Thursday, May 30, 2019

MAKALAH HUBUNGAN MOU DENGAN KPA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perjanjian Internasional adalah suatu ikatan hukum yang terjadi berdasarkan kata sepakat antara negara-negara sebagai anggota organisasi bangsa-bangsa dengan tujuan melaksanakan hukum tertentu yang mempunyai akibat hukum tertentu. Perjanjian internasional adalah hasil kesepakatan yang dibuat oleh subjek hukum internasional baik yang berbentuk bilateral, regional maupun multilateral [1]
Kerja sama antar negara saat ini sudah tidak dapat lagi dihindarkan. Bentuk kehidupan sangat kompleks sangat rentan untuk terjadi perselisihan. Untuk menghindari agar perselisihan tidak terjadi maka masyarakat internasional harus senantiasa bertumpu pada aturan atau norma, aturan tersebut tidak hanya dibuat untuk menghindari perselisihan, akan tetapi juga untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan antarnegara.perwujudan kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian [2]. Oleh karena itu perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional yang penting. Tidak semua perjanjian internasional bisa dapat menciptakan suatu aturan hukum internasional. [3] Ruang lingkup perjanjian internasional meliputi subjek yang luas seperti bidang ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, perdagangan, dan teknik. Dewasa ini terdapat berbagai ragam jenis perjanjian internasional yang meliputi extradisi, batas antar negara, soal - soal pengungsi, kebudayaan, persekutuan - persekutuan militer, hubungan - hubungan diplomatik dan konsuler, komunikasi dan transportasi, industri, perdagangan, serta bidang - bidang lainnya. [4]
Konvensi,conventie,convention termasuk juga salah satu istilah yang sudah umum digunakan dalam bahasa Indonesia untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional multilateral, baik yang diprakarsai oleh negara - negara maupun oleh lembaga atau organisasi internasional. Pada umumnya konvensi digunakan untuk perjanjian - perjanjian multilateral yang mengatur tentang masalah besar dan penting dan dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang dapat berlaku secara luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum.[5] Perselisihan - perselisihan yang berkenaan dengan perjanjian internasional seperti halnya perselisihan - perselisihan dalam bidang lain pada umumnya, seyogyanya diselesaikan secara damai sesuai dengan prinsip - prinsip keadilan dan hukum internasional.("Affirming that disputes concerning treaties, like other internasional disputes,should be settled by peaceful means and in conformity with the principles of justice and international law"). Dalam konsideransi ini terkandung suatu harapan supaya negara - negara berusaha menyelesaikan perselisihannya yang timbul dari suatu perjanjian internasional secara damai.
Dalam hukum internasional dikenal berbagai macam cara penyelesaian perselisihan secara damai, misalnya melalui perundingan langsung antara pihak yang bersengketa, dengan melalui peranan pihak ketiga, baik pihak ketiga itu sebagai pemberi jasa baik, sebagai perantara, maupun sebagi penengah. Selain itu ada pula penyelesaian secara damai melalui jalur lembaga peradilan atau lembaga penyelesaian sengketa yang lain berdasarkan hukum, seperti melalui arbitrase, melalui Mahkamah Internasiaonal maupun Mahkamah Regional. Upaya penyelesaian sengketa secara damai lainnya yang dapat ditempuh adalah melalui lembaga atau organisasi internasional dimana pihak - pihak yang bersengketa menjadi anggotanya. Adanya harapan dan himbauan  ini dilandasi oleh suatu anggapan bahwa betapapun besar dan rumitnya suatu sengketa, masih tetap lebih baik diselesaikan dengan cara damai. Penyelesaian sengketa secara damai memang sangat sedikit, bahkan tidak ada yang menimbulkan dampak negatif terhadap para pihak manapun, jika dibandingkan dengan penyelesaian dengan kekerasan senjata, seperti perang maupun bentuk konflik bersenjata lainnya.[6] Nota kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya, harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967 dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission). Prinsip-prinsip utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya. Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi, adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab hukum.[7]

B.   Rumusan Masalah
1.  Bagaimana Konvensi WINA 1969 dan UU No.24 tahun 2000 yang mengatur tentang perjanjian internasional ?
2.  Bagaimana Hubungan Kaitannya Mou dengan KPA ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Asas Mou Helsinki
Gerakan Aceh Merdeka bersama Pemerintah Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman damai di Helsinki, 15 Agustus 2005 lalu. Kesepakatan itu telah disepakati beberapa poin menyelesaikan konflik Aceh berkepanjangan. GAM dan RI bertekad untuk menciptakan kondisi bersama, sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui proses demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
MoU Helsinki memuat beberapa item kesepakatan, di antaranya bidang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, ekonomi, politik, HAM, peraturan perundang-undangan, amnesti, dan reintegrasi.
Untuk menyegarkan ingatan akan nota kesepahaman bersama antara RI dan GAM itu, wartawan mengutip kembali beberapa butir kesepakatan yang dituangkan dalam MoU Helsinki, seperti peraturan perundang-undangan.
Dalam poin ini, kedua belah pihak sepakat mengakui adanya pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif di Aceh. Selain itu, Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dalam poin peraturan perundang-undangan tersebut juga disepakati mengenai adanya suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.
Selanjutnya RI dan GAM juga sepakat mengangkat Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar nasional yang berlaku.
Poin peraturan perundang-undangan yang disetujui tersebut juga mengatur tentang semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh.
Selain itu MoU Helsinki juga mengatur tentang kepatuhan Pemerintah RI terhadap Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Perjanjian damai yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 15 Agustus 2005 lalu tersebut juga setuju adanya sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia yang akan dibentuk untuk Aceh serta adanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia. Komisi ini bertugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsilias

B.  Dasar Mula Adanya KPA
Namanya Muzakir Manaf, tapi orang Aceh biasa menyapa lelaki ini dengan sebutan Mualem. Pada masa perang Aceh dahulu, gelar Mualem disematkan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi tentang ilmu kemiliteran dan memiliki kemampuan untuk melatih pasukannya. Namun, sekarang sebutan itu menjadi sapaan kehormatan. Tak hanya bagi mantan Panglima Gearakan Aceh Merdeka (GAM) ini, sapaan kehormatan tersebut juga untuk mantan kombatan lainnya yang tersebar di provinsi paling barat Indonesia tersebut.
Pria kelahiran Seuneudon, Aceh Utara pada 1964 itu, kini menjabat sebagai wakil gubernur Aceh mendampingi Zaini Abdullah sebagai gubernur. 
Sebelumnya, kehidupan Muzakir selalu akrab dengan sejanta dan hutan. Setelah Abdullah Syafie wafat pada 22 Januari 2002, dia pun ditunjuk untuk menggantikannya menjadi  Panglima Gerakan Aceh Merdeka (2002-2005).  
Usai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki ditandangani pada 15 Agustus 2005, sayap militer GAM dibubarkan. Kemudian dibentuk KPA (Komite Peralihan Aceh) sebagai wadah transisi mantan kombatan GAM ke masyarakat sipil biasa. Sejak pertamakali dibentuk pada 2005 hingga sekarang, dia menjabat Ketua KPA.  Muzakir juga sekaligus menjabat Ketua Umum Partai Aceh, sejak 2007 hingga sekarang.
Meski saat ini telah terjun langsung dalam dunia politik, namun tidak seperti kebanyakan politisi lainnya. Muzakir Manaf dikenal sebagai sosok yang tak banyak bicara. Dirinya tidak ingin membuat masyarakat Aceh bingung. Jika bicara pun dia memilih hal yang pasti-pasti saja. Kini perjuangannya tidak lagi dengan senjata, melainkan perjuangan politik untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya. Sosok tangguh dan penuh optimisme itu, bertekat membangun Aceh untuk mengejar i ketertinggalan dari daerah lainnya di Indonesia. Dia pun mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut bersama-sama memajukan daerahnya. Bahkan, dia membuka tangannya untuk merangkul semuanya, tanpa  membeda-bedakan suku , agama, ras dan antargolongan yang ada di Aceh.

C.  Analisis Hubungan MOU dengan KPA
Peranan perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional semakin bertambah penting maupun sebagai sarana untuk mengembangkan kerjasama internasional secara damai antara bangsa - bangsa, bagaimanapun sistem ketatanegaraan dan sistem sosial budaya masing - masing konsideransi ini disamping menggambarkan fakta mengenai peranan perjanjian internasional juga mengandung suatu pandangan ke depan yang sekaligus juga merupakan suatu pengakuan mengenai peranan dan arti pentingnya perjanjian internasional. Bahwa perbedaan sistem soaial budaya, ketatanegaraan, maupun perbedaan - perbedaan lainnya, bukanlah faktor penghalang bagi negara - negara untuk mengadakan perjanjian - perjanjian internasional.[8]
Pada bagian ke 3(part III) Konvensi WINA tahun 1969 berkenaan dengan penghormatan, penerapan, dan penafsiran internasional ( observance, application, and intepretation of treaties), terdiri dari 4 seksi dan 12 pasal yaitu pasal 26 sampai dengan 38. Seksi 1 terdiri dari pasal 26 dan 27. Pasal 26 menegaskan asas pacta sunt servanda, bahwa setiap perjanjian yang telah memiliki kekuatan mengikat terhadap para pihak, maka para pihak yang bersangkutan harus menghormati perjanjian itu dengan penuh itikad baik. Pasal 27 menegaskan, bahwa hukum nasional (internal law) tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan kegagalannya menaati perjanjian.
Seksi 2 tentang penerapan suatu perjanjian internasional (application of treaties) terdiri dari pasal 28,29, dan 30. Pasal 28 menegaskan tentang tidak berlaku surutnya suatu perjanjian internasional, kecuali para pihak bermaksud menentukan sebaliknya atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri bahwa perjanjian itu berlaku surut. Pasal 29 menegaskan tentang ruang lingkup wilayah dari berlakunya suatu perjanjian internasional, dengan menyatakan bahwa suatu perjanjian internasional berlaku di dalam seluruh wilayah para pihak, kecuali ditentuka sebaliknya oleh para pihak atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri.
Berkenaan dengan hubungan antara penjanjian dengan pihak ketiga, terdiri dari lima pasal yaitu pasal 34 sampai dengan 38. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa suatu perjanjian internasional tadak menciptakan hak maupun kewajiban bagi pihak ketiga tanpa persetujuan dari pihak ketiga yang bersangkutan. Pasal 35 ayat 1 dan 2 maupun pasal 36 ayat 1 dan 2, masing - masing mengatur tentang perjanjian yang menetapkan kewajiban bagi pihak ketiga dan perjanjian yang menetapkan hak bagi pihak ketiga. Selanjutnya dalam pasal 37 diatur tentang penarikan kembali dan pengubahan atas kewajiban - kewajiban maupun hak - hak yang ditetapkan bagi pihak ketiga tersebut. Sedangkan dalam pasal 38 diatur tentang ketentuan dalam suatu perjanjian internasional yang menjadi mengikat ihak ketiga melalui kebiasaan internasional.
Berkenaan dengan konsekuensi atau akibat dari ketidaksahan, pengakhiran, atau penundaan dari berlakunya suatu perjanjian internasional, yang semuanya terdiri dari 4 pasal yaitu dari pasal 69-72. Pasal 69 mengatur tentang akibat hukum dari pengakhiran suatu perjanjian internasional, pasal 71 berkenaan dengan ketidaksahan suatu perjanjian internasional yang bertentangan dengan kaidah hukum yang tergolong jus cogens dan pasal 72 mengatur tentang akibat hukum dari penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional.[9]  
Dan dalam UU No 24 tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 1 yaitu perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yangdiatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Dan dalam pembuatan perjanjian internasional juga harus memperhatikan kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internsional yang berlaku.dan dalam pemnbuatan perjanjian internasional harus berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Di dalam pasal 18 UU No 24 tahun 2000 dijelaskan  bahwa pengakhiran perjanjian internasional itu ada beberapa syarat yaitu :
a.       terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b.      tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c.       terdapat perubahan mendasar yang menpengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d.      salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e.       dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f.       muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
g.      objek perjanjian hilang;
h.      terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.[10]

Pro-kontra disekitar materi kesepakatan MoU antara GAM dengan RI, 15 Agustus di Helsinki masih tetap bergulir. Ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah dengan DPR jelas tidak dapat disembunyikan. Fraksi PDIP bersikukuh menuduh bahwa penandatanganan MoU tersebut telah melanggar konstitusi.
Butir-butir kesepakatan antara lain bendera dan hymne sebagai symbol cultural Aceh, partai local, dan sistem pemerintahan Aceh diklaim sebagai bukti pelanggaran tersebut. Tidak kalah agresif, Amin Rais menuding bahwa pemerintah yang melakukan penandatanganan MoU di Helsinki, tanpa ada kesepakatan dengan DPR/MPR, diibaratkan tindakan pukul dahulu urusan kemudian, sebagai pertanda kekalahan pemerintah RI terhadap GAM.
Dalam konteks penandatanganan MoU antara GAM dengan RI, sejak awal harus disasari bahwa pemerintah dan DPR tidak pernah ada kesamaan persepsi. Keanekaragaman persepsi telah menimbulkan implikasi dilematis, sejak setelah MoU tersebut ditandatangani.
Kenyataan bahwa penolakan penyelesaian damai secara internasional (internationalization) telah ditentang oleh banyak pihak, terbukti tidak menyurutkan usaha Management Crisis Center, Mantan Presiden Findlandia, Ahtisari pada akhirnya tidak dapat ditolak. Namun, perlu kita ketahui mengapa internasionalisasi itu ditolak. Hal ini terkait dalam Pemerintah Indonesia umumnya menganggap bahwa GAM itu bukan subjek hukum internasional. Sehingga menjadi tidak pantas jika kedudukan GAM dengan RI menjadi sejajar. Pandangan sepihak inilah yang menimbulkan dari sikap ignorance, pemerintah terhadap hukum internasional. Padahal dalam perspektif hukum internasional teori kedaulatan Negara telah berubah begitu substansial. Kekuatan global termasuk Civil-Society, tidak lagi dapat dipisahkan secara hitam putih sehingga factor lain itupun turut menentukan.
Misalnya apakah masih relevan bilamana GAM dipandang sebagai separatis atau musuh Negara. Tentu saja tidak demikian. Sebab, ketika nilai-nilai HAM diterima sebagai prinsip yang dapat membimbing kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka GAM mestinya harus diakui sebagai entitas politik yang diakui kedudukannya sebagai subjek hukum internasional. Atas dasar pengakuan tersebut, jika tidak pemerintah RI ketika itu menerima konsep GAM itu sebagai kelompok belligerensi atau insergency. Sungguh tidaklah akan menurunkan martabat RI ataukah juga mengangkat martabat GAM.
Dari praktek penandatanganan MoU antara GAM dengan RI di Helsinki tersebut, bukan saja pandangan terhadap GAM itu bukan subjek HI tidak relevan, juga telah menunjukkan bahwa pada penyelesaian sengketa dalam negeri melalui mekanisme internasional kali ini cukup berhasil dan efektif. Efektif hasil perundingan MoU Helsinki didukung oleh beberapa faktor. Pertama, faktor kemauan politik (Political Will) dari Pimpinan Nasional. Meskipun dalam parktek prosedural negoisasi itu diragukan mengingat perundingan tersebut tidak dilakukan oleh Presiden. Namun, mengingat sistem pemerintahan Indonesia Presidensil, maka perbuatan Wakil Presiden sebenarnya juga mewakili Presiden. Soal mengapa tidak Menteri Luar Negeri sebagai pelaku yang menandatangani memang agak menyamping di luar kelaziman, sekaligus merupakan ruang yang lemah. Sebab, mekanisme lobi negosiasi termasuk delegasi untuk perjanjian bilateral secara umum, Menlu memilki surat kepercayaan penuh dari kepala Negara Letters of Credence. Bagaimana peran Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Komunikasi dan Informasi memiliki mandat ini tentang praktek yang sungguh baru. Fakta, dimana Menteri Hukum dan HAM tersebut dalam negoisasi ini mengundang ruang yang sensitif, terutama bilamana ada pihak-pihak yang tidak mau patuh pada MoU tersebut. Tokoh Yusuf Kalla dan Hamid Awaludin adalah legendaris era reformasi dalam memediasi konflik di Poso dan Ambon adalah modal yang tidak disanksikan ketegasan mereka untuk tetap mempertahankan NKRI sebagai sesuatu yang final adalah patut dibanggakan.
Kedua, kesadaran masyarakat Eropa yang terdiri AMM, Monitoring Mission mendorong tokoh-tokoh GAM yang ada di Eropa turut peduli mendukung perdamaian. Tokoh Hasan Tiro, Malik Mahmood, Dr. Dahlan Zaeni, dan tokoh lainnya tidak menentangnya. Kedudukan Mantan Presiden Ahtisari, menanamkan peranan kharismatik. Sehingga modal utama keberhasilan perundingan adalah terletak pada full frast. Kepercayaan penuh diberikan untuk GAM maupun RI. Menumbuhkan modal kepercayaan  ini sungguh tidak mudah. Sehingga kesepakatan yang dibuat itupun menjadi kuat, ketika AMM juga turut mengawasi proses negosiasi dan juga realisasi teknis di lapangan.
Kondisi psikologis lapangan, yakni Aceh yang baru saja didera bencana Tsunami merambat masyarakat Eropa dan Barat menaruh perhatian dan iba hati. No more War, let the People of Aceh line in Peace.
Ketiga, masyarakat Aceh tanpa disanksikan i’tikad mereka akan kebutuhan hidup yang damai. Secara seremonial berbagai acara telah diselenggarakan dalam menyambut perdamaian abadi tanpa ragu dengan NKRI. Situasi ini sungguh menjadi lebih kuat, ketika hampir seluruh masyarakat Indonesia Aceh  penghuni NKRI abadi. No more War, No Redemption, No Violance.
Dengan demikian, penandatanganan MoU antar GAM dengan NKRI 15 Agustus di Helsinki adalah fakta sejaah berakhirnya permusuhan kekerasan, pertumpahan darah dan perang. Lebih berat beban setelah peristiwa penandatanganan MoU adalah menerapkan, memelihara dan mempertahankannya kesepakatan-kesepakatan tersebut dalam perilaku kehidupan sehari-hari yang lebih tertib, aman, sejahtera, adil dan makmur dalam NKRI.
Penolakan sebagaian elit politik nasional terhadap penandatanganan MoU Helsinki 15 Agustus 2005 antara GAM dengan tim NKRI mengisyaratkan adanya cacat hukum, invaliditas perundingan tersebut. Meskipun, pada akhirnya DPR menyetujui MoU, termasuk Keppres Presiden tentang Amnesti di abolisi atas mantan GAM, fraksi PDIP bersikukuh bahwa penandatanganan MoU tersebut melanggar UUD 1945 dan sejumlah undang-undang lainnya.
Tak kalah seru, Amin Rais sebagai tokoh PAN di Muhammadiyah menuding bahwa penandatanganan MoU tanpa persetujuan DPR/MPR manandakan kekalahan pemerintah RI. Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu, yang diusung oleh Abdurrahman Wahid , Try Sutrisno, Akbar Tanjung, Taufiq Kiemas, Norman Siregar dan Muhaemin Iskandar juga menolak MoU tersebut. Argumentasi mereka selain MoU tersebut melanggar UUD 1945 dan sejumlah UU yang lain, juga cenderung mengarah pada lakernya negara berbentuk Federalistik. Ketentuan Bendera, Hymne, Partai Lokal, dan Sistem pemerintahan adalah indikator yang dipandang menyimpang.
Terhadap pandangan negatif elit-elit politik tersebut, tampaknya pemerintah, khususnya Yusuf Kalla dengan Hamid Awaludin, MenKumdam tidaklah terlalu peduli. Bahkan Presiden SBY berkali-kali menegaskan, bahwa penandatanganan MoU oleh wakil GAM dan NKRI perlu dipegang teguh dalam rangka membangun Aceh.
Eksistensi MoU  yang sedang diimplementasikan tersebut, memang sudah final sejak terjadinya penadatanganan. Namun, suara-suara elit politik yang tidak setuju akan tetap berpengaruh negatif dalam proses realisasinya. Tulisan ini dikemukakan dalam upaya menjelaskan alasan mengapa validitas MoU dipertanyakan. Kemudian berikutnya, bagaimana bangsa Indonesia seharusnya menyikapi hsil-hasil perundingan tersebut secara gentlement agreement dan penuh kearifan.
Nota kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya, harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967 dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission).
Prinsip-prinsip utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya. Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi, adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab hukum pula.
Bagaimana kaitannya dengan kasus penandatanganan MoU antara GAM dengan NKRI. Secara jujur, sejak inisiatif perundingan yang oleh Presiden Gus Dur tahun 2001 di Davos, Swedia, dan dilanjutkan dengan DOHA di Tokyo 2003, pemerintah khususnya Departemen Luar Negeri bersikap ambigu atau tidak tegas. Sikap ambigu inilah yang menyisakan problematika lanjut atas lahirnya kesepakatan-kesepakatan MoU Helsinki. Pandangan yang menempatkan GAM bukan subjek hukum internasional, dan lebih mengakui GAM sebagai kelompok separatis. Kelompok separatis dalam khazanah ilmu politik adalah musuh negara berdaulat yang wajib dihancurkan. Dibalik pemikiran inilah penggunaan kekerasan mendapatkan pembenaran. Tentu saja, perilaku negeri seperti itu, bertentangan dengan nilai-nilai HAM.
Dapat dimaklumi mengapa pemerintah tidak setuju melaksanakan perjanjian dengan perangkat internasional. GAM buka sebjek HI, melainkan kelompok masyarakat sebangsa. Sepertinya, jika GAM dilakukan sebagai subjek HI, seakan-akan pemerintah Indonesia akan jatuh martabatnya. Dan dipihak lain GAM meningkat derajatnya. Atas dasar pemikiran inilah, sikap tidak tegas pemerintah Indonesia terhadap GAM dengan jelas terbaca. Keengganan sebagai masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan kasus GAM dan NKRI juga didasarkan oleh persepsi tersebut.[11]
Menurut hukum internasional dalam keadaan tertentu pihak yang berperang/pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa. Keadaan tertentu itu ditentukan oleh pengakuan pihak ketiga bagi pemberontak/pihak yang berperang.[12]





