Friday, March 12, 2021

POKOK-POKOK HUKUM PERDATA DAN UNSUR-UNSUR PEWARISAN MENURUT KUH PERDATA (BW)

Pokok-Pokok Materi Hukum Perdata (Bagian 1)
Berikut saya akan bagikan materi kuliah hukum perdata, yang saya ringkas materinya dari buku karangan 
Prof. Subketi. S.H. yaitu buku "Pokok-Pokok Materi Hukum Perdata.
I. KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
 Perkataan "Hukum Perdata" dalam arti yang luas meliputi semua hukum "privat materiil", yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Perkataan "per­data" juga lazim dipakai sebagai lawan dari "pidana".
Ada juga orang memakai perkataan "hukum sipil" untuk hukum privat materiil itu, tetapi karena perkataan "sipil" itu juga lazim dipakai sebagai lawan dari "militer," maka lebih baik kita memakai istilah "hukum perdata" untuk segenap peraturan hu­kum privat materiil.
Perkataan "Hukum Perdata", adakalanya dipakai dalam arti yang sempit, sebagai lawan "hukum dagang," seperti dalam pasal 102 Undang-undang Dasar Sementara, yang menitahkan pembuku­an (kodifikasi) hukum di negara kita ini terhadap Hukum Per­data dan Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana, dan susunan serta kekuasaan pengadilan.
II. SISTEMATIK HUKUM PERDATA

Adanya Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek vanKoophandel, disingkat W.v.K.) di samping Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, disingkat B.W.) sekarang dianggap tidak pada tempatnya, karena Hukum Dagang sebenarnya tidaklah lain dari Hukum Perdata. Perkataan "dagang" bukanlah suatu pengertian hukum, melainkan suatu pengertian perekonomian. Di berbagai negeri yang modern, misalnya di Amerika Serikat dan di Swis juga, tidak terdapat suatu Kitab Undang-undang Hukum Dagang tersendiri di samping pembukuan Hukum Perdata seumumnya. Oleh karena itu, sekarang terdapat suatu aliran untuk meleburkan Kitab Undang-undang Hukum Dagang itu ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Memang, adanya pemisahan Hukum Dagang dari Hukum Per­data dalam perundang-undangan kita sekarang ini, hanya terbawa oleh sejarah saja, yaitu karena di dalam hukum Rumawi — yang merupakan sumber terpenting dari Hukum Perdata di Eropah Barat — belumlah terkenal Hukum Dagang sebagaimana yang ter-
letak dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang kita sekarang, sebab memang perdagangan internasional juga dapat dikatakan baru mulai berkembang dalam Abad Pertengahan.

Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu :
1.  Hukum tentang diri seseorang,
2.  Hukum Kekeluargaan,
3.  Hukum Kekayaan dan
4.  Hukum warisan.

Hukum tentang diri seseorang memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peratur­an perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.

Hukum Keluarga, mengatur perihal hubungan-hubungan hu­kum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawin­an beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
Hukum Kekayaan, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan ten­tang kekayaan seorang, yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak dan kewajiban orang itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewa­jiban-kewajiban yang demikian itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak kekayaan, terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang dan karenanya dinamakan hak mutlak dan hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu fihak yang tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan. Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat, misalnya hak seorang pengarang atas karang­annya, hak seorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
 Hukum Waris, mengatur hal ikhwal tentang benda atau ke­kayaan seorang jikalau ia meninggal. Juga dapat dikatakan, Hukum Waris itu mengatur akibat-akibat hubungankeluarga terhadap harta peninggalan seseorang. Berhubung dengan sifatnya yang setengah-setengah ini, Hukum Waris lazimnya ditempatkan tersen­diri.

 Bagaimanakah sistematik yang dipakai oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata?
B.W. itu terdiri atas empat buku, yaitu :

Buku I, yang berkepala "Perihal Orang", memuat hukum ten­tang diri seseorang dan Hukum Keluarga;
        Buku II yang berkepala "Perihal Benda", memuat hukum perbendaan serta Hukum Waris;
Buku III yang berkepala "Perihal Perikatan", memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang tertentu;
Buku IV yang berkepala "Perihal Pembuktian dan Lewat waktu(Daluwarsa), memuat perihal alat-alat pembuktian dan aki­bat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
 Sebagaimana kita lihat, Hukum Keluarga di dalam B.W. itu dimasukkan dalam bagian hukum tentang diri seseorang, karena hubungan-hubungan keluarga memang berpengaruh besar ter­hadap kecakapan seseorang untuk memiliki hak-hak serta kecakap­annya untuk mempergunakan hak-haknya itu. Hukum Waris, dimasukkan dalam bagian tentang hukum perbendaan, karena dianggap Hukum Waris itu mengatur cara-cara untuk memperoleh hak atas benda-benda, yaitu benda-benda yang ditinggalkan se­seorang. Perihal pembuktian dan lewat waktu (daluwarsa) se­benarnya adalah soal hukum acara, sehingga kurang tepat dimasuk­kan dalam B.W. yang pada asasnya mengatur hukum perdata ma­teriil. Tetapi pernah ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi dalam bagian materiil dan bagian formil. Soal-soal yang mengenai alat-alat pembuktian terhitung bagian yang ter­masuk hukum acara materiil yang dapat diatur juga dalam suatu undang-undang tentang hukum perdata materiil.

III. PERIHAL ORANG DALAM HUKUM

Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum. Sekarang ini boleh dikatakan, bahwa tiap manusia itu pembawa hak, tetapi belum begitu lama berselang masih ada budak belian yang menurut hukum tidak lebih dari suatu barang saja. Peradaban kita sekarang sudah sedemi­kian majunya, hingga suatu perikatan pekerjaan yang dapat di­paksakan tidak diperbolehkan lagi di dalam hukum. Seorang yang tidak suka melakukan suatu pekerjaan yang ia harus laku­kan menurut perjanjian, tidak dapat secara langsung dipaksa un­tuk melakukan pekerjaan itu. Paling banyak ia hanya dapat di­hukum untuk membayar kerugian yang berupa uang yang untuk itu harta bendanya dapat disita. Karena memang sudah menjadi suatu asas dalam Hukum Perdata, bahwa semua kekayaan sese­orang menjadi tanggungan untuk segala kewajibannya. Juga yang dinamakan "kematian perdata", yaitu suatu hukuman yang me­nyatakan bahwa seseorang tidak dapat memiliki sesuatu hak lagi — tidak terdapat dalam hukum sekarang ini (pasal B.W.). Hanya-
lah mungkin, seseorang — sebagai hukuman — dicabut sementara hak-haknya, misalnya kekuasaannya sebagai orang tua terhadap anak-anaknya, kekuasaannya sebagai wali, haknya untuk bekerja pada angkatan bersenjata dan sebagainya.
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal. Malahan, jika perlu untuk kepentingannya, dapat dihitung surut hingga mulai orang itu berada di dalam kandungan, asal saja kemudian ia di­lahirkan hidup, hal mana penting sekali berhubung dengan waris-an-warisan yang terbuka pada suatu waktu, di mana orang itu ma­sih berada di dalam kandungan.
Meskipun menurut hukum sekarang ini, tiap orang tiada yang terkecuali dapat memiliki hak-hak, akan tetapi di dalam hukum tidak semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam melak­sanakan hak-haknya itu. Berbagai golongan orang, oleh undang-undang telah dinyatakan "tidak cakap," atau "kurang cakap" un­tuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Yang di­maksudkan di sini, ialah orang-orang yang belum dewasa atau masih kurang umur dan orang-orang yang telah ditaruh di bawah pengawasan (curatele), yang selalu harus diwakili oleh orang tua­nya, walinya atau kuratornya.
IV. HUKUM PERKAWINAN
1. Arti dan syarat-syarat untuk perkawinan
Perkawinan, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demi­kian pasal 26 Burgerlijk Wetboek.
Apakah artinya itu? Pasal tersebut hendak menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Suatu asas lagi dari B.W., ialah polygami dilarang. Larangan ini termasuk ketertiban umum, artinya bila dilanggar selalu diancam dengan pembatalan perkawin­an yang dilangsungkan itu.
Syarat-syarat untuk dapat sahnya perkawinan, ialah :
a.              kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetap-
kan dalam undang-undang, yaitu untuk seorang lelaki
18 tahun dan untuk seorang perempuan 15 tahun;
b.              harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak;
c.              untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin
harus lewat 
300 hari dahulu sesudahnya putusan per-
kawinan pertama;
d.              tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua
pihak;
e.              untuk pihak yang masih di bawah umur, harus ada izin
dari orang tua atau walinya. 
*)

Tentang hal larangan untk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meski­pun saudara tiri; seorang tidak diperbolehkan kawin dengan ipar­nya; seorang paman dilarang kawin dengan keponakannya dan sebagainya.
2. Hak dan kewajiban suami-isteri
 Suami-isteri harus setia satu sama lain, bantu-membantu, berdiam bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak.

Perkawinan oleh undang-undang dipandang sebagai suatu "perkumpulan" (echtvereniging). Suami ditetapkan menjadi ke­pala atau pengurusnya. Suami mengurus kekayaan mereka ber­sama di samping berhak juga mengurus kekayaan si isteri, me­nentukan tempat kediaman bersama, melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya memberikan bantuan (bijstand) kepada si isteri dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Yang belakangan ini, berhubungan dengan ketentuan dalam Hukum Perdata Eropah, bahwa seorang perempuan yang telah kawin tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum. Kekuasaan seorang suami di dalam perkawinan itu dinamakan "maritale macht" (dari bahasa Perancis mari suami).
3. Percampuran kekayaan
Sejak mulai perkawinan terjadi, suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri (algehele gemeenschap van goederen), jikalau tidak diadakan perjanjian apa-apa Keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan. *) Jikalau orang ingin menyimpang dari peraturan umum itu, ia harus meletakkan keinginannya itu dalam suatu "perjanjian perkawinan"(huwelijksvoorwaarden). Perjan­jian yang demikian ini, harus diadakan sebelumnya pernikahan 
4. Perjanjian perkawinan

Jika seorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan, misalnya suatu warisan, maka adakalanya diadakan perjanjian perkawinan(huwelijksvoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini menurut Undang-undang harus diadakan sebelumnya per­nikahan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris.
Mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut, sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, ke­pada kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas-luasnya, kecuali satu dua larangan yang termuat dalam undang-undang dan asal saja mereka itu tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.

Suatu perjanjian perkawinan misalnya, hanya dapat me­nyingkirkan suatu benda saja (misalnya satu rumah) dari percam­puran kekayaan, tetapi dapat juga menyingkirkan segala percam­puran. Undang-undang hanya menyebutkan dua contoh perjanji­an yang banyak terpakai, yaitu perjanjian "percampuran laba rugi" ("gemeenschap van winst en verlies") dan perjanjian "percampur­an penghasilan" ('gemeenschap van vruchten en inkomsten"").
Pada umumnya seorang yang masih di bawah umum, yaitu belum mencapai usia 21 tahun, tidak diperbolehkan bertindak sen-
diri dan harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya. Tetapi un­tuk membuat suatu perjanjian perkawinan, oleh undang-undang di­adakan peraturan pengecualian. Seorang yang belum dewasa di sini, diperbolehkan bertindak sendiri tetapi ia harus "dibantu" ("bijgestaan") oleh orang tua atau orang-orang yang diharuskan memberi izin kepadanya untuk kawin. Apabila pada waktu mem­buat perjanjian itu salah satu pihak ternyata belum mencapai usia yang diharuskan oleh undang-undang, maka perjanjian itu tidak sah, meskipun mungkin perkawinannya sendiri — yang baru kemudian dilangsungkan — sah. Selanjutnya diperingatkan, apabila di dalam waktu antara pembuatan perjanjian dan penutupan per­nikahan orang tua atau wali yang membantu terjadinya perjanjian itu meninggal, maka perjanjian itu batal dan pembuatan perjan­jian itu harus diulangi di depan notaris, sebab orang yang nanti harus memberi izin untuk melangsungkan perkawinan sudah berganti. Karena itu sebaiknya orang membuat perjanjian perka­winan, apabila hari pernikahan sudah dekat.

5. Perceraian
Perkawinan hapus, jikalau satu pihak meninggal. Selanjut­nya ia hapus juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan per­ceraian.


Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan per­mufakatan saja antara suami dan isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan-alasan ini ada empat macam :
a)                zina (overspel);
b)                ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating);
c)                penghukuman yang melebihi tahun karena diper­salahkan melakukan suatu kejahatan dan
d)                 penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (pasal 209B.W.).

Undang-undang Perkawinan menambahkan dua alasan, u. salah satu pihak mendapat cacad badan/penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; I). antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan/pertengkar­an dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (pasal 19 PP 9/1975).

Tuntutan untuk mendapat perceraian diajukan kepada ha­kim secara gugat biasa dalam perkara perdata, tetapi harus di­dahului dengan meminta izin pada Ketua Pengadilan Negeri un­tuk menggugat. Sebelum izin ini diberikan, hakim harus lebih dahulu mengadakan percobaan untuk mendamaikan kedua belah pihak (verzoeningscomparitie).

Selama perkara bergantung, Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan ketetapan-ketetapan sementara, misalnya dengan memberikan izin pada si isteri untuk bertempat tinggal sendiri terpisah dari suaminya, memerintahkan supaya si suami memberi­kan nafkah tiap-tiap kali pada isterinya serta anak-anaknya yang turut pada isterinya itu dan sebagainya. Juga hakim dapat meme­rintahkan supaya kekayaan suami atau kekayaan bersama disita agar jangan dihabiskan oleh suami selama perkara masih bergan­tung.
       Larangan untuk bercerai atas permufakatan, sekarang ini su­dah lazim diselundupi dengan cara mendakwa si suami telah ber­buat zina. Pendakwaan itu lalu diakui oleh si suami. Dengan begitu alasan sah untuk memecahkan perkawinan telah dapat "dibukti­kan" di muka hakim.
Gemeenschap hapus dengan perceraian dan selanjutnya da­pat diadakan pembagian kekayaan gemeenschap itu (scheiding en deling).Apabila ada perjanjian perkawinan, pembagian ini harus dilakukan menurut perjanjian tersebut.
6. Pemisahan kekayaan
 Untuk melindungi si isteri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si isteri, undang-undang memberikan pada si isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan de­ngan tetap berlangsungnya perkawinan.
Pemisahan kekayaan itu dapat diminta oleh si isteri :
a)       apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik, mengorbankan kekayaan bersama dan mem­bahayakan keselamatan keluarga;
b)       apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk ter­hadap kekayaan si isteri, hingga ada kekhawatiran ke­kayaan ini akan menjadi habis;
c)       apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri, hingga si isteri akan kehilangan tanggungan yang oleh Undang-undang diberikan padanya atas kekayaan tersebut ka­rena pengurusan yang dilakukan oleh si suami terhadap kekayaan isterinya.
Gugatan untuk mendapatkan pemisahan kekayaan, harus diumumkan dahulu sebelum diperiksa dan diputuskan oleh hakim, sedangkan putusan hakim ini pun harus diumumkan. Ini untuk menjaga kepentingan-kepentingan pihak ketiga, terutama orang-orang yang mempunyai piutang terhadap si suami. Mereka itu dapat mengajukan perlawanan terhadap diadakannya pemisahan kekayaan.

Selain membawa pemisahan kekayaan, putusan hakim ber­akibat pula, si isteri memperoleh kembali haknya untuk meng­urus kekayaannya sendiri dan berhak mempergunakan segala penghasilannya sendiri sesukanya. Akan tetapi, karena perkawinan belum diputuskan, ia masih tetap tidak cakap menurut undang-undang untuk bertindak sendiri dalam hukum.

UNSUR-UNSUR HUKUM PEWARISAN INDONESIA DITINJAU DARI KU HUKUM PERDATA

1.      Pluralisme Hukum Waris di Indonesia
Di Indonesia sebagaimana Hukum Perkawinan, tentang atau mengenai sistem hukum waris belum dapat disimpulkan secara jelas hukum waris mana yang digunakan (patokan tunggal), karena ada macam-macam sistem hukum waris dan sifat pluralisme suku bangsa dan Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI)[1].
Dan dalam praktiknya terdapat tiga sistem hukum yang mengatur tentang hukum waris. Hal ini sesuai dengan penggolongan WNI yang ditentukan oleh Pasal 163 I.S. Ketiga sistem hukum tersebut yaitu: 1). Hukum Waris Perdata Belanda (selanjutnya disebut BW), 2). Hukum Waris Islam, 3). Hukum Waris Adat[2].
Hukum Waris Belanda atau BW diperuntukkan bagi keturunan Tionghoa dan Eropa sebagaimana disebutkan dalam Buku II BW perihal warisan[3]. Selain itu, BW juga berlaku bagi para WNI yang menundukkan diri pada BW.
Hukum waris menurut BW pada intinya[4] menyebutkan bahwa hukum waris  adalah hukum yang mengatur kedudulan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain. Dan sifat dari hukum waris BW secara umum meliputi sistem individual, bilateral dan perderajatan[5].
Sementara Hukum Waris Islam berlaku bagi orang Indonesia (baik asli maupun keturunan) yang beragama Islam[6]. Ketentuan kewarisan tersebut selanjutnya dapat dilihat secara lengkap dalam Buku II tentang Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991.
Dan secara umum sifat Hukum Waris Islam menganut sistem bilateral-patrilineal yang memosisikan pria atau laki-laki pada porsi bagian lebih dari wanita. Ketentuan ini merupakan konsekuensi logis bahwa prialah yang memunyai kewajiban untuk memberi nafkah keluarga[7].
Sementara Hukum Waris Adat diperuntukkan bagi WNI asli, yaitu suku-suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sifat dan sistem Hukum Waris Adat Indonesia cukup beragam karena dipengaruhi oleh sifat etnis yang ada.
Dan dengan variasi sistem hukum waris seperti tersebut di atas, maka kepada WNI diberikan hak pilih dalam penundukkannya atau kepada sistem hukum waris mana dia menyelesaikan sengketa warisnya[8].
1.      Prinsip Pewarisan Menurut KUH Perdata ( BW)
Di dalam BW tidak ditemukan pengertian tentang hukum waris, tetapi yang ada hanya berbagai konsepsi tentang pewarisan, artinya BW hanya mengatur mengenai orang yang berhak dan tidak berhak menerima warisan dan peraturan lainnya.
Masih menurut BW, tidak semua ahli waris secara otomatis mewarisi segala sesuatu yang dimiliki dan ditinggalkan oleh si pewaris. Subekti dalam salah satu bukunya menuliskan bahwa hak mewarisi sudah diatur berdasarkan undang-undang[9]. Artinya anggota-anggota dari keluarga si meninggal dibagi
dalam berbagai golongan. Jika terdapat orang-orang dari golongan pertama maka mereka itulah yang berhak mewarisi semua harta peninggalan. Namun, jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama,barulah orang-orang yang termasuk golongan kedua dapat menjadi ahli waris yang mewarisi harta peninggalan si meninggal tersebut[1].
Juga menurut Subekti, hak mewarisi oleh suami atau istri dari si meninggal, baru ada sejak tahun 1935 di masukkan dalam Undang-undang. Akibatnya adalah apabila tidak terdapat anak sama sekali, suami atau istri tersebut mengecualikan anggota keluarga yang lain[2].
Dan dalam hal si meninggal memunyai anak dari perkawinan pertama dan seorang istri kedua, maka istri kedua tersebut tidak boleh mendapat bagian yang melebihi bagian seorang anak (dari hasil perkawinan pertama) dan paling banyak mendapat seperempat dari harta peninggalan tersebut[3].
Dalam golongan kedua dimasukkan orang tua dan saudara-saudara dari si meninggal. Pada asasnya orang tua dipersamakan dengan saudara, namun untuk orang tua diadakan peraturan baru yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian yang tidak kurang dari seperempat harta peninggalan[4].
Jika tidak terdapat sama sekali anggota keluarga dari golongan pertama dan kedua, harta peninggalan tersebut dipecah menjadi dua bagian yang sama[5]. Satu untuk para anggota dari pihak Ayah dan yang lainnya untuk para anggota dari pihak keluarga Ibu dari si meninggal[6].
Untuk seorang anak diluar perkawinan[7], bagian warisannya tergantung dari berapa banyak anggota keluarga yang sah. Jadi jika ada ahli waris dari golongan pertama, maka bagian anak di luar perkawinan adalah sepertiga dari bagian yang akan diperolehnya seandainya anak tersebut dilahirkan sebagai anak yang sah[8]. Namun, apabila ia menjadi ahli waris bersama sama dengan golongan kedua maka bagian anak tersebut adalah separuh atau seperdua dari bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan sebagai anak yang sah.
Selain itu, seorang ahli waris diperbolehkan memilih apakah akan menerima atau menolak harta warisan, atau ada pula kemungkinan seorang ahli waris menerima harta warisan tetapi dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan untuk membayar hutang-hutang si meninggal yang melebihi bagiannya dalam warisan tersebut[9].
Penerimaan terhadap harta warisan dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-diam. Artinya dengan tegas jika seseorang menerima kedudukannya sebagai ahli waris dengan suatu akta, dan secara diam-diam[10] jika ia melakukannya dengan suatu perbuatan. Dan waktu yang diberikan oleh Undag-undang adalah empat bulan untuk si ahli waris berpikir mau menerima atau menolak harta peninggalan dari si meninggal.
Kemudian berbicara mengenai Legitime Portie (hak mutlak mewaris), menurut pasal 913 BW, yang dimaksud dengan Legitime Portie (selanjutnya disebut LP) adalah sesuatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris, garis lurus menurut ketentuan undang-undang, terhadap mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat. Jadi, pewaris boleh saja membuat suatu wasiat atau memberikan hibah kepada seseorang, namun demikian, pemberian tersebut tidak boleh melanggar hak mutlak (yang harus dimiliki) dari ahli waris berdasarkan Undang-Undang tersebut.
Prinsip LP  menentukan bahwa ahli waris memiliki bagian mutlak dari peninggalan yang tidak dapat dikurangi sekalipun melalui surat wasiat si pewaris. Bagian mutlak (LP) untuk ahli waris dalam garis ke bawah, berdasarkan pasal 914 BW akan diuraikan dalam sub bagian unsur-unsur pewarisan.
Kemudian seperti yang telah dijelaskan di atas, Legitieme Portie (bagian mutlak) ini adalah bagian yang ditentukan berdasarkan Undang-Undang, dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).  Artinya  para ahli waris yang berhak, yaitu ahli waris dalam garis lurus (yang disebut legitimaris)  memiliki bagian dari harta peninggalan yang tidak dapat diganggu gugat, yang harus menjadi bagiannya dan telah ditentukan pula besar bagian tersebut berdasarkan KUHPerdata.
Namun demikian, terhadap setiap pemberian atau penghibahan, yang mengakibatkan berkurangnya bagian mutlak dalam pewarisan, dapat dilakukan pengurangan hanya berdasarkan tuntutan dari ahli waris ataupun pengganti mereka. Artinya konsep dari LP tersebut baru berlaku kalau dituntut. Kalau para ahli waris sepakat dan tidak mengajukan tuntutan terhadap berkurangnya bagian mutlak mereka tersebut, maka wasiat ataupun pembagian waris yang melampaui LP tersebut tetap berlaku.
1.      Unsur-Unsur Pewarisan Menurut Sudut Pandang BW
Berdasarkan atau menurut sudut pandang BW, unsure-unsur pewarisan adalah sebagai berikut:
1.      Pewaris
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan kekayaan. Orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan hukum mengenai kekayaannya, baik untuk seluruhnya maupun untuk bagian yang sebanding, dinamakan waris atau ahli waris. Penggantian hak oleh mereka atas kekayaan untuk seluruhnya atau untuk bagian yang sebandingnya, membuat mereka menjadi orang yang memeroleh hak dengan titleumum[11]. Maka unsur-unsur yang mutlak harus dipenuhi untuk layak disebut sebagai pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan[12].
2.      Ahli Waris
3.      Ahli waris menurut Undang-undang
Peraturan perundang-undangan di dalam BW telah menetapkan keluarga yang berhak menjadi ahli waris, serta porsi pembagian harta warisannya. Bagian harta warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain diatur sebagai berikut[13]:
(1)     1/3 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar pernikahan menjadi ahli waris bersama-sama dengan anak yang sah serta janda atau duda yang hidup paling lama.
(2)     1/2 dari bagian anak yang sah, apabila anak yang lahir di luar pernikahan menjadi ahli waris bersama-sama dengan ahli waris golongan kedua dan golongan ketiga.
(3)    3/4 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan menjadi ahli waris bersama-sama ahli waris golongan keempat, yaitu sanak keluarga pewaris sampai derajat keenam.
(4)     1/2 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan menjadi ahli waris bersama-sama dengan kakek atau nenek pewaris, setelah terjadi kloving. Jadi dalam hal demikian, bagian anak yang lahir di luar pernikahan bukan 3/4, sebab untuk ahli waris golongan keempat ini sebelum harta warisan dibagi, terlebih dahulu dibagi dua/klovingsehingga anak yang lahir di luar nikah akan memperoleh 1/4 dari bagian anak sah dari separuh harta warisan dari garis ayah dan 1/4 dari bagian harta warisan anak sah dari garis ibu sehingga menjadi 1/2 bagian. Namun, bila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris sampai derajat keenam, sedangkan yang ada hanya anak yang lahir di luar nikah maka anak di luar nikah mendapat harta peninggalan seluruhnya atau harta itu jatuh pada tangan anak yang lahir di luar pernikahan, sebagian ahli waris satu-satunya. Lain halnya anak yang lahir dari perbuatan zina dan anak yang lahir dari orang tua yang tidak boleh menikah karena keduanya sangat erat hubungan kekerabatannya, menurut BW sama sekali tidak berhak atas harta warisan dari orang tuanya, anak-anak tersebut hanya berhak memperoleh bagian sekadar nafkah untuk hidup seperlunya
Lalu, Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris yaitu isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu[14]:
1)      Golongan pertama
Golongan pertama adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan/hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami/isteri tidak saling mewarisi[15]. Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta keturunannya, janda atau duda yang ditinggalkan/ yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Oleh karena itu, bila terdapat empat orang anak dan janda maka mereka masing-masing mendapat hak 1/5 bagian dari harta warisan[16].
Apabila salah satu seorang anak telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris tetapi mempunyai lima orang anak, yaitu cucu-cucu pewaris, maka bagian anak yang seperlima dibagi di antara anak-anaknya yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal (dalam sistem hukum waris BW disebut plaatsvervulling dan dalam system hukum waris Islam disebut ahli waris pengganti dan dalam hukum waris adat disebut ahli waris pasambei) sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/25 bagian. Lain halnya jika seorang ayah meninggal dan meninggalkan ahli waris yang terdiri atas seorang anak dan tiga orang cucu, maka hak cucu terhalang dari anak (anak menutup anaknya untuk menjadi ahli waris)[17].
2)      Golongan kedua
Golongan kedua adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari 1/4 bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris. Oleh karena itu, bila terdapat tiga orang saudara yang menjadi ahli waris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan, sedangkan separuh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara yang masing-masing memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia maka yang hidup paling lama akan memperoleh sebagai berikut[18]:
1.      a)1/2 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia menjadi ahli waris bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan sama saja.
2.      b)1/3 bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris.
3.      c)1/4 bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara pewaris, sebagai hali waris golongan kedua yang masih ada. Namun, bila di antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada saudara seayah atau seibu saja dengan pewaris maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu adalah diperuntukkan bagi saudara seibu[19].
3)      Golongan ketiga
Golongan ketiga adalah ahli waris yang meliputi kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris. Ahli waris golongan ketