Pokok-Pokok Materi Hukum Perdata (Bagian 1)
Berikut saya akan bagikan materi
kuliah hukum perdata, yang saya ringkas materinya dari buku karangan
Prof. Subketi. S.H. yaitu buku
"Pokok-Pokok Materi Hukum Perdata.
I. KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Perkataan "Hukum
Perdata" dalam arti yang luas meliputi semua hukum "privat
materiil", yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan. Perkataan "perdata" juga lazim dipakai sebagai lawan
dari "pidana".
Ada juga orang memakai perkataan "hukum
sipil" untuk hukum privat materiil itu, tetapi karena perkataan
"sipil" itu juga lazim dipakai sebagai lawan dari
"militer," maka lebih baik kita memakai istilah "hukum
perdata" untuk segenap peraturan hukum privat materiil.
Perkataan "Hukum Perdata", adakalanya
dipakai dalam arti yang sempit, sebagai lawan "hukum dagang," seperti
dalam pasal 102 Undang-undang Dasar Sementara,
yang menitahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di negara kita ini terhadap Hukum
Perdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun Hukum Pidana Militer,
Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana, dan susunan serta kekuasaan
pengadilan.
II. SISTEMATIK HUKUM PERDATA
Adanya Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(Wetboek vanKoophandel, disingkat W.v.K.)
di samping Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, disingkat
B.W.) sekarang dianggap tidak pada tempatnya, karena Hukum Dagang sebenarnya
tidaklah lain dari Hukum Perdata. Perkataan "dagang" bukanlah suatu
pengertian hukum, melainkan suatu pengertian perekonomian. Di berbagai negeri
yang modern, misalnya di Amerika Serikat dan di Swis juga, tidak terdapat suatu
Kitab Undang-undang Hukum Dagang tersendiri di samping pembukuan Hukum Perdata
seumumnya. Oleh karena itu, sekarang terdapat suatu aliran untuk meleburkan Kitab
Undang-undang Hukum Dagang itu ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Memang, adanya pemisahan Hukum Dagang dari Hukum
Perdata dalam perundang-undangan kita sekarang ini, hanya terbawa oleh sejarah
saja, yaitu karena di dalam hukum Rumawi — yang merupakan
sumber terpenting dari Hukum Perdata di Eropah Barat — belumlah terkenal Hukum Dagang sebagaimana yang
ter-
letak dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang kita
sekarang, sebab memang perdagangan internasional juga dapat dikatakan baru
mulai berkembang dalam Abad Pertengahan.
Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini,
lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu :
1. Hukum tentang diri seseorang,
2. Hukum Kekeluargaan,
3. Hukum Kekayaan dan
4. Hukum warisan.
Hukum tentang diri seseorang , memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai
subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki
hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta
hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
Hukum Keluarga, mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu : perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum
kekayaan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian
dan curatele.
Hukum Kekayaan, mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita
mengatakan tentang kekayaan seorang, yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak
dan kewajiban orang itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang demikian itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak
kekayaan, terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang dan
karenanya dinamakan hak mutlak dan hak-hak yang hanya berlaku
terhadap seorang atau suatu fihak yang tertentu saja dan karenanya
dinamakan hak perseorangan. Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas
suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak
yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat, misalnya
hak seorang pengarang atas karangannya, hak seorang atas suatu pendapat dalam
lapangan ilmu pengetahuan atau hak seorang
pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
Hukum
Waris, mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang
jikalau ia meninggal. Juga
dapat dikatakan, Hukum Waris itu mengatur akibat-akibat hubungan' keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
Berhubung dengan sifatnya yang setengah-setengah ini, Hukum Waris lazimnya
ditempatkan tersendiri.
Bagaimanakah
sistematik yang dipakai oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata?
B.W. itu terdiri atas empat buku, yaitu :
Buku I, yang berkepala "Perihal
Orang", memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum Keluarga;
Buku II yang
berkepala "Perihal Benda", memuat hukum perbendaan serta
Hukum Waris;
Buku III yang berkepala "Perihal
Perikatan", memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang
tertentu;
Buku IV yang berkepala "Perihal
Pembuktian dan Lewat waktu(Daluwarsa), memuat perihal alat-alat
pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
Sebagaimana kita
lihat, Hukum Keluarga di dalam B.W. itu dimasukkan dalam bagian hukum tentang
diri seseorang, karena hubungan-hubungan keluarga memang berpengaruh besar terhadap
kecakapan seseorang untuk memiliki hak-hak serta kecakapannya untuk
mempergunakan hak-haknya itu. Hukum Waris, dimasukkan dalam bagian tentang
hukum perbendaan, karena dianggap Hukum Waris itu mengatur cara-cara untuk
memperoleh hak atas benda-benda, yaitu benda-benda yang ditinggalkan seseorang.