BAB III
KESIMPULAN

Konvensi WINA tahun 1969 mengatur tentang perjanjian internasional. Hal itu tertuang dalam 4 seksi dan 12 pasal yang ada di dalamnya, yaitu pasal 26 sampai 38. Seksi 1 terdiri dari pasal 26 dan 27. Pasal 26 menegaskan asas pacta sunt servanda, bahwa setiap perjanjian yang telah memiliki kekuatan mengikat terhadap para pihak, maka para pihak yang bersangkutan harus menghormati perjanjian itu dengan penuh itikad baik. Pasal 27 menegaskan, bahwa hukum nasional (internal law) tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan kegagalannya menaati perjanjian.
Seksi 2 tentang penerapan suatu perjanjian internasional (application of treaties) terdiri dari pasal 28,29, dan 30. Pasal 28 menegaskan tentang tidak berlaku surutnya suatu perjanjian internasional, kecuali para pihak bermaksud menentukan sebaliknya atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri bahwa perjanjian itu berlaku surut. Pasal 29 menegaskan tentang ruang lingkup wilayah dari berlakunya suatu perjanjian internasional, dengan menyatakan bahwa suatu perjanjian internasional berlaku di dalam seluruh wilayah para pihak, kecuali ditentukan sebaliknya oleh para pihak atau tersimpul dari perjanjian itu sendiri.
Berkenaan dengan hubungan antara penjanjian dengan pihak ketiga, terdiri dari lima pasal yaitu pasal 34 sampai dengan 38. Pasal 34 mengenai ketentuan umum bahwa suatu perjanjian internasional tidak menciptakan hak maupun kewajiban bagi pihak ketiga tanpa persetujuan dari pihak ketiga yang bersangkutan. Pasal 35 ayat 1 dan 2 maupun pasal 36 ayat 1 dan 2, masing - masing mengatur tentang perjanjian yang menetapkan kewajiban bagi pihak ketiga dan perjanjian yang menetapkan hak bagi pihak ketiga. Selanjutnya dalam pasal 37 diatur tentang penarikan kembali dan pengubahan atas kewajiban - kewajiban maupun hak - hak yang ditetapkan bagi pihak ketiga tersebut. Sedangkan dalam pasal 38 diatur tentang ketentuan dalam suatu perjanjian internasional yang menjadi mengikat pihak ketiga melalui kebiasaan internasional.
Dalam UU No 24 tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 1 yaitu perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Dalam pembuatan perjanjian internasional juga harus memperhatikan kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internsional yang berlaku.dan dalam pemnbuatan perjanjian internasional harus berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Nota kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya, harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967 dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission).
Prinsip-prinsip utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya. Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi, adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab hukum pula.











DAFTAR PUSTAKA

Chairul Anwar SH;1989; Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa - Bangsa; Djambatan ; Jakarta.
I Wayan Parthiana SH.MH; 2005; Perjanjian Internasional Bagian 1; Mandar Maju; Bandung
Jawahir Thontowi SH., Ph.D; Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Sri Setianingsih Suwardi SH;1986; Intisari Hukum Internasional Publik;Alumni;Bandung.
http://nzhafira.wordpress.com/2012/03/14/perjanjian-internasional/
http://www.omrudi.info/2011/01/makalah-perjanjian-internasional.html

Monday, May 27, 2019

Gadai Menurut Hukum Islam & Hukum Perdata (KHUP Perdata)


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nyalah saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Berikut ini penyusun mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Gadai Menurut Hukum Islam & Hukum Perdata (KHUP Perdata)”, yang menurut penulis dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

                                                                              Serang, 05 Desember 2016
                                                                                       Penyusun,


                                                                                      Jon Efendy Purba, S.Pd., SH

                                                       

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah  .............................................................................................. 5
1.3. Maksud dan Tujuan ............................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian & Dasar Hukum Gadai (Rahn) Secara Menurut Hukum Islam &  
       Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP) Perdata .......................... 6
2.2. Rukun & Syarat Gadai (Rahn) secara Hukum Islam ...................................... 8
2.3. Sifat & Ciri-Ciri Gadai (Rahn) ...................................................................... 10
2.4. Ruang Lingkup Objek Gadai (Rahn) ............................................................ 12
2.5. Pengambilan Manfaat Barang Gadai (Rahn) .............................................. 12
2.6. Pandangan Ulama Mengenai Rukun Gadai (Rahn) ...................................... 13
2.7. Hapusnya Gadai (Rahn) Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP)
       Perdata dan Perum Pegadaian ....................................................................... 16
2.8. Pelunasan dari Hasil yang digadaikan ............................................................. 9
2.9. Perbedaan & Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional ............... 18
2.10. Perlakuan Bunga & Riba dalam Perjanjian Gadai (Menurut Pandangan Hukum Islam .......................................................................................... 20

