Saturday, February 13, 2021

Pengertian Freies ermessen

Freies ermessen adalah sebuah istilah yang digunakan dalam bidang pemerintahan, yang menurut Marcus Lukman, diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Kewenangan ini diberikan oleh pemerintah atas dasar fungsi pemerintah, yaitu untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, dan kewenangan ini merupakan konsekuensi logis dari konsep Negara hukum modern (welfare state). Namun, tentu saja kewenangan ini (freies ermessen) tidak dapat digunakan tanpa batas dan haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Bertujuan untuk mengoptimalkan pelayanan public
b.      Merupakan tindakan aktif dari administrasi Negara
c.       Dimungkinkan oleh hokum
d.      Atas inisiatif sendiri
e.      Bertujuan untuk penyelesaian masalah-masalah penting yang timbul secara mendadak
f.        Dapat dipertanggungjawabkan

Menurut Laica Marzuki, freies ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha Negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan tata usaha Negara terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang kian komplek. Dalam prakteknya, freies ermessen, dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
a.       Belum ada peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelesaian secara konkrit terhadap suatu masalah tertentu, dimana masalah tersebut harus segera diselesaikan.
b.      Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya.
c.       Adanya delegasi perundang-undangan, yang artinya aparat pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri sebuah urusan, yang sebenarnya kekuasaan itu merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya, pemerintah daerah bebas untuk mengelola sumber-sumber keuangan daerah asalkan merupakan sumber yang sah.

Dalam ilmu Hukum Administrasi, freies ermessen ini diberikan hanya kepada pemerintah, dan ketika freies ermessen ini diwujudkan menjadi instrument yuridis yang tertulis, maka jadilah ia sebagai peraturan kebijaksanaan.

Friday, December 18, 2020

GUGUR DAN VERSTEK SERTA PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK

Oleh: Jon Efendy Purba, S.Pd, SH

I.    PENDAHULUAN
Tajuk makalah ini erat kaitannya dengan Putusan yang merupakan salah satu produk Hakim, untuk itu sebelum membahas pokok masalah tersebut akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai beberapa produk Hakim. 
Produk Hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1)  Putusan
2)  Penetapan
3)  Akta perdamaian
Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
Penetapan ialah juga pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka bentuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).
Akta perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.
Dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam, yaitu:
1.   Putusan akhir
2.   Putusan sela
Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1.   Putusan gugur
2.   Putusan verstek
3.   Putusan kontradiktoir
Jika dilihat dari segi isinya terhadap gugatan/ perkara ada dua macam, yaitu positif dan negative, yang dapat dirinci menjadi empat macam:
1.   Tidak menerima gugatan Penggugat
2.   Menolak gugatan Penggugat seluruhnya
3.   Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak/ tidak menerima selebihnya
4.   Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya
 Dan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1.   Diklaratoir
2.   Konstitutif
3.   Kondemnatoir
 II.   PUTUSAN GUGUR
Mengenai Putusan Gugur diatur dalam Pasal 124 HIR/ Pasal 148 Rbg, sebagai berikut: Putusan gugur ialah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena Penggugat/ Pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil (secara resmi sedang Tergugat hadir dan mohon putusan)
1.   Putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahap pembacaan gugatan/ permohonan.
2.   Putusan gugur dapat dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahap pembacaan gugatan/ permohonan.
3.   Putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
a.   Penggugat/Pemohon telah dipanggil dengan resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu.
b.   Penggugat/Pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidakhadirannya itu bukan karena sesuatu halangan yang sah.
c.   Tergugat/Termohon hadir dalam sidang.
d.   Tergugat/Termohon mohon putusan.

