A. Pengertian Hak
Guna Usaha
Di dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria Pasal 28
ayat (1) menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut
dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan.
Sebelum terbitnya
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, pengertian tanah negara ditemukan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 (L.N. 1953, No. 14, T.L.N. No. 362).
Dalam Peraturan Permerintah tersebut tanah negara dimaknai sebagai tanah yang
dikuasai penuh oleh negara. Substansi dari pengertian tanah negara ini adalah
tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang melekat diatas tanah tersebut,
apakah hak barat maupun hak adat (vrij landsdomein). Dengan terbitnya UUPA
tahun 1960, pengertian tanah Negara ditegaskan bukan dikuasai penuh akan tetapi
merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.[1] Artinya, negara di kontruksikan
bukan sebagai pemilik tanah. negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang
bertindak selaku badan penguasa, yang diberikan wewenang dalam hal sebagai
berikut :
a. mengatur dan
menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;
b. menentukan dan
mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas ( bagian dari ) bumi, air dan ruang
angkasa itu;
c. menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang
mengenai buni, air dan ruang angkasa.”
Setelah lahirnya
UUPA, di dalam berbagai peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa
pengertian tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak
atas tanah. Atas pemahaman konsep dan peraturan perundang-undangan tentang
pengertian tanah negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran yuridis bahwa
terdapat dua kategori tanah negara dilihat dari asal usulnya:
1. tanah negara
yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada hak atas tanah yang
melekatinya atau disebut sebagai tanah negara bebas;
2. tanah negara
yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya, karena sesuatu hal
atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah negara. Tanah bekas hak
barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang telah berakhir jangka
waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang dilepaskan secara sukarela oleh
pemiliknya.[2]
Berdasarkan
pengertian tersebut, Hak Guna Usaha merupakan suatu hak yang diberikan oleh
negara kepada subjek hukum tertentu dengan syarat yang tertentu pula untuk
mengelola dan mengusahakan tanah negara dengan orientasi yang bergerak dalam
bidang pertanian, perikanan atau peternakan.[3]
Ciri-ciri yang
melekat pada hak menurut hukum, dalam catatan Satjipto Rahardjo[4], mengandung
unsur-unsur sebagai berikut :
a. Hak itu dilekatkan
kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga
disebut sebagai orang yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari
pada hak.
b. Hak itu tertuju
kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan
kewajiban terdapat hubungan korelatif.
c. Hak yang ada
pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau
tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan, yang disebut sebagai isi dari
pada hak
d. Commission atau
omission itu menyangkut sesuatu yang disebut sebagai objek dari hak,
e. Setiap hak
menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi
alasan melekatnya hak itu kepada pemiliknya.
1. Subjek Hak Guna
Usaha
Suatu hak hanya
dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan yang akan memiliki hak tersebut
cakap secara hukum untuk menghaki objek yang menjadi haknya. Pengertian yang
termasuk pada hak meliputi, hak dalam arti sempit yang dikorelasikan dengan
kewajiban, kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas.
Adapun subjek yang
dapat memegang Hak Guna Usaha telah diatur dalam pasal 30 UUPA yang menjelaskan
subjek hukum yang dapat menjadi pemegang hak atas tanah, yaitu :
a. Warga Negara
Indonesia
Sebagai subjek
hukum, warga negara Indonesia memiliki otoritas untuk melakukan kewajiban dan
mendapatkan haknya. Dengan kata lain, warga negara Indonesia memiliki
kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, misalnya mengadakan
suatu perjanjian, mengadakan perkawinan, membuat surat wasiat, dan lain
sebagainya termasuk mengadakan suatu perbuatan hukum yang menyangkut dengan
tanah dan hak-hak atas tanah.[5]
Pada prinsipnya
setiap orang adalah subjek hukum (natuurljik persoon). Dikaitkan dengan
kemampuan menjunjung hak dan kewajiban, orang akan menjadi subjek hukum apabila
perorangan tersebut mampu mendukung hak dan kewajibannya. Dalam pengertian ini,
maka orang-orang yang belum dewasa, orang yang dibawah perwalian dan orang yang
dicabut hak-hak keperdataanya tidak dapat digolongkan sebagai subjek hukum
dalam konteks kemampuan menjunjung hak dan kewajiban. Intinya, ada
ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi agar seseorang warga negara
dapat digolongkan sebagai subjek hukum,[6] yaitu :
1) telah dewasa
(jika telah mencapai usia 21 tahun ke atas)
2) tidak berada
dibawah pengampuan (curatele), dalam hal ini seseorang yang dalam keadaan gila,
mabuk, mempunyai sifat boros, dan mereka yang belum dewasa.
b. Badan Hukum
Indonesia
Badan hukum juga
disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa. Perbedaannya
dengan subjek hukum orang perorangan adalah badan hukum itu hanya dapat
bergerak bila ia dibantu oleh subjek hukum orang. Artinya, ia tidak dapat
melakukan perbuatan hukum tanpa didukung oleh pihak-pihak lain. Selain itu, badan
hukum tidak dapat dikenakan hukuman penjara (kecuali hukuman denda)[7]
Untuk dapat
menjadi subjek Hak Guna Usaha, badan hukum harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, yaitu :
1. didirikan
menurut ketentuan hukum Indonesia
2. berkedudukan di
indonesia.
Hal ini membawa
konsekwensi bahwa setiap badan hukum, selama didirikan menurut ketentuan hukum
dan berkedudukan di Indonesia dapat menjadi subjek hak guna usaha. Apabila
tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana di atas, maka berdasarkan Pasal 3
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, maka dalam jangka waktu satu tahun
Hak Guna Usaha tersebut wajib dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain yang
memenuhi syarat. Apabila tidak dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.
2. Objek Hak Guna
Usaha
Objek tanah yang
dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah negara. Sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya, tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung
oleh negara dan belum atau tidak terdapat hak-hak lain di atas tanah tersebut.
Jika tanah yang
diberikan Hak Guna Usaha tersebut merupakan tanah negara yang merupakan kawasan
hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha baru dapat dilakukan setelah adanya
pencabutan statusnya sebagai kawasan hutan. Demikian juga bila di atas tanah
tersebut terdapat hak-hak lain, maka pemberian Hak Guna Usaha baru dapat
dilakukan apabila pelepasan hak yang sebelumnya telah selesai. Hal ini sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40
tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
Selanjutnya, dalam
rumusan Pasal 4 ayat (4) disebutkan bahwa apabila di atas tanah yang akan
diberikan Hak Guna Usaha tersebut terdapat bangunan dan/atau tanaman milik
pihak lain yang keberadaannya sah secara hukum, maka pemegang Hak Guna Usaha
dibebankan untuk memberikan ganti kerugian kepada pemilik bangunan/tanaman yang
ada di areal itu sebagai penghargaan terhadap hak atas tanah yang dihaki oleh
pemegang hak sebelumnya.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang
ada di atasnya menyebutkan bahwa ganti rugi yang layak itu disandarkan pada
nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang bersangkutan. Ganti kerugian
ini ditetapkan oleh Pemerintah atas usul Panitia Penaksir yang terdiri dari
pejabat ahli dalam bidangnya.
Dalam penetapan
besarnya ganti rugi terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :
penetapannya harus didasarkan atas musyawarah antara Panitia dengan parapemegang
hak atas tanah dan penetapannya harus memperhatikan harga umum setempat,
disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga tanah.[8] Selain itu,
perlu pula dipertimbangkan adanya faktor-faktor non fisik (immateril) dalam
penentuan besarnya ganti rugi. Misalnya, turunnya penghasilan pemegang hak dan
ganti kerugian yang disebabkan karena harus melakukan perpindahan
tempat/pekerjaan.
Berdasarkan
penjelasan sebelumnya yang menyebutkan bahwa musyawarah merupakan salah satu
tahapan yang tidak dapat dikesampingkan dalam proses penetapan ganti kerugian,
yaitu peran aktif masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah sebelum hak atas
tanah tersebut dialihkan kepada pihak lain. Pentingnya jaminan bahwa proses
musyawarah berjalan sebagai proses tercapainya kesepakatan secara sukarela dan
bebas dari tekanan pihak manapun dan dalam berbagai bentuknya juga sangat
diperlukan.[9] Hal ini dikarenakan syarat-syarat untuk tercapainya musyawarah
secara sukarela dan bebas tersebut sangat menetukan jalannya proses penetapan
ganti kerugian. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
a) ketersediaan
informasi secara jelas dan menyeluruh tentang hal-hal yang berhubungan langsung
dengan parapihak (dampak dan manfaat, besarnya ganti kerugian, rencana relokasi
bila diperlukan, rencana pemulihan pendapatan dan lain sebaginya),
b) suasana yang
kondusif
c) keterwakilan
parapihak
d) kemampuan
parapihak untuk melakukan negosiasi
e) jaminan bahwa
tidak adanya tipuan, pemaksaan, atau kekerasan dalam proses musyawarah.[10]
Walaupun secara
prosedural musyawarah telah memenuhi syarat-syarat di atas, namun apabila
keputusan yang dihasilkan dilandasi adanya tekanan, maka tidaklah dapat
dikatakan telah dicapai kesepakatan karena tekanan itu merupakan wujud dari
pemaksaan kehendak dari satu pihak untuk menekan pihak lain agar mengikuti
kehendaknya. Dengan kata lain, kesepakatan itu terjadi dalam keadaan terpaksa.
Disamping itu, keterlibatan orang/pihak di luar kepanitaan yang tidak
jelas/fungsi dan tanggungjawabnya akan semakin mengaburkan arti musyawarah
tersebut.
Bila dikarenakan
ada sebab-sebab tertentu yang terjadi sehingga proses musywarah tidak dapat
berlangsung sebagaimana diharapkan, maka upaya parapemegang hak atas tanah
tersebut sebelum dialihkan kepada pemegang hak atas tanah yang baru dapat
melakukan beberapa upaya penyelesaian sengketa,baik melalui jalur litigasi
maupun non litigasi.
Dalam rangka
pemberian Hak Guna Usaha, tidak semua tanah dapat menajdi objek Hak Guna Usaha.
Adapun tanah-tanah yang dikecualikan sebagai objek Hak Guna Usaha tersebut
adalah[11]:
a. tanah yang
sudah merupakan perkampungan rakyat,
b. tanah yang
sudah diusahakan oleh rakyat secara menetap,
c. tanah yang
diperlukan oleh pemerintah.
Dalam konteks luas
tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha, Pasal 5 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyebutkan bahwa luas minimum tanah yang dapat
diberikan status Hak Guna Usaha adalah lima hektar. Sedangkan luas maksimum
dari tanah yang dapat diberikan kepada perorangan adalah dua puluhlima hektar.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3). Untuk luas tanah yang akan
diberikan kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan
pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan
dengan mengingat luas tanah yang diperlukan untuk melaksanakan usaha yang
paling berdaya guna di bidang usaha yang bersangkutan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahu 1996.[12]
3. Jangka Waktu
Hak Guna Usaha
Jangka waktu
pemberian Hak Guna Usaha dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960. Dalam rumusan pasal tersebut disebutkan bahwa:
(1) Hak Guna Usaha
diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
(2) untuk
perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha
untuk waktu paling lama 35 tahun.
(3) atas
permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang
dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang
paling lama 25 tahun.
Berdasarkan
rumusan pasal 29 sebagaimana tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Hak Guna
Usaha diberikan untuk jangka waktu antara 25 tahun hingga 35 tahun, dengan
ketentuan bahwa setelah berakhirnya jangka waktu tersebut, Hak Guna Usaha tersebut
dapat diperpanjang untuk masa 25 tahun berikutnya.
Ketentuan mengenai
jangka waktu dan perpanjangan Hak Guna Usaha dijelaskan lebih lanjut dalam
Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 8 menyatakan bahwa:
(1) Hak Guna Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan untuk jangka waktu paling lama
tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua
puluh lima tahun
(2) sesudah jangka
waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di
atas tanah yang sama.
Berdasarkan
rumusan pasal 8 tersebut, diketahui bahwa Hak guna Usaha dapat diberikan untuk
jangka waktu maksimum (selama-lamanya) enam puluh tahun, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. tanah tersebut
masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian
haknya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 40
tahun 1996.
b. syarat-syarat
pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak
c. pemegang hak
masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.[13]
Dengan demikian,
setelah berakhirnya jangka waktu 35 tahun dengan perpanjangan selama 25 tahun
(seluruhnya berjumlah 60 tahun), Hak Guna Usaha hapus demi hukum. Hapusnya Hak
Guna Usaha ini bukan berarti tidak dapat diperbaharui. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 yang menyebutkan
bahwa Hak Guna Usaha yang telah berkahir jangka waktunya atau hapus dapat
diperpanjang kembali.
4. Hapusnya Hak
Guna Usaha
Hapusnya Hak Guna
Usaha secara jelas telah diatur di dalam pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 yang menjelaskan sebagai berikut
a. berakhirnya
jangka waktu sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan pemberian hak atau
perpanjangannya,
b. dihentikan
sebelum jangka waktunya berakhir, karena :
1) pemegang hak
tidak melakukan kewajiban-kewajibannya, yaitu :
a) tidak membayar
uang pemasukan kepada negara;
b) tidak
melaksanakan usaha dibidang pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau
peternakan sesuai dengan peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan
dalam keputuan pemberian haknya;
c) tidak
mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan
usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;
d) tidak membangun
dan/atau menjaga prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam
lingkungan areal Hak Guna Usaha;
e) tidak
memelihara kesuburan tanah dan tidak mencegah terjadinya kerusahan sumber daya
alam serta kelestarian lingkungan;
f) tidak
menyampaikan laporan secara tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan dan
pengelolaan Hak Guna Usaha;
g) tidak menyerahkan
kembali tanah dengan Hak Guna Usaha kepada negara setelah hak tersebut hapus;
h) tidak
menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah berakhir jangka waktunya
kepada kantor pertanahan.
2) adanya putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
c. dilepaskan oleh
pemegang hak secara sukarela sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk
kepentingan umum;
e. ditelantarkan
(objek Hak Guna Usaha tidak dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pemegang hak);
f. tanahnya
musnah, misalnya akibat terjadi bencana alam;
g. pemegang hak
tidak lagi memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada pihak lain yang
memenuhi syarat sebagai pemegang hak. [14]
B. Pemberian Hak
Guna Usaha Atas Tanah
1. Kewenangan
Pemberian Hak Guna Usaha Atas Tanah
Berdasarkan
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak
Atas Tanah menyebutkan bahwa yang berwenang memberikan hak atas tanah adalah
pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang merupakan pejabat pemerintah pusat
yang meliputi Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Kepala Kanwil BPN
Propinsi dan Kepala BPN Pusat sesuai dengan pelimpahan kewenangan yang
diberikan kepada masing-masing pejabat.
Menurut Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tersebut, kewenangan pemberian Hak Guna Usaha tidak dilimpahkan pada Kantor
Kabupaten/Kota, tetapi pada kantor wilayah BPN Propinsi dan BPN Pusat.
Kewenangan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah oleh Kepala Kantor Wilayah BPN
Propinsi hanya terhadap pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak
lebih dari 200 hektar (dua ratus hektar), sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1999 bahwa ”Kepala kantor wilayah Badan Pertanahan
Nasional Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas
tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 ha (dua ratus hektar)”. Dengan demikian pemberian Hak Guna Usaha
di atas tanah yang luasnya lebih dari 200 ha merupakan kewenangan dari Badan
Pertanahan Nasional Pusat.
2. Syarat-syarat
permohonan Hak Guna Usaha
Syarat-syarat
permohonan Hak Guna Usaha atas tanah diatur dalam Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan
Hak Atas tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Adapun syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut :
1. untuk
mengajukan permohonan Hak Guna Usaha atas tanah harus diajukan secara tertulis
dan pemohon harus warga negara Indonesia. Jika badan hukum yang mengajukan
perrmohonan Hak Guna Usaha, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum
yang didirikan di Indonesia dan berdasarkan hukum Indonesia.
2. permohonan yang
diajukan harus memuat keterangan mengenai hal-hal berikut sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9
tahun 1999, yaitu :
a. keterangan
mengenai pemohon :
1). apabila
perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjannya;
2) apabila badan
hukum: nama badan hukum, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. keterangan
mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik, yaitu:
1). dasar
penguasaanya, dapat berupa akta pelepasan kawasan hutan, akta pelepasan bekas
tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya;
2). letak,
batas-batas dan luasnya (jika sudah ada surat ukur disebutkan tanggal dan
nomornya);
3). jenis usaha
(pertanian, perikanan atau peternakan).
c. keterangan
lainnya, yaitu :
1). keterangan
mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah yang dimiliki, termasuk
bidang tanah yang dimohon;
2). keterangan
lain yang dianggap perlu.
3. permohonan
harus melampirkan hal-hal sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 19 Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999, yaitu :
a. foto copy
identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan yang telah memperoleh
pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum;
b. rencana
pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang.
c. izin lokasi
atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan tanah
sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah;
d. bukti pemilikan
dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan hutan dari instansi
yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau surat-surat bukti
perolehan tanah lainnya;
e. persetujuan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing (PMA) atau surat
persetujuan dari Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentu atau surat
persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non Penanaman Modal Dalam
Negeri atau Penanaman Modal Asing;
f. surat ukur
apabila ada.
Mengenai syarat
izin lokasi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 19 huruf c prosedur untuk
mendapatkan izin lokasi tersebut diatur dalam pasal 6 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999 tentang Izin
Lokasi.
Berdasarkan Pasal
1 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 2 tahun 1999, disebutkan bahwa ”Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada
perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal
yang berlaku pula sebagai zin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah
tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya”[15] Sedangkan menurut BF. Sihombing, izin lokasi
didefinisikan sebagai izin yang diberikan kepada perusahaan unutk memperoleh
tanah yang telah diberikan pencadangan tanah.[16]
Dalam
pemberiannya, izin lokasi berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan
dan tehnis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah
yang bersangkutan, termasuk juga penguasaan fisik wilayah, penggunaan tanah
serta kemampuan tanah[17]. Adapun tanah yang dapat ditunjuk dalam izin lokasi
adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan
bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan
dilaksanakan oleh perusahaan berdasarkan persetujuan penanaman modalnya dan
Izin lokasi hanya dapat diberikan kepada perusahaan yang sudah mendapatkan
persetujuan penanaman modal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bila ditinjau
jangka waktu pemberian izin lokasi, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999,
izin lokasi diberikan untuk jangka waktu sebagai berikut :
a. 1 (satu) tahun
: izin lokasi seluas sampai dengan 25 ha,
b. 2 (dua) tahun :
izin lokasi seluas lebih dari 25 ha samapi dengan 50 ha,
c. 3 (tiga) tahun
: tahun lokasi seluas lebih dari 50 ha.
Dengan demikian,
syarat permohonan mendapatkan Hak Guna Usaha atas tanah baru dapat diberikan
setelah menyelesaikan prosedur mendapatkan izin lokasi. Dengan kata lain, Hak
Guna Usaha atas tanah tidak dapat diberikan sebelum penyelesaian terhadap
pelepasan atau pembebasan hak-hak di atas tanah yang dimohon, baik berupa hak
perorangan atas tanah ataupun perubahan status hak tertentu yang terdapat di
atas tanah tersebut.
3. Tata Cara
Pemberian Hak Guna Usaha
Tata cara
pemberian Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur dalam Pasal 20 Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999. Dalam Pasal 20 ayat (1)
disebutkan bahwa : ”permohonan
Hak Guna Usaha diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah, dengan
tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak
tanah tanah yang bersangkutan”.
Sedangkan dalam Pasal 20 ayat (2) dijelaskan bahwa ”apabila tanah yang dimohon terletak dalam lebih dari
satu daerah Kabupaten/Kotamadya, maka tembusan permohonan disampaikan kepada
masing-masing Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan”.
Pasal 20 ayat (1)
menjelaskan bahwa pemohon harus mengajukan permohonan kepada Menteri, bukan
kepada Kepala Kantor Wilayah. Artinya, Kepala Wilayah bukanlah pejabat yang
berhak memberikan jawaban langsung atas permohonan yang diajukan oleh calon
pemegang Hak Guna Usaha. Dalam Pasal 20 ayat (2) sebagaimana disebutkan di atas
bahwa calon pemegang dimungkinkan mengajukan permohonan atas beberapa areal
tanah yang tersebar di tempat berbeda, namun permohonan yang ditujukan kepada
Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah harus disampaikan tembusannya kepada
Kepala Kantor Pertanahan di daerah masing-masing tempat areal atanah itu
berada. Keputusan diterima atau ditolaknya permohonan calon pemegang hak tetap
berada pada Menteri dan akan disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat
atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada pihak
yang berhak sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999.
[1] Hal ini telah
dijelaskan dalam Penjelasan Umum II (2) UUPA yang secara jelas meyatakan
prinsip untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang
Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia
ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah.
[2] BF Sihombing,
Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, PT. Toko Gunung Agung
Tbk, Jakarta, hal. 79
[3]
www.property.net, diakses pada tanggal 20 November 2008.
[4] Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 55
[5] Muchsin,
Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005, hal. 24
[6] CTS Cansil,
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002,
hal. 118
[7] Ibid, hal. 118
[8] Maria
Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, 2008, ha.251.
[9] Hal ini
sebagaimana telah diatur secara jelas dalam Pasal 9 Keppres Nomor 55/1993
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
[10] Op.cit, hal.
272
[11] Sudharyo
Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Edisi Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta,
2001, hal. 24
[12] Supriadi,
Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 112
[13] Muljadi,
Kartini dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan, Hak-Hak Atas Tanah,
Kencana, Jakarta, 2008 hal.158
[14] Ibid, hal.
172
[15] CST. Kansil,
Kitab Undang-Undang Hukum Agraria; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan
Peraturan Pelaksanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal.837
[16]B.F.
Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, PT. Toko
Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2005, hal. 267.
[17]Hal ini
sebagaimana di atur dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999.
Tulisan ini
merupakan bagian dari Tugas Akhir (Skripsi) penulis dengan judul
"Pelaksanaan Pemberian Hak Guna Usaha Kepada PT. Bumi Flora di Kecamatan
Banda Alam Kabupaten Aceh Timur"
Astiruddin Purba,
SH, MH