BAB III PENUTUP
Kesimpulan .......................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 23

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai / rahn         (الرهن). Secara pengertian Gadai merupakan suatu yang diperoleh seseorang piutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang, atau oleh seorang lain atas namanya. Dan yang memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dan pada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.[1]
Yang dimaksud dengan benda bergerak termasuk baik benda berwujud maupun tidak berwujud, misalnya surat-surat berharga atas tunjuk, yakni pembayaran dapat dilakukan kepada orang yang disebut dalam surat itu atau kepada orang yang ditunjuk oleh orang itu (untuk surat-surat berharga, apabila diadakan gadai masih diperlukan penyumbatan dalam surat itu bahwa haknya dialihkan kepada pemegang gadai) disamping endossement diperlukan juga penyerahan surat-surat berharga.[2] 
Menurut Para ulama’ (secara Hukum Islam) berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui hukum dasar gadai tersebut. Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.[3] 
Berdasarkan dari uraian yang telah dijabarkan, maka penulis akan membahas Makalah mengenai “Gadai menurut Hukum Islam & Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata”.

1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang ingin dilihat dalam penulisan ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan Gadai (Rahn) baik secara Hukum Islam & Menurut Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata ?
2.      Apa saja Ruang Lingkup Objek Gadai (Rahn) ?
3.      Bagaimana Sifat & Ciri – Ciri Gadai (Rahn) baik secara Hukum Islam & Menurut Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata ?

1.3. Maksud dan Tujuan
      Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Mengetahui dan memahami pengertian & Dasar Hukum Gadai (Rahn) baik secara Hukum Islam & Menurut Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata.
2.      Mengetahui dan memahami Ruang Lingkup Objek Gadai (Rahn).
3.      Mengetahui dan memahami Sifat dan Ciri – Ciri Gadai (Rahn) baik secara Hukum Islam & Menurut Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Pengertian Gadai (Rahn) & Dasar Hukum Secara Menurut Hukum Islam & Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP) Perdata
Menurut Hukum Islam secara bahasa, gadai / ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung atau terjerat.[4]
         Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah :
1.    Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[5]
2.    Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutangselama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.[6]
3.    Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.[7]
4.    Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[8]
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan  (brog) adalah firman Allah Swt.
JikArtinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya”. (Surat ke-2 Al-Baqarah ayat 283).[9]
Syaikh Muhammad Ali as-sayis berpendapat, bahwa ayat Al-Qur’an tersebut adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang rahn (الرهن).
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata :

“Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran bagi yang memberi  piutang. 
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor : 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas.[10]
Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP) Perdata  bahwa Gadai atau yang disebut juga dengan Pand, merupakan salah satu kebendaan yang termasuk suatu lembaga jaminan yang di atur dalam buku ke II KUH Perdata. Dasar Hukum Gadai menurut pasal 1150 KUH Perdata gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkannya kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kepuasan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara di dahulukan dari pada orang. Orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk menyelamatkannya setelah barang itu di gadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
Pandrecht adalah suatu hak kebendaan atas suatu barang bergerak kepunyaan orang lain, hak mana semata - mata diperjanjikan menyerahkan benit atas benda bergerak bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu barang dari pendapatan penjualan benda itu lebih dahulu darin penagih-penagih lainnya.[11]
Sedangkan menurut pendapat R. Wiyono Prodjodikoro yaitu :
Gadai adalah suatu hak yang didapat oleh seorang berpiutang suatu benda bergerak yang padanya diserahkan oleh si berutang atau oleh seorang lain atau namanya untuk menjamin pembayaran hutang dan yang memberikan hak kepada si berutang untuk dibayar lebih dahulu dari berpiutang lainnya, yang diambil dari uang pendapatan penjualan barang itu”.[12]
Sedangkan menurut R. Subekti, gadai adalah sebagai berikut :
“Perjanjian yang menyebabkan bahwa tanahnya di serahkan untuk menerima tunai ke sejumlah uang, dengan permufakatan bahwa si penyerah akan berhak mengembalikan tanah itu ke dirinya sendiri dengan jalan membayar sejumlah uang yang sama maka perjanjian (transactie) dinamakan gadai tanah (Ground Verpanding).”[13]

2.2.  Rukun & Syarat Gadai (Rahn) Menurut Hukum Islam
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu :
1.      Akad dan ijab Kabul
2.      Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.[14]
3.      Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”.
4.      Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap.

Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain[15] :
1.      Dapat diperjual belikan,
2.      Bermanfaat,
3.      Jelas,
4.      Milik rahin,
5.      Bisa diserahkan,
6.      Tidak bersatu dengan harta lain,
7.      Dipegang oleh rahin, dan
8.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.

Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu[16] :
1.    Orangnya sudah dewasa.
2.    Berpikiran sehat.
3.    Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu  dapat diserahkan / diserahkan kepada penggadai.
4.    Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah).