4.   Dalam hal Penggugat/Pemohonnya lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus gugur.
5.   Putusan gugur belum menilai gugatan ataupun pokok perkara.
6.   Dalam putusan gugur, Penggugat/Pemohon dihukum membayar biaya perkara  
 Dari uraian di atas mungkin akan timbul pertanyaan: Dalam hal apakah suatu perkara dikatakan gugur/ digugurkan? Apakah perkara tersebut dapat serta merta digugurkan begitu saja?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mengacu pada paparan BUKU II (PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS DAN ADMINISTRASI PENGADILAN), sebagai berikut:
1.   Apabila pada hari sidang pertama Penggugat atau semua Penggugat tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah, sedangkan Tergugat atau kuasanya yang sah datang maka Gugatan dapat digugurkan dan Penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara (Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg.).
Harus diperhatikan apakah dalam pemanggilan kepada Penggugat tersebut Jurusita telah bertemu sendiri dengan Penggugat atau hanya melalui Kelurahan/ Kepala Desa. Dalam hal Jurusita tidak dapat bertemu sendiri dan hanya melalui Kelurahan/Kepala Desa, maka Penggugat dipanggil sekali lagi.
2.   Dalam hal perkara digugurkan, Penggugat dapat mengajukan gugatan tersebut sekali lagi dengan membayar panjar biaya perkara lagi. Apabila telah dilakukan sita jaminan, maka sita tersebut harus diangkat.
3.   Dalam hal-hal tertentu, misalnya apabila Penggugat tempat tinggalnya jauh atau mengirim kuasanya tetapi surat kuasanya tidak memenuhi syarat, maka Hakim dapat mengundurkan dan meminta Penggugat dipanggil sekali lagi. Kepada pihak yang datang diberitahukan agar ia menghadap lagi tanpa panggilan (Pasal 126 HIR/Pasal 150 RBg.).
4.   Jika Penggugat pada panggilan sidang pertama tidak datang, meskipun ia telah dipanggil dengan patut, tetapi pada panggilan kedua ini datang dan pada panggilan ketiga Penggugat tidak hadir lagi, perkaranya tidak dapat digugurkan (Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg).
5.   Apabila gugatan gugur maka dituangkan dalam putusan, tetapi apabila Gugatan dicabut maka dituangkan dalam bentuk penetapan; Dalam hal perkara perceraian, apabila salah satu pihak meninggal dunia sedangkan perkaranya belum diputus, maka perkara menjadi gugur dan dituangkan dalam putusan;
6.   Apabila Penggugat pernah hadir tetapi kemudian tidak hadir lagi maka Penggugat dipanggil sekali dengan peringatan (peremptoir) untuk hadir dan apabila tetap tidak hadir sedangkan Tergugat tetap hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan dan diputus secara kontradiktoir.
 AKIBAT HUKUM PUTUSAN GUGUR.
Akibat hukum putusan Gugur diatur dalam Pasal 77 Rv, sebagai berikut:
1.   Pihak Tergugat, dibebaskan dari perkara dimaksud. Putusan Pengguguran gugatan yang didasarkan atas keingkaran Penggugat menghadiri sidang pertama, merupakan putusan akhir (eind vonnis) yang bersifat menyudahi proses pemeriksaan secara formil. Artinya, putusan itu mengakhiri pemeriksaan meskipun pokok perkara belum diperiksa. Itu sebabnya undang-undang menyatakan dibebaskan dari perkara itu.
2.   Terhadap putusan pengguguran gugatan tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet. Sifat putusannya:
-      Langsung mengakhiri perkara, karena itu langsung pula mengikat kepada para pihak atau final and binding,
-      Selain terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan, juga tertutup upaya hukum, sehingga tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
3.   Penggugat dapat mengajukan gugatan baru. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh Penggugat adalah mengajukan gugatan baru dengan materi pokok perkara yang sama, karena dalam putusan gugur tidak melekat ne bis in idem sehingga dapat diajukan sebagai perkara baru, dan untuk itu Penggugat dibebani membayar biaya perkara baru.    
Untuk menambah wasasan kita tentang perkara gugur dan perkara dicoret karena habis biaya perkara, berikut akan diuraikan pendapat dari Drs. H. Marjohan Syam, SH., MH (Hakim Tinggi PTA Pekanbaru) dalam tulisannya yang berjudul: KOREKSI ATAS BUKU DR. AHMAD MUJAHIDIN, MH, PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PERDATA PENGADILAN AGAMA DAN MAHKAMAH SYARIYAH DI INDONESIA Tentang Pembatalan Perkara Yang Habis Biayanya, selengkapnya sebagai berikut: 
“Penulis dalam tulisan ini ingin urung rembuk sedikit menyampaikan koreksi dan barangkali belum tentu juga benar apa yang disampaikan ini, setidak-tidaknya merupakan pijakan bagi Hakim di lingkungan Peradilan Agama untuk mencari kebenaran sesuai dengan tujuan tertib beracara, mengikut azas-azas yang berlaku.
Walaupun penulis belum sempat membaca semua isi buku ini, namun penulis memperhatikan suatu masalah yang kebetulan sedang dibicarakan (discursus) di Pengadilan Agama Pekanbaru wilayah pengawasan penulis, yaitu yang mengenai huruf G. Kehabisan Panjar Biaya Perkara, dalam Bab VII halaman 142-143 buku Pembaharuan Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariyah di Indonesia; Mengenai mekanisme penambahan panjar biaya perkara dan tindak lanjutnya dari huruf a s/d i kecuali g penulis tidak mempersoalkannya karena masih lingkup atau wilayah administrasi perkara, tetapi pada huruf g berbunyi Berdasarkan surat keterangan panitera tersebut, majelis membuat “penetapan” berisi tentang batalnya perkara itu yang telah terdaftar dalam Register Induk Perkara bersangkutan, menurut penulis huruf g ini sudah termasuk wilayah Tehnis yudisial Hukum Acara, dimana harus ada aturan acaranya bahkan Hakim terikat dengan tekstual dan tidak boleh menafsirkan begitu leluasanya aturan acara tersebut apalagi membuat acara baru, kecuali sebatas usulan rancangan. Ada dua koreksi disini yaitu pertama penetapan majelis, dan kedua membatalkan perkara yaitu penetapan Majelis Hakim tentang batalnya perkara. Dalam memutuskan perkara apapun itu, Hakim semestinya berpegang kepada pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 bahwa disamping alasan dan dasar putusan tersebut, juga memuat pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Menurut sepengetahuan penulis tidak ada aturan yang mengatur bahwa Hakim membuat penetapan batalnya perkara dalam hal kehabisan panjar biaya perkara seperti halnya putusan gugur, verstek, atau pencabutan perkara yang sedang berjalan baik dalam HIR, RBg, Rv atau pun dalam BW. Sebagaimana Hakim dalam menggali peristiwa untuk menemukan hukumnya, Hakim menggunakan syllogisme yaitu suatu pola berpikir (redenering/reasoning) secara deduktif yang sah berpangkal pada dua premis mayor dan minor untuk mendapatkan kesimpulan yang logis dalam mengambil kesimpulan putusan atau penetapan. Disini premis mayor sebagai titik tolak Hakim mengambil kesimpulan yaitu merupakan pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan, bagaimana dan peraturan apa yang dapat diterapkan pada pembatalan perkara atau pencoretan pendaftaran? Ya tidak ada kecuali hanya dalam Buku Pedoman Kerja yang dikeluarkan IKAHI Wilayah Sulsera di Ujung Pandang tahun 1989 pada halaman 17 berbunyi; “Apabila suatu perkara yang telah diajukan pada pengadilan ternyata biayanya telah habis sebelum perkara itu selesai, maka untuk memeriksa perkara tersebut lebih lanjut dibuatlah teguran kepada Penggugat agar dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal teguran tersebut, Penggugat harus menambah biaya perkara dan apabila dalam jangka waktu satu bulan tersebut Penggugat tidak memenuhinya, maka pendaftaran perkaranya dibatalkan dengan suatu penetapan pengadilan, setelah lebih dahulu Panitera Kepala membuat suatu keterangan”, Dalam hal ini penulis berkesimpulan bahwa yang tepat barangkali adalah pembatalan pendaftaran atau pencoretan pendaftaran dengan penetapan yang bukan pembatalan perkaranya, dan penetapan tersebut dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan bukan produk penetapan Majelis Hakim, dengan alasan seperti berikut:
