Pada
tanggal 3 April 2015,para PNS yang terdiri dari Dr. Rahman Hadi, Msi, dkk., mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian di registrasi dengan nomor perkara
41/PUU-XIII/2015.
Adapun
pasal yang diuji oleh para Pemohon adalah sebagai berikut:
Pasal 119, “Pejabat
pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan
diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil
bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari
PNS sejak mendaftar sebagai calon”.
Pasal 123 ayat (3), “Pegawai
ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua,
wakil ketua dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur;
bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran
diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon”.
terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1),
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945, yang menyatakan:
Pasal 27 ayat (1)
dan ayat (2)
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya;
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
Pasal 28D ayat (1)
dan ayat (3)
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum;
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan;
Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2)
(1) Hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.
(2) Setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasarapa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifatdiskriminatif itu;
Dalam
permohonannya, para Pemohon menyatakan bahwa sebagai
perseorangan warga negara Indonesia yang menjadi Pegawai Negeri Sipil
(PNS) merasa dirugikan dengan pasal a quo karena hak untuk dipilih dan hak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan telah dibatasi, dibedakan
dan dikecualikan dari dan/atau dengan kelompok warga negara dan/atau profesi
lainnya, dengan cara mewajibkan PNS untuk mengundurkan diri sejak mendaftar
sebagai calon kepala daerah dan anggota DPD. Padahal, pembatasan, pembedaan,
dan pengecualian untuk mengundurkan diri tidak diberlakukan terhadap warga
negara lainnya. Pembatasan, pengecualian, dan pembedaan sebagaimana dalam pasal
a quo dapat dikualifikasi sebagai
bentuk diskriminasi;
Untuk menjawab persoalan
konstitusionlitas pasal tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Pendapat Mahkamah
[3.10] Menimbang bahwa sebelum
mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang
menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat
meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan
yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden” dalam melakukan
pengujian atas Undang-Undang. Dengan
kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau
risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh
karena permasalahan hukum dan permohonan a
quo cukup jelas, Mahkamah memutus perkara a quo tanpa mendengar keterangan dan/atau risalah rapat dari
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan/atau Presiden;
[3.11] Menimbang bahwa setelah
memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, bukti surat/tulisan dari para
Pemohon, sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa
para Pemohon dalam permohonan a quo
mengajukan pengujian konstitusionalitas Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN
karena pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal
28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dengan
alasan adanya diskriminasi antarstatus warga negara dalam profesi PNS jika
mencalonkan atau dicalonkan menjadi pejabat negara diwajibkan mengundurkan diri
sejak mendaftarkan sebagai calon;
[3.13] Menimbang bahwa terkait dengan dalil
permohonan a quo, sepanjang
menyangkut syarat pengunduran diri PNS ketika hendak mencalonkan diri untuk
menduduki jabatan politik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected officials), Mahkamah telah
menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor
45/PUU-VIII/2010, bertanggal 1 Mei 2012, yang kemudian dirujuk kembali dalam
Putusan Nomor 12/PUU-XI/2013, bertangggal 9 April 2013. Dalam kedua putusan
tersebut Mahkamah antara lain menyatakan:
“...Ketika seseorang telah memilih untuk menjadi PNS maka dia telah
mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi
pemerintahan, sehingga pada saat mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam
jabatan politik yang diperebutkan melalui mekanisme pemilihan umum, dalam hal
ini sebagai calon anggota DPD, maka Undang-Undang dapat menentukan
syarat-syarat yang di antaranya dapat membatasi hak-haknya sebagai PNS sesuai
dengan sistem politik dan ketatanegaraan yang berlaku pada saat ini. Dari
perspektif kewajiban, keharusan mengundurkan diri sebagai PNS tersebut tidak
harus diartikan pembatasan HAM karena tidak ada HAM yang dikurangi dalam
konteks ini, melainkan sebagai konsekuensi yuridis atas pilihannya sendiri
untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik, sehingga wajib mengundurkan
diri dari PNS guna mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang birokrasi
pemerintahan. Menurut Mahkamah, perspektif yang manapun dari dua perspektif itu
yang akan dipergunakan dalam perkara a
quo maka kewajiban mengundurkan diri menurut undang-undang bagi PNS yang
akan ikut pemilihan anggota DPD tersebut bukanlah pelanggaran hak
konstitusional;”
Bahwa
permohonan a quo, secara substansial,
adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang yang berkenaan dengan
jabatan publik atau jabatan politik yang mekanisme pengisiannya dilakukan
melalui pemilihan (elected officials).
Oleh karena jabatan anggota DPD adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan
maka pertimbangan hukum putusan Mahkamah di atas juga berlaku terhadap
permohonan a quo.
Namun demikian,
selain uraian sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan putusan Mahkamah di
atas, Mahkamah memandang penting untuk menambahkan bahwa kedudukan dan peranan
PNS penting serta menentukan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Peranan itu menjamin kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan yang bergantung pada kompetensi PNS yang secara
karier diangkat berdasarkan kecakapan tertentu dan secara terus menerus
memperoleh pembinaan, pendidikan, jenjang kepangkatan secara teratur dan
terukur, termasuk pendidikan kedinasan untuk mencapai jenjang kepangkatan dan
karier tertentu, yang pada pokoknya, seorang PNS dan/atau pegawai ASN yang
memenuhi syarat menjadi calon pejabat dalam jabatan tertentu sebagaimana
ditentukan dalam pasal-pasal yang diuji para Pemohon adalah subjek pegawai ASN
yang telah melalui jenjang karier, kepangkatan, promosi, mutasi, penilaian
kinerja, disiplin, kompetensi, dan telah teruji dan berpengalaman mampu
melaksanakan tugas pelayanan publik yaitu memberikan pelayanan atas barang,
jasa, dan administratif;
Sementara itu, berkenaan dengan
syarat pengunduran bagi anggota TNI dan anggota Polri yang hendak mencalonkan
diri dalam jabatan politik atau jabatan publik yang mekanisme pengisiannya
dilakukan melalui pemilihan, Mahkamah pun telah menyatakan pendiriannya,
sebagaimana termuat dalam Putusan Nomor 67/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari
2013. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, Mahkamah antara lain
menyatakan:
“Bahwa frasa “surat
pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri” dalam Pasal 59 ayat (5) huruf
g UU 12/2008, menurut Mahkamah adalah ketentuan persyaratan yang sudah jelas
bagi anggota TNI maupun anggota Polri yang akan mendaftarkan diri menjadi
peserta Pemilukada dalam menjaga profesionalitas dan netralitas TNI dan Polri.
Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan Pemilu dalam hal ini Pemilukada yang
demokratis, jujur, dan akuntabel, para peserta Pemilu, khususnya yang berasal
dari PNS, anggota TNI dan anggota Polri tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan
jabatan, kewenangan, dan pengaruh yang melekat pada dirinya sebagai akibat
jabatan yang disandangnya pada saat Pemilukada berlangsung... “
[3.14] Menimbang, berdasarkan pertimbangan hukum
sebagaimana termuat dalam dua putusan Mahkamah di atas, telah nyata bahwa
ketentuan Undang-Undang yang mensyaratkan pengunduran diri PNS maupun anggota
TNI dan anggota Polri jika yang bersangkutan hendak mencalonkan diri untuk
menduduki jabatan politik atau jabatan publik yang mekanisme pengisiannya
dilakukan melalui pemilihan, termasuk dalam hal ini pencalonan menjadi kepala
daerah atau wakil kepala daerah, menurut Mahkamah, tidaklah bertentangan dengan
UUD 1945.
[3.15] Menimbang bahwa UU ASN juga memuat
ketentuan tentang pemberhentian sementara pegawai ASN dari PNS yang diangkat
menjadi pejabat negara yaitu ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah
Konstitusi; ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; ketua,
wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; ketua dan wakil ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi; Menteri dan jabatan setingkat menteri; Kepala Perwakilan
Republik Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh. Pasal 123 ayat (1)
dan ayat (2) UU ASN menyatakan bahwa PNS yang diangkat menjadi pejabat negara
sebagaimana disebutkan di atas diberhentikan sementara dari jabatannya selama
yang bersangkutan masih menjabat jabatan tersebut di atas sehingga tidak kehilangan
status sebagai PNS. Ketentuan ini adalah berlaku bagi jabatan yang tergolong ke
dalam appointed officials bukan elected officials, sehingga tidak
serta-merta dapat disamakan dengan PNS yang hendak mencalonkan diri menduduki
jabatan yang tergolong elected officials,
sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Pembedaan demikian bukanlah suatu
bentuk diskriminasi karena karakter kedua jabatan tersebut memang berbeda
sehingga mempersyaratkan perlakuan yang berbeda pula.
[3.16] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah
berpendapat bahwa syarat pengunduran diri PNS yang hendak mencalonkan diri
sebagai pejabat publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan
tidak bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah memandang perlu untuk
mempertimbangkan lebih lanjut aspek kepastian hukum dan keadilan berkenaan
dengan pertanyaan “kapan” pengunduran diri tersebut harus dilakukan. Hal ini
berkait dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU
ASN.
Pasal 119 UU ASN menyatakan, “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang
akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan
wakil bupati/wakil walikota wajib
menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai
calon”.
Pasal 123 ayat (3) UU ASN menyatakan, “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi
Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil
gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak
mendaftar sebagai calon”.
Pertanyaan
yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam hubungan ini adalah apakah adil
dan sekaligus memberi kepastian hukum apabila seorang PNS yang hendak
mencalonkan diri sebagai pejabat publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan
melalui pemilihan harus menyatakan pengunduran dirinya secara tertulis sebagai
PNS sejak saat ia mendaftar sebagai calon? Pertanyaan demikian menjadi penting
untuk dipertimbangkan sebab istilah “mendaftar” hanyalah merupakan tahap awal
sebelum seseorang dinyatakan secara resmi atau sah sebagai calon peserta
pemilihan setelah dilakukan verifikasi oleh penyelenggara pemilihan.
Dengan
demikian, dalam konteks permohonan a quo,
apabila syarat pengunduran diri PNS tersebut dimaknai seperti yang tertulis
dalam ketentuan UU ASN di atas maka seorang PNS akan segera kehilangan
statusnya sebagai PNS begitu ia mendaftar sebagai pejabat publik yang mekanisme
pengisiannya dilakukan melalui pemilihan. Pemaknaan atau penafsiran demikian
memang telah memberi kepastian hukum namun mengabaikan aspek keadilan. Dengan
kata lain, pemaknaan demikian hanyalah memenuhi sebagian dari jaminan hak
konstitusional yang dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu hanya
aspek kepastian hukumnya. Padahal, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tegas menyatakan
bahwa hak dimaksud bukanlah sekadar hak atas kepastian hukum melainkan hak atas
kepastian hukum yang adil.
Dikatakan
mengabaikan aspek keadilan, sebab terdapat ketentuan Undang-Undang yang
mengatur substansi serupa namun memuat persyaratan atau perlakuan yang tidak
setara meskipun hal itu diatur dalam Undang-Undang yang berbeda, dalam hal ini
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 8/2015). Dalam UU 8/2015 juga terdapat
ketentuan yang mempersyaratkan PNS mengundurkan diri sejak mendaftar sebagai
calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, sementara bagi anggota DPR,
anggota DPD, dan anggota DPRD hanya dipersyaratkan memberitahukan kepada
pimpinannya jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil
kepala daerah. Hal itu diatur dalam Pasal 7 huruf s dan huruf t UU 8/2015.
Kepala
daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan publik atau jabatan politik yang
mekanisme pengisiannya juga dilakukan melalui pemilihan. Oleh karena itu syarat
pengunduran diri bagi PNS yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah
atau wakil kepala daerah tidaklah bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana
telah ditegaskan dalam putusan-putusan Mahkamah yang telah dijelaskan dalam
paragraf [3.13] di atas. Namun,
yang menjadi pertanyaan adalah mengapa syarat yang sama tidak berlaku bagi
anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD? Oleh karena itu, agar proporsional
dan demi memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil, baik PNS maupun anggota
DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD haruslah sama-sama dipersyaratkan
mengundurkan diri apabila hendak mencalonkan diri guna menduduki jabatan publik
atau jabatan politik lainnya yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan (elected officials). Namun, demi memenuhi
tuntutan kepastian hukum yang adil pula, pengunduran diri dimaksud dilakukan
bukan pada saat mendaftar melainkan pada saat yang bersangkutan telah
ditetapkan secara resmi sebagai calon oleh penyelenggara pemilihan dengan cara
membuat pernyataan yang menyatakan bahwa apabila telah ditetapkan secara resmi
oleh penyelenggara pemilihan sebagai calon dalam jabatan publik atau jabatan
politik yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan itu maka yang
bersangkutan membuat surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik
kembali, yaitu pada saat mendaftarkan diri dan berlaku sejak ditetapkan secara
resmi sebagai calon.
[3.17] Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil
para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN
beralasan menurut hukum untuk sebagian.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian:
1.1 Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai,“pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS
harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri
secara tertulis sebagai PNS dilakukan
sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah”;
1.2 Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan
sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis
sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan
sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu
Presiden/Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
Sebagaimana mestinya.