2.3.  Sifat & Ciri – Ciri Gadai (Rahn)
Secara umum Gadai (Rahn) menurut konteks Hukum Islam dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan. Gadai (Rahn) juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.[17]
Menurut Hukum Perdata bahwa Gadai secara sifat terdiri 5 kategori sifat, sebagai berikut[18] :
1.    Gadai adalah hak kebendaan
Dalam Pasal 1150 KUH Perdata tidak disebutkan sifat gadai, namun demikian sifat kebendaan ini dapat diketahui dari Pasal 1152 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Pemegang gadai mempunyai hak revindikasi dari Pasal 1977 ayat (2) KUH Perdata apabila barang gadai hilang atau dicuri”. Oleh karena hak gadai mengandung hak revindikasi, maka hak gadai merupakan hak kebendaan sebab revindikasi merupakan ciri khas dari hak kebendaan. 
Hak kebendaan dari hak gadai bukanlah hak untuk menikmati suatu benda  diserahkan kepada kreditor tetapi tidak untuk dinikmati, melainkan untuk menjamin piutangnya dengan mengambil, penggantian dari benda tersebut guna membayar piutangnya.
2.    Hak gadai bersifat accesoir
Hak gadai hanya merupakan tambahan saja dari perjanjian pokoknya, yang berupa perjanjian pinjam uang. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa seseorang akan mempunyai hak gadai apabila ia mempunyai piutang, dan tidak mungkin seseorang dapat mempunyai hak gadai tanpa mempunyai piutang. Jadi hak gadai merupakan hak tambahan atau accesoir, yang ada dan tidaknya tergantung dari ada dan tidaknya piutang yang merupakan perjanjian pokoknya.
Dengan demikian hak gadai akan hapus jika perjanjian pokoknya hapus. Beralihnya piutang membawa serta beralihnya hak gadai, hak gadai berpindah kepada orang lain bersamasama dengan piutang yang dijamin dengan hak gadai tersebut, sehingga hak gadai tidak mempunyai kedudukan yang berdiri sendiri melainkan accesoir terhadap perjanjian pokoknya.
3.    Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi
Karena hak gadai tidak dapat dibagi-bagi, maka dengan dibayarnya sebagian hutang tidak akan membebaskan sebagian dari benda gadai. Hak gadai tetap membebani benda gadai secara keseluruhan. Dalam Pasal 1160 KUH Perdata disebutkan bahwa :
“Tak dapatnya hak gadai dan bagi-bagi dalam hal kreditor, atau debitur meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa ahli waris.“
Ketentuan ini tidak merupakan ketentuan hukum memaksa, sehingga para pihak dapat menentukan sebaliknya atau dengan perkataan lain sifat tidak dapat dibagi-bagi dalam gadai ini dapat disimpangi apabila telah diperjanjikan lebih dahulu oleh para pihak.
4.    Hak gadai adalah hak yang didahulukan
Hak gadai adalah hak yang didahulukan. Ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 1133 dan 1150 KUHPerdata. Karena piutang dengan hak gadai mempunyai hak untuk didahulukan daripada piutang-piutang lainnya, maka kreditor pemegang gadai mempunyai hak mendahulu (droit de preference). Benda yang menjadi obyek gadai adalah benda bergerak baik yang bertubuh maupun tidak bertubuh. 
5.    Hak gadai 
Adalah hak yang kuat dan mudah penyitaannya. Menurut Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Hak gadai dan hipotik lebih diutamakan daripada privilege, kecuali jika undang-undang menentukan sebaliknya“. Dari bunyi pasal tersebut jelas bahwa hak gadai mempunyai kedudukan yang kuat. Di samping itu kreditor pemegang gadai adalah termasuk kreditor separatis. Selaku separatis, pemegang gadai tidak terpengaruh oleh adanya kepailitan si debitor.
Kemudian apabila si debitor wanprestasi, pemegang gadai dapat dengan mudah menjual benda gadai tanpa memerlukan perantaraan hakim, asalkan penjualan benda gadai dilakukan di muka umum dengan lelang dan menurut kebiasaan setempat dan harus memberitahukan secara tertulis lebih dahulu akan maksud-maksud yang akan dilakukan oleh pemegang gadai apabila tidak ditebus (Pasal 1155 ayat (2) KUH Perdata). Jadi di sini acara penyitaan lewat juru sita dengan ketentuan-ketentuan menurut Hukum Acara Perdata tidak berlaku bagi gadai.

2.4.   Ruang Lingkup Gadai (Rahn)
Didalam perjanjian gadai objek-objek gadai menurut hukum perdata tersebut selalu mengikuti dari perjanjian gadai. Objek tersebut memiliki kekuatan hukum sesuai dengan hak kebendaan yang selalu mengikat dalam suatu perjanjian gadai. Hak kebendaan tersebut di dalam hukum perdata mengandung ciri-ciri sebagai berikut[19] :
1.      Benda yang dijadikan sebagai benda jaminan senantiasa dibebani hak tanggungan. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas sebagaimana diatur dalam pasal 1150 KUH Perdata.
2.      Si berpiutang yang memegang gadai menuntut haknya untuk menerima pelunasan pembayaran hutang dengan satu pembuktian pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 1151 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut "Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokok".
3.      Objeknya adalah benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud.
4.      Hak gadai merupakan hak yang dilakukan atas pembayaran dari pada orang-orang berpiutang lainnya.
5.      Benda yang dijadikan objek gadai merupakan benda yang tidak dalam sengketa dan bermasalah.
6.      Benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada pemegang gadai
7.      Semua barang bergerak dapat diterima sebagai jaminan sesuai dengan kriteria-kriteria pihak Perum Pegadaian.

2.5.  Pengambilan Barang Manfaat Gadai (Rahn)
Menurut Hukum Islam bahwa dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasullullah SAW. bersabda :
“Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba”  riwayat Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanyaJika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
Rasullullah SAW. bersabda :

           
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.[20]
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang di bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.[21]

2.6.  Pandangan Ulama Mengenai Rukun Gadai (Rahn)
Rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih (yang diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara detil mengnai rukun gadai beserta pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan rukun gadai terdiri dari tiga bagian:
Pertama: Orang yang menggadaikan
Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang menggadaikan adalah mahjur alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang berada dalam kekuasaanya manakala tindakan tersebut untuk melunasi hutang dan memang diperlukan, pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.
Menurut Syafi’i, washi dibolehkan menggadaikan karena ada kepentingan yang jelas. Menurut Malik, budak mukatab (budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara mencicil) dan orang yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak boleh, maka dalam hal ini Syafi’i juga mengemukakan pendapat yang sama.
Malik dan Syafi’i sependapat bahwa orang bangkruttidak boleh menggadaikan, namun Abu Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas dari Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya karena hutang, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat Malik yang terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi bangkrut.
Kedua : Akad gadai
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua, kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Malik membolehkan penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya. Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh tempo.
Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh, seperti tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang sudah jatuh tempo. Tentang penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari Syafi’i ada dua pendapat, boleh menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang paling benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang belum jelas nilainya seperti dinar dan dirham yang sudah dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman. Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa barang gadaian harus berada di tangan penerima gadaian. Kemudian mereka berselisih pendapat apabila penerima gadai menerima barang tersebut dengan cara merampas, kemudian orang yang dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang ada di tangannya. Dalam hal ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang dirampas itu dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan perampas, sebelum ia menerima barang itu. 
Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu tetap berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas menerima kembali barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang penggadaian bagian barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut Malik dan Syafi’i boleh. 
Ketiga: Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk semua barang yang berharga dan dapat diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu harus tunai. Karena itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam, meski pun menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf.
Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang pesanan. Demikian itu karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan.
Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada salam hutang, ghashab harga barang-barang konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti al-Ma’mumah dan al-Jaifah. 
Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh tanggungan dan tidak dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan pada sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan sebelumnya. Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh pada hudud, qishash atau proses kemerdekaan budak. 
Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.[22]

2.7. Hapus Gadai (Rahn) Menurut KUH Perdata dan Peraturan Perum Pegadaian
Setiap ada awal pasti ada akhir setiap permasalahan pasti ada penyelesaian. Begitu juga dengan gadai pasti akan ada pula hapus atau berakhirnya hak gadai. Berakhirnya persetujuan gadai adalah merupakan rentetan, setelah terlaksananya persetujuan.  
Mengenai cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai menurut KUH Perdata adalah sebagai berikut[23] :
1.       Hak gadai hapus apabila hutang telah dibayar oleh si berutang.
2.       Hak gadai hapus apabila barang yang di gadaikan keluar dari kekuasaan si penerima gadai.
3.       Apabila sudah dilepaskan oleh penerima gadai melunasi atas dasar atau kemauan sendiri dari penerima gadai maka penerima gadai mengembalikan barang yang digadai pada pemberi gadai.
4.       Karena persetujuan gadai bersifat uccessoir yang jika perjanjian pokok berakhir maka dengan sendirinya gadaipun berakhir.
5.       Bila barang yang digadaikan musnah atau terbakar diluar kehendak atau kemampuan pemegang gadai. Dimana penerima dan pemberi gadai sama-sama mengalami.
6.       Barang gadai menjadi milik dari si pemegang gadai atas kesepakatan atau persetujuan dari si pemberi gadai (pengalihan hak milik atas kesepakatan).
Berakhirnya gadai dapat juga berakhir apabila tanah gadai musnah karena bencana alam atau lainnya, maka perjanjian gadai berakhir dan pemegang gadai tidak berhak untuk meminta uang gadainya kembali dari penggadai.

2.8.  Pelunasan dari Hasil yang digadaikan
Pasal 1200-1206 berhubungan dengan hak-hak dan wajib-wajib dari pemegang gadai yang dapat dibela dalam hak-hak dan kewajiban yang ada selama adanya hak gadai dan hak-hak beserta kewajiban yang berhubungan dengan pengambilan pelunasan yang dapat dilakukan oleh pemegang gadai atas benda yang digadaikan dalam wanprestasi dari debitur. Arti dari hak gadai terdiri antara lain dari hal bahwa kreditur atau pemegang gadai adalah wewenang untuk melakukan penjualan atas kuasa sendiri benda yang digadaikan. Apabila debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya. Dalam umumnya kreditur dapat menguatkan benda yang digadaikan tersebut untuk mengambil pelunasan uang pokok, bunga dan biaya-biaya tanpa diharuskan pertama-tama memancing suatu penghukuman debitur oleh pengadilan. Dalam pada itu, ia terikat pada ketentuan untuk memperhatikan beberapa aturan yang dicantumkan dalam pasal 1201.
Dari hal tersebut perlu kita ketahui bahwa bagaimanapun juga tidak boleh terjadi dalam hal debitur melakukan wanprestasi. Dari pihak pemberi gadai dapatlah si pemegang gadai, berdasarkan pasal 1201 dan dengan mengindahkan formalitas-formalitas yang harus ada dalam pasal-pasal tersebut menyuruh agar benda tersebut dijual tetapi disamping itu pasal 1201 memberikan kepadanya hak untuk berhubungan dengan hakim dan untuk menuntut agar hakim menemukan suatu cara tertentu bagi penjualan benda yang digadaikan tersebut. Agar hakim menyetujui benda-benda yang digadaikan diterima oleh si pemegang gadai sebagai pembayar untuk sejumlah uang tertentu, jumlah mana akan ditetapkan oleh hakim.
Jika para pihak pada saat mengadakan perjanjian gadai sudah menghendaki untuk mengadakan peraturan tentang cara memperjuangkan benda yang digadaikan dalam hal demikianlah Hoge Raad (1 April 1927), tidak dibenarkan pemberian wewenang untuk pengambilan pelunasan dengan penjualan dibawah tangan, tetapi tidak dibolehkan ialah menentukan bahwa si pemegang gadai hanya atau dapat menempuh cara bertindak sebagaimana ditentukan dalam pasa 1203.
Sesudah perjanjian benda yang digadaikan, kreditur wajib untuk mempertanggungjawabkan hasil (pengurangan) kepada debitur dan untuk membayar kepadanya sisa lebihnya. Dalam hal kepailitan sesuai pemegang gadai berkedudukan  ebagai yang disebut separatis. Hogd Raad mengemukakan bahwa suatu penetapan expasal 1202 belum membuktikan adanya hak gadai, sebab piutang yang bersangkutan tidak ditujukan pada sebuah penetapan pengadilan mengenai adanya hak gadai (Ares. H. R. 25 Januari 1934). Dan selanjutnya mengenai cell-cell atas tunjuk, bahwa orang yang menerbitkan “cell cell” itu wajib kepada setiap pemegang yang jujur jadi c.q juga kepada si pemegang gadai yang sesudah penyerahan barang harus berbuat menurut pasal 1201 dengan barang-barang itu.[24]

2.9.  Perbedaan Gadai Konvensional & Gadai Syari’ah
1. Secara Pengertian 
a.           Pegadaian Syari’ah
Gadai dalam fiqh gadai (rahn) adalah prjanjian suatu barang sebagai tanggungan hutang, atau menjadikan suatu benda bernilai menutrut pandangan syara sebagai tanggungan pinjaman, sehingga dengan adanya tanggungan utang ini seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[25]

b.             Pegadaian Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu  hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai pitutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah barang itu digadaikan.[26]

2.   Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah
               Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah seperti berikut:
1.      Hak gadai berlaku atas pinjaman uang,
2.      Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang,
3.      Barang yang digadaikan di tanggung pemberi gadai, dan
4.     Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang di gadaikan boleh di jual atau di lelang.

3.   Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensiaonal
              Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional adalah sebagai berikut :
1.      Gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik keuntungan.
2.      Hak gadai syariah berlaku pada seluruh harta (beda bergerak dan benda tidak bergerak).
3.      Gadai syariah dilaksanakan melakukan suatu lembaga, sedangkan gadai konvensional dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum pegadaian).[27]