Perihal pembuktian dan lewat waktu (daluwarsa) sebenarnya adalah soal hukum
acara, sehingga kurang tepat dimasukkan dalam B.W. yang pada asasnya mengatur
hukum perdata materiil. Tetapi pernah ada suatu pendapat, bahwa hukum acara
itu dapat dibagi dalam bagian materiil dan bagian formil. Soal-soal yang
mengenai alat-alat pembuktian terhitung bagian yang termasuk hukum acara
materiil yang dapat diatur juga dalam suatu undang-undang tentang hukum perdata
materiil.
III. PERIHAL ORANG DALAM HUKUM
Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti
pembawa hak atau subyek di dalam hukum. Sekarang ini boleh dikatakan, bahwa
tiap manusia itu pembawa hak, tetapi belum begitu lama berselang masih ada
budak belian yang menurut hukum tidak lebih dari suatu barang saja. Peradaban
kita sekarang sudah sedemikian majunya, hingga suatu perikatan pekerjaan yang
dapat dipaksakan tidak diperbolehkan lagi di dalam hukum. Seorang yang tidak
suka melakukan suatu pekerjaan yang ia harus lakukan menurut perjanjian, tidak
dapat secara langsung dipaksa untuk melakukan pekerjaan itu. Paling banyak ia
hanya dapat dihukum untuk membayar kerugian yang berupa uang yang untuk itu
harta bendanya dapat disita. Karena memang sudah menjadi suatu asas dalam Hukum
Perdata, bahwa semua kekayaan seseorang menjadi tanggungan untuk segala
kewajibannya. Juga yang dinamakan "kematian perdata", yaitu suatu
hukuman yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat memiliki sesuatu hak
lagi — tidak terdapat dalam hukum
sekarang ini (pasal 3 B.W.). Hanya-
lah mungkin, seseorang — sebagai hukuman — dicabut
sementara hak-haknya, misalnya kekuasaannya sebagai orang tua terhadap
anak-anaknya, kekuasaannya sebagai wali, haknya untuk bekerja pada angkatan
bersenjata dan sebagainya.
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai
dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal. Malahan, jika
perlu untuk kepentingannya, dapat dihitung surut hingga mulai orang itu berada
di dalam kandungan, asal saja kemudian ia dilahirkan hidup, hal mana penting
sekali berhubung dengan waris-an-warisan yang terbuka pada suatu waktu, di mana
orang itu masih berada di dalam kandungan.
Meskipun menurut hukum
sekarang ini, tiap orang tiada yang terkecuali dapat memiliki hak-hak, akan
tetapi di dalam hukum tidak semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam
melaksanakan hak-haknya itu. Berbagai golongan orang, oleh undang-undang telah
dinyatakan "tidak cakap," atau "kurang cakap" untuk
melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Yang dimaksudkan di sini, ialah
orang-orang yang belum dewasa atau masih kurang umur dan orang-orang yang telah
ditaruh di bawah pengawasan (curatele), yang selalu harus diwakili
oleh orang tuanya, walinya atau kuratornya.
1. Arti dan
syarat-syarat untuk perkawinan
Perkawinan, ialah pertalian yang sah antara
seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang
memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek.
Apakah artinya itu? Pasal tersebut hendak
menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
(Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan.
Suatu asas lagi dari B.W., ialah polygami dilarang. Larangan ini termasuk
ketertiban umum, artinya bila dilanggar selalu diancam dengan pembatalan
perkawinan yang dilangsungkan itu.
Syarat-syarat untuk dapat sahnya perkawinan,
ialah :
a.
kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetap-
kan dalam undang-undang, yaitu untuk seorang lelaki
18 tahun dan untuk seorang
perempuan 15 tahun;
b.
harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak;
c.
untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin
harus lewat 300 hari dahulu sesudahnya putusan
per-
kawinan pertama;
d.
tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua
pihak;
e.
untuk pihak yang masih di bawah umur, harus ada
izin
dari orang tua atau walinya. *)
Tentang hal larangan untk kawin dapat diterangkan,
bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara
tiri; seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya; seorang paman dilarang
kawin dengan keponakannya dan sebagainya.
2. Hak dan
kewajiban suami-isteri
Suami-isteri
harus setia satu sama lain, bantu-membantu, berdiam bersama-sama, saling
memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak.
Perkawinan oleh undang-undang dipandang sebagai
suatu "perkumpulan" (echtvereniging). Suami ditetapkan
menjadi kepala atau pengurusnya. Suami mengurus kekayaan mereka bersama di
samping berhak juga mengurus kekayaan si isteri, menentukan tempat kediaman
bersama, melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya memberikan bantuan (bijstand) kepada
si isteri dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Yang belakangan ini,
berhubungan dengan ketentuan dalam Hukum Perdata Eropah, bahwa seorang
perempuan yang telah kawin tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum.