1)  Bahwa produk Majelis Hakim adalah tehnis yudisial yang jelas tidak ada cantolannya dalam HIR/RBg, Rv atau BW;
2)  Bahwa produk Ketua Pengadilan adalah bagian dari produk administrasi perkara yaitu tentang keuangan/biaya perkara yang tidak tergantung dengan peraturan perundangan;
3)  Bahwa perkara tersebut walaupun diserahkan kepada majelis dengan PMH (Penetapan Majelis Hakim), tetapi penunjukan majelis itu juga bagian dari administrasi perkara atau administrasi persidangan, jadi dengan penetapan tersebut seakan-akan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI menjelaskan kepada Majelis Hakim bahwa perkara tidak bisa dilanjutkan karena pendaftaran sudah dicoret atau dibatalkan karena biaya perkara dari pihak tidak ada lagi, dengan begitu perkara dihentikan oleh Majelis Hakim. Jadi penyelesaian perkara tidak bisa diteruskan karena administasi perkaranya tidak lengkap, sekalipun itu terjadi di tengah jalan.
4)  Dengan pencoretan pendaftaran oleh Ketua Pengadilan tidak menghapus semua dokumen yang ada dalam bundel perkara tersebut dan masih tetap berlaku sepanjang tertera jelas dalam berita acara. Penulis ingin mengajak kita mau sejenak melihat kebelakang, bahwa pencoretan pendaftaran karena habis biaya perkara adalah petunjuk yang diberikan oleh Bapak Hensyah Syahlani, SH guna mengatasi penumpukkan perkara yang habis biayanya. Masih terngiang-ngiang ditelinga penulis ucapan Bapak Hensyah Syahlani, SH bercerita bahwa untuk mengurangi penumpukan perkara dulu ada SEMA yang mengatur tentang dapat dicoret pendaftaran perkara yang habis biaya perkara/tidak dipenuhi biaya perkara setelah ditegur, akan tetapi SEMA tersebut sudah dicabut, namun kata pak Hensyah aturan SEMA tersebut dapat diperlakukan untuk Pengadilan Agama supaya tidak terjadi penumpukkan perkara yang kekurangan biaya, caranya:
a.      Pengadilan membuat teguran dalam tenggang waktu tertentu supaya menambah panjar biaya perkara,
b.      Panitera membuat surat keterangan tentang hal tersebut jika tidak ditambah panjar biaya oleh pihak Penggugat,
c.      Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan penetapan pencoretan pendaftaran perkaranya berdasarkan surat keterangan tersebut.
Tetapi sampai saat terakhir bersama Pak Hensyah membina Pengadilan Agama, penulis tidak pernah melihat SEMA tersebut."
Dalam hukum acara kita mengenal hal-hal yang kemungkinan terjadi dalam persidangan seperti gugatan digugurkan (Pasal 124 HIR, 148 RBg), walau kelihatannya Pengadilan terlalu kejam kepada Penggugat, tetapi itu aturannya untuk menjaga hak orang lain in casu Tergugat yang hadir memenuhi panggilan, begitu juga tidak hadirnya Tergugat diputus “verstek” (Pasal 125 HIR, 149 RBg) untuk menjaga hak Penggugat dikala Tergugat ingkar menghadiri persidangan, demikian juga pencabutan gugatan oleh pihak Penggugat (Pasal 271-272 Rv) diatur dengan tegas, akan tetapi mengenai pembatalan perkara karena kekurangan/habis biaya perkara, tidak diatur dalam Hukum Acara Perdata. 
Kecuali itu, dalam Pasal 273 ; 277 Rv mengenal aturan yang mengatur tentang pengguguran perkara bukan pencoretan pendaftaran, tetapi tidak dijelaskan dengan tegas sebab-sebab digugurkannya perkara dan dapat dipastikan di sini termasuk karena kelalaian pihak apa karena kekurangan biaya perkara ataupun sebab-sebab lainnya. Namun sebelum digugurkan tersebut ada beberapa tahap yang harus dilalui sebagai berikut:
1)     Perkara sudah terhenti selama tiga tahun, dan masih ada kesempatan dalam waktu enam bulan untuk  melanjutkan perkara;
2)     Adanya permohonan untuk digugurkan dari pihak yang berkepentingan, dan permohonan untuk menggugurkan itu dapat dicegah dengan tindakan hukum oleh salah satu pihak sebelum pernyataan gugur;
3)     Pernyataan gugur itu dilakukan dalam sidang secara sederhana dan diberitahukan kepada pihak yang bersangkutan atau ditempat tinggalnya;
4)     Pernyataan gugur itu tidak membatalkan tuntutan, melainkan hanya acara perkara yang telah dimulai;
5)     Biaya perkara karena pernyataan gugur itu dianggap sudah dibayar;
6)     Dan bila mengajukan gugatan baru, maka pihak-pihak satu sama lain berhak untuk mengajukan lagi sumpah-sumpah, pengakuan-pengakuan dan keterangan-keterangan yang telah diberikan olehnya dalam perkara yang terdahulu, begitu juga keterangan-keterangan yang telah diberikan oleh saksi-saksi yang sudah meninggal dunia, jika hal itu dicantumkan dalam berita acara yang dibuat dengan baik. Ketentuan-ketentuan dalam Rv tersebut jelas acaranya, Hakim jelas apa yang diperbuat sebagai tugas tehnis yudisial karena ada cantolannya, hal ini jelas tidak sama dengan pembatalan/pencoretan pendaftaran perkara seperti yang kita bicarakan. Kalau kita analisa secara mendalam lagi barangkali perkara yang habis biayanya dan Penggugat tidak mampu lagi memenuhi biaya perkara akan lebih bijaksana jika tidak di coret pendaftarannya dan solusinya pengadilan menyarankan untuk melanjutkan perkara dengan mengurus proses beracara dengan prodeo, kenapa? Logikanya jika ada yustisiabel sejak awal berperkara tidak mampu membayar biaya perkara bisa berperkara dengan prodeo, maka apa salahnya Penggugat yang semula beritikad baik mau membayar biaya dan ternyata ditengah jalan tidak mampu, dilanjutkan dengan prodeo? Bukankah cara begini adalah bagian client service improvement? Bukankah semua warga mendapat kesempatan yang sama dalam mendapatkan pelayan hukum di pengadilan?, wallahu a’lam. 
III. PUTUSAN VERSTEK
BUKU II sebagai bahan rujukan para Hakim dan aparat peradilan melaksanakan tugasnya, telah mengurai  mengenai Perkara Verstek sebagai berikut:
1.   Pasal 125 ayat (1) HIR menentukan bahwa gugatan dapat dikabulkan dengan Verstek apabila:
a)  Tergugat atau para Tergugat tidak datang pada hari sidang pertama yang telah ditentukan atau tidak mengirimkan jawaban.
b)  Tergugat atau para Tergugat tersebut tidak mengirimkan wakil / kuasanya yang sah untuk menghadap atau tidak mengirimkan jawaban.
c)  Tergugat atau para Tergugat telah dipanggil dengan patut.
d)  Gugatan beralasan dan berdasarkan hukum. 
2.   Dalam hal Tergugat tidak hadir pada panggilan sidang pertama dan tidak mengirim kuasanya yang sah, tetapi ia mengajukan jawaban tertulis berupa tangkisan tentang Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili, maka diputus berdasarkan Pasal 125 HIR.
3.   Dalam perkara perceraian yang Tergugatnya tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, harus diperhatikan apakah dilakukan dengan patut, yaitu dengan cara dipanggil ke alamatnya yang terakhir. Apabila setelah dilakukan hal tersebut masih juga tidak datang, maka diumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan, yang dilakukan sebanyak 2 kali dengan tenggat waktu 1 bulan antara pengumuman pertama dan kedua selanjutnya tenggat waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 bulan (Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).
4.   Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9 Tahun 1964 mengenai Verstek.

A.  PENGERTIAN VERSTEK
-   Putusan Verstek ialah putusan yang dijatuhkan karena Tergugat/ Termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang Penggugat hadir dan mohon putusan.
-   Verstek artinya Tergugat tidak hadir.
-   Putusan Verstek diatur dalam Pasal 125-129 HIR dan 196-197 HIR, Pasal 148-153 Rbg dan 207-208 Rbg, UU no. 20 tahun 1947 dan SEMA No. 9/1964.

B.  SYARAT ACARA VERSTEK
Perihal sahnya penerapan Acara Verstek kepada Tergugat, merujuk kepada ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR atau Pasal 78 Rv. Bertitik tolak dari Pasal tersebut, dapat dikemukakan syarat-syarat sebagai berikut:
-      Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut.
-      Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain serta tidak ternyata pula bahwa ketidakhadirannya itu karena sesuatu alasan yang sah.
-      Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan.
-      Penggugat hadir di persidangan.
-      Penggugat mohon keputusan.

C.  PENERAPAN ACARA VERSTEK TIDAK IMPERATIF
Pada satu sisi Undang-undang menghadirkan kedudukan Tergugat di persidangan sebagai hak, bukan kewajiban yang bersifat imperatif. Hukum menyerahkan sepenuhnya, apakah Tergugat mempergunakan hak itu untuk kepentingannya atau tidak. Di sisi lain Undang-undang tidak memaksakan acara verstek secara imperatif. Hukum tidak mesti menjatuhkan putusan verstek terhadap Tergugat yang tidak hadir memenuhi panggilan. Penerapannya bersifat fakultatif. Kepada Hakim diberi kebebasan untuk menerapkannya atau tidak. Sifat penerapan yang fakultatif tersebut, diatur dalam Pasal 126 HIR sebagai acuan:
-      Ketidakhadiran Tergugat pada sidang pertama, langsung memberi wewenang kepada Hakim menjatuhkan putusan Verstek.
-      Mengundurkan sidang dan memanggil Tergugat sekali lagi.
-      Batas toleransi pengunduran.
Pasal 126 HIR tidak mengatur batas toleransi atau batas kebolehan pengunduran sidang apabila Tergugat tidak mentaati panggilan. Pasal itu hanya mengatakan Pengadilan atau Hakim dapat memerintahkan pengunduran, namun tidak menjelaskan berapa kali pengunduran dapat dilakukan, akan tetapi penerapannya harus disesuaikan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.    

D.  PENERAPAN ACARA VERSTEK APABILA TERGUGAT LEBIH DARI SATU ORANG
Rujukan penerapan acara verstek dalam perkara Tergugat lebih dari satu orang bertitik tolak dari Pasal 127 HIR, Pasal 151 Rbg:
-      Pada sidang pertama semua Tergugat tidak hadir, langsung dapat diterapkan acara verstek, dengan jalan menjatuhkan putusan verstek atau mengundur sidang dengan memanggil para Tergugat sekali lagi.
-      Pada sidang berikutnya semua Tergugat tetap tidak hadir, dapat diterapkan acara verstek.
-      Salah seorang Tergugat tidak hadir, sidang wajib diundurkan.
-      Salah seorang atau semua Tergugat yang hadir pada sidang pertama, tidak hadir pada sidang berikut, tetapi Tergugat yang dahulu tidak hadir, sekarang hadir, maka Hakim dapat memilih alternatif, sebagai berikut: 
a.   Mengundurkan persidangan;
b.   Melangsungkan persidangan secara kontradiktor;
c.   Salah seorang Tergugat terus menerus tidak hadir sampai Putusan dijatuhkan, proses pemeriksaan kontradiktor;
 
E.  SAAT PUTUSAN VERSTEK DIUCAPKAN
Dalam bukunya, Hukum Acara Perdata, M. Yahya Harahap, SH. Berpendapat sebagai berikut: Terhadap putusan verstek Mahkamah Agung memberi penjelasan yang berpatokan pada Pasal 125 ayat (1) HIR. Apabila Hakim hendak menjatuhkan putusan verstek disebabkan Tergugat tidak hadir memenuhi panggilan sidang tanpa alasan yang sah:
-      Putusan harus dijatuhkan pada hari itu juga ;
-      Dengan demikian putusan verstek yang dijatuhkan dan diucapkan di luar hari itu, tidak sah (illegal) karena bertentangan dengan tata tertib beracara (undue process), yang berakibat putusan batal demi hukum (null and void)
Sekiranya Hakim ragu-ragu atas kebenaran dalil gugatan, sehingga diperlukan pemeriksaan saksi-saksi atau alat bukti lain, tindakan yang dapat dilakukan:
-      Mengundurkan persidangan dan sekaligus memanggil Tergugat, sehingga dapat direalisasi proses dan pemeriksaan  kontradiktor (op tegenspraak), atau
-      Menjatuhkan putusan verstek, yang berisi dictum: menyatakan gugatan tidak dapat diterima atas alasan dalil gugatan bertentangan dengan hukum atau dalil gugatan tidak mempunyai dasar hukum. 

F.  BENTUK PUTUSAN VERSTEK
Mengenai bentuk putusan Verstek, yang dapat dijatuhkan, diatur dalam pasal 125 ayat (1) HIR, Pasal 149 RBg, dan Pasal 78 Rv. Pasal 125 ayat (1) berbunyi:
Jika Tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan tidak hadir (Verstek), kecuali kalau nyata kepada Pengadilan bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.”    
Bentuk Putusan Verstek yang dijatuhkan Pengadilan, terdiri dari:
1.  Mengabulkan gugatan Penggugat;
2.  Menyatakan gugatan tidak dapat diterima;
3.  Menolak gugatan Penggugat;

IV. UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN VERSTEK
Buku II menerangkan tentang Perlawanan Terhadap Putusan Verstek, sebagai berikut:
1)  Sesuai Pasal 129 HIR/153 Rbg. Tergugat/ Para Tergugat yang dihukum dengan Verstek berhak mengajukan Verzet atau perlawanan dalam waktu 14 hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada Tergugat semula jika pembeitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. (Pasal 391 HIR: Dalam menghitung Tenggat waktu maka tanggal/ hari saat dimulainya penghitungan waktu tidak dihitung).
2)  Jika Putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada Tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning Tergugat hadir, maka tenggat waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah aanmaning (peringatan).
3)  Jika Tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning, maka tenggat waktunya adalah hari kedelapan sesudah sita eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129 ayat (2) jo Pasal 207 RBG). Kedua perkara tersebut (perkara verstek dan Verzet terhadap Verstek) didaftar dalam satu nomor perkara.
4)  Perkara Verzet sedapat mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan Putusan Verstek.
5)  Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara Verzet atas putusan Verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus Verstek secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara Verzet dilakukan secara biasa (lihat pasal 129 ayat (3) HIR, Pasal 153 ayat (3) Rbg. Dan SEMA nomor 9 Tahun 1964).
6)  Apabila dalam pemeriksaan Verzet pihak Penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilakukan secara contradictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir, maka Hakim menjatuhkan Putusan Verstek untuk kedua kalinya. Terhadap Putusan Verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding (Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 153 ayat(5) RBg.).
7)  Apabila Verzet diterima dan putusan Verstek dibatalkan maka amar putusannya berbunyi:
a)  Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang benar.
b)  Membatalkan putusan verstek.
c)  Mengabulkan gugatan Penggugat atau menolak gugatan Penggugat.
8)  Apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan, maka amar putusannya berbunyi:
a.   Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak benar.
b.   Menguatkan Putusan verstek tersebut.
9)  Terhadap putusan Verzet tersebut kedua belah pihak berhak mengajukan banding. Dalam hal diajukan banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan dalam satu berkas dan dikirim ke Pengadilan Tinggi dan hanya menggunakan satu nomor perkara.

V.   PENUTUP
 Demikianlah, Makalah mengenai GUGUR DAN VERSTEK SERTA PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK, tidak lain harapan kami bahwa sekecil apapun karya ini dapat menjadi sumbangan pemikiran yang bernilai untuk menambah wawasan dan selanjutnya dapat diselaraskan dengan aplikasinya di Instansi tempat kita mengabdi.


Thursday, May 30, 2019

MAKALAH HUBUNGAN MOU DENGAN KPA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perjanjian Internasional adalah suatu ikatan hukum yang terjadi berdasarkan kata sepakat antara negara-negara sebagai anggota organisasi bangsa-bangsa dengan tujuan melaksanakan hukum tertentu yang mempunyai akibat hukum tertentu. Perjanjian internasional adalah hasil kesepakatan yang dibuat oleh subjek hukum internasional baik yang berbentuk bilateral, regional maupun multilateral [1]
Kerja sama antar negara saat ini sudah tidak dapat lagi dihindarkan. Bentuk kehidupan sangat kompleks sangat rentan untuk terjadi perselisihan. Untuk menghindari agar perselisihan tidak terjadi maka masyarakat internasional harus senantiasa bertumpu pada aturan atau norma, aturan tersebut tidak hanya dibuat untuk menghindari perselisihan, akan tetapi juga untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan antarnegara.perwujudan kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian [2]. Oleh karena itu perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional yang penting. Tidak semua perjanjian internasional bisa dapat menciptakan suatu aturan hukum internasional. [3] Ruang lingkup perjanjian internasional meliputi subjek yang luas seperti bidang ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, perdagangan, dan teknik. Dewasa ini terdapat berbagai ragam jenis perjanjian internasional yang meliputi extradisi, batas antar negara, soal - soal pengungsi, kebudayaan, persekutuan - persekutuan militer, hubungan - hubungan diplomatik dan konsuler, komunikasi dan transportasi, industri, perdagangan, serta bidang - bidang lainnya. [4]
Konvensi,conventie,convention termasuk juga salah satu istilah yang sudah umum digunakan dalam bahasa Indonesia untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional multilateral, baik yang diprakarsai oleh negara - negara maupun oleh lembaga atau organisasi internasional. Pada umumnya konvensi digunakan untuk perjanjian - perjanjian multilateral yang mengatur tentang masalah besar dan penting dan dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang dapat berlaku secara luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum.[5] Perselisihan - perselisihan yang berkenaan dengan perjanjian internasional seperti halnya perselisihan - perselisihan dalam bidang lain pada umumnya, seyogyanya diselesaikan secara damai sesuai dengan prinsip - prinsip keadilan dan hukum internasional.("Affirming that disputes concerning treaties, like other internasional disputes,should be settled by peaceful means and in conformity with the principles of justice and international law"). Dalam konsideransi ini terkandung suatu harapan supaya negara - negara berusaha menyelesaikan perselisihannya yang timbul dari suatu perjanjian internasional secara damai.
Dalam hukum internasional dikenal berbagai macam cara penyelesaian perselisihan secara damai, misalnya melalui perundingan langsung antara pihak yang bersengketa, dengan melalui peranan pihak ketiga, baik pihak ketiga itu sebagai pemberi jasa baik, sebagai perantara, maupun sebagi penengah. Selain itu ada pula penyelesaian secara damai melalui jalur lembaga peradilan atau lembaga penyelesaian sengketa yang lain berdasarkan hukum, seperti melalui arbitrase, melalui Mahkamah Internasiaonal maupun Mahkamah Regional. Upaya penyelesaian sengketa secara damai lainnya yang dapat ditempuh adalah melalui lembaga atau organisasi internasional dimana pihak - pihak yang bersengketa menjadi anggotanya. Adanya harapan dan himbauan  ini dilandasi oleh suatu anggapan bahwa betapapun besar dan rumitnya suatu sengketa, masih tetap lebih baik diselesaikan dengan cara damai. Penyelesaian sengketa secara damai memang sangat sedikit, bahkan tidak ada yang menimbulkan dampak negatif terhadap para pihak manapun, jika dibandingkan dengan penyelesaian dengan kekerasan senjata, seperti perang maupun bentuk konflik bersenjata lainnya.[6] Nota kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya, harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967 dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission). Prinsip-prinsip utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya. Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi, adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab hukum.[7]

B.   Rumusan Masalah
1.  Bagaimana Konvensi WINA 1969 dan UU No.24 tahun 2000 yang mengatur tentang perjanjian internasional ?
2.  Bagaimana Hubungan Kaitannya Mou dengan KPA ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Asas Mou Helsinki
Gerakan Aceh Merdeka bersama Pemerintah Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman damai di Helsinki, 15 Agustus 2005 lalu. Kesepakatan itu telah disepakati beberapa poin menyelesaikan konflik Aceh berkepanjangan. GAM dan RI bertekad untuk menciptakan kondisi bersama, sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui proses demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
MoU Helsinki memuat beberapa item kesepakatan, di antaranya bidang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, ekonomi, politik, HAM, peraturan perundang-undangan, amnesti, dan reintegrasi.
Untuk menyegarkan ingatan akan nota kesepahaman bersama antara RI dan GAM itu, wartawan mengutip kembali beberapa butir kesepakatan yang dituangkan dalam MoU Helsinki, seperti peraturan perundang-undangan.
Dalam poin ini, kedua belah pihak sepakat mengakui adanya pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif di Aceh. Selain itu, Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dalam poin peraturan perundang-undangan tersebut juga disepakati mengenai adanya suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.
Selanjutnya RI dan GAM juga sepakat mengangkat Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar nasional yang berlaku.
Poin peraturan perundang-undangan yang disetujui tersebut juga mengatur tentang semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh.
Selain itu MoU Helsinki juga mengatur tentang kepatuhan Pemerintah RI terhadap Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Perjanjian damai yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 15 Agustus 2005 lalu tersebut juga setuju adanya sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia yang akan dibentuk untuk Aceh serta adanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia. Komisi ini bertugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsilias

B.  Dasar Mula Adanya KPA
Namanya Muzakir Manaf, tapi orang Aceh biasa menyapa lelaki ini dengan sebutan Mualem. Pada masa perang Aceh dahulu, gelar Mualem disematkan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi tentang ilmu kemiliteran dan memiliki kemampuan untuk melatih pasukannya. Namun, sekarang sebutan itu menjadi sapaan kehormatan. Tak hanya bagi mantan Panglima Gearakan Aceh Merdeka (GAM) ini, sapaan kehormatan tersebut juga untuk mantan kombatan lainnya yang tersebar di provinsi paling barat Indonesia tersebut.
Pria kelahiran Seuneudon, Aceh Utara pada 1964 itu, kini menjabat sebagai wakil gubernur Aceh mendampingi Zaini Abdullah sebagai gubernur. 
Sebelumnya, kehidupan Muzakir selalu akrab dengan sejanta dan hutan. Setelah Abdullah Syafie wafat pada 22 Januari 2002, dia pun ditunjuk untuk menggantikannya menjadi  Panglima Gerakan Aceh Merdeka (2002-2005).  
Usai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki ditandangani pada 15 Agustus 2005, sayap militer GAM dibubarkan. Kemudian dibentuk KPA (Komite Peralihan Aceh) sebagai wadah transisi mantan kombatan GAM ke masyarakat sipil biasa. Sejak pertamakali dibentuk pada 2005 hingga sekarang, dia menjabat Ketua KPA.  Muzakir juga sekaligus menjabat Ketua Umum Partai Aceh, sejak 2007 hingga sekarang.
Meski saat ini telah terjun langsung dalam dunia politik, namun tidak seperti kebanyakan politisi lainnya. Muzakir Manaf dikenal sebagai sosok yang tak banyak bicara. Dirinya tidak ingin membuat masyarakat Aceh bingung. Jika bicara pun dia memilih hal yang pasti-pasti saja. Kini perjuangannya tidak lagi dengan senjata, melainkan perjuangan politik untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya. Sosok tangguh dan penuh optimisme itu, bertekat membangun Aceh untuk mengejar i ketertinggalan dari daerah lainnya di Indonesia. Dia pun mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut bersama-sama memajukan daerahnya. Bahkan, dia membuka tangannya untuk merangkul semuanya, tanpa  membeda-bedakan suku , agama, ras dan antargolongan yang ada di Aceh.

C.  Analisis Hubungan MOU dengan KPA
Peranan perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional semakin bertambah penting maupun sebagai sarana untuk mengembangkan kerjasama internasional secara damai antara bangsa - bangsa, bagaimanapun sistem ketatanegaraan dan sistem sosial budaya masing - masing konsideransi ini disamping menggambarkan fakta mengenai peranan perjanjian internasional juga mengandung suatu pandangan ke depan yang sekaligus juga merupakan suatu pengakuan mengenai peranan dan arti pentingnya perjanjian internasional. Bahwa perbedaan sistem soaial budaya, ketatanegaraan, maupun perbedaan - perbedaan lainnya, bukanlah faktor penghalang bagi negara - negara untuk mengadakan perjanjian - perjanjian internasional.[8]
Pada bagian ke 3(part III) Konvensi WINA tahun 1969 berkenaan dengan penghormatan, penerapan, dan penafsiran internasional ( observance, application, and intepretation of treaties), terdiri dari 4 seksi dan 12 pasal yaitu pasal 26 sampai dengan 38. Seksi 1 terdiri dari pasal 26 dan 27. Pasal 26 menegaskan asas pacta sunt servanda, bahwa setiap perjanjian yang telah memiliki kekuatan mengikat terhadap para pihak, maka para pihak yang bersangkutan harus menghormati perjanjian itu dengan penuh itikad baik. Pasal 27 menegaskan, bahwa hukum nasional (internal law) tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan kegagalannya menaati perjanjian.
Seksi 2 tentang penerapan suatu perjanjian internasional (application of treaties) terdiri dari pasal 28,29, dan 30. Pasal 28 menegaskan tentang tidak berlaku surutnya suatu perjanjian internasional, kecuali para pihak bermaksud menentukan sebaliknya atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri bahwa perjanjian itu berlaku surut. Pasal 29 menegaskan tentang ruang lingkup wilayah dari berlakunya suatu perjanjian internasional, dengan menyatakan bahwa suatu perjanjian internasional berlaku di dalam seluruh wilayah para pihak, kecuali ditentuka sebaliknya oleh para pihak atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri.
Berkenaan dengan hubungan antara penjanjian dengan pihak ketiga, terdiri dari lima pasal yaitu pasal 34 sampai dengan 38. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa suatu perjanjian internasional tadak menciptakan hak maupun kewajiban bagi pihak ketiga tanpa persetujuan dari pihak ketiga yang bersangkutan. Pasal 35 ayat 1 dan 2 maupun pasal 36 ayat 1 dan 2, masing - masing mengatur tentang perjanjian yang menetapkan kewajiban bagi pihak ketiga dan perjanjian yang menetapkan hak bagi pihak ketiga. Selanjutnya dalam pasal 37 diatur tentang penarikan kembali dan pengubahan atas kewajiban - kewajiban maupun hak - hak yang ditetapkan bagi pihak ketiga tersebut. Sedangkan dalam pasal 38 diatur tentang ketentuan dalam suatu perjanjian internasional yang menjadi mengikat ihak ketiga melalui kebiasaan internasional.
Berkenaan dengan konsekuensi atau akibat dari ketidaksahan, pengakhiran, atau penundaan dari berlakunya suatu perjanjian internasional, yang semuanya terdiri dari 4 pasal yaitu dari pasal 69-72. Pasal 69 mengatur tentang akibat hukum dari pengakhiran suatu perjanjian internasional, pasal 71 berkenaan dengan ketidaksahan suatu perjanjian internasional yang bertentangan dengan kaidah hukum yang tergolong jus cogens dan pasal 72 mengatur tentang akibat hukum dari penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional.[9]  
Dan dalam UU No 24 tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 1 yaitu perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yangdiatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Dan dalam pembuatan perjanjian internasional juga harus memperhatikan kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internsional yang berlaku.dan dalam pemnbuatan perjanjian internasional harus berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Di dalam pasal 18 UU No 24 tahun 2000 dijelaskan  bahwa pengakhiran perjanjian internasional itu ada beberapa syarat yaitu :
a.       terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b.      tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c.       terdapat perubahan mendasar yang menpengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d.      salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e.       dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f.       muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
g.      objek perjanjian hilang;
h.      terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.[10]

