MAKALAH HUKUM PERLINDUNGAN ANAK
“ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM”
Oleh: JON EFENDY PURBA
NIM : 1516.01.100
INTERVENSI SOSIAL BAGI ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN
HUKUM MELALUI PENDEKATAN REINTEGRASI
Abstrak
Re-integrasi childdren bertentangan
dengan hukum dari Lapas Anak kepada keluarga atau masyarakat yang mendesak
untuk melakukan dari pemerintah dan masyarakat, karena masalah ini akan
"kehilangan generasi". Stigma negatif dari keluarga dan masyarakat
yang jumlah masalah anak bertentangan dengan hukum. Perhatian yang tidak
memadai telah diberikan kepada anak bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu,
re-integrasi mendukung kegiatan peningkatan kesadaran masyarakat yang relevan
dan keluarga untuk mendukung anak yang berkonflik dengan hukum. Tujuannya
adalah semua anak yang berkonflik dengan hukum untuk menyadari potensi penuh
mereka di masyarakat yang menghormati hak dan martabat rakyat.
Kata kunci: Anak-anak yang berkonflik
dengan hukum, intervensi sosial, re-integrasi pendekatan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur sudah sepantasnya
kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Dengan ridho dan nikmat dari-NYA
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum” untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum
Perlindungan Anak di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan. Makalah ini tentunya
dibuat dengan sebaik mungkin sejauh kemampuan kami.
Semoga makalah ini dapat memberi
manfaat bagi mahasiswa lainnya dalam perkuliahan ini. Yang paling utama kami
mohon maaf jika masih terjadi kesalahan dan kekurangan di dalamnya, harap untuk
dimaklumi. Terimakasih banyak.
Serang, Maret 2016
Penyusun,
JON EFENDY PURBA
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .....................................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
BAB II RUMUSAN MASALAH ....................................................................
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................
a. Pengertian
Hukum Tata Negara ....................................................
b. Hubungan
Hukum Tata Negara dengan Ilmu-ilmu lainnya .....
c. Sumber-sumber
Hukum Tata Negara Indonesia ........................
d. Hirarki
Perundang-undangan Indonesia .....................................
e. Perbandingan
Hukum Tata Negara Indonesia ...........................
BAB IV KESIMPULAN .................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA .....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Dewasa ini
permasalahan anak di Indonesia semakin kompleks, dilihat dari jumlah kasus dan
persebarannya. Populasi bekas narapidana dan bekas anak Negara sampai tahun
2003 tercatat sebanyak 115.307 orang. Diperkirakan dari tahun ke tahun
jumlahnya semakin meningkat (Ditjen Lembaga Pemasyarakatan, Departemen Hukum
Dan HAM). Terdapat berbagai alasan yang mendorong anak berhadapan dengan
hukum. Menurut Depsos (2003), faktor-faktor yang menjadi alasan anak berhadapan
dengan hukum adalah kemiskinan (29,35%), lingkungan (18.07%), salah didik
(11,3%), keluarga tidak harmonis (8,9%) dan minimnya pendidikan agama (7,28%).
Anak yang
telah keluar dari Lapas seringkali menjadi korban kekerasan dari lingkungan
masyarakat dan bahkan dari keluarganya sendiri. Bentuk kekerasan yang dimaksud
yaitu adanya stigma, bahwa anak yang keluar dari Lapas adalah
orang jahat. Padahal ketika keluar dari Lapas mereka mempunyai harapan atau
cita-cita yang sama dengan anak-anak lainnya. Hal ini menjadi faktor yang tidak
menguntungkan bagi anak, karena akan menghambat tumbuh kembang mereka.
Sehubungan dengan itu, dalam rangka optimalisasi
intervensi sosial terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, diperlukan
pemahaman yang menyeluruh mengenai masyarakat dan keluarga anak yang telah
keluar dari Lapas. Pemahaman makro (structural) dan Mikro (dinamika
keluarga) sangat dibutuhkan. Kondisi Anak telah keluar dari Lapas yang
demikian, jelas jauh dari terpenuhi hak-haknya sebagai seorang anak seperti
yang tertera dalam konveksi hak – hak anak yaitu hak kelangsungan hidup, hak
untuk dilindungi, hak memperoleh pendidikan dan hak untuk tumbuh kembang.