Kekuasaan seorang suami di dalam perkawinan itu dinamakan "maritale
macht" (dari bahasa Perancis mari = suami).
Sejak mulai perkawinan
terjadi, suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri (algehele
gemeenschap van goederen), jikalau tidak
diadakan perjanjian apa-apa Keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya
dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan. *) Jikalau orang ingin menyimpang dari peraturan umum
itu, ia harus meletakkan keinginannya itu dalam suatu "perjanjian
perkawinan"(huwelijksvoorwaarden). Perjanjian
yang demikian ini, harus diadakan sebelumnya pernikahan
Jika seorang yang hendak kawin
mempunyai benda-benda yang berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan,
misalnya suatu warisan, maka adakalanya diadakan perjanjian perkawinan(huwelijksvoorwaarden). Perjanjian
yang demikian ini menurut Undang-undang harus diadakan sebelumnya pernikahan
dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris.
Mengenai bentuk dan isi perjanjian
tersebut, sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, kepada
kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas-luasnya, kecuali satu dua
larangan yang termuat dalam undang-undang dan asal saja mereka itu tidak
melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.
Suatu perjanjian perkawinan misalnya, hanya dapat
menyingkirkan suatu benda saja (misalnya satu rumah) dari percampuran
kekayaan, tetapi dapat juga menyingkirkan segala percampuran. Undang-undang
hanya menyebutkan dua contoh perjanjian yang banyak terpakai, yaitu perjanjian
"percampuran laba rugi" ("gemeenschap van winst en verlies") dan perjanjian
"percampuran penghasilan" ('gemeenschap van vruchten en inkomsten"").
Pada umumnya seorang yang masih di bawah umum,
yaitu belum mencapai usia 21 tahun, tidak
diperbolehkan bertindak sen-
diri dan harus diwakili oleh orang tuanya atau
walinya. Tetapi untuk membuat suatu perjanjian perkawinan, oleh undang-undang
diadakan peraturan pengecualian. Seorang yang belum dewasa di sini,
diperbolehkan bertindak sendiri tetapi ia harus "dibantu"
("bijgestaan") oleh orang tua atau orang-orang yang diharuskan
memberi izin kepadanya untuk kawin. Apabila pada waktu membuat perjanjian itu
salah satu pihak ternyata belum mencapai usia yang diharuskan oleh
undang-undang, maka perjanjian itu tidak sah, meskipun mungkin perkawinannya
sendiri — yang baru kemudian
dilangsungkan — sah. Selanjutnya
diperingatkan, apabila di dalam waktu antara pembuatan perjanjian dan penutupan
pernikahan orang tua atau wali yang membantu terjadinya perjanjian itu
meninggal, maka perjanjian itu batal dan pembuatan perjanjian itu harus
diulangi di depan notaris, sebab orang yang nanti harus memberi izin untuk
melangsungkan perkawinan sudah berganti. Karena itu sebaiknya orang membuat
perjanjian perkawinan, apabila hari pernikahan sudah dekat.
Perkawinan hapus, jikalau satu pihak meninggal.
Selanjutnya ia hapus juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin
hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga
sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan
dapat dihapuskan dengan perceraian.
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan
permufakatan saja antara suami dan isteri, tetapi harus ada alasan yang sah.
Alasan-alasan ini ada empat macam :
a)
zina (overspel);
b)
ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige
verlating);
c)
penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu
kejahatan dan
d)
penganiayaan berat atau membahayakan jiwa
(pasal 209B.W.).
Undang-undang Perkawinan
menambahkan dua alasan, u. salah satu pihak mendapat cacad badan/penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; I).
antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (pasal 19 PP 9/1975).
Tuntutan untuk mendapat
perceraian diajukan kepada hakim secara gugat biasa dalam perkara perdata,
tetapi harus didahului dengan meminta izin pada Ketua Pengadilan Negeri untuk
menggugat. Sebelum izin ini diberikan, hakim harus lebih dahulu mengadakan percobaan
untuk mendamaikan kedua belah pihak (verzoeningscomparitie).
Selama perkara bergantung, Ketua Pengadilan Negeri
dapat memberikan ketetapan-ketetapan sementara, misalnya dengan memberikan izin
pada si isteri untuk bertempat tinggal sendiri terpisah dari suaminya,
memerintahkan supaya si suami memberikan nafkah tiap-tiap kali pada isterinya
serta anak-anaknya yang turut pada isterinya itu dan sebagainya. Juga hakim
dapat memerintahkan supaya kekayaan suami atau kekayaan bersama disita agar
jangan dihabiskan oleh suami selama perkara masih bergantung.
Larangan
untuk bercerai atas permufakatan, sekarang ini sudah lazim diselundupi dengan
cara mendakwa si suami telah berbuat zina. Pendakwaan itu lalu diakui oleh si
suami. Dengan begitu alasan sah untuk memecahkan perkawinan telah dapat
"dibuktikan" di muka hakim.
Gemeenschap hapus dengan
perceraian dan selanjutnya dapat diadakan pembagian kekayaan gemeenschap
itu (scheiding en deling).Apabila ada
perjanjian perkawinan, pembagian ini harus dilakukan menurut perjanjian
tersebut.
Untuk melindungi
si isteri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan
bersama serta kekayaan pribadi si isteri, undang-undang memberikan pada si
isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan
tetap berlangsungnya perkawinan.
Pemisahan kekayaan itu dapat diminta oleh si
isteri :
a)
apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata
tidak baik, mengorbankan kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan
keluarga;
b)
apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk
terhadap kekayaan si isteri, hingga ada kekhawatiran kekayaan ini akan
menjadi habis;
c)
apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri,
hingga si isteri akan kehilangan tanggungan yang oleh Undang-undang diberikan
padanya atas kekayaan tersebut karena pengurusan yang dilakukan oleh si suami
terhadap kekayaan isterinya.
Gugatan untuk mendapatkan pemisahan kekayaan, harus
diumumkan dahulu sebelum diperiksa dan diputuskan oleh hakim, sedangkan putusan
hakim ini pun harus diumumkan. Ini untuk menjaga kepentingan-kepentingan pihak
ketiga, terutama orang-orang yang mempunyai piutang
terhadap si suami. Mereka itu dapat mengajukan perlawanan terhadap diadakannya
pemisahan kekayaan.
Selain
membawa pemisahan kekayaan, putusan hakim berakibat pula, si isteri memperoleh
kembali haknya untuk mengurus kekayaannya sendiri dan berhak mempergunakan
segala penghasilannya sendiri sesukanya. Akan tetapi, karena perkawinan belum
diputuskan, ia masih tetap tidak cakap menurut undang-undang untuk bertindak
sendiri dalam hukum.
UNSUR-UNSUR HUKUM PEWARISAN INDONESIA DITINJAU DARI KU HUKUM PERDATA
1.
Pluralisme Hukum Waris di Indonesia
Di Indonesia sebagaimana Hukum Perkawinan, tentang atau mengenai sistem
hukum waris belum dapat disimpulkan secara jelas hukum waris mana yang
digunakan (patokan tunggal), karena ada macam-macam sistem hukum waris dan
sifat pluralisme suku bangsa dan Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut
WNI)[1].
Dan dalam praktiknya terdapat tiga
sistem hukum yang mengatur tentang hukum waris. Hal ini sesuai dengan
penggolongan WNI yang ditentukan oleh Pasal 163 I.S. Ketiga sistem hukum
tersebut yaitu: 1). Hukum Waris Perdata Belanda (selanjutnya disebut BW), 2). Hukum
Waris Islam, 3). Hukum Waris Adat[2].
Hukum Waris Belanda atau BW diperuntukkan bagi keturunan Tionghoa dan
Eropa sebagaimana disebutkan dalam Buku II BW perihal warisan[3]. Selain itu, BW juga berlaku bagi
para WNI yang menundukkan diri pada BW.
Hukum waris menurut BW pada intinya[4] menyebutkan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur
kedudulan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama
berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain. Dan sifat dari hukum waris
BW secara umum meliputi sistem individual, bilateral dan perderajatan[5].
Sementara Hukum Waris Islam berlaku
bagi orang Indonesia (baik asli maupun keturunan) yang beragama Islam[6]. Ketentuan kewarisan tersebut selanjutnya dapat dilihat secara lengkap
dalam Buku II tentang Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan
Inpres No. 1 Tahun 1991.
Dan secara umum sifat Hukum Waris Islam menganut sistem
bilateral-patrilineal yang memosisikan pria atau laki-laki pada porsi bagian
lebih dari wanita. Ketentuan ini merupakan konsekuensi logis bahwa prialah yang
memunyai kewajiban untuk memberi nafkah keluarga[7].
Sementara Hukum Waris Adat diperuntukkan bagi WNI asli, yaitu suku-suku
bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sifat dan sistem Hukum Waris Adat
Indonesia cukup beragam karena dipengaruhi oleh sifat etnis yang ada.
Dan dengan variasi sistem hukum waris
seperti tersebut di atas, maka kepada WNI diberikan hak pilih dalam
penundukkannya atau kepada sistem hukum waris mana dia menyelesaikan sengketa
warisnya[8].
1. Prinsip Pewarisan Menurut KUH Perdata ( BW)
Di dalam BW tidak ditemukan
pengertian tentang hukum waris, tetapi yang ada hanya berbagai konsepsi tentang
pewarisan, artinya BW hanya mengatur mengenai orang yang berhak dan tidak
berhak menerima warisan dan peraturan lainnya.