Pro-kontra disekitar materi kesepakatan MoU antara GAM dengan RI, 15 Agustus di Helsinki masih tetap bergulir. Ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah dengan DPR jelas tidak dapat disembunyikan. Fraksi PDIP bersikukuh menuduh bahwa penandatanganan MoU tersebut telah melanggar konstitusi.
Butir-butir kesepakatan antara lain bendera dan hymne sebagai symbol cultural Aceh, partai local, dan sistem pemerintahan Aceh diklaim sebagai bukti pelanggaran tersebut. Tidak kalah agresif, Amin Rais menuding bahwa pemerintah yang melakukan penandatanganan MoU di Helsinki, tanpa ada kesepakatan dengan DPR/MPR, diibaratkan tindakan pukul dahulu urusan kemudian, sebagai pertanda kekalahan pemerintah RI terhadap GAM.
Dalam konteks penandatanganan MoU antara GAM dengan RI, sejak awal harus disasari bahwa pemerintah dan DPR tidak pernah ada kesamaan persepsi. Keanekaragaman persepsi telah menimbulkan implikasi dilematis, sejak setelah MoU tersebut ditandatangani.
Kenyataan bahwa penolakan penyelesaian damai secara internasional (internationalization) telah ditentang oleh banyak pihak, terbukti tidak menyurutkan usaha Management Crisis Center, Mantan Presiden Findlandia, Ahtisari pada akhirnya tidak dapat ditolak. Namun, perlu kita ketahui mengapa internasionalisasi itu ditolak. Hal ini terkait dalam Pemerintah Indonesia umumnya menganggap bahwa GAM itu bukan subjek hukum internasional. Sehingga menjadi tidak pantas jika kedudukan GAM dengan RI menjadi sejajar. Pandangan sepihak inilah yang menimbulkan dari sikap ignorance, pemerintah terhadap hukum internasional. Padahal dalam perspektif hukum internasional teori kedaulatan Negara telah berubah begitu substansial. Kekuatan global termasuk Civil-Society, tidak lagi dapat dipisahkan secara hitam putih sehingga factor lain itupun turut menentukan.
Misalnya apakah masih relevan bilamana GAM dipandang sebagai separatis atau musuh Negara. Tentu saja tidak demikian. Sebab, ketika nilai-nilai HAM diterima sebagai prinsip yang dapat membimbing kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka GAM mestinya harus diakui sebagai entitas politik yang diakui kedudukannya sebagai subjek hukum internasional. Atas dasar pengakuan tersebut, jika tidak pemerintah RI ketika itu menerima konsep GAM itu sebagai kelompok belligerensi atau insergency. Sungguh tidaklah akan menurunkan martabat RI ataukah juga mengangkat martabat GAM.
Dari praktek penandatanganan MoU antara GAM dengan RI di Helsinki tersebut, bukan saja pandangan terhadap GAM itu bukan subjek HI tidak relevan, juga telah menunjukkan bahwa pada penyelesaian sengketa dalam negeri melalui mekanisme internasional kali ini cukup berhasil dan efektif. Efektif hasil perundingan MoU Helsinki didukung oleh beberapa faktor. Pertama, faktor kemauan politik (Political Will) dari Pimpinan Nasional. Meskipun dalam parktek prosedural negoisasi itu diragukan mengingat perundingan tersebut tidak dilakukan oleh Presiden. Namun, mengingat sistem pemerintahan Indonesia Presidensil, maka perbuatan Wakil Presiden sebenarnya juga mewakili Presiden. Soal mengapa tidak Menteri Luar Negeri sebagai pelaku yang menandatangani memang agak menyamping di luar kelaziman, sekaligus merupakan ruang yang lemah. Sebab, mekanisme lobi negosiasi termasuk delegasi untuk perjanjian bilateral secara umum, Menlu memilki surat kepercayaan penuh dari kepala Negara Letters of Credence. Bagaimana peran Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Komunikasi dan Informasi memiliki mandat ini tentang praktek yang sungguh baru. Fakta, dimana Menteri Hukum dan HAM tersebut dalam negoisasi ini mengundang ruang yang sensitif, terutama bilamana ada pihak-pihak yang tidak mau patuh pada MoU tersebut. Tokoh Yusuf Kalla dan Hamid Awaludin adalah legendaris era reformasi dalam memediasi konflik di Poso dan Ambon adalah modal yang tidak disanksikan ketegasan mereka untuk tetap mempertahankan NKRI sebagai sesuatu yang final adalah patut dibanggakan.
Kedua, kesadaran masyarakat Eropa yang terdiri AMM, Monitoring Mission mendorong tokoh-tokoh GAM yang ada di Eropa turut peduli mendukung perdamaian. Tokoh Hasan Tiro, Malik Mahmood, Dr. Dahlan Zaeni, dan tokoh lainnya tidak menentangnya. Kedudukan Mantan Presiden Ahtisari, menanamkan peranan kharismatik. Sehingga modal utama keberhasilan perundingan adalah terletak pada full frast. Kepercayaan penuh diberikan untuk GAM maupun RI. Menumbuhkan modal kepercayaan  ini sungguh tidak mudah. Sehingga kesepakatan yang dibuat itupun menjadi kuat, ketika AMM juga turut mengawasi proses negosiasi dan juga realisasi teknis di lapangan.
Kondisi psikologis lapangan, yakni Aceh yang baru saja didera bencana Tsunami merambat masyarakat Eropa dan Barat menaruh perhatian dan iba hati. No more War, let the People of Aceh line in Peace.
Ketiga, masyarakat Aceh tanpa disanksikan i’tikad mereka akan kebutuhan hidup yang damai. Secara seremonial berbagai acara telah diselenggarakan dalam menyambut perdamaian abadi tanpa ragu dengan NKRI. Situasi ini sungguh menjadi lebih kuat, ketika hampir seluruh masyarakat Indonesia Aceh  penghuni NKRI abadi. No more War, No Redemption, No Violance.
Dengan demikian, penandatanganan MoU antar GAM dengan NKRI 15 Agustus di Helsinki adalah fakta sejaah berakhirnya permusuhan kekerasan, pertumpahan darah dan perang. Lebih berat beban setelah peristiwa penandatanganan MoU adalah menerapkan, memelihara dan mempertahankannya kesepakatan-kesepakatan tersebut dalam perilaku kehidupan sehari-hari yang lebih tertib, aman, sejahtera, adil dan makmur dalam NKRI.
Penolakan sebagaian elit politik nasional terhadap penandatanganan MoU Helsinki 15 Agustus 2005 antara GAM dengan tim NKRI mengisyaratkan adanya cacat hukum, invaliditas perundingan tersebut. Meskipun, pada akhirnya DPR menyetujui MoU, termasuk Keppres Presiden tentang Amnesti di abolisi atas mantan GAM, fraksi PDIP bersikukuh bahwa penandatanganan MoU tersebut melanggar UUD 1945 dan sejumlah undang-undang lainnya.
Tak kalah seru, Amin Rais sebagai tokoh PAN di Muhammadiyah menuding bahwa penandatanganan MoU tanpa persetujuan DPR/MPR manandakan kekalahan pemerintah RI. Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu, yang diusung oleh Abdurrahman Wahid , Try Sutrisno, Akbar Tanjung, Taufiq Kiemas, Norman Siregar dan Muhaemin Iskandar juga menolak MoU tersebut. Argumentasi mereka selain MoU tersebut melanggar UUD 1945 dan sejumlah UU yang lain, juga cenderung mengarah pada lakernya negara berbentuk Federalistik. Ketentuan Bendera, Hymne, Partai Lokal, dan Sistem pemerintahan adalah indikator yang dipandang menyimpang.
Terhadap pandangan negatif elit-elit politik tersebut, tampaknya pemerintah, khususnya Yusuf Kalla dengan Hamid Awaludin, MenKumdam tidaklah terlalu peduli. Bahkan Presiden SBY berkali-kali menegaskan, bahwa penandatanganan MoU oleh wakil GAM dan NKRI perlu dipegang teguh dalam rangka membangun Aceh.
Eksistensi MoU  yang sedang diimplementasikan tersebut, memang sudah final sejak terjadinya penadatanganan. Namun, suara-suara elit politik yang tidak setuju akan tetap berpengaruh negatif dalam proses realisasinya. Tulisan ini dikemukakan dalam upaya menjelaskan alasan mengapa validitas MoU dipertanyakan. Kemudian berikutnya, bagaimana bangsa Indonesia seharusnya menyikapi hsil-hasil perundingan tersebut secara gentlement agreement dan penuh kearifan.
Nota kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya, harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967 dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission).
Prinsip-prinsip utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya. Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi, adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab hukum pula.
Bagaimana kaitannya dengan kasus penandatanganan MoU antara GAM dengan NKRI. Secara jujur, sejak inisiatif perundingan yang oleh Presiden Gus Dur tahun 2001 di Davos, Swedia, dan dilanjutkan dengan DOHA di Tokyo 2003, pemerintah khususnya Departemen Luar Negeri bersikap ambigu atau tidak tegas. Sikap ambigu inilah yang menyisakan problematika lanjut atas lahirnya kesepakatan-kesepakatan MoU Helsinki. Pandangan yang menempatkan GAM bukan subjek hukum internasional, dan lebih mengakui GAM sebagai kelompok separatis. Kelompok separatis dalam khazanah ilmu politik adalah musuh negara berdaulat yang wajib dihancurkan. Dibalik pemikiran inilah penggunaan kekerasan mendapatkan pembenaran. Tentu saja, perilaku negeri seperti itu, bertentangan dengan nilai-nilai HAM.
Dapat dimaklumi mengapa pemerintah tidak setuju melaksanakan perjanjian dengan perangkat internasional. GAM buka sebjek HI, melainkan kelompok masyarakat sebangsa. Sepertinya, jika GAM dilakukan sebagai subjek HI, seakan-akan pemerintah Indonesia akan jatuh martabatnya. Dan dipihak lain GAM meningkat derajatnya. Atas dasar pemikiran inilah, sikap tidak tegas pemerintah Indonesia terhadap GAM dengan jelas terbaca. Keengganan sebagai masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan kasus GAM dan NKRI juga didasarkan oleh persepsi tersebut.[11]
Menurut hukum internasional dalam keadaan tertentu pihak yang berperang/pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa. Keadaan tertentu itu ditentukan oleh pengakuan pihak ketiga bagi pemberontak/pihak yang berperang.[12]





BAB III
KESIMPULAN

Konvensi WINA tahun 1969 mengatur tentang perjanjian internasional. Hal itu tertuang dalam 4 seksi dan 12 pasal yang ada di dalamnya, yaitu pasal 26 sampai 38. Seksi 1 terdiri dari pasal 26 dan 27. Pasal 26 menegaskan asas pacta sunt servanda, bahwa setiap perjanjian yang telah memiliki kekuatan mengikat terhadap para pihak, maka para pihak yang bersangkutan harus menghormati perjanjian itu dengan penuh itikad baik. Pasal 27 menegaskan, bahwa hukum nasional (internal law) tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan kegagalannya menaati perjanjian.
Seksi 2 tentang penerapan suatu perjanjian internasional (application of treaties) terdiri dari pasal 28,29, dan 30. Pasal 28 menegaskan tentang tidak berlaku surutnya suatu perjanjian internasional, kecuali para pihak bermaksud menentukan sebaliknya atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri bahwa perjanjian itu berlaku surut. Pasal 29 menegaskan tentang ruang lingkup wilayah dari berlakunya suatu perjanjian internasional, dengan menyatakan bahwa suatu perjanjian internasional berlaku di dalam seluruh wilayah para pihak, kecuali ditentukan sebaliknya oleh para pihak atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri.
Berkenaan dengan hubungan antara penjanjian dengan pihak ketiga, terdiri dari lima pasal yaitu pasal 34 sampai dengan 38. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa suatu perjanjian internasional tidak menciptakan hak maupun kewajiban bagi pihak ketiga tanpa persetujuan dari pihak ketiga yang bersangkutan. Pasal 35 ayat 1 dan 2 maupun pasal 36 ayat 1 dan 2, masing - masing mengatur tentang perjanjian yang menetapkan kewajiban bagi pihak ketiga dan perjanjian yang menetapkan hak bagi pihak ketiga. Selanjutnya dalam pasal 37 diatur tentang penarikan kembali dan pengubahan atas kewajiban - kewajiban maupun hak - hak yang ditetapkan bagi pihak ketiga tersebut. Sedangkan dalam pasal 38 diatur tentang ketentuan dalam suatu perjanjian internasional yang menjadi mengikat pihak ketiga melalui kebiasaan internasional.
Dalam UU No 24 tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 1 yaitu perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Dalam pembuatan perjanjian internasional juga harus memperhatikan kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internsional yang berlaku.dan dalam pemnbuatan perjanjian internasional harus berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Nota kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya, harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967 dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission).
Prinsip-prinsip utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya. Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi, adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab hukum pula.











DAFTAR PUSTAKA

Chairul Anwar SH;1989; Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa - Bangsa; Djambatan ; Jakarta.
I Wayan Parthiana SH.MH; 2005; Perjanjian Internasional Bagian 1; Mandar Maju; Bandung
Jawahir Thontowi SH., Ph.D; Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Sri Setianingsih Suwardi SH;1986; Intisari Hukum Internasional Publik;Alumni;Bandung.
http://nzhafira.wordpress.com/2012/03/14/perjanjian-internasional/
http://www.omrudi.info/2011/01/makalah-perjanjian-internasional.html

ISI MAKALAH HUBUNGAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI KONVENSI WINA 1961

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Menurut Jan Osmanczyk, Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasionalyan...