KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur
kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan
rahmat-Nyalah saya dapat
menyelesaikan tugas makalah ini
dengan tepat waktu. Berikut ini penyusun mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Gadai Menurut Hukum Islam
& Hukum Perdata (KHUP Perdata)”,
yang menurut penulis dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita.
Melalui kata pengantar
ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan
yang kami buat kurang tepat.
Dengan ini saya
mempersembahkan makalah
ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini
sehingga dapat memberikan manfaat.
Serang, 05 Desember 2016
Penyusun,
Jon
Efendy Purba, S.Pd., SH
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
............................................................................................. i
DAFTAR ISI
........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2.
Rumusan Masalah
.............................................................................................. 5
1.3.
Maksud dan Tujuan
............................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian & Dasar Hukum Gadai (Rahn) Secara Menurut Hukum
Islam &
Menurut Kitab Undang - Undang Hukum
(KUHP) Perdata ..........................
6
2.2.
Rukun & Syarat Gadai (Rahn) secara Hukum Islam
...................................... 8
2.3.
Sifat & Ciri-Ciri Gadai (Rahn) ...................................................................... 10
2.4. Ruang
Lingkup Objek Gadai (Rahn) ............................................................ 12
2.5.
Pengambilan Manfaat Barang Gadai (Rahn) .............................................. 12
2.6.
Pandangan Ulama Mengenai Rukun Gadai (Rahn) ...................................... 13
2.7. Hapusnya
Gadai (Rahn) Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP)
Perdata dan Perum Pegadaian
....................................................................... 16
2.8. Pelunasan dari Hasil yang digadaikan ............................................................. 9
2.9.
Perbedaan & Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional ............... 18
2.10. Perlakuan
Bunga & Riba dalam Perjanjian Gadai (Menurut Pandangan Hukum Islam ..........................................................................................
20
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ..........................................................................................................
21
DAFTAR PUSTAKA
......................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam segenap aspek kehidupan
bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara untuk mencari uang dan salah
satunya dengan cara gadai / rahn (الرهن). Secara pengertian Gadai merupakan suatu yang
diperoleh seseorang piutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan
kepadanya oleh seorang berhutang, atau oleh seorang lain atas namanya. Dan yang
memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan dan pada orang-orang berpiutang lainnya,
dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya
mana yang harus didahulukan.[1]
Yang dimaksud dengan benda bergerak termasuk baik
benda berwujud maupun tidak berwujud, misalnya surat-surat berharga atas
tunjuk, yakni pembayaran dapat dilakukan kepada orang yang disebut dalam surat
itu atau kepada orang yang ditunjuk oleh orang itu (untuk surat-surat berharga,
apabila diadakan gadai masih diperlukan penyumbatan dalam surat itu bahwa
haknya dialihkan kepada pemegang gadai) disamping endossement diperlukan
juga penyerahan surat-surat berharga.[2]
Menurut
Para ulama’ (secara Hukum Islam)
berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila
memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan
masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan
tanpa mengetahui hukum dasar gadai tersebut. Dalam syari’at bermuamalah,
seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai
dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal
ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang
tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil
perbekalan demi perjalanan selanjutnya.[3]
Berdasarkan dari
uraian
yang telah dijabarkan, maka penulis
akan membahas Makalah mengenai “Gadai menurut Hukum Islam & Kitab
Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata”.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang ingin dilihat dalam
penulisan ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Gadai (Rahn) baik secara Hukum
Islam & Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata ?
2. Apa saja Ruang Lingkup Objek
Gadai (Rahn) ?
3. Bagaimana Sifat & Ciri – Ciri Gadai (Rahn) baik secara Hukum
Islam & Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata ?
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Mengetahui dan
memahami pengertian & Dasar Hukum Gadai (Rahn) baik secara Hukum
Islam & Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata.
2.
Mengetahui dan
memahami Ruang Lingkup Objek Gadai (Rahn).
3.
Mengetahui dan
memahami Sifat dan Ciri –
Ciri Gadai (Rahn) baik secara Hukum Islam & Menurut Kitab Undang-Undang Hukum (KUHP) Perdata.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Gadai
(Rahn) & Dasar Hukum Secara Menurut Hukum Islam & Menurut Kitab Undang
- Undang Hukum (KUHP) Perdata
Menurut Hukum Islam secara bahasa, gadai / ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan
al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung atau terjerat.[4]
Menurut
istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah :
1. Akad yang objeknya menahan harga
terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[5]
2. Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan
syara’ sebagai jaminan hutangselama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang
itu atau mengambil sebagian benda itu.[6]
3. Gadai adalah suatu barang yang
dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.[7]
4. Gadai ialah menjadikan suatu
benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau
sebagian hutang dapat diterima.[8]
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam
dengan jaminan (brog) adalah firman Allah Swt.
JikArtinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya”.
(Surat ke-2 Al-Baqarah ayat 283).[9]
Syaikh Muhammad Ali as-sayis berpendapat, bahwa ayat
Al-Qur’an tersebut adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila
seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu
dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang
berpiutang rahn (الرهن).
Diriwayatkan
oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata :
“Rasullah Saw, telah
meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau
menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk
keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah
dibenarkan juga dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan,
sehingga tidak ada ke khawatiran bagi yang memberi piutang.
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai
hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor :
25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai
hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut
oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama)
membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam
hadist di atas.[10]
Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP)
Perdata bahwa Gadai atau yang disebut
juga dengan Pand, merupakan salah satu kebendaan yang termasuk
suatu lembaga jaminan yang di atur dalam buku ke II KUH Perdata. Dasar Hukum
Gadai menurut pasal 1150 KUH Perdata gadai adalah suatu hak yang diperoleh
seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkannya kepadanya
oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan
kepuasan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara di dahulukan dari pada orang. Orang berpiutang lainnya dengan
kekecualian biaya untuk menyelamatkannya setelah barang itu di gadaikan,
biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
Pandrecht adalah suatu hak kebendaan atas
suatu barang bergerak kepunyaan orang lain, hak mana semata - mata
diperjanjikan menyerahkan benit atas benda bergerak bertujuan
untuk mengambil pelunasan suatu barang dari pendapatan penjualan benda itu
lebih dahulu darin penagih-penagih lainnya.[11]
Sedangkan menurut pendapat R.
Wiyono Prodjodikoro yaitu :
“Gadai adalah suatu hak yang didapat oleh seorang
berpiutang suatu benda bergerak yang padanya diserahkan oleh si berutang atau
oleh seorang lain atau namanya untuk menjamin pembayaran hutang dan yang
memberikan hak kepada si berutang untuk dibayar lebih dahulu dari berpiutang
lainnya, yang diambil dari uang pendapatan penjualan barang itu”.[12]
Sedangkan menurut R. Subekti,
gadai adalah sebagai berikut :
“Perjanjian yang menyebabkan bahwa tanahnya di
serahkan untuk menerima tunai ke sejumlah uang, dengan permufakatan bahwa si
penyerah akan berhak mengembalikan tanah itu ke dirinya sendiri dengan jalan
membayar sejumlah uang yang sama maka perjanjian (transactie) dinamakan gadai
tanah (Ground Verpanding).”[13]
2.2. Rukun & Syarat Gadai (Rahn) Menurut Hukum Islam
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda
memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu :
1. Akad dan ijab Kabul
2. Aqid, yaitu orang yang
menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat yang
berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal
ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama
Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual
beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.[14]
3. Barang yang dijadikan jaminan
(borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu
tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang
yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”.
4. Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap.
Menurut ulam Hanafiyah
mensyaratkan marhun, antara lain[15]
:
1. Dapat diperjual belikan,
2. Bermanfaat,
3. Jelas,
4. Milik rahin,
5. Bisa diserahkan,
6. Tidak bersatu dengan harta lain,
7. Dipegang oleh rahin, dan
8. Harta yang tetap atau dapat
dipindahkan.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah
apabila memenuhi empat syarat, yaitu[16]
:
1. Orangnya sudah dewasa.
2. Berpikiran sehat.
3. Barang yang akan digadaikan sudah
ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu dapat diserahkan /
diserahkan kepada penggadai.
4. Barang atau benda yang dapat
dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan
dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah).
2.3. Sifat & Ciri – Ciri Gadai (Rahn)
Secara umum Gadai (Rahn) menurut konteks Hukum Islam
dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan
penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan
sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas
barang yang digadaikan. Gadai (Rahn) juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna
apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam
meminajam, titipan dan qirad.[17]
Menurut Hukum Perdata bahwa Gadai secara sifat terdiri
5 kategori sifat, sebagai berikut[18]
:
1. Gadai adalah hak kebendaan
Dalam Pasal 1150 KUH Perdata tidak disebutkan sifat gadai, namun demikian
sifat kebendaan ini dapat diketahui dari Pasal 1152 ayat (3) KUH Perdata yang
menyatakan bahwa: “Pemegang gadai mempunyai hak revindikasi dari Pasal 1977
ayat (2) KUH Perdata apabila barang gadai hilang atau dicuri”. Oleh karena hak
gadai mengandung hak revindikasi, maka hak gadai merupakan hak kebendaan sebab
revindikasi merupakan ciri khas dari hak kebendaan.
Hak kebendaan dari hak gadai bukanlah hak untuk menikmati suatu benda diserahkan kepada kreditor tetapi tidak untuk
dinikmati, melainkan untuk menjamin piutangnya dengan mengambil, penggantian
dari benda tersebut guna membayar piutangnya.
2. Hak gadai bersifat accesoir
Hak gadai hanya merupakan tambahan saja dari perjanjian pokoknya, yang
berupa perjanjian pinjam uang. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa seseorang
akan mempunyai hak gadai apabila ia mempunyai piutang, dan tidak mungkin
seseorang dapat mempunyai hak gadai tanpa mempunyai piutang. Jadi hak gadai
merupakan hak tambahan atau accesoir, yang ada dan tidaknya
tergantung dari ada dan tidaknya piutang yang merupakan perjanjian pokoknya.
Dengan demikian hak gadai akan hapus jika perjanjian pokoknya hapus.
Beralihnya piutang membawa serta beralihnya hak gadai, hak gadai berpindah
kepada orang lain bersamasama dengan piutang yang dijamin dengan hak gadai
tersebut, sehingga hak gadai tidak mempunyai kedudukan yang berdiri sendiri
melainkan accesoir terhadap perjanjian pokoknya.
3. Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi
Karena hak gadai tidak dapat dibagi-bagi, maka dengan dibayarnya sebagian
hutang tidak akan membebaskan sebagian dari benda gadai. Hak gadai tetap membebani
benda gadai secara keseluruhan. Dalam Pasal 1160 KUH Perdata disebutkan bahwa :
“Tak dapatnya hak gadai dan bagi-bagi dalam hal kreditor, atau debitur
meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa ahli waris.“
Ketentuan ini tidak merupakan ketentuan hukum memaksa, sehingga para pihak
dapat menentukan sebaliknya atau dengan perkataan lain sifat tidak dapat
dibagi-bagi dalam gadai ini dapat disimpangi apabila telah diperjanjikan lebih
dahulu oleh para pihak.
4. Hak gadai adalah hak yang
didahulukan
Hak gadai adalah hak yang didahulukan. Ini dapat diketahui dari ketentuan
Pasal 1133 dan 1150 KUHPerdata. Karena piutang dengan hak gadai mempunyai hak
untuk didahulukan daripada piutang-piutang lainnya, maka kreditor pemegang
gadai mempunyai hak mendahulu (droit de preference). Benda yang menjadi
obyek gadai adalah benda bergerak baik yang bertubuh maupun tidak
bertubuh.
5. Hak gadai
Adalah hak yang kuat dan mudah penyitaannya. Menurut Pasal 1134 ayat (2)
KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Hak gadai dan hipotik lebih diutamakan
daripada privilege, kecuali jika undang-undang menentukan
sebaliknya“. Dari bunyi pasal tersebut jelas bahwa hak gadai mempunyai
kedudukan yang kuat. Di samping itu kreditor pemegang gadai adalah termasuk
kreditor separatis. Selaku separatis, pemegang gadai tidak terpengaruh oleh
adanya kepailitan si debitor.
Kemudian apabila si debitor wanprestasi, pemegang gadai dapat dengan mudah
menjual benda gadai tanpa memerlukan perantaraan hakim, asalkan penjualan benda
gadai dilakukan di muka umum dengan lelang dan menurut kebiasaan setempat dan
harus memberitahukan secara tertulis lebih dahulu akan maksud-maksud yang akan
dilakukan oleh pemegang gadai apabila tidak ditebus (Pasal 1155 ayat (2) KUH
Perdata). Jadi di sini acara penyitaan lewat juru sita dengan
ketentuan-ketentuan menurut Hukum Acara Perdata tidak berlaku bagi gadai.
2.4. Ruang Lingkup Gadai (Rahn)
Didalam perjanjian gadai objek-objek gadai menurut
hukum perdata tersebut selalu mengikuti dari perjanjian gadai. Objek tersebut
memiliki kekuatan hukum sesuai dengan hak kebendaan yang selalu mengikat dalam
suatu perjanjian gadai. Hak kebendaan tersebut di dalam hukum perdata
mengandung ciri-ciri sebagai berikut[19]
:
1.
Benda yang dijadikan sebagai benda jaminan senantiasa
dibebani hak tanggungan. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas sebagaimana
diatur dalam pasal 1150 KUH Perdata.
2. Si berpiutang yang memegang gadai
menuntut haknya untuk menerima pelunasan pembayaran hutang dengan satu
pembuktian pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 1151 KUH Perdata yang berbunyi
sebagai berikut "Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang
diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokok".
3. Objeknya adalah benda bergerak
baik berwujud maupun tidak berwujud.
4. Hak gadai merupakan hak yang
dilakukan atas pembayaran dari pada orang-orang berpiutang lainnya.
5. Benda yang dijadikan objek gadai
merupakan benda yang tidak dalam sengketa dan bermasalah.
6. Benda gadai harus diserahkan oleh
pemberi gadai kepada pemegang gadai
7. Semua barang bergerak dapat
diterima sebagai jaminan sesuai dengan kriteria-kriteria pihak Perum Pegadaian.
2.5. Pengambilan Barang Manfaat Gadai (Rahn)
Menurut Hukum Islam bahwa dalam pengambilan manfaat barang-barang yang
digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu
manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena
hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila
dimanfaatkan termasuk riba.
Rasullullah SAW. bersabda :
“Setiap orang yang menarik
manfaat adalah termasuk riba” riwayat
Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian
berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat
diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda
tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama
kendaraaan atau binatang itu ada padanyaJika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh
menggunakan barang gadai tersebut.
Rasullullah SAW. bersabda :
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila
digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya,
bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan
biaya”.[20]
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut
ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan.
Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu
adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa
kendaraan. Jadi yang di bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan
terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.[21]
2.6. Pandangan Ulama Mengenai Rukun Gadai (Rahn)
Rukun
gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih (yang
diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara
detil mengnai rukun gadai beserta pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan
rukun gadai terdiri dari tiga bagian:
Pertama: Orang yang menggadaikan
Tidak ada perselsihan bahwa
di antara sifat-sifat orang yang menggadaikan adalah mahjur alaih dan
dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang
dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang
berada dalam kekuasaanya manakala tindakan tersebut untuk melunasi hutang dan
memang diperlukan, pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.
Menurut Syafi’i, washi
dibolehkan menggadaikan karena ada kepentingan yang jelas. Menurut Malik, budak
mukatab (budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara mencicil) dan
orang yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang
menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak boleh, maka
dalam hal ini Syafi’i juga mengemukakan pendapat yang sama.
Malik dan Syafi’i sependapat
bahwa orang bangkruttidak boleh menggadaikan, namun Abu Hanifah membolehkan
bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas dari Malik berkenaan dengan
orang yang habis hartanya karena hutang, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam
arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat Malik yang
terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi bangkrut.
Kedua : Akad gadai
Ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, harus
berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua, kepemilikan barang
yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Malik membolehkan penggadaikan
mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya. Perselisihan dalam hal ini
berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala
pelunasan hutang itu sudah jatuh tempo.
Menurut imam Malik
menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh, seperti tanaman tani
dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka
menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang sudah jatuh tempo.
Tentang penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari Syafi’i ada dua
pendapat, boleh menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah
tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang
paling benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang belum
jelas nilainya seperti dinar dan dirham yang sudah dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafi’i,
kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai.
Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman. Para fuqaha
sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa barang
gadaian harus berada di tangan penerima gadaian. Kemudian mereka berselisih
pendapat apabila penerima gadai menerima barang tersebut dengan cara merampas,
kemudian orang yang dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai
barang gadai an yang ada di tangannya. Dalam hal ini imam Malik membolehkan
pemindahan barang yang dirampas itu dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan
gadai. Orang yang dirampas barangnya itu menganggap barangnya tersebut sebagai
barang gadai di tangan perampas, sebelum ia menerima barang itu.
Berbeda dengan Malik, maka
menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu tetap berada dalam tanggungan
ghashab, kecuali jika orang yang dirampas menerima kembali barangnya. Dalam
kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang penggadaian bagian
barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut
Malik dan Syafi’i boleh.
Ketiga: Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab
Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk semua barang yang berharga dan
dapat diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu harus tunai. Karena
itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam, meski
pun menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf.
Sekelompok fuqaha zahiri
berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang pesanan. Demikian itu
karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang
barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan.
Menurut madzhab Maliki
dibolehkan mengambil gadai pada salam hutang, ghashab harga barang-barang
konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak
penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti al-Ma’mumah dan
al-Jaifah.
Gadai juga dibolehkan pada
barang pinjaman yang diboleh tanggungan dan tidak dibolehkan pada barang
pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan pada sewa
menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan sebelumnya.
Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh pada hudud,
qishash atau proses kemerdekaan budak.
Dalam hubungan ini menurut
pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat.
Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan.
Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika
seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi
Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam
proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam
kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.[22]
2.7. Hapus Gadai (Rahn) Menurut KUH Perdata dan Peraturan Perum Pegadaian
Setiap ada awal pasti ada akhir setiap permasalahan
pasti ada penyelesaian. Begitu juga dengan gadai pasti akan ada pula hapus atau
berakhirnya hak gadai. Berakhirnya persetujuan gadai adalah merupakan rentetan,
setelah terlaksananya persetujuan.
Mengenai cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai
menurut KUH Perdata adalah sebagai berikut[23]
:
1.
Hak gadai hapus
apabila hutang telah dibayar oleh si berutang.
2.
Hak gadai hapus
apabila barang yang di gadaikan keluar dari kekuasaan si penerima gadai.
3.
Apabila sudah
dilepaskan oleh penerima gadai melunasi atas dasar atau kemauan sendiri dari
penerima gadai maka penerima gadai mengembalikan barang yang digadai pada
pemberi gadai.
4.
Karena
persetujuan gadai bersifat uccessoir yang jika perjanjian pokok berakhir maka
dengan sendirinya gadaipun berakhir.
5.
Bila barang yang digadaikan musnah atau terbakar
diluar kehendak atau kemampuan pemegang gadai. Dimana penerima dan pemberi
gadai sama-sama mengalami.
6.
Barang gadai menjadi milik dari si pemegang gadai atas
kesepakatan atau persetujuan dari si pemberi gadai (pengalihan hak milik atas
kesepakatan).
Berakhirnya gadai dapat juga berakhir apabila tanah
gadai musnah karena bencana alam atau lainnya, maka perjanjian gadai berakhir
dan pemegang gadai tidak berhak untuk meminta uang gadainya kembali dari penggadai.
2.8. Pelunasan dari Hasil yang digadaikan
Pasal 1200-1206 berhubungan dengan hak-hak dan wajib-wajib dari pemegang
gadai yang dapat dibela dalam hak-hak dan kewajiban yang ada selama adanya hak
gadai dan hak-hak beserta kewajiban yang berhubungan dengan pengambilan
pelunasan yang dapat dilakukan oleh pemegang gadai atas benda yang digadaikan
dalam wanprestasi dari debitur. Arti dari hak gadai terdiri antara lain dari
hal bahwa kreditur atau pemegang gadai adalah wewenang untuk melakukan
penjualan atas kuasa sendiri benda yang digadaikan. Apabila debitur atau
pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya. Dalam umumnya kreditur dapat
menguatkan benda yang digadaikan tersebut untuk mengambil pelunasan uang pokok,
bunga dan biaya-biaya tanpa diharuskan pertama-tama memancing suatu penghukuman
debitur oleh pengadilan. Dalam pada itu, ia terikat pada ketentuan untuk
memperhatikan beberapa aturan yang dicantumkan dalam pasal 1201.
Dari hal tersebut perlu kita ketahui bahwa bagaimanapun juga tidak boleh
terjadi dalam hal debitur melakukan wanprestasi. Dari pihak pemberi gadai
dapatlah si pemegang gadai, berdasarkan pasal 1201 dan dengan mengindahkan
formalitas-formalitas yang harus ada dalam pasal-pasal tersebut menyuruh agar
benda tersebut dijual tetapi disamping itu pasal 1201 memberikan kepadanya hak
untuk berhubungan dengan hakim dan untuk menuntut agar hakim menemukan suatu
cara tertentu bagi penjualan benda yang digadaikan tersebut. Agar hakim
menyetujui benda-benda yang digadaikan diterima oleh si pemegang gadai sebagai
pembayar untuk sejumlah uang tertentu, jumlah mana akan ditetapkan oleh hakim.
Jika para pihak pada saat mengadakan perjanjian gadai sudah menghendaki
untuk mengadakan peraturan tentang cara memperjuangkan benda yang digadaikan dalam
hal demikianlah Hoge Raad (1 April 1927), tidak dibenarkan pemberian wewenang
untuk pengambilan pelunasan dengan penjualan dibawah tangan, tetapi tidak
dibolehkan ialah menentukan bahwa si pemegang gadai hanya atau dapat menempuh
cara bertindak sebagaimana ditentukan dalam pasa 1203.
Sesudah perjanjian benda yang digadaikan, kreditur wajib untuk
mempertanggungjawabkan hasil (pengurangan) kepada debitur dan untuk membayar
kepadanya sisa lebihnya. Dalam hal kepailitan sesuai pemegang gadai
berkedudukan ebagai yang disebut separatis. Hogd Raad mengemukakan
bahwa suatu penetapan expasal 1202 belum membuktikan adanya hak gadai, sebab
piutang yang bersangkutan tidak ditujukan pada sebuah penetapan pengadilan
mengenai adanya hak gadai (Ares. H. R. 25 Januari 1934). Dan selanjutnya
mengenai cell-cell atas tunjuk, bahwa orang yang menerbitkan “cell cell” itu
wajib kepada setiap pemegang yang jujur jadi c.q juga kepada si pemegang gadai
yang sesudah penyerahan barang harus berbuat menurut pasal 1201 dengan
barang-barang itu.[24]
2.9. Perbedaan Gadai
Konvensional & Gadai Syari’ah
1. Secara Pengertian
a.
Pegadaian
Syari’ah
Gadai dalam
fiqh gadai (rahn) adalah prjanjian suatu barang sebagai tanggungan hutang, atau
menjadikan suatu benda bernilai menutrut pandangan syara sebagai tanggungan
pinjaman, sehingga dengan adanya tanggungan utang ini seluruh atau sebagian
utang dapat diterima.[25]
b.
Pegadaian
Konvensional
Pegadaian
Konvensional (Umum) adalah suatu hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai pitutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh orang lain atas nama
orang yang mempunyai utang, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah barang itu digadaikan.[26]
2. Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah
Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah
seperti berikut:
1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang,
2. Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang,
3. Barang yang digadaikan di tanggung pemberi gadai, dan
4. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang
yang di gadaikan boleh di jual atau di lelang.
3. Perbedaan
gadai syariah dengan gadai konvensiaonal
Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional adalah sebagai berikut :
1. Gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari
keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong-
menolong tetapi juga menarik keuntungan.
2. Hak gadai syariah berlaku pada seluruh harta (beda
bergerak dan benda tidak bergerak).
3. Gadai syariah dilaksanakan melakukan suatu lembaga,
sedangkan gadai konvensional dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum
pegadaian).[27]
2.10. Perlakuan
Bunga & Riba dalam Perjanjian Gadai (Menurut Pandangan Hukum Islam)
Aktivitas perjanjian gadai
yang selama ini telah berlaku, yang pada dasranya adalah perjanjian
utang-piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba
terjadi apabila dalam perjanjian gadai ditemukan bahwa harus memberikan
tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang, pada waktu
membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh murtahin ( مرتحن ). Hal
ini lebih sering disebut bunga gadai dan perbuatan yang dilarang syara’. Karena
itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak membenarkan adanya praktik
pemungutan bunga karena larangan syara’, dan pihak yang terbebani, yaitu pihak
penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan
utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.[28]
Kondisi saat ini, gadai
sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah.
Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut tentu sudah bersifat komersil.
Artinya pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya
yang telah dikeluarkan, sehingga pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang
tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa.[29]
Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai yang ada saat
ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang
memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh
syara’ menurut A.A. Basyir.[30]
Mengenai riba itu,
Afzalurahman dalam Muhammad Skholikhul Hadi, memberikan pedoman bhwa yang
dikatakan riba, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut :
1) Kelebihan dari pokok pinjaman
2) Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo
pembayaran;
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Secara Pengertian Gadai (Rahn)
Menurut Hukum Islam secara bahasa, gadai / ar-rahn (الرهن) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan
dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (الرهن) adalah terkurung atau terjerat. Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai
hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor :
25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai
hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut
oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama)
membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam
hadist di atas.
Menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP)
Perdata bahwa Gadai atau yang disebut
juga dengan Pand, merupakan salah satu kebendaan yang termasuk
suatu lembaga jaminan yang di atur dalam buku ke II KUH Perdata. Dasar Hukum
Gadai menurut pasal 1150 KUH Perdata gadai adalah suatu hak yang diperoleh
seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkannya kepadanya
oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan
kepuasan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara di dahulukan dari pada orang. Orang berpiutang lainnya dengan
kekecualian biaya untuk menyelamatkannya setelah barang itu di gadaikan,
biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
Ruang Lingkup Gadai (Rahn)
Didalam perjanjian gadai objek - objek gadai menurut
hukum perdata tersebut selalu mengikuti dari perjanjian gadai. Objek tersebut
memiliki kekuatan hukum sesuai dengan hak kebendaan yang selalu mengikat dalam
suatu perjanjian gadai. Hak kebendaan tersebut di dalam hukum perdata
mengandung ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Benda yang dijadikan sebagai benda jaminan senantiasa
dibebani hak tanggungan. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas sebagaimana
diatur dalam pasal 1150 KUH Perdata.
2.
Si berpiutang yang memegang gadai menuntut haknya
untuk menerima pelunasan pembayaran hutang dengan satu pembuktian pokok
sebagaimana diatur dalam Pasal 1151 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut
"Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan
bagi pembuktian persetujuan pokok".
3.
Objeknya adalah benda bergerak baik berwujud maupun
tidak berwujud.
4.
Hak gadai merupakan hak yang dilakukan atas pembayaran
dari pada orang-orang berpiutang lainnya.
5.
Benda yang dijadikan objek gadai merupakan benda yang
tidak dalam sengketa dan bermasalah.
6.
Benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada
pemegang gadai
7.
Semua barang bergerak dapat diterima sebagai jaminan
sesuai dengan kriteria-kriteria pihak Perum Pegadaian.
......... Sifat
& Ciri – Ciri Gadai (Rahn)
Secara umum Gadai (Rahn) menurut konteks Hukum Islam
dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan
penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan
sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas
barang yang digadaikan. Gadai (Rahn) juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna
apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam
meminajam, titipan dan qirad.
Menurut Hukum Perdata bahwa Gadai secara sifat terdiri
5 kategori sifat, sebagai berikut :
1. Gadai adalah hak kebendaan,
2. Hak gadai bersifat accesoir,
3. Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi,
4. Hak gadai adalah hak yang
didahulukan, dan
5. Hak gadai.
DAFTAR PUSTAKA
Akses
Sumber Berdasarkan Literatur Buku :
Adrian Sutedi, Hukum
Gadai Syariah, (Bandung :
Alfabeta, 2011).
Ahmad
Azhar Basyir,
Pembahasan mengenai : Riba, Utang - piutang, dan Gadai, Cetakan Ke - II, (Bandung : Al-
Ma’arif, 1983).
Al-kahlani, Subul Al – Salam.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar
fiqh muamalah, (Jakarta : Bulan Bintang 1984).
Hendi Suhendi, Fiqh
Muamalah, Cet. 1, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002).
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung : Alumni Bandung, 1992).
Ibnu
Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihaya al-Muqtashid, (Bairut : Dar
al-Jiil, 1990).
Muhammad Skholikhul Hadi, Pegadaian
Syari’ah, (Salemba Diniyah. 2003).
R. Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, (Jakarta :
Intermasa, 1997).
R. Subekti, Jaminan-Jaminan
Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. intermassa, 1997).
R. Wiryono, Prodjodikoro, Hukum
Perdata Hak Atas Benda, (Jakarta : Pembimbing Massa, 1993).
Sayyid
Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad
al-Tsalis, (Kairo : Dar al-fath lil I’lam al-‘Arabi, 1990).
Sulaiman
Rasyid. Fiqh islam, (Jakarta : Al - Tahiriyah, 1973).
Akses
Sumber Berdasarkan Al – Qur’an :
Landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan firman Allah Swt dalam Surat
ke – 2 : Al – Baqarah ayat 283.
Akses
Sumber Berdasarkan Internet Browser :
Hadi
Muttaqin, “Pengertian dan Sifat - Sifat Gadai, yang berdasarakan link internet : http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-dan-sifat-sifat-gadai.html.
Ria
Saidah, “Makalah Fiqh Muamalah Gadai
(Rahn)”, diakses berdasarkan link internet browser
: http://hamasfaiumi.blogspot.co.id/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html.
Sunaryo hadi, ”Pembahasan Mengenai Gadai”, diakses berdasarkan link internet browser
: http://datarental.blogspot.com/2009/06/gadai.html.
Wardah, Cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai
menurut Kitab Undang - Undang Hukum (KUHP) Perdata, yang berdasarakan link internet browser : http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/gadai.html.
[1] Sunaryo hadi, ”Pembahasan Mengenai Gadai”, diakses berdasarkan link internet : http://datarental.blogspot.com/2009/06/gadai.html, pada hari Jum’at, tanggal 02 Desember 2016, jam 10.00 Wib.
[3] Ria Saidah,
“Makalah Fiqh Muamalah Gadai (Rahn)”,
diakses berdasarkan link internet : http://hamasfaiumi.blogspot.co.id/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html, pada hari Jum’at, tanggal 02 Desember 2016,
jam10.15 Wib.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, (Kairo : Dar al-fath lil I’lam al-‘Arabi, 1990), hal. 123.
[8] Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-piutang, dan
Gadai, Cet. Ke II, (Bandung : Al- Ma’arif, 1983), hal. 50.
[9] Landasan hukum pinjam-meminjam
dengan jaminan firman Allah Swt dalam Surat ke – 2 : Al – Baqarah ayat 283.
[12] R. Wiryono, Prodjodikoro, Hukum Perdata Hak Atas Benda,
(Jakarta :
Pembimbing Massa, 1993), hal. 180.
[13] R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian
Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Jakarta : PT. intermassa, 1997), hal.
112.
[18] Hadi Muttaqin, “Pengertian dan Sifat - Sifat Gadai, yang berdasarakan link internet : http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-dan-sifat-sifat-gadai.html, diakses pada hari Sabtu, tanggal 03 Desember 2016, jam 14 : 00 Wib.
[22] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya
al-Muqtashid, (Bairut : Dar al-Jiil,
1990), hal. 204.
[23] Cara berakhirnya atau hapusnya
suatu gadai menurut KUH Perdata, yang berdasarakan link internet : http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/gadai.html,
diakses pada hari Sabtu, tanggal 03 Desember 2016, jam 14 : 20 Wib.
[24] Sunaryo hadi, ”Pembahasan Mengenai Gadai”, diakses berdasarkan link internet : http://datarental.blogspot.com/2009/06/gadai.html, pada hari Sabtu, tanggal 03 Desember 2016, jam 14.30 Wib.
[30] Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-piutang, dan
Gadai, Cet. Ke II, (Bandung : Al- Ma’arif, 1983), hal. 50.