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang
utuh, menyeluruh dan komprehensif, negara, pemerintah dan masyarakat
berkewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan azas : Non
diskriminasi, Kepentingan yang terbaik bagi anak, Hak untuk hidup, kelangsungan
hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Salah satu
permasalahan yang muncul dan belum banyak dilakukan dalam proses penanganan
anak yang berkonflik dengan hukum adalah pendekatan reintegrasi anak yang telah
menyelesaikan masa hukumannya kepada keluarga dan masyarakat karena belum
siapnya anak maupun orang tua atau masyarakat yang menerimanya
2.
Rumusan Masalah
Persoalan
besar yang dihadapi mantan anak-anak Lapas antara lain adalah ketidakmenentuan
masa depan. Cukup banyak rintangan yang harus mereka hadapi setelah selesai
menjalani pembinaan selama masa hukuman. Banyak di antara mereka yang lebih
jauh tersingkir dari “dunianya”, frustasi bahkan kembali terjebak pada masalah
perilaku dan hukum yang akan menyeretnya kembali pada tindak kriminal.
Selain
karena stigma negatif masyarakat atas mereka, persoalan utama sebenarnya
terletak pada ketidaksiapan keluarga, masyarakat serta lembaga-lembaga sosial
kemasyarakatan yang ada untuk menerima dan mengayomi mereka. Dengan kata lain
pranata-pranata tersebut tidak siap atau tidak mampu untuk menjalani
keberfungsian sosial mereka setelah anak itu keluar dari Lapas. Persoalan lain,
adalah kenyatan bahwa anak-anak mantan Lapas itu yang memang belum siap untuk
menyatu dengan lingkungan keluarga dan masyarakat. Tak heran jika anak-anak itu
pun tidak lagi memiliki kesempatan apalagi kemampuan untuk menampilkan
keberfungsian sosial mereka secara wajar, karena sebagaimana alasan awal
keterlibatan hukum mereka tak memperoleh pemenuhan dan pengayoman atas hak-hak
mereka sebagai seorang anak. Dengan latar belakang permasalahan seperti itu,
menjadi krusial adanya upaya serius untuk memfasilitasi terjadinya reintegrasi
anak-anak Lapas baik dengan pihak keluarga, masyarakat dan lembaga-lembaga
seperti sekolah ataupun dunia kerja. Selain itu, hal ini merupakan faktor
penentu bagi pemenuhan hak-hak dan masa depan mereka. Layanan yang secara
khusus berfokus pada upaya reintegrasi mantan anak lapas sampai saat ini masih
kurang memperoleh perhatian.
Tulisan ini
akan membahas mengenai proses reintegrasi anak-anak yang sudah ke luar dari
Lapas berdasarkan pengalaman empiris dari penulis dalam menjalankan program
reintergasi anak yang sudah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria (LPAP)
dan Lembaga Pemasyarakatan Anak Wanita (LPAP) Tangerang. Secara substantif,
diharapkan memberi sumbangan pengetahuan tentang pendekatan penanganan anak
yang berhadapan dengan hukum yang sudah keluar dari Lapas.
3.
Maksud dan Tujuan
Maksud dan
tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami pengertian Anak, Hak Anak, Anak
yang bermasalah dengan hukum dan Reintegrasi.
2. Mengetahui dan memahami Dasar Hukum dalam tentang Anak.
3. Mengetahui dan memahami cara penyelesaian
melalui perlakuan yang baik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
BAB III
PEMBAHASAN
4.
Definisi Konseptual
A. Anak dan Hak Anak
Anak adalah
manusia yang belum matang, didefinisikan dalam hukum internasional adalah
mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Masa kanak-kanak adalah suatu tahapan
dalam siklus kehidupan anak sebelum mereka mendapat peran dan bertanggung jawab
penuh sebagai orang dewasa. Masa anak masih memerlukan perhatian dan
perlindungan khusus, seiring dengan persiapan menuju pada kehidupan mereka
menjadi orang dewasa. Meskipun demikian, setiap kebudayaan memiliki kata yang
berbeda untuk berbagai tahapan dalam masa kanak-kanak, dan harapan tentang apa
yang dapat dilakukan anak pada masing-masing tahapan.