Masih menurut BW, tidak semua ahli waris secara otomatis mewarisi segala
sesuatu yang dimiliki dan ditinggalkan oleh si pewaris. Subekti dalam salah
satu bukunya menuliskan bahwa hak mewarisi sudah diatur berdasarkan
undang-undang[9]. Artinya anggota-anggota dari
keluarga si meninggal dibagi
dalam berbagai golongan. Jika
terdapat orang-orang dari golongan pertama maka mereka itulah yang berhak
mewarisi semua harta peninggalan. Namun, jika tidak terdapat anggota keluarga
dari golongan pertama,barulah orang-orang yang termasuk golongan kedua dapat
menjadi ahli waris yang mewarisi harta peninggalan si meninggal tersebut[1].
Juga menurut Subekti, hak mewarisi oleh suami atau istri dari si
meninggal, baru ada sejak tahun 1935 di masukkan dalam Undang-undang. Akibatnya
adalah apabila tidak terdapat anak sama sekali, suami atau istri tersebut
mengecualikan anggota keluarga yang lain[2].
Dan dalam hal si meninggal memunyai
anak dari perkawinan pertama dan seorang istri kedua, maka istri kedua tersebut
tidak boleh mendapat bagian yang melebihi bagian seorang anak (dari hasil
perkawinan pertama) dan paling banyak mendapat seperempat dari harta
peninggalan tersebut[3].
Dalam golongan kedua dimasukkan orang tua dan saudara-saudara dari si
meninggal. Pada asasnya orang tua dipersamakan dengan saudara, namun untuk
orang tua diadakan peraturan baru yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian
yang tidak kurang dari seperempat harta peninggalan[4].
Jika tidak terdapat sama sekali
anggota keluarga dari golongan pertama dan kedua, harta peninggalan tersebut
dipecah menjadi dua bagian yang sama[5]. Satu untuk para anggota dari pihak
Ayah dan yang lainnya untuk para anggota dari pihak keluarga Ibu dari si
meninggal[6].
Untuk seorang anak diluar perkawinan[7], bagian warisannya tergantung dari
berapa banyak anggota keluarga yang sah. Jadi jika ada ahli waris dari golongan
pertama, maka bagian anak di luar perkawinan adalah sepertiga dari bagian yang
akan diperolehnya seandainya anak tersebut dilahirkan sebagai anak yang sah[8]. Namun, apabila ia menjadi ahli waris bersama sama dengan golongan
kedua maka bagian anak tersebut adalah separuh atau seperdua dari bagian yang
akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan sebagai anak yang sah.
Selain itu, seorang ahli waris
diperbolehkan memilih apakah akan menerima atau menolak harta warisan, atau ada
pula kemungkinan seorang ahli waris menerima harta warisan tetapi dengan
ketentuan ia tidak akan diwajibkan untuk membayar hutang-hutang si meninggal
yang melebihi bagiannya dalam warisan tersebut[9].
Penerimaan terhadap harta warisan dapat dilakukan secara tegas atau
secara diam-diam. Artinya dengan tegas jika seseorang menerima kedudukannya
sebagai ahli waris dengan suatu akta, dan secara diam-diam[10] jika ia melakukannya dengan
suatu perbuatan. Dan waktu yang diberikan oleh Undag-undang adalah empat bulan
untuk si ahli waris berpikir mau menerima atau menolak harta peninggalan dari
si meninggal.
Kemudian berbicara mengenai Legitime Portie (hak
mutlak mewaris), menurut pasal 913 BW, yang dimaksud dengan Legitime Portie (selanjutnya disebut LP)
adalah sesuatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada
waris, garis lurus menurut ketentuan undang-undang, terhadap
mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku
pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat. Jadi,
pewaris boleh saja membuat suatu wasiat atau memberikan hibah kepada seseorang,
namun demikian, pemberian tersebut tidak boleh melanggar hak
mutlak (yang harus dimiliki) dari ahli waris berdasarkan Undang-Undang
tersebut.
Prinsip
LP menentukan bahwa ahli waris memiliki bagian mutlak dari peninggalan
yang tidak dapat dikurangi sekalipun melalui surat wasiat si pewaris. Bagian
mutlak (LP) untuk ahli waris dalam garis ke bawah, berdasarkan pasal 914 BW
akan diuraikan dalam sub bagian unsur-unsur pewarisan.
Kemudian seperti yang telah dijelaskan di atas, Legitieme Portie (bagian mutlak) ini adalah bagian
yang ditentukan berdasarkan Undang-Undang, dalam hal ini adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Artinya para ahli waris yang
berhak, yaitu ahli waris dalam garis lurus (yang disebut legitimaris)
memiliki bagian dari harta peninggalan yang tidak dapat diganggu gugat, yang
harus menjadi bagiannya dan telah ditentukan pula besar bagian tersebut
berdasarkan KUHPerdata.
Namun demikian, terhadap setiap pemberian atau penghibahan, yang
mengakibatkan berkurangnya bagian mutlak dalam pewarisan, dapat dilakukan
pengurangan hanya berdasarkan tuntutan dari ahli waris ataupun pengganti
mereka. Artinya konsep dari LP tersebut baru berlaku kalau
dituntut. Kalau para ahli waris sepakat dan tidak mengajukan
tuntutan terhadap berkurangnya bagian mutlak mereka tersebut, maka wasiat
ataupun pembagian waris yang melampaui LP tersebut tetap berlaku.
1.
Unsur-Unsur Pewarisan Menurut Sudut
Pandang BW
Berdasarkan
atau menurut sudut pandang BW, unsure-unsur pewarisan adalah sebagai berikut:
1.
Pewaris
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan kekayaan.
Orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan hukum mengenai kekayaannya,
baik untuk seluruhnya maupun untuk bagian yang sebanding, dinamakan waris atau
ahli waris. Penggantian hak oleh mereka atas kekayaan untuk seluruhnya atau
untuk bagian yang sebandingnya, membuat mereka menjadi orang yang memeroleh hak
dengan titleumum[11]. Maka unsur-unsur yang
mutlak harus dipenuhi untuk layak disebut sebagai pewaris adalah orang yang
telah meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan[12].
2.
Ahli Waris
3.
Ahli waris menurut Undang-undang
Peraturan perundang-undangan di dalam BW telah menetapkan keluarga yang
berhak menjadi ahli waris, serta porsi pembagian harta warisannya. Bagian harta
warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain diatur sebagai
berikut[13]:
(1) 1/3
dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar pernikahan menjadi ahli
waris bersama-sama dengan anak yang sah serta janda atau duda yang hidup paling
lama.
(2) 1/2
dari bagian anak yang sah, apabila anak yang lahir di luar pernikahan menjadi
ahli waris bersama-sama dengan ahli waris golongan kedua dan golongan ketiga.
(3) 3/4
dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan menjadi ahli
waris bersama-sama ahli waris golongan keempat, yaitu sanak keluarga pewaris
sampai derajat keenam.
(4) 1/2 dari bagian anak sah, apabila anak
yang lahir di luar perkawinan menjadi ahli waris bersama-sama dengan kakek atau
nenek pewaris, setelah terjadi kloving. Jadi dalam hal demikian, bagian anak
yang lahir di luar pernikahan bukan 3/4, sebab untuk ahli waris golongan
keempat ini sebelum harta warisan dibagi, terlebih dahulu dibagi dua/klovingsehingga anak yang lahir di luar nikah akan
memperoleh 1/4 dari bagian anak sah dari separuh harta warisan dari garis ayah
dan 1/4 dari bagian harta warisan anak sah dari garis ibu sehingga menjadi 1/2
bagian. Namun, bila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris sampai
derajat keenam, sedangkan yang ada hanya anak yang lahir di luar nikah maka
anak di luar nikah mendapat harta peninggalan seluruhnya atau harta itu jatuh
pada tangan anak yang lahir di luar pernikahan, sebagian ahli waris
satu-satunya. Lain halnya anak yang lahir dari perbuatan zina dan anak yang
lahir dari orang tua yang tidak boleh menikah karena keduanya sangat erat
hubungan kekerabatannya, menurut BW sama sekali tidak berhak atas harta warisan
dari orang tuanya, anak-anak tersebut hanya berhak memperoleh bagian sekadar
nafkah untuk hidup seperlunya
Lalu, Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli
waris yaitu isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah
dari pewaris. Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat
empat golongan, yaitu[14]:
1) Golongan
pertama
Golongan pertama adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi
anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan
atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan/hidup paling
lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya
suami/isteri tidak saling mewarisi[15]. Bagian golongan pertama
yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak
beserta keturunannya, janda atau duda yang ditinggalkan/ yang hidup paling
lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Oleh karena itu, bila
terdapat empat orang anak dan janda maka mereka masing-masing mendapat hak 1/5
bagian dari harta warisan[16].
Apabila salah satu seorang anak telah meninggal dunia lebih dahulu dari
pewaris tetapi mempunyai lima orang anak, yaitu cucu-cucu pewaris, maka bagian
anak yang seperlima dibagi di antara anak-anaknya yang menggantikan kedudukan
ayahnya yang telah meninggal (dalam sistem hukum waris BW disebut plaatsvervulling dan dalam system hukum waris
Islam disebut ahli waris pengganti dan dalam hukum waris adat disebut ahli
waris pasambei) sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/25
bagian. Lain halnya jika seorang ayah meninggal dan meninggalkan ahli waris
yang terdiri atas seorang anak dan tiga orang cucu, maka hak cucu terhalang
dari anak (anak menutup anaknya untuk menjadi ahli waris)[17].
2) Golongan
kedua
Golongan kedua adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang
tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka. Bagi
orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan
kurang dari 1/4 bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris
bersama-sama saudara pewaris. Oleh karena itu, bila terdapat tiga orang saudara
yang menjadi ahli waris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu
masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan, sedangkan
separuh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara yang
masing-masing memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah
meninggal dunia maka yang hidup paling lama akan memperoleh sebagai berikut[18]:
1.
a)1/2 bagian dari seluruh harta
warisan, jika ia menjadi ahli waris bersama dengan seorang saudaranya, baik
laki-laki maupun perempuan sama saja.
2.
b)1/3 bagian dari seluruh harta
warisan, bila ia menjadi ahli waris bersama-sama dengan dua orang saudara
pewaris.
3.
c)1/4 bagian dari seluruh harta
warisan, bila ia menjadi ahli waris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih
saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta
peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara pewaris, sebagai hali waris golongan
kedua yang masih ada. Namun, bila di antara saudara-saudara yang masih ada itu
ternyata hanya ada saudara seayah atau seibu saja dengan pewaris maka harta
warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu adalah diperuntukkan bagi
saudara seibu[19].
3) Golongan
ketiga
Golongan ketiga adalah ahli waris yang meliputi kakek, nenek dan leluhur
selanjutnya ke atas dari pewaris. Ahli waris golongan ketiga terdiri atas
keluarga dari garis lurus ke atas setelah ayah dan ibu, yaitu kakek dan nenek
serta terus ke atas tanpa batas dari pewaris. Hal dimaksud, menjadi ahli waris.
Oleh karena itu, bila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris
golongan pertama dan kedua. Dalam kondisi seperti ini sebelum harta warisan
dibagi terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving),
selanjutnya separuh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari garis ayah
pewaris dan bagian yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari
garis ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separuh hasil kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris
untuk bagian dari garis ayah, sedangkan untuk bagian dari garis ibu harus
diberikan kepada nenek[20].
Cara pembagiannya adalah harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk
kakek dan nenek dari garis ayah dan satu bagian untuk kakek dan nenek dari
garis ibu. Pembagian itu berdasarkan Pasal 850 dan Pasal 853 (1)[21]:
1.
a)1/2 untuk pihak ayah.
2.
b)1/2 untuk pihak ibu.
4) Golongan
keempat
Ahli waris golongan keempat meliputi anggota dalam garis ke samping dan
sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Hal dimaksud, terdiri atas
keluarga garis samping, yaitu paman dna bibi serta keturunannya, baik dari
garis pihak ayah maupun garis dari pihak ibu. Keturunan paman dan bibi sampai
derajat keenam dihitung dari si mayit (yang meninggal). Apabila bagian dari
garis ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam maka bagian
dari garis ibu jatuh kepada para ahli waris dari garis ayah. Demikian pula
sebaliknya[22].
1.
Ahli waris menurut wasiat
Menurut Pasal 874 s.d. Pasal 894, Pasal 913 s.d. Pasal 929 dan Pasal 930
s.d. Pasal 1022 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang seseorang,
dua orang atau beberapa orang untuk menjadi ahli waris berdasarkan wasiat.
Menurut Pasal 874 harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan
ahli waris menurut undang-undang, tetapi pewaris dengan surat wasiat dapat
menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang termuat dalam undang-undang. Oleh
karena itu, surat wasiat yang dilakukan oleh pewaris dapat menunjuk seseorang
atau beberapa orang menjadi ahli waris yang disebut erfstelling. Erfstellingadalah orang yang ditunjuk
melalui surat wasiat untuk menerima harta peninggalan pewaris. Orang yang
menerima wasiat itu disebut testamentaire erfgenaam.
Testamentaire erfgenaam adalah ali waris menurut wasiat.
Ahli waris dimaksud menurut undang-undang adalah ahli waris yang
memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal onder algemene title. Oleh karena itu, catatan
para ahli waris dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah tidak dapat
dikecualikan sama sekali. Menurut undang-undang, mereka dijamin dengan
adanya legitieme portie (bagian mutlak). Ahli waris yang
menerima legitieme portie disebut legitimaris. Poris bagian ahli waris karena wasiat
mengandung asas bahwa apabila pewaris mempunyai ahli waris yang merupakan
keluarga sedarah, maka bagiannya tidak boleh mengurangi bagian mutlak dari para
legitimaris.
Dari
keempat golongan ahli waris yang telah diuraikan dan dicontohkan di atas,
berlaku ketentuan bahwa golongan yang terdahulu menutup golongan yang kemudian.
Karena itu, jika ada golongan kesatu, maka golongan kedua, ketiga dan keempat
tidak menjadi ahli waris. Jika golongan kesatu tidak ada, maka golongan kedua
yang menjadi ahli waris. Selanjutnya, jika golongan kesatu dan kedua tidak ada,
maka golongan ketiga atau keempat menjadi ahli waris. Golongan kesatu adalah
anak-anak sah dan anak luar kawin yang diakui sah dengan tidak ada ahli waris
yang berhak atas harta peninggalan pewaris, maka seluruh harta peninggalan
pewaris menjadi milik negara.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak membedakan
antara ahli waris laki-laki dan perempuan, tidak juga membedakan urutan
kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada
maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas dan ke
samping sehingga tampak anggota keluarga yang lebih dekat menutup haknya
anggota keluarga yang lebih jauh. Lain halnya seseorang yang mendapat harta
warisan melalui surat wasit atau testamen, jumlahnya
tidak tentu karena orang yang memperoleh harta semacam ini tergantung dari
kehendak pemberi wasiat. Suatu surat wasiat biasanya berisi penunjukan seorang
atau beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian harta
warisan. Akan tetapi, juga seperti ahli waris menurut peraturan
perundang-undangan, ahli waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan memperoleh segala hak dan segala
kewajiban dari si pewaris.
Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak atau legitime portie ini termasuk ahli waris menurut
undang-undang, mereka adalah para ahli waris dalam garis lurus ke atas dan
garis lurus ke bawah yang memperoleh bagian tertentu dari harta peninggalan dan
bagian itu tidak dapat dihapuskan oleh si pewaris. Adapun peraturan
mengenai legitime portie oleh undang-undang dipandang
sebagai pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat wasiat menurut kehendak
hatinya sendiri. Berdasarkan hal di atas, seseorang yang akan menerima sejumlah
harta warisan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Harus ada orang yang meninggal dunia.
Hal ini didasarkan oleh Pasal 830 BW (dalam hukum kewarisan Islam disebut asas
akibat kematian).
2.
Ahli waris atau para ahli waris harus
ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi
makna ketentuan Pasal 2 BW, yaitu anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak
menghendakinya. Apabila ia meninggal pada saat dilahirkan, ia dianggap tidak
pernah ada. Dengan demikia, berarti bayi dalam kandungan juga sudah diatur
haknya oleh hukum sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk menjadi
ahli waris.
3.
Seseorang ahli waris harus cakap
serta berhak menjadi ahli waris, dalam pengertian ia tidak dinyatakan oleh
undang-undang sebagai seseorang yang tidak patut menjadi ahli waris karena
adanya kematian seseorang atau tidak dianggap sebagai tidakcakap untuk menjadi
ahli waris.
[1] Ibid.
[2] Ibid. hal 99
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Subekti, Ibid.hal.100.
[6]Dalam hal ini, dalam masing-masing golongan lalu diadakan pembagian
seolah-olah disitu telah terbuka suatu warisan sendiri. Jika dari pihak salah
satu orang tua tidak ada terdapat ahli waris sama sekali maka seluruh warisan
jatuh kepada pihak keluarga orang tua yang lain, Lihat: Subekti, Ibid .
[7] Tidak termasuk anak hasil
zinah,lihat: ketentuan BW mengenai anak hasil zinah.
[8] Ibid.
[9] Ibid.hal.103.
[10]Artinya si ahli waris tersebut mengambil atau menjual barang-barang
warisan atau menjual barang-barang warisan atau melunasi hutang-hutang si
meninggal, baca: Subekti, Ibid,hal 103
[11] A. Pitlo, Hukum Waris: Menurut
Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta: Intermasa, 1990,
hal. 1
[12]Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan
Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet. 1, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000, hal. 6
[13] Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di
Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 86
[14] Eman Suparman, Hukum Waris di Indonesia Dalam
Perspektif Islam Adat BW, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005 , hal. 30
[15] Ibid, hal 30
[16] Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di
Indonesia, op. cit., hal. 87
[17] Ibid.
[18] Ibid, hal 88.
[19] Ibid.
[20] Ibid, hal 90
[22] Ibid. hal 91
[1] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam SIstem Hukum Nasional, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group,cet.ke-2,2008,hal. 252.
[2] Ibid. hal 253.
[3] Khususnya dalam title 12 sampai dengan title 18 BW.
[4] Lihat: pasal 830 BW.
[5] Titik Triwulan Tutik, op.cit., hal 253.
[6] Ibid.
[7] Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum,
Bandung: Pioner Jaya,1987, hal 85
[8] Titik Triwulan Tutik, op.cit., hal 254.
[9] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, cet.
XXXIII, 2011, hal. 98.