Adapun
pasal-pasal yang mengatur tindak pidana perkosaan sebagaimana yang tercantum
dalam KUHP, adalah sebagai berikut :
Rumusan
tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 285 KUHP secara
lengkap berbunyi sebagai berikut :
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Unsur-unsur dari Pasal 285 ini adalah :
1. Perbuatannya : memaksa
bersetubuh
2. Caranya : dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan
3. Objek : perempuan bukan
istrinya.
Adami
Chazawi (2005 : 63), Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah
perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang tersebut
yang bertentangan dengan kehendak hatinya agar dirinya menerima kehendak orang
yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Menerima kehendaknya ini
setidaknya mengakibatkan dua hal yaitu orang yang dipaksa akan menerima apa
yang akan diperbuat terhadap dirinya atau orang yang dipaksa tersebut akan
berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang memaksa.
Menurut R. Seosilo (1994 : 209), dalam Pasal 285, memaksa disini bertujuan agar perempuan yang menjadi korban bersedia menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya yaitu bersedia disetubuhi.
Sejalan dengan R. Soesilo, M.H Tirtamidjaja (Ledeng Marpaung, 2004 :53), mengemukakan pengertian bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.
Menurut R. Seosilo (1994 : 209), dalam Pasal 285, memaksa disini bertujuan agar perempuan yang menjadi korban bersedia menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya yaitu bersedia disetubuhi.
Sejalan dengan R. Soesilo, M.H Tirtamidjaja (Ledeng Marpaung, 2004 :53), mengemukakan pengertian bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.
Adami Chazawi (2005 : 64), Cara-cara memaksa yang dirumuskan dalam pasal 285 KUHP dibatasi dengan dua cara yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam KUHP. Hanya mengenai kekerasan, ada pasal 89 KUHP yang merumuskan perluasan arti kekerasan.
Menurut R. Soesilo (1994 : 209), melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.
Lebih lanjut R. Soesilo (1994 : 65), Berdasarkan fungsinya, maka kekerasan dalam pengertian Pasal 285 KUHP dapatlah di definisikan sebagai suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Dalam keadaan tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri.
Pasal
286 KUHP
Rumusan
tentang tindak pidana perkosaan
yang di atur di dalam Pasal 286 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Menurut Adami Chazawi (2005 : 67), perempuan yang menjadi korban dalam pasal ini adalah seorang perempuan yang bukan istrinya secara objektif berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Didalam Pasal 286 KUHP ini terdapat unsur subjektif yaitu diketahuinya perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
R. Soesilo (1994 : 210), menjelaskan bahwa pingsan artinya ”tidak ingin atau tidak sadar akan dirinya” umpamanya dengan memberi minum racun kecubung atau lain-lain obat sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kedua kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.
Sejalan dengan hal tersebut, Adami Chazawi (2005 : 68) menyatakan bahwa keadaan pingsan dan tidak berdaya memiliki perbedaan makna walaupun orang pingsan pada dasarnya juga tidak berdaya. Perbedaan makna tersebut ialah, bahwa pada keadaan pingsan orang itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, dalam keadaan ini dia tidak mengetahui apa yang telah diperbuat orang lain in case disetubuhi terhadap dirinya. Seseorang yang sedang dalam keadaan tidur, atau disuntik dengan obat tidur, maka kekadaan tidur itu dapat disebut dengan keadaan pingsan.
Dalam keadaan tidak berdaya, orang itu mengerti dan sadar tentang apa yang telah diperbuat oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya perempuan itu ditodong dengan pisau, atau tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan tenaga seorang laki-laki yang memperkosanya, atau dirinya dalam keadaan sakit sehingga tidak berdaya. Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah unsur objektif yang didasari atau diketahui oleh si pembuat. Kondisi pingsan atau tidak berdaya itu bukanlah akibat dari perbuatan si pelaku melainkan suatu kondisi yang sudah terjadi. Si pelaku hanya disyaratkan untuk secara subjektif mengetahui bahwa perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Adami Chazawi, 2005 : 68-69).
Pasal 287 KUHP
Rumusan
tentang tindak pidana perkosaan
yang di atur di dalam Pasal 287 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
1. Barang siapa bersetubuh dengan
perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau patut disangkanya,
bahwa unsur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa
umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya
sembilan tahun.
2. Penuntutan hanya dilakukan
kalau ada pengaduan, kecuali kalau umur perempuan itu belum sampai 12 tahun
atau jika ada salah satu yang disebut pada pasal 291 dan 294.
Menurut
Adami Chazawi (2005 : 71), Berbeda dengan Pasal 285 KUHP dan Pasal 286 KUHP
yang mensyaratkan tidak adanya persetujuan dari perempuan korban, melalui
tindakan pemaksaan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan, maka pada pasal 287
KUHP, persetubuhan yang dilakukan adalah dengan persetujuan dari si perempuan
korban. Dengan kata lain hubungan tersebut dilakukan dengan suka sama suka.
Letak pidananya adalah pada umur perempuan korban yang belum cukup 15 tahun
atau belum masanya untuk dikawin.
Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, maka pada Pasal 1 butir 1 dinyatakan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Namun sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 001/PUU-VIII/2010 tentang batasan umur anak menjadi batasan umur anak yaitu yang berusia 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun.
Pasal 288 KUHP
Rumusan
tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 288 KUHP secara
lengkap berbunyi sebagai berikut :
1. Barang siapa bersetubuh dengan
istrinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu
belum masanya buat dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun,
kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu luka.
2. Kalau perbuatan itu
menyebabkan perempuan mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara
selama-lamanya delapan tahun.
3. Jika perbuatan itu menyebabkan
perempuan itu mendapat luka berat, dijatuhkan penjara selama-lamanya delapan
tahun.
R. Soesilo
(1994 : 212), Pada dasarnya KUHP tidak mengancam pidana kepada pelaku yang
menyetubuhi perempuan yang belum berumur 15 tahun jika perempuan itu adalah
istrinya, kecuali dari perbuatan persetubuhan tersebut menimbulkan akibat
luka-luka, luka berat atau kematian. Yang dilarang dalam pasal ini bukanlah
bersetubuh dengan istrinya yang belum masanya buat dikawinkan, melainkan
bersetubuh yang mengakibatkan istrinya yang belum masanya untuk kawin tersebut
mengalami luka-luka secara fisik, luka berat ataupun meninggal dunia.
Dan Lebih lanjut:
Barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun.
Pasal
285 KUHP :
- Barangsiapa,
- dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
- memaksa seorang wanitabersetubuh dengan
dia,
- di luar perkawinan,
“dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”
Menurut : SR.
Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM
Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.231-81.
Yang dimaksud dengan kekerasan adalah
setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang
dapat mendatangkan kerugian bagi siterancam atau mengagetkan yang dikerasi.
Mengenai perluasannya, termuat dalam pasal 89 KUHP yang berbunyi : “membuat
orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Suatu
contoh tentang kekerasan antara lain ialah menarik dan sembari meluncurkan
celana wanita, kemudian wanita tersebut dibanting ke tanah, tangannya dipegang
kuat-kuat, dagunya ditekan lalu dimasukkan kemaluan si-pria tersebut.
Yang dimaksud dengan ancaman
kekerasan adalah membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena
karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan. Ancaman ini
dapat berupa penembakan ke atas, menodongkan senjata tajam, sampai dengan suatu
tindakan yang lebih “sopan”, misalnya dengan suatu seruan dengan mengutarakan
akibat-akibat yang merugikan jika tidak dilaksanakan.
Yang dimaksud dengan memaksa adalah
suatu tindakan yang memojokkan seseorang hingga tiada pilihan yang lebih wajar
baginya selain daripada mengikuti kehendak dari sipemaksa. Dengan perkataan
lain tanpa tindakan sipemaksa itu siterpaksa tidak akan melakukan atau
melalaikan sesuatu sesuai dengan kehendak sipemaksa. Dalam hal ini tidak
diharuskan bagi siterpaksa untuk mengambil resiko yang sangat merugikannya,
misalnya lebih baik mati atau luka-luka / kesakitan daripada mengikuti kehendak
sipemaksa. Di sini harus dinilai secara kasuistis kewajarannya. Pemaksaan pada
dasarnya dibarengi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dapat juga
pemaksaan dibarengkan dengan ancaman akan membuka rahasia siterpaksa atau
menyingkirkan siterpaksa dan lain sebagainya. Pokoknya akibat dari pemaksaan
itu jika tidak dilakukan adalah sesuatu yang merugikan siterpaksa. Dalam pasal
ini yang ditentukan hanyalah pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Sukar dapat diterima adanya pemaksaan dengan pemberian upah atau hal-hal yang
akan menguntungkan siterpaksa. Dalam hal yang terakhir ini istilahnya adalah
membujuk, menggerakkan, menganjurkan dan lain sebagainya.
Menurut Drs. P.AF.
Lamintang, SH (Delik-Delik Khusus : Tindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar
Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan), Mandar Maju / 1990 /
Bandung, hal.110-111.
Undang-undang
tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan “kekerasan”,
bahkan didalam yurisprudensipun tidak dijumpai
adanya sesuatu putusan kasasi yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk
memberikan arti yang setepat-tepatnya bagi kata “kekerasan” tersebutt.
Namun menurut
Simons, yang dimaksudkan dengan kekerasan atau geweld itu
ialah ‘elke uitoefening van lichamelijke kracht van niet al te geringe
betekenis’, yang artinya : “setiap penggunaan tenaga badan yang tidak terlalu
tidak berarti’ atau ‘het aanwenden van lichamelijk kracht van niet al te
geringe intensiteit’, yang artinya ‘setiap pemakaian tenaga badan yang
tidak terlalu ringan’.
Apa yang
dimaksudkan dengan “ancaman kekerasan” itupun, undang-undang ternyata telah
tidak memberikan penjelasannya. Menurut arrest Hoge Raad tanggal 5 Januari 1914
(NJ.1915 hal.1116), mengenai “ancaman kekerasan” tersebut disyaratkan sebagai
berikut :
a) bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu
keadaan yang demikian rupa, hingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang
diancam, bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan
pribadinya ;
b) bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan
untuk menimbulkan kesan seperti itu.
Bahwa dari arrest HR
tersebut di atas ternyata belum juga diperoleh penjelasan tentang apa yang
dimaksud dengan ancaman kekerasan, karena arrest tersebut hanya menjelaskan
tentang cara bagaimana ancaman kekerasan itu diucapkan. Namun menurut hemat
saya, “ancaman kekerasan” itu harus diartikan sebagai suatu “ancaman” yang
apabila yang diancam tidak bersedia memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan
hubungan kelamin dengan pelaku, maka ia akan melakukan sesuatu yang dapat
berakibat merugikan bagi kebebasan, kesehatan atau keselamatan nyawa orang yang
diancam.
“memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia”
HR 5 Nopember 1946
Kejahatan ini telah terlaksana, seketika pelaku dengan
paksaan telah menguasai keadaan, atau apabila ia dengan berbuat secara
tiba-tiba dapat menghindari perlawanan.
HR 29 Juni 1908
Perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tidak
diperlukan.
HR 26 Januari 1931
Juga suatu keterangan saksi
yang memberi gambaran mengenai kelakuan terdakwa mengenai bidang seksuil, dapat
dipergunakan sebagai sarana bukti.
SR. Sianturi, SH (Tindak
Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2,
1989, Hal.231.
Yang dimaksud dengan bersetubuh untuk
penerapan pasal ini ialah memasukkan kemaluan si pria ke kemaluan wanita
sedemikian rupa yang normaliter atau yang dapat mengakibatkan kehamilan. Jika
kemaluan si pria hanya “sekedar nempel” di atas kemaluan si wanita, tidak dapat
dipandang sebagai persetubuhan, melainkan percabulan dalam arti sempit, yang
untuk itu diterapkan pasal 289. Persetubuhan tersebut harus dilakukan oleh
orang yang memaksa tersebut. Jika ada orang lain (pria atau wanita) yang turut
memaksa, maka mereka ini adalah peserta petindak (mededader).
R.Soesilo (KUHP Serta
Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal), Politea Bogor, Tahun 1996.
Hal.211-209.
Seorang perempuan yang
dipaksa demikian rupa, sehingga akhirnya tak dapat melawan lagi dan
terpaksa maumelakukan persetubuhan itu, masuk pula dalam pasal ini.
Yang dimaksud dengan
“persetubuhan” ialah peraduan antara anggauta kemaluan laki-laki dan perempuan
yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggauta laki-laki harus
masuk kedalam anggauta perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan
Arrest Hoge Raad 5 Februari 1912 (W.9292).
HR 5 Februari 1912
Ketentuan ini tidak
mensyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan dilakukan di luar perkawinan.
SR. Sianturi, SH (Tindak
Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2,
1989, Hal.231.
Yang dimaksud dengan di
luar perkawinan, harus diperhatikan ketentuan UU No.1/1974 tentang
Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya (PP No.9/1973). Jadi “kawin gantung”
yang dikenal sebagai salah satu bentuk perkawinan adat, tidak termasuk
pengertian di dalam perkawinan. Dengan perkataan lain, dalam rangka penerapan
pasal ini tetap dipandang sebagai di luar perkawinan.
Pasal 289 KUHP
Barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan
yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9
(sembilan) tahun.
Pasal 289 KUHP :
- Barangsiapa,
- dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan,
- memaksa seorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
- “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”
SR. Sianturi, SH (Tindak
Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2,
1989, Hal.231-81.
Yang dimaksud dengan kekerasan adalah
setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang
dapat mendatangkan kerugian bagi siterancam atau mengagetkan yang dikerasi.
Mengenai perluasannya, termuat dalam pasal 89 KUHP yang berbunyi : “membuat
orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Suatu
contoh tentang kekerasan antara lain ialah menarik dan sembari meluncurkan
celana wanita, kemudian wanita tersebut dibanting ke tanah, tangannya dipegang
kuat-kuat, dagunya ditekan lalu dimasukkan kemaluan si-pria tersebut.
Yang dimaksud dengan ancaman
kekerasan adalah membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena
karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan. Ancaman ini
dapat berupa penembakan ke atas, menodongkan senjata tajam, sampai dengan suatu
tindakan yang lebih “sopan”, misalnya dengan suatu seruan dengan mengutarakan
akibat-akibat yang merugikan jika tidak dilaksanakan.
Yang dimaksud dengan memaksa adalah
suatu tindakan yang memojokkan seseorang hingga tiada pilihan yang lebih wajar
baginya selain daripada mengikuti kehendak dari sipemaksa. Dengan perkataan
lain tanpa tindakan sipemaksa itu siterpaksa tidak akan melakukan atau
melalaikan sesuatu sesuai dengan kehendak sipemaksa. Dalam hal ini tidak
diharuskan bagi siterpaksa untuk mengambil resiko yang sangat merugikannya,
misalnya lebih baik mati atau luka-luka / kesakitan daripada mengikuti kehendak
sipemaksa. Di sini harus dinilai secara kasuistis kewajarannya. Pemaksaan pada
dasarnya dibarengi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dapat juga
pemaksaan dibarengkan dengan ancaman akan membuka rahasia siterpaksa atau
menyingkirkan siterpaksa dan lain sebagainya. Pokoknya akibat dari pemaksaan
itu jika tidak dilakukan adalah sesuatu yang merugikan siterpaksa. Dalam pasal
ini yang ditentukan hanyalah pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Sukar dapat diterima adanya pemaksaan dengan pemberian upah atau hal-hal yang
akan menguntungkan siterpaksa. Dalam hal yang terakhir ini istilahnya adalah
membujuk, menggerakkan, menganjurkan dan lain sebagainya.
“memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul”
HR 5 Nopember 1946
Kejahatan ini telah
terlaksana, seketika pelaku dengan paksaan telah menguasai keadaan, atau
apabila ia dengan berbuat secara tiba-tiba dapat menghindari perlawanan.
HR 29 Juni 1908
Perbuatan yang dilakukan
secara berulang-ulang tidak diperlukan.
HR 26 Januari 1931
Juga suatu keterangan saksi
yang memberi gambaran mengenai kelakuan terdakwa mengenai bidang seksuil, dapat
dipergunakan sebagai sarana bukti.
SR. Sianturi, SH (Tindak
Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2,
1989, Hal.545.
Apa yang dimaksud
dengan percabulan, didalam KUHP tidak dirumuskan. Untuk penjelasan
pasal 289 disebutkan bahwa dalam pengertian percabulan pada umumnya termasuk
juga persetubuhan. Kiranya hal ini dihubungkan dengan kesulitan pembuktian
untuk persetubuhan, dimana terdapat perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat
bahwa masukknya alat kelamin pria itu sampai keluar spermanya pada dasarnya
(normaliter) dapat membuahi/menghamili wanita tersebut. Sementara pendapat lain
ialah bahwa pokoknya alat kelamin itu dimasukkan dan apakah sperma itu sampai
ke sasarannya atau kemudioan dibuang oleh pria itu tidak menjadi ukuran. Tetapi
bagaimanapun juga, perbuatan mencari kenikmatan dengan menggunakan/melalui alat
kelamin oleh dua orang (atau lebih) adalah perbuatan percabulan.
Karenanya, jika sulit membuktikan telah terjadi suatu persetubuhan sebaiknya
“disubsidairkan” cara pendakwaannya. Dalam pengertian percabulan ini termasuk
jua perbuatan-perbuatan lainnya dimana hanya sefihak yang menggunaka/digunakan
alat kelaminnya, dan bahkan juga memegang-megang tempat tertentu yang
menimbulkan nafsu birahi.
Percabulan dapat terjadi
antara seorang pria dan seorang wanita, antara sesama pria atau antara sesama
wanita (lesbian). Karena itu pelaku dari delik ini bisa seseorang dan bisa juga
seseorang wanita.
R.Soesilo (KUHP Serta
Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal), Politea Bogor, Tahun 1996.
Hal.212.
Yang dimaksudkan dengan
“perbuatan cabul” ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan)
atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin,
misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada,
dsb-nya.
Yang dilarang dalam pasal
ini bukan saja memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi juga
memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul.
Semoga Bermanfaat.