Anak
bukanlah obyek namun subyek dari hak-hak asasi manusia. Sebagaimana dijelaskan
dalam seluruh dokumen Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, seorang
anak memiliki kebutuhan atas kesehatan, pendidikan dan pengalaman. Mereka juga
pengguna dari pelayanan seperti perumahan, air dan sanitasi. Oleh karena itu
kajian dalam artikel ini meliputi seluruh kehidupan anak dan bukan hanya
berkonsentrasi pada satu aspek saja.
Indonesia
telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA). Ini berarti bahwa bekerja dengan
anak mencakup mereka yang berusia antara 0 – 18 tahun. Hak-hak dalam KHA juga
berarti bahwa seluruh keputusan yang diambil oleh orang dewasa atas nama
anak-anak harus diperhitungkan bagi kepentingan terbaik anak, dengan
mempertimbangkan pendapat-pendapat mereka secara berkelanjutan karena mereka
mengembangkan kemampuan untuk mengekspresikan dirinya sendiri. Kajian dalam
artikel ini harus memperhitungkan pendapat anak, dengan menggunakan metode yang
membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasan sehingga mereka tidak
dirugikan.
B. Anak Berkonflik Dengan Hukum
Anak sebagai
manusia yang masih kecil, sedang tumbuh dan berkembang, baik fisik mental
maupun intelektualnya. Pada masa perkembangan tersebut setiap anak sedang
berusaha mengenal dan mempelajari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat serta
berusaha meyakininya sebagai bagian dari dirinya. Sebagian kecil anak tak dapat
memahami secara utuh aturan hidup di dalam masyarakat baik disebabkan oleh
kurangnya perhatian orang tua, kurang kasih sayang, kurang kehangatan jiwa,
kekerasan di dalam keluarga dan masyarakat yang membawa dampak pada
terbentuknya sikap dan perilaku menyimpang anak di masyarakat. Sebagian
perilaku menyimpang anak-anak tersebut bersentuhan dengan ketentuan hukum.
Anak-anak inilah yang disebut anak yang berkonflik dengan hukum.
Definisi
anak dan pelanggaran hukum menurut Peraturan Minimum Standar Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Administrasi Peradilan Bagi Remaja (Boijing Rules),
dalam peraturan 2.2 adalah : Pertama, Seorang anak adalah seorang
anak atau orang muda yang menurut sistem hukum masing-masing dapat diperlakukan
atas suatu pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari perlakuan terhadap
orang dewasa. Kedua, suatu pelanggaran hukum adalah perilaku apapun
(tindakan atau kelalaian) yang dapat dihukum oleh hukum menurut sistem-sitem
hukum masing-masing. Ketiga, seorang pelanggar hukum berusia remaja
adalah seorang anak atau orang muda yang diduga telah melakukan atau yang telah
ditemukan telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Pasal 1 butir 2 UU No.3
tahun 1997, menyebutkan anak-anak nakal adalah : 1) Anak yang melakukan tindak
pidana atau; 2) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi
anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan
hukum lain. Di Indonesia, batas umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak
antara umur 8-18 tahun. Tetapi bagi anak yang melakukan tindak pidana pada usia
8-12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan. Dengan demikian batas usia untuk
anak yang melakukan tindak pidana dan dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana
dan dijatuhi pidana adalah usia 12-18 tahun.
Anak yang
belum mencapai umur 8 tahun dan telah melakukan tindak pidana, dan menurut
pasal 5 UU pengadilan anak No.3 tahun 1997, maka anak tersebut dapat dilakukan
pemeriksaan oleh penyidik. Apabila hasil dari pemeriksaan tersebut, anak masih
dapat dibina maka diserahkan pada orang tua, wali atau orang tua asuh. Akan
tetapi kalau tidak dapat dibina oleh mereka, maka langkah selanjutnya adalah
merujuk anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan
dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Penanganan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah merupakan tanggung jawab dan
kewajiban bersama antara masyarakat dan pemerintah, seperti yang dijelaskan
dalam pasal 64 UU Perlindungan Anak No 23 tahun 2002, yaitu :
1. Perlindungan
khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum, meliputi anak berkonflik dan
anak korban tindak pidana adalah merupakan kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat.
2. Perlindungan
khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui; perlakuan
atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak, penyediaan
petugas pendamping khusus anak sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana
khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik anak, pemantauan
dan pencatatan secara kontinyu terhadap perkembangan anak, pemberian jaminan
untuk berhubungan dengan orang tua atau keliarga, perlindungan dari pemberitaan
oleh media dan menghindar dari labelisasi.
3. Perlindungan
khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dilaksanakan melalui: upaya
rehabilitasi baik dalam lembaga maupun diluar lembaga, upaya perlindungan dari
pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi,
pemberian jaminan keselamatan bagi sanksi korban ahli baik fisik mental maupun
sosial, pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
C. Pendekatan Reintegrasi
Reintegrasi
adalah proses yang dilakukan pekerja sosial kepada masyarakat, agar
masyarakat tidak memberikan stigma kepada anak. Tindakan ini dilakukan
dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat untuk memberikan penyadaran pada
masyarakat tentang perlunya menerima kembali anak yang pernah berhadapan dengan
hukum. Selain kegiatan pemahaman dan penyadaran, pekerja sosial melakukan
advokasi sosial kepada masyarakat tentang perlunya menangani sendiri apabila
menemukan salah satu anggota masyarakat yang berperilaku melanggar norma-norma
sosial. Secara tidak langsung proses reintegrasi telah memberikan pelajaran
bagi masyarakat untuk menangani anak berkonflik hukum.
Pendekatan
reintegrasi ini merupakan bagian dari metode intervensi berbasis masyarakat.
Dalam metode intervensi berbasis masyarakat, basis penanganan diarahkan pada
penguatan fungsi keluarga dan pendayagunaan sumber-sumber yang dimiliki
masyarakat. Menurut Childhope Asia (1990) mengemukakan pendekatan berbasis
masyarakat adalah pendekatan pencehahan. Pendekatan ini merupakan pendekatan
alternatif untuk melembagakan anak. Hal ini merupakan suatu usaha mengatasi
masalah yang dimulai dari keluarga dan masyarakat. Proses pendekatan berbasis
masyarakat berlangsung pada keluarga anak, anak miskin perkotaan, dan
masyarakatnya yang memungkinkan mereka menciptakan perubahan dan
peluang-peluang bagi mereka dan anak-anaknya. Beberapa bagian komponennya
antara lain; advokasi, pengorganisasian masyarakat, peningkatan pendapatan,
bantuan pendidikan yang meliputi (klarivikasi nilai dan pelatihan ketrampilan).
Pendekatan
berbasis masyarakat tidak dapat dilepaskan dari proses yang harus dilalui.
Proses tersebut sebelumnya secara sistematis harus direncanakan. Perubahan
percepatan tersebut biasanya dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain
factor perencanaan program dan kondisi masyarakat yang akan di ubah. Tahapan
pengembangan masyarakat yang biasa dilakukan beberapa organisasi pelayanan
masyarakat menurut Adi (2001. h.173-179) adalah: (1) Tahap Persiapan yang
didalamnya meliputi penyiapan tugas dan penyiapan lapangan, (2) Asessment, yang
dilakukan dengan mengidentifikasi masalah (kebutuhan yang dirasakan) dan juga
sumber daya yang dimiliki, (3) Perencanaan alternative, Tahap ini community
worker secara partisipatif mencoba melibatkan warga untuk berpikir tentang
masalah yang mereka hadapi dan bagaimana caya mengatasinya, (4) Pemformulasian
rencana aksi, Pada tahap ini agen perubahan(community worker membantu
masing-masing kelompok masyarakat untuk memformukasi gagasan mereka dalam
bentuk tertulis, terutama bila ada kaitanya dengan pembuatan proposal kepada
pihak penyandang dana, (5) Pelaksanaan program atau kegiatan, tahap ini
merupakan salah satu tahap yang paling krusial (penting) dalam proses pengembangan
masyarakat, karena sesuatu yang sudah direncanakan dengan baik akan dapat
melenceng dalam pelaksanaan dilapangan bila tidak ada kerjasama antara petugas
dan warga masyarakat, maupun kerjasama antar warga, (6) Evaluasi, sebagai suatu
proses pengawasan dari warga dan petugas terhadap program yang sedang berjalan
pada pengembangan masyarakat sebaiknya dilakukan dengan melibatkan warga, dan
(7) Terminasi, merupalak tahap ‘pemutusan’ hubungan secara formal dengan
komunitas sasaran. Tahapan tersebut merupakan siklus guna mencapai perubahan
yang lebih baik terutama setelah dilakukan monitoring pelaksanaan kegiatan.
Meskipun demikian siklus dapat berbalik di beberapa tahapan yang lain.
BAB IV
PERLAKUAN TERBAIK BAGI ANAK
Berbagai
upaya yang dilakukan untuk penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, telah
banyak dilakukan oleh beberapa lembaga pelayanan sosial. Penerapan pendekatan
reintegrasi yaitu proses intervensi sosial dimana semua pihak yang berhubungan
dengan proses pelayanan, duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan
memikirkan akibat di masa yang akan datang bagi anak. Pendekatan ini
sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana dengan pelaku anak, melalui
diskresi dan diversi, yaitu peralihan dari proses peradilan pidana ke luar proses
formal untuk diselesaikan secara musyawarah dengan berbagai fihak yang
terlibat, atau disebut sebagai musyawarah pemulihan. Apabila fihak-fihak tidak
menghendaki musyawarah pemulihan maka proses peradilan baru dapat dilaksanakan.
Model ini telah dilaksanakan di kota Bandung, dan ternyata hasilnya cukup
memuaskan, yaitu terjadinya penurunan jumlah anak yang ditangkap, ditahan dan
divonis penjara.
Pendekatan
reintegrasi adalah mengembalikan mantan anak-anak Lapas pada ”dunia” dan
rintisan masa depan mereka dengan : (1) menyiapkan anak untuk kembali pada
keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan dan atau dunia kerja, (2) menyiapkan
keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan dan atau dunia kerja untuk siap
menerima mantan anak-anak Lapas sama seperti anak-anak lainnya. Sedangkan yang
menjadi sasaran adalah (1) anak-anak Lapas yang berusia 18 tahun kebawah,
khususnya yang baru bebas dari LPAP ataupun LPAW, (2) keluarga, masyarakat
sekitar, lembaga pendidikan dan atau dunia kerja.
Untuk mencapai tujuan tersebut, program pelayanan baik
pada anak yang bersangkutan maupun pihak keluarga, serta melakukan pendekatan,
pencarian dukungan, kerjasama dan rujukan pada lembaga-lembaga pendidikan
(formal ataupun non formal). Selain itu advokasi untuk memunculkan penerimaan
dan pelibatan masyarakat dalam upaya reintegrasi mantan anak-anak Lapas itu,
juga menjadi langkah utama. Para pekerja soaial dan konselor secara rutin
melakukan penjangkauan, sosialisasi dan assesment terhadap anak-anak tersebut
sekitar satu atau dua bulan sebelum mereka bebas / keluar dari Lapas. Selain
itu melakukan home visit ke keluarga ke keluarga anak, dan
pendekatan pada tokoh-tokoh masyarakat sekitar. Intervensi lebih lanjut
dilakukan setelah setelah anak-anak itu keluar dari Lapas, baik dalam kondisi
telah bersatu dengan keluarga atau tinggal sementara di rumah aman sementara
waktu.
Peranan
pekerja sosial dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum antara lain:
Pertama, berperan sebagai pendamping pekerja sosial melakukan
pendampingan kepada anak dengan cara menempatkan dirinya sebagai sahabat anak
dan menempatkan anak sebagai manusia yang pantas untuk dihormati serta memiliki
hak-hak, bukan hanya perlindungan hukum tetapi juga perlindungan sosial.
Kedua, peranan untuk melakukan recovery yaitu melakukan
pendampingan kepada anak didalam Lapas untuk tujuan-tujuan profrsional yang
memulai proses pengalihan dan reintegrasi sosial anak. Dalam hal ini pekerja
sosial tidak hanya membantu proses pemulihan dan perubahan perilaku anak,
tetapi juga harus melakukan pendekatan kepada aparat setempat serta lingkungan
sosial tahanan dan napi agar mereka tidak melakukan intimidasi terhadap anak
tetapi sebaliknya membantu proses pendampingan terhadap anak.
Ketiga, kolaborasi dengan Pengacara karena pengacara adalah
bagian dari pihak yang dapat memberikan perlindungan hukum kepada anak.
Advokasi kepada aparat penegak hukum harus dilakukan oleh pekerja sosial
terhadap anak yang sedang ditahan atau telah dipenjara.
Keempat, melakukan diveresi dan restoractif justice yaitu pekerja
sosial juga harus mengadvokasi aparat penegak hukum untuk melakukan diversi
(pengalihan) kasus-kasus anak yang konflik dengan hukum ke lembaga-lembaga
sosial pemerintah atau lembaga sosial swasta atau kepada tokoh masyarakat yang
berwibawa (restoractive justice).
Kelima, advokasi kepada pengambil kebijakan yaitu melalui
kolaborasi dengan stakeholder yang bergerak dibidang anak yang berkonflik
dengan hukum, pekerja sosial harus berusaha mempengaruhi policy maker.
Permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum bukan
hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja tetapi menjadi tanggungjawab semua
pihak karena permasalahan ini bukan masalah sederhana dan kita tidak boleh
saling melemparkan tanggung jawab. Tindakan yang bijak adalah apa yang bisa
kita lakukan untuk kepentingan anak yang berkonflik dengan hukum sesuai dengan
kompetensi dan kemampuan yang kita miliki. Pemerintah, Lembaga Swadaya
Masyarakat (NGO), dunia usaha dan semua pihak yang interes harus bergandengan
tangan dan bukan jalan sendiri sendiri. Kerja sama yang baik dan saling
komunikasi akan mewujudkan cita-cita diatas yaitu The Best Interest For
The Child. Peran pemerintah adalah sebagai pembuat kebijakan yang dapat
memayungi pihak-pihak yang terkait dalam menangani anak yang berkonflik dengan
hukum.
Masyarakat
dan LSM mersama sama mengawasi dan menangani pada tingkat praktis. Sedangkan
masyarakat dunia usaha diharapkan menerima kembali untuk bekerja maupun
bermitra dengan anak-anak yang punya keinginan untuk keluar dari permasalahan
ini. Karena tanpa penerimaan secara wajar terhadap mereka maka akan membentu
komunitas baru yang mereka saling mengerti. Kalau kelompok yang mereka bentuk
adalah positif maka tidak menimbulkan masalah, tetapi kalau kelompok yang
mereka bentuk adalah negatif maka akan menimbulkan masalah yang lebih besar.
Untuk itu keterlibatan semua pihak sangat diharapkan.
Dalam rangka
mencegah tindakan pelanggaran hukum, masyarakat melalui berbagai Organisasi
masyarakat/LSM perlu bersama-sama melakukan berbagai tindakan nyata, baik yang
bersifat pencegahan maupun penanganan yaitu :
1. Masyarakat
berperan aktif turut serta dalam berbagai penyuluhan tentang cara-cara hidup
yang baik guna mencegah tindak kriminal secara meluas. Turut aktif sebagai
peserta penyuluhan sudah merupakan bentuk kepedulian masyarakat dan salah satu
bentuk partisipasi.
2. Membantu
aparat terkait dengan memberikan informasi tentang keberadaan permasalahan yang
sebenarnya, sehingga dengan informasi tersebut kasusnya secara cepat
tertangani.
3. Bagi
masyarakat yang sudah faham benar tentang permasalahan anak yang berkonflik
dengan hukum, membantu dalam menginformasikannya pada masyarakat lain.
4. Masyarakat
dapat memberikan contoh perilaku yang sesuai dengan norma yang berada dalam
masyarakat secara umum.
5. Stigma
dikalangan masyarakat yang menggambarkan bahwa mantan anak-anak Lapas adalah
negatif, diluruskan pengertiannya yang benar oleh masyarakat yang sudah
memahami bahwa anak adadalah korban yang membutuhkan bimbingan.
6. Disamping
itu juga bantuan masyarakat yang paling mendasar adalah setiap keluarga
melakukan kontrol yang ketat bagi anak-anak mereka agar tidak terjun dalam
pelanggatan terhadap hukum.
