIMPULAN
Konvensi
WINA tahun 1969 mengatur tentang perjanjian internasional. Hal itu tertuang
dalam 4 seksi dan 12 pasal yang ada di dalamnya, yaitu pasal 26 sampai 38.
Seksi 1 terdiri dari pasal 26 dan 27. Pasal 26 menegaskan asas pacta sunt
servanda, bahwa setiap perjanjian yang telah memiliki kekuatan mengikat
terhadap para pihak, maka para pihak yang bersangkutan harus menghormati
perjanjian itu dengan penuh itikad baik. Pasal 27 menegaskan, bahwa hukum
nasional (internal law) tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan
kegagalannya menaati perjanjian.
Seksi
2 tentang penerapan suatu perjanjian internasional (application of treaties)
terdiri dari pasal 28,29, dan 30. Pasal 28 menegaskan tentang tidak berlaku
surutnya suatu perjanjian internasional, kecuali para pihak bermaksud
menentukan sebaliknya atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri bahwa
perjanjian itu berlaku surut. Pasal 29 menegaskan tentang ruang lingkup wilayah
dari berlakunya suatu perjanjian internasional, dengan menyatakan bahwa suatu
perjanjian internasional berlaku di dalam seluruh wilayah para pihak, kecuali
ditentukan sebaliknya oleh para pihak atau tersimpul dari perjanjian itu
sendiri.
Berkenaan
dengan hubungan antara penjanjian dengan pihak ketiga, terdiri dari lima pasal
yaitu pasal 34 sampai dengan 38. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa suatu
perjanjian internasional tidak menciptakan hak maupun kewajiban bagi pihak
ketiga tanpa persetujuan dari pihak ketiga yang bersangkutan. Pasal 35 ayat 1
dan 2 maupun pasal 36 ayat 1 dan 2, masing - masing mengatur tentang perjanjian
yang menetapkan kewajiban bagi pihak ketiga dan perjanjian yang menetapkan hak
bagi pihak ketiga. Selanjutnya dalam pasal 37 diatur tentang penarikan kembali
dan pengubahan atas kewajiban - kewajiban maupun hak - hak yang ditetapkan bagi
pihak ketiga tersebut. Sedangkan dalam pasal 38 diatur tentang ketentuan dalam
suatu perjanjian internasional yang menjadi mengikat pihak ketiga melalui
kebiasaan internasional.
Dalam
UU No 24 tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 1 yaitu perjanjian internasional adalah
perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum
internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban
di bidang hukum publik. Dalam pembuatan perjanjian internasional juga harus
memperhatikan kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip - prinsip persamaan
kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun
hukum internsional yang berlaku.dan dalam pemnbuatan perjanjian internasional
harus berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan,
dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Nota
kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep
hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya,
harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967
dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission).
Prinsip-prinsip
utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak
sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar
Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya.
Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh
karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of
Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi,
adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang
dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab
hukum pula.
DAFTAR
PUSTAKA
Chairul
Anwar SH;1989; Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa - Bangsa;
Djambatan ; Jakarta.
I
Wayan Parthiana SH.MH; 2005; Perjanjian Internasional Bagian 1;
Mandar Maju; Bandung
Jawahir Thontowi SH., Ph.D;
Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan
Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Sri Setianingsih Suwardi
SH;1986; Intisari Hukum Internasional Publik;Alumni;Bandung.
http://nzhafira.wordpress.com/2012/03/14/perjanjian-internasional/
http://www.omrudi.info/2011/01/makalah-perjanjian-internasional.html