Segala puji dan syukur
kepada sumber segala kebenaran,sumber ilmu pengetahuan ,Sang Maha Segalanya. Atas kuasa
dan izinnya penulis telah diberikan kesehatan,kemampuan serta kemudahan dalam
menyusun makalah ini. Mudah-mudahan
dengan makalah ini dapat membantu
penulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum
Diplomatik dan Konsuler.
Dalam
pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
mendasar. Oleh karena itu, saran serta kritik yang dapat membangun sangat
diharapkan. Kritik konstruktif dari pembaca sangat diharapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Penulis
ucapkan terima kasih kepada yang terhormat dosen kami Bapak Arief
Rakhman Hakim, S.IP.,M.Si. yang telah memberikan kesempatan kepada kami serta
rekomendasi dan dukungannya dalam pembuatan makalah ini. Semoga isi dari
makalah ini bisa memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Akhir
kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan
Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Deskripsi Kasus
2.2 Analisis Kasus
2.3 Penyelesaian Kasus
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Diplomacy
adalah praktek pelaksanaan hubungan antar Negara melalui perwakilan resmi.
Diplomasi dapat mencakup seluruh proses hubungan negeri, pembentukan
kebijaksanaan luar negeri, serta pelaksanaanya. Diplomasi mencakup teknik
operasional untuk mencapai kepentingan nasional di luar batas wilayah
juridiksi. Hal ini meningkatkan saling ketergantuangan antarnegara semakin
meluas juga jumlah pertemuan internasional dan konperensi multilateral serta
diplomasi parlementer. Negara yang berhubungan dengan Negara lainnya dalam
kesempatan dan topik yang demikian luas, kegiatan diplomatik berlangsung secara
bilateral dan dilaksanakan melalui jalur diplomatik normal dari kementrian luar
negeri serta melalui misi diplomatic tetap.[1]
Berbicara mengenai misi
diplomatik maka berbicara pula mengenai hukum
diplomatik. Secara tradisional, hukum diplomatik digunakan untuk merujuk pada
norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang kedudukan fungsi misi
diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-negara yang telah membina hubungan
diplomatik, lain halnya dengan pengertian-pengertian sekarang yang bukan saja
meliputi hubungan diplomatik dan konsuler antarnegara, tetapi juga keterwakilan
negara dalam hubungannya dengan organisasi-organisasi internasional.
Di dalam Konvensi Wina
1961 pasal 1 (i) secara jelas memberikan batasan bahwa gedung perwakilan merupakan
gedung-gedung dan bagian-bagiannya dan tanah tempat gedung itu didirikan, tanpa
memperhatikan siapa pemiliknya yang digunakan untuk keperluan perwakilan negara
asing tersebut termasuk rumah kediaman kepala perwakilan. Kelalaian dan
kegagalan negara penerima dalam memberikan perlindungan terhadap kekebalan
diplomatik merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan konvensi, oleh
karenanya negara penerima wajib bertanggung jawab atas terjadinya hal yang
tidak menyenangkan tersebut.. Kegagalan inilah yang akhirnya
memunculkan tanggung jawab tersendiri yang
selanjutnya menuntut adanya penyelesaian atas kegagalan Negara dalam
perlindungan terhadap kekebalan diplomatik.
Salah satu gangguan yang dapat saja terjadi terhadap kekebalan diplomatik,
yaitu perlakuan atau kegiatan yang tidak menyenangkan dari pihak negara
penerima dimana perwakilan diplomatik tersebut ditempatkan.
Jika hal
yang tidak menyenangkan ini sampai terjadi, maka negara
pengirim dapat mengajukan keberatan kepada Negara penerima (receiving state)
dan negara penerima wajib bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut. 2004 silam, terjadi kasus
penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar. Berdasarkan temuan Tim
Pemeriksa dari Jakarta di gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangoon,
Myanmar, bahwa penyadapan dilakukan melalui frekuensi telepon. Namun, pihak KBRI tidak
mengetahui secara jelas sudah berapa lama kantor kedutaan disadap. Ulah agen intelijen
junta militer Myanmar itu merupakan tindakan tidak terpuji dan melanggar asas
kepatutan dan etika dalam hubungan diplomatik.
