BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Jan Osmanczyk, Hukum
Diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasionalyang terdiri dari
seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan kedudukan dan
fungsi para diplomat, termasuk bentuk – bentuk organisasional dari dinas
diplomatic.
Dan menurut Syahmin A.K., Hukum Diplomatik pada
hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang
mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar prinsip
persetujuan bersama timbal balik dan ketentuanataupun prinsip-prinsip tersebut
dimuat dalam instrumen-instrumen hukum baik berupa piagam, statuta, maupun
konvensi-konvensi sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan
perkembangan kemajuan hukum internasional secara progresif.
Kekebalan diplomatik merupakan
suatu keistimewaan khusus yang dimiliki oleh seorang diplomat, staf diplomatik
ataupun konsuler selama menjalankan misi yang diberikan oleh Negara pengirim.
Kekebalan diplomatik adalah bentuk kekebalan hukum dan kebijakan yang dilakukan
antara pemerintah, yang menjamin bahwa diplomat diberikan perjalanan yang aman
dan tidak dianggap rentan terhadap gugatan atau penuntutan di bawah hukum
negara tuan rumah (walaupun mereka bisa dikeluarkan). Disepakati sebagai hukum
internasional dalam Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik (1961), meskipun
konsep dan adat memiliki sejarah yang lebih panjang. Banyak prinsip-prinsip
kekebalan diplomatik sekarang dianggap sebagai hukum adat. Kekebalan diplomatik
sebagai lembaga yang dikembangkan untuk memungkinkan pemeliharaan hubungan
pemerintah, termasuk selama periode kesulitan dan bahkan konflik bersenjata.
Ketika menerima diplomat-formal, wakil-wakil dari berdaulat (kepala
negara)-yang menerima hibah kepala negara hak-hak istimewa dan kekebalan
tertentu untuk memastikan bahwa mereka dapat secara efektif melaksanakan tugas-tugas mereka, dengan pengertian
bahwa ini akan diberikan pada dasar timbal-balik.
Kekebalan diplomatik merupakan bentuk kekebalan hukum dan kebijakan antar-pemerintahan yang diberikan kepada seorang diplomat. Pemegangnya dijamin keamanannya, dalam artian hukum negara asing tak berlaku baginya. Kebijakan ini tertuang dalam konsensus hukum internasional, Konvensi Wina. Kebijakan ini biasanya diberikan kepada diplomat yang bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau lembaga internasional lain yang diakui PBB. Kekebalan diplomatik bertujuan agar diplomat yang bertugas terhindar dari kesalahpahaman atau sikap pemerintah negara tujuan yang tidak ramah dan bahkan menolak kehadiran komunitas internasional.
Konvensi Wina 1961 menentukan dengan tegas keistimewaan diplomatik bagi negara pengirim dan kepala misi diplomatik akan dibebaskan dari segala macam bentuk pungutan dan pajak-pajak, baik bersifat nasional, pajak daerah maupun iuran-iuran lain terhadap gedung perwakilan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Konvensi Wina 1961, dan pengecualiannya adalah sebagaimana yang diatur Pasal 34 Konvensi Wina 1961.
Salah satu gangguan yang dapat saja terjadi terhadap kekebalan diplomatik, yaitu perlakuan atau kegiatan yang tidak menyenangkan dari pihak negara penerima dimana perwakilan diplomatik tersebut ditempatkan. Apabila hal ini terjadi, maka negara pengirim dapat mengajukan keberatan kepada negara penerima (receiving state) dan negara penerima wajib bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut.
Dalam kasus insiden penyadapan perwakilan diplomatik yang terjadi adalah kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar pada tahun 2004. Kasus penyadapan ini diketahui setelah Tim Pemeriksa dari Jakarta melakukan pemeriksaan di gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangoon, Myanmar. Berdasarkan temuan mereka, penyadapan dilakukan melalui frekuensi telepon. Walaupun pihak KBRI tidak mengetahui secara jelas sudah berapa lama kantor kedutaan disadap.
Kekebalan diplomatik merupakan bentuk kekebalan hukum dan kebijakan antar-pemerintahan yang diberikan kepada seorang diplomat. Pemegangnya dijamin keamanannya, dalam artian hukum negara asing tak berlaku baginya. Kebijakan ini tertuang dalam konsensus hukum internasional, Konvensi Wina. Kebijakan ini biasanya diberikan kepada diplomat yang bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau lembaga internasional lain yang diakui PBB. Kekebalan diplomatik bertujuan agar diplomat yang bertugas terhindar dari kesalahpahaman atau sikap pemerintah negara tujuan yang tidak ramah dan bahkan menolak kehadiran komunitas internasional.
Konvensi Wina 1961 menentukan dengan tegas keistimewaan diplomatik bagi negara pengirim dan kepala misi diplomatik akan dibebaskan dari segala macam bentuk pungutan dan pajak-pajak, baik bersifat nasional, pajak daerah maupun iuran-iuran lain terhadap gedung perwakilan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Konvensi Wina 1961, dan pengecualiannya adalah sebagaimana yang diatur Pasal 34 Konvensi Wina 1961.
Salah satu gangguan yang dapat saja terjadi terhadap kekebalan diplomatik, yaitu perlakuan atau kegiatan yang tidak menyenangkan dari pihak negara penerima dimana perwakilan diplomatik tersebut ditempatkan. Apabila hal ini terjadi, maka negara pengirim dapat mengajukan keberatan kepada negara penerima (receiving state) dan negara penerima wajib bertanggung jawab sepenuhnya atas hal tersebut.
Dalam kasus insiden penyadapan perwakilan diplomatik yang terjadi adalah kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar pada tahun 2004. Kasus penyadapan ini diketahui setelah Tim Pemeriksa dari Jakarta melakukan pemeriksaan di gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangoon, Myanmar. Berdasarkan temuan mereka, penyadapan dilakukan melalui frekuensi telepon. Walaupun pihak KBRI tidak mengetahui secara jelas sudah berapa lama kantor kedutaan disadap.
Akibat ulah agen intelijen
Myanmar yang telah menyadap Kedubes RI di Yangoon tersebut mendapat banyak
kecaman dari pihak internasional. Komisi I DPR RI meminta meninjau ulang
kembali hubungan diplomatik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan
Myanmar. Anggota Komisi I DPR RI Djoko Susilo mengungkapkan pemeriksaan tim
gabungan keamanan Indonesia di Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)
Yangoon, Myanmar, terungkap bahwa adanya alat penyadap yang ditemukan pada
dinding kamar kerja Duta Besar RI untuk Myanmar. Ulah agen intelijen junta
militer Myanmar itu merupakan tindakan tidak terpuji dan melanggar asas
kepatutan dan etika dalam hubungan diplomatik. Tindakan ilegal itu menyalahi
tata krama hubungan diplomatik, lanjut Djoko Susilo. Tindakan penyadapan
tersebut merupakan pelanggaran terhadap Konvensi 1961 dan kejadian ini sangat
disesalkan sekali karena merupakan bukti kegagalan pemerintah Myanmar dalam
melindungi hak kekebalan diplomatik dimana hal tesebut merupakan kewajiban dari
negara penerima sebagaimana telah diatur dalam konvensi.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas, peneliti dapat
merumuskan permasalahn
sebagai
berikut:
- Bagaimanakah pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hak Kekebalan Diplomatik ditinjau dalam Hukum Internasional (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik)?
- Bagaimanakah kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004 ditinjau dari Konvensi Wina 1961.
- Bagaimanakah penyelesaian kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004 ditinjau dari Konvensi Wina 1961?
C. Tujuan
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengetahui
pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hak Kekebalan Diplomatik ditinjau
dalam Hukum Internasional (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik)
2.
Untuk mengetahui kasus penyadapan
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004 ditinjau dari Konvensi
Wina 1961
3. Untuk mengetahui penyelesaian
kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004
ditinjau dari Konvensi Wina 1961
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Identifikasi Kasus 1. Kronologi
Kronologis atas kasus penyadapan
alat komunikasi yang dilakukan oleh Myanmar sebagai negara penerima terhadap
perwakilan diplomatik Indonesia adalah pelanggaran terhadap hukum internasional
tepatnya pelanggaran atas Konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa kedutaan
asing tidak boleh diganggu gugat termasuk dalam hal berkomunikasi. Kasus
penyadapan tersebut terjadi pada pertengahan tahun 2004 dan terungkap setelah
datangnya tim pemeriksaan dari Indonesia. Tim tersebut terdiri dari perwakilan
Direktur Keamanan Diplomatik Departemen Luar Negeri, tim Lembaga Sandi Negara,
dan tim dari Badan Intelijen Negara.
Penyadapan yang terjadi di kantor
perwakilan diplomatik Indonesia di Myanmar ditemukan di dinding ruangan Duta
Besar Indonesia. Kasus ini terungkap dengan dua metode, yakni super ground
(semacam sistem anti sadap) dan penurunan daya listrik. Jika daya listrik
terjadi penurunan hingga mencapai 50 persen maka terindikasi terjadi
penyadapan. Kasus yang terjadi di kantor perwakilan diplomatik Indonesia di
Myanmar penurunan daya listrik mencapai 70 persen. Sedangkan alat sadap yang
ditemukan terdapat pada saluran telepon Duta Besar Indonesia dan saluran
telepon atase pertahanan.
Kekebalan dalam mengadakan
komunikasi diatur dalam pasal 27 Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik
yang berisi jaminan kebebasan berkomunikasi bagi misi perwakilan diplomatik
dengan cara dan tujuan yang layak. Kebebasan berkomunikasi ini dapat
berlangsung antara pejabat diplomatik yang bersangkutan dengan pemerintah
negara penerima maupun dengan perwakilan diplomatik asing lainnya.
Konvensi wina 1961 adalah sebagai
pengakuan oleh semua negara-negara akan adanya wakil-wakil diplomatik yang
sudah ada sejak dahulu. Konvensi Wina 1961 telah menandai tonggak sejarah yang
sangat penting karena masyarakat internasional dalam mengatur hubungan
bernegara telah dapat menyusun kodifikasi prinsip-prinsip hukum diplomatik
khususnya yang menyangkut kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang sangat
mutlak diperlukan bagi semua negara. Khususnya para pihak agar di dalam
melaksanakan hubungan satu sama lain dapat melakukan fungsi dan tugas
diplomatknya dengan baik dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan
internasional serta dalam meningkatkan hubungan bersahabat antara semua negara.
Konvensi Wina 1961 membawa pengaruh besar dalam perkembangan hukum diplomatik.
Hampir semua negara yang mengadakan hubungan diplomatik menggunakan ketentuan
dalam konvensi sebagai landasan hukum dalam pelaksanaannya.
2. Penyelesaian
Kasus
Kasus penyadapan terhadap KBRI di
Yangoon, Myanmar telah menimbulkan rasa kekecewaan luar biasa yang di rasakan
oleh bangsa Indonesia. Tindakan ilegal yang dilakukan oleh pemerintahan Myanmar
telah menyalahi tata krama dalam hubungan diplomatikse bagaimana dituangkan
dalam Konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa gedumh perwakilan diplomatik
kebal terhadap alat-alat negara penerima serta tidak dapat diganggu gugat.
Tindakan ini mengidentifikasikan bahwa rezim penguasa di Myanmar tidak
menghargai dukugan politik dan diplomatik Republik Indonesia selama ini dalam
menghadapi tekanan dunia baik dalam forum internasional melalui PBB maupun
dalam forum regional ASEAN.
Penyelesaian yang di ambil oleh
pihak pemerintahan Indonesia sesuai dengan Piagam PBB pasal 2 ayat (3) dan
pasal 33 dimana lebih mengetumakan penyelesaian sengketa dengan jalan damai
yang ditujuakn untuk menciptakan perdamaia di muka bumi yang yelah di cita
–citakan oleh setiap bangsa. Penyelesaian tersebut juga
dilandaskan pada prinsip yang utama di dalam penyelesaian sengketa
internasional yaitu prinsip itikad baik (good
faith).
B. Analisis Kasus
Di dalam Konvensi Wina 1961 pasal
1 (i) secara jelas memberikan batasan bahwa gedung perwakilan merupakan
gedung-gedung dan bagian-bagiannya dan tanah tempat gedung itu didirikan, tanpa
memperhatikan siapa pemiliknya yang digunakan untuk keperluan perwakilan negara
asing tersebut termasuk rumah kediaman kepala perwakilan. Kelalaian dan
kegagalan negara penerima dalam memberikan perlindungan terhadap kekebalan
diplomatik merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan konvensi, oleh
karenanya negara penerima wajib bertanggung jawab atas terjadinya hal yang
tidak menyenangkan tersebut.
Kelalaian dan kegagalan
tersebutlah yang akhirnya memunculkan tanggung jawab tersendiri yang dikenal
sebagai “pertanggungjawaban negara”.
Salah satu gangguan yang dapat saja terjadi
terhadap kekebalan diplomatik, yaitu perlakuan atau kegiatan yang tidak
menyenangkan dari pihak negara penerima dimana perwakilan diplomatik tersebut
ditempatkan.
Apabila hal ini terjadi, maka
negara pengirim dapat mengajukan keberatan kepada Negara penerima (receiving
state) dan negara penerima wajib bertanggung jawab sepenuhnya atas hal
tersebut.
Dalam kasus insiden penyadapan
perwakilan diplomatik yang terjadi adalah kasus penyadapan Kedutaan Besar
Republik Indonesia di Myanmar pada tahun 2004. Kasus penyadapan ini diketahui
setelah Tim Pemeriksa dari Jakarta melakukan pemeriksaan di gedung Kedutaan
Besar Republik Indonesia di Yangoon, Myanmar. Berdasarkan temuan mereka,
penyadapan dilakukan melalui frekuensi telepon. Walaupun pihak KBRI tidak
mengetahui secara jelas sudah berapa lama kantor kedutaan disadap.
Akibat ulah agen intelijen
Myanmar yang telah menyadap Kedubes RI di Yangoon tersebut mendapat banyak kecaman
dari pihak internasional.
Komisi I DPR RI meminta meninjau ulang kembali hubungan diplomatik
antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Myanmar. Anggota Komisi I DPR RI
Djoko Susilo mengungkapkan pemeriksaan tim gabungan keamanan Indonesia di
Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangoon, Myanmar, terungkap
bahwa adanya alat penyadap yang ditemukan pada dinding kamar kerja Duta Besar
RI untuk Myanmar. Ulah agen intelijen junta militer Myanmar itu merupakan
tindakan tidak terpuji dan melanggar asas kepatutan dan etika dalam hubungan
diplomatik. Tindakan ilegal itu menyalahi tata krama hubungan diplomatik,
lanjut Djoko Susilo.
Tindakan penyadapan tersebut merupakan pelanggaran
terhadap Konvensi 1961 dan kejadian ini sangat disesalkan sekali karena
merupakan bukti kegagalan pemerintah Myanmar dalam melindungi hak kekebalan
diplomatic dimana hal tesebut merupakan kewajiban dari negara penerima
sebagaimana telah diatur dalam konvensi.
BAB III
KESIMPULAN
1. Kekebalan dan keistimewaan yang
dimiliki oleh seorang wakil diplomatik didasarkan pada pemberian kesempatan
seluas-luasnya kepada wakil diplomatik dalam melakukan tugasnya denan sempurna.
2. Tanggungjawab negara lahir
apabila negara melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum karena
kesalahan atau karena kelalaiannya sehingga menimbulkan pelanggaran kewajiban
hukum internasional.
3. Penyelesaian sengketa
Internasional dengan Myanmar dalam kasus penyadapan gedung diplomatik dapat
ditempuh dengan berbagai cara diantaranya dengan prosedur penyelesaian secara
politik, hukum maupun dalam kerangka kerjasama ASEAN.
DAFTAR PUSTAKA
A. K.
Syamin, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar,
Amrico, Bandung. Arsensius.(2014).Diktat
Hukum Diplomatik dan Konsuler.Pontianak Kovensi Wina 1961
Piagam PBB