BAB V
KESIMPULAN
D. KESIMPULAN
Dari tulisan
diatas, maka kesimpulan mengenai anak yang berkonflik dengan hukum sebagai
berikut :
1. Anak adalah
korban dari perlakuan salah orang dewasa karena anak belum mengerti dan dalam
proses belajar.
2. Apabila kita
ingin melihat perilaku kita sebagai orang dewasa maka lihatlah anak-anak.
Sehingga dalam berperilaku kita harus mencontohkan.
3. Permasalahan
tidak selesai hanya dengan memasukkan anak-anak ke Lapas, tetapi seringkali
permasalahan lebih besar adalah ketika anak keluar dari Lapas. Sehingga proses
reintegrasi dianggap penting untuk dilakukan.
Reintegrasi
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum belum banyak dilakukan, baik
pemerintah maupun LSM. Untuk itu program yang dilakukan lebih ditingkatkan
mengenai penyadaran masyarakat (awareness-raising activities) sehingga
diharapkan dapat menghilangkan stigma negatif masyarakat terhadap anak. Kalau
stigma negatif sudah tidak ada maka anak akan bisa lebih berkembang sesuai
dengan hak anak.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Adi, Rukminto,
Isbandi. (2001). Pemberdayaan, pengembangan masyarakat dan intervensi komunitas
(Pengantar pada pemikiran dan pendekatan praktis), Jakarta: Lembaga Penerbit
FE-UI.
2.
Alit Kurniasari dkk .
(2007). Studi Penanganan Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum, Puslitbang Kessos,
Depsos RI
3.
Depsos RI, Pedoman
Penanganan Anak Nakal yang Berkonflik Dengan Hukum, Dirjen Yanrehsos, 2004.
4.
Depsos RI, Pedoman
Operasional Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Bagi Anak Nakal di Panti
Sosial, Dirjen Yanrehsos, 2004.
5.
Hadi Utomo, Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum, Yayasan Bahtera-Unesco-Unicef, Jakarta.
6.
Hikmat, Harry.
(2001). Strategi pemberdayan masyarakat, Bandung: Humaniora Utama.
7.
Hurlock, Elizabeth,
Psikologi Perkembangan, Erlangga, Jakarta , 1980.
8.
Ife, Jim. (1995).
Community development: Creating community alternatives-vision, analysis and
practice, Australia, Longman Pty Ltd.
9.
Kompas.com. Anak-anak
juga butuh bantuan Hukum, 7 Agusuts 2001
10. Mulyana, Dedy, Methodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya,
Bandung 2002.
11. Pikiran-rakyat. com. Raju Potret Buram Peradilan Anak. 5 Maret 2006
12. Sutoyo, Johanes, (penyunting); Anak dan Kejahatan, Jurusan Kriminologi
Fisip UI dan YKAI, Jakarta, 1993.
13. Soetodjo Wagiati. Dr. SH,MS. Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bansung.
2006.
14. Pengkajian Hak untuk Pendidikan dan Pengajaran bagi Anak Pidana di Lembaga
Pemasyarakatan Anak, 26 Desember 2005.
15. Theodore J. Stein; Social Work Practice in Child Welfare, Prentice-Hall,
Inc, Englewood Cliffs, New Yersey, 1981.
16. Undang-undang No 4 (1979) Tentang Kesejahteraan Anak.
17. Undang-undang No 23 Tahun 2005 Tentang Perlindungan Anak.
18. UNICEF, Bagaimana Melakukan Penelitian Berbasis Aksi Dengan Pekerja Anak
dan Anak yang Dilacurkan, RWG-CL, 2006, Unicef, Convention On The Right
Of The Child. (Konvensi Hak-hak Anak)
19. Waspada on line, Konsep Pembinaan bagi Anak di LP, 26 september 2005
Do this hack to drop 2lb of fat in 8 hours
ReplyDeleteOver 160000 women and men are utilizing a easy and SECRET "liquid hack" to burn 1-2lbs every night while they sleep.
It's scientific and it works with everybody.
Here's how you can do it yourself:
1) Go grab a drinking glass and fill it half full
2) And now learn this awesome HACK
you'll be 1-2lbs thinner the very next day!