Tindakan penyadapan
tersebut merupakan pelanggaran terhadap Konvensi 1961 dan kejadian ini sangat
disesalkan sekali karena merupakan bukti kegagalan pemerintah Myanmar dalam
melindungi hak kekebalan diplomatic dimana hal tesebut merupakan kewajiban dari
negara penerima sebagaimana telah diatur dalam konvensi.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimanakah
penyelesaian kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004 ditinjau dari Konvensi Wina
1961 ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Deskripsi Kasus
Kronologis atas kasus penyadapan alat komunikasi yang dilakukan oleh
Myanmar sebagai negara penerima terhadap perwakilan diplomatik Indonesia terjadi
pada pertengahan tahun 2004 dan terungkap setelah datangnya tim pemeriksaan dari Indonesia. Tim tersebut
terdiri dari perwakilan Direktur Keamanan Diplomatik Departemen Luar Negeri, tim
Lembaga Sandi Negara, dan tim dari Badan Intelijen Negara.
Penyadapan yang terjadi di kantor perwakilan diplomatik Indonesia di
Myanmar ditemukan di dinding ruangan Duta Besar Indonesia. Kasus ini terungkap
dengan dua metode, yakni super ground (semacam sistem anti sadap) dan penurunan daya
listrik. Jika daya listrik terjadi penurunan hingga mencapai 50 persen maka terindikasi terjadi penyadapan.
Kasus yang terjadi di kantor perwakilan diplomatik
Indonesia di Myanmar penurunan daya listrik mencapai 70 persen. Sedangkan alat sadap yang
ditemukan terdapat pada saluran telepon Duta Besar Indonesia dan saluran telepon atase
pertahanan.
Kekebalan dalam mengadakan komunikasi diatur dalam pasal 27 Konvensi
Wina 1961 tentang hubungan diplomatik yang berisi jaminan kebebasan
berkomunikasi bagi misi perwakilan diplomatik dengan cara dan tujuan yang layak. Kebebasan
berkomunikasi ini dapat berlangsung antara pejabat diplomatik yang bersangkutan dengan
pemerintah negara penerima maupun dengan perwakilan diplomatik asing lainnya.
Konvensi wina 1961 adalah sebagai pengakuan oleh semua negara-negara
akan adanya wakil-wakil diplomatik yang sudah ada sejak dahulu. Konvensi Wina
1961 telah menandai tonggak sejarah yang sangat penting karena masyarakat
internasional dalam mengatur hubungan bernegara telah dapat menyusun kodifikasi
prinsip-prinsip hukum diplomatik khususnya yang menyangkut kekebalan dan keistimewaan
diplomatik yang sangat mutlak diperlukan bagi semua negara. Khususnya para pihak agar didalam
melaksanakan hubungan satu sama lain dapat melakukan fungsi dan tugas diplomatknya
dengan baik dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta dalam
meningkatkan hubungan bersahabat antara semua negara. [2]
Konvensi Wina 1961 membawa pengaruh besar dalam perkembangan hukum diplomatik. Hampir semua negara yang mengadakan hubungan diplomatik menggunakan ketentuan dalam konvensi
sebagai landasan hukum dalam pelaksanaannya.
Hukum internasional memberikan tatanan bagi dunia dalam rangka
pemeliharaan perdamaian.
2.2 Analisis Kasus
Di
dalam Konvensi Wina 1961 pasal 1 (i) secara jelas memberikan batasan
bahwa gedung perwakilan merupakan gedung-gedung dan bagian-bagiannya dan
tanah tempat gedung itu didirikan, tanpa memperhatikan siapa pemiliknya
yang digunakan untuk keperluan perwakilan negara asing tersebut termasuk
rumah kediaman kepala perwakilan.
Kelalaian
dan kegagalan negara penerima dalam
memberikan perlindungan terhadap kekebalan diplomatik merupakan
suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan konvensi, oleh karenanya
negara penerima wajib bertanggung jawab atas terjadinya hal yang tidak menyenangkan
tersebut. Kelalaian dan
kegagalan tersebutlah yang akhirnya memunculkan tanggung
jawab tersendiri yang dikenal sebagai “pertanggungjawaban negara”. Salah
satu gangguan yang dapat saja terjadi terhadap kekebalan diplomatik, yaitu
perlakuan atau kegiatan yang tidak menyenangkan dari pihak negara penerima
dimana perwakilan diplomatik tersebut ditempatkan. Apabila
hal ini terjadi, maka negara pengirim dapat mengajukan keberatan
kepada Negara penerima (receiving state) dan negara penerima wajib bertanggung
jawab sepenuhnya atas hal tersebut.
Dalam kasus
insiden penyadapan perwakilan diplomatik yang terjadi adalah
kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar pada tahun
2004. Kasus penyadapan ini diketahui setelah Tim Pemeriksa dari Jakarta melakukan
pemeriksaan di gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangoon,
Myanmar. Berdasarkan temuan mereka, penyadapan dilakukan melalui
frekuensi telepon. Walaupun pihak KBRI tidak mengetahui secara jelas sudah
berapa lama kantor kedutaan disadap. Akibat ulah
agen intelijen Myanmar yang telah menyadap Kedubes RI di
Yangoon tersebut mendapat banyak kecaman dari pihak internasional. Komisi
I DPR RI meminta meninjau ulang kembali hubungan diplomatik antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan Myanmar. Anggota Komisi I DPR RI Djoko
Susilo mengungkapkan pemeriksaan tim gabungan keamanan Indonesia di
Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangoon, Myanmar, terungkap
bahwa adanya alat penyadap yang ditemukan pada dinding kamar kerja
Duta Besar RI untuk Myanmar. Ulah agen intelijen junta militer Myanmar itu
merupakan tindakan tidak terpuji dan melanggar asas kepatutan dan etika dalam
hubungan diplomatik. Tindakan ilegal itu menyalahi tata krama hubungan
diplomatik, lanjut Djoko Susilo. Tindakan
penyadapan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Konvensi
1961 dan kejadian ini sangat disesalkan sekali karena merupakan bukti
kegagalan pemerintah Myanmar dalam melindungi hak kekebalan diplomatic
dimana hal tesebut merupakan kewajiban dari negara penerima sebagaimana
telah diatur dalam konvensi
2.3 Penyelesaian
Kasus
Kasus
penyadapan terhadap KBRI di Yangoon, Myanmar telah menimbulkan rasa kekecewaan
luar biasa yang di rasakan oleh bangsa Indonesia.
Tindakan ilegal yang dilakukan oleh pemerintahan Myanmar telah menyalahi tata
krama dalam hubungan diplomatikse bagaimana dituangkan dalam Konvensi Wina 1961
yang menyatakan bahwa gedumh perwakilan diplomatik kebal terhadap alat-alat
negara penerima serta tidak dapat diganggu gugat. Tindakan ini mengidentifikasikan
bahwa rezim penguasa di
Myanmar tidak menghargai dukugan politik dan diplomatik Republik
Indonesia selama ini dalam menghadapi tekanan dunia baik dalam forum
internasional melalui PBB maupun dalam forum regional ASEAN.
Penyelesaian
yang di ambil oleh pihak pemerintahan Indonesia sesuai
dengan Piagam PBB pasal 2 ayat (3) dan pasal 33 dimana lebih mengetumakan
penyelesaian sengketa dengan jalan damai yang ditujuakn untuk
menciptakan perdamaia di muka bumi yang yelah di cita
–citakan oleh setiap
bangsa. Penyelesaian tersebut juga dilandaskan pada prinsip yang
utama di dalam penyelesaian sengketa internasional yaitu prinsip itikad
baik (good faith).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
uraian yang telah penulis samapaikan sebelumnya, maka dapat ditarik
beberapa
kesimpulan:
·
Kasus
penyadapan KBRI di Myanmar merupakan pelanggaran terhadap Konvensi
Wina 1961 dimana diatur dalam pasal 22 ayat (1): Perwakilan diplomatik
asing di suatu negara termasuk gedung perwakilan tidak dapat diganggu
gugat (inviolable). Penyadapan KBRI di Myanmar adalah sebagai bukti
bagaimana Myanmar sebagai negara penerima tidak mampu menjalankan tugasnya
dalam rangka memberikan jaminan dan perlindungan terhadap perwakilan diplomatik
negara asing di negaranya.
·
Atas
kejadian tersebut, Myanmar sebagai negara penerima berkewajiban untuk melakukan
pertanggungjawaban dengan cara melakukan:
Pertama, mangajukan permintaan maaf secara resmi kepada pemerintah RI atau melalui
KBRI di Myanmar dan berjanji kejadian serupa tidak akan terjadi lagi.
Kedua, dengan memberikan ganti rugi nominal atau dalam bentuk perbaikan/renovasi
seperti keadaan semula apabila terdapat kerusakan.
3.2 Saran
·
Semakin
meningkatnya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap perwakilan
diplomatik, maka sudah seharusnya diciptakan sebuah pengaturan
hukum internasional dalam hubungan diplomatik yang tegas terhadap
pelanggaran-pelanggaran perwakilan diplomatik, dalam rangka mewujudkan
keamanan internasional serta demi menjaga keutuhan hubungan
antar negara di dunia.
·
Agar
tidak terjadinya lagi kasus pelanggaran terhadap KBRI seperti pada kasus
penyadapan KBRI di Myanmar tahun 2004, maka pemerintah harus lebih meningkatkan
sistem atau cara-cara pengamanan perwakilan diplomatiknya, serta melakukan
pemeriksaan terhadap alat-alat dan kelengkapan yang terdapat di dalam gedung
perwakilan diplomatik.
·
Karena
belum adanya suatu kodifikasi hukum mengenai hal-hal yang menimbulkan tanggung
jawab negara, maka Komisi Hukum Internasional hendaknya harus tetap berusaha
untuk merancang ketentuan mengenai hal tersebut agar tercipta suatu ketentuan (code
of conduct) yang mengikat secara luas bagi berbagai pihak khususnya bagi
para subjek hukum internasional.
Atau dengan alternatif lain, negara-negara didunia yang menjalin
hubungan diplomatik membuat suatu rule (aturan) ketika melakukan
hubungan diplomatik dengan suatu negara, sehingga aturan tersebut
disepakati oleh pihak-pihak yang menjalankan hubungan diplomatik.
DAFTAR
PUSTAKA
Adolf, Huala , Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1996
Hardiwinoto, Soekotjo, Pengatar Hukum Internasional, Badan
Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 1995
[1] C.Plano, Jack, Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional, alih bahasa :Wawan Juanda Edisi ketiga, cet II (Bandung:
Putra A.BArdin, 1999), hal.201
[2] http://tyokro
nisilicus.wordpress.com/2010/04/17/keistimewaan-dankekebalan-
diplsomatik-me
nurut-hukum-internasional-tinjauan-yuridis-konvensi-wina-1961, diakses tanggal 26) Oktober 2015, 21:50
deposit bos sudah kita proses ya bos.
ReplyDeletesilahkan di cek kembali bos.
terima kasih bos.
jangan lupa ajak teman2nya main disini juga ya bosku :)