2.10.  Perlakuan Bunga & Riba dalam Perjanjian Gadai (Menurut Pandangan Hukum Islam)
Aktivitas perjanjian gadai yang selama ini telah berlaku, yang pada dasranya adalah perjanjian utang-piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba terjadi apabila dalam perjanjian gadai ditemukan bahwa harus memberikan tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh murtahin ( Ù…رتحن ). Hal ini lebih sering disebut bunga gadai dan perbuatan yang dilarang syara’. Karena itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak membenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena larangan syara’, dan pihak yang terbebani, yaitu pihak penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.[28]
Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut tentu sudah bersifat komersil. Artinya pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa.[29] Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh syara’ menurut A.A. Basyir.[30]
Mengenai riba itu, Afzalurahman dalam Muhammad Skholikhul Hadi, memberikan pedoman bhwa yang dikatakan riba, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut :
1)      Kelebihan dari pokok pinjaman 
2)      Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran; 
3)      Sejumlah tambahan itu di syaratkan dalam transaksi [21]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
Secara Pengertian Gadai (Rahn)
Menurut Hukum Islam secara bahasa, gadai / ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung atau terjerat. Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor : 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas.
Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP) Perdata  bahwa Gadai atau yang disebut juga dengan Pand, merupakan salah satu kebendaan yang termasuk suatu lembaga jaminan yang di atur dalam buku ke II KUH Perdata. Dasar Hukum Gadai menurut pasal 1150 KUH Perdata gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkannya kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kepuasan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara di dahulukan dari pada orang. Orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk menyelamatkannya setelah barang itu di gadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
            Ruang Lingkup Gadai (Rahn)
Didalam perjanjian gadai objek - objek gadai menurut hukum perdata tersebut selalu mengikuti dari perjanjian gadai. Objek tersebut memiliki kekuatan hukum sesuai dengan hak kebendaan yang selalu mengikat dalam suatu perjanjian gadai. Hak kebendaan tersebut di dalam hukum perdata mengandung ciri-ciri sebagai berikut :
1.    Benda yang dijadikan sebagai benda jaminan senantiasa dibebani hak tanggungan. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas sebagaimana diatur dalam pasal 1150 KUH Perdata.
2.    Si berpiutang yang memegang gadai menuntut haknya untuk menerima pelunasan pembayaran hutang dengan satu pembuktian pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 1151 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut "Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokok".
3.    Objeknya adalah benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud.
4.    Hak gadai merupakan hak yang dilakukan atas pembayaran dari pada orang-orang berpiutang lainnya.
5.    Benda yang dijadikan objek gadai merupakan benda yang tidak dalam sengketa dan bermasalah.
6.    Benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada pemegang gadai
7.    Semua barang bergerak dapat diterima sebagai jaminan sesuai dengan kriteria-kriteria pihak Perum Pegadaian.
......... Sifat & Ciri – Ciri Gadai (Rahn)
Secara umum Gadai (Rahn) menurut konteks Hukum Islam dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan. Gadai (Rahn) juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.
Menurut Hukum Perdata bahwa Gadai secara sifat terdiri 5 kategori sifat, sebagai berikut :
1.    Gadai adalah hak kebendaan,
2.    Hak gadai bersifat accesoir,
3.    Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi,
4.    Hak gadai adalah hak yang didahulukan, dan
5.    Hak gadai.

DAFTAR PUSTAKA

Akses Sumber Berdasarkan Literatur Buku :
Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung : Alfabeta, 2011).
Ahmad Azhar Basyir, Pembahasan mengenai : Riba, Utang - piutang, dan Gadai, Cetakan Ke - II, (Bandung : Al- Ma’arif, 1983).
Al-kahlani, Subul Al Salam.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar fiqh muamalah, (Jakarta : Bulan Bintang 1984).
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002).
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung : Alumni Bandung, 1992).
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, (Bairut : Dar al-Jiil, 1990).
Muhammad Skholikhul Hadi, Pegadaian Syari’ah, (Salemba Diniyah. 2003).
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 1997).
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. intermassa, 1997).
R. Wiryono, Prodjodikoro, Hukum Perdata Hak Atas Benda, (Jakarta : Pembimbing Massa, 1993).
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, (Kairo : Dar al-fath lil I’lam al-‘Arabi, 1990).
Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, (Jakarta : Al - Tahiriyah, 1973).

Akses Sumber Berdasarkan Al – Qur’an :
Landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan firman Allah Swt dalam Surat
ke – 2 : Al – Baqarah ayat 283.  

Akses Sumber Berdasarkan Internet Browser :
Hadi Muttaqin, “Pengertian dan Sifat - Sifat Gadai, yang berdasarakan link internet : http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-dan-sifat-sifat-gadai.html.
Ria Saidah, “Makalah Fiqh Muamalah Gadai (Rahn)”, diakses berdasarkan link internet browser : http://hamasfaiumi.blogspot.co.id/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html.
Sunaryo hadi, ”Pembahasan Mengenai Gadai”, diakses berdasarkan link internet browser :  http://datarental.blogspot.com/2009/06/gadai.html.
Wardah, Cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP) Perdata, yang berdasarakan link internet browser : http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/gadai.html.



[1] Sunaryo hadi, ”Pembahasan Mengenai Gadai”, diakses berdasarkan link internet :  http://datarental.blogspot.com/2009/06/gadai.html, pada hari Jum’at, tanggal 02 Desember 2016, jam 10.00 Wib.
[2]   Ibid.
[3] Ria Saidah, “Makalah Fiqh Muamalah Gadai (Rahn)”, diakses berdasarkan link internet :  http://hamasfaiumi.blogspot.co.id/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html, pada hari Jum’at, tanggal 02 Desember 2016, jam10.15 Wib.

[4] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, (Kairo : Dar al-fath lil I’lam al-‘Arabi, 1990), hal. 123.
[5] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar fiqh muamalah, (Jakarta : Bulan Bintang 1984), hal. 86-87.
[6] Sayyid Sabiq dalam fiqih al- sunnah, Op.Cit, hal. 187.              
[7] Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, (Jakarta : Al - Tahiriyah, 1973), hal. 295.
[8] Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-piutang, dan Gadai, Cet. Ke II, (Bandung : Al- Ma’arif, 1983), hal. 50.
[9]  Landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan firman Allah Swt dalam Surat ke – 2 : Al – Baqarah ayat 283.  
[10]  Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2001), Op.Cit, hal. 139.
[11]  R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 1997), hal. 65. 
[12] R. Wiryono, Prodjodikoro, Hukum Perdata Hak Atas Benda, (Jakarta : Pembimbing Massa, 1993), hal. 180. 
[13] R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. intermassa, 1997), hal. 112. 
[14] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2001), Op.Cit, hal. 162.
[15]  Ibid,  hal. 164.
[16]  Ibid,  hal. 256.
[17]   Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 105.
[18] Hadi Muttaqin, “Pengertian dan Sifat - Sifat Gadai, yang berdasarakan link internet : http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-dan-sifat-sifat-gadai.html, diakses pada hari Sabtu, tanggal 03 Desember 2016, jam 14 : 00 Wib.
[19] Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung : Alumni Bandung, 1992), hal. 19.
[20] Al-kahlani, Subul Al - Salam, hal. 51.
[21] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta:  Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 108-109. 
[22]   Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, (Bairut : Dar al-Jiil, 1990), hal. 204.
[23] Cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai menurut KUH Perdata, yang berdasarakan link internet : http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/gadai.html, diakses pada hari Sabtu, tanggal 03 Desember 2016, jam 14 : 20 Wib.

[24] Sunaryo hadi, ”Pembahasan Mengenai Gadai”, diakses berdasarkan link internet :  http://datarental.blogspot.com/2009/06/gadai.html, pada hari Sabtu, tanggal 03 Desember 2016, jam 14.30 Wib.
[25] Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung : Alfabeta, 2011), hal. 78. 
[26]  Ibid, hal. 78. 
[27]  Ibid, hal. 78. 
[28] Muhammad Skholikhul Hadi, Pegadaian Syari’ah, (Salemba Diniyah. 2003), hal. 3.
[29]  Ibid, hal. 61.
[30] Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-piutang, dan Gadai, Cet. Ke II,  (Bandung : Al- Ma’arif, 1983), hal. 50.

ISI MAKALAH HUBUNGAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI KONVENSI WINA 1961

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Menurut Jan Osmanczyk, Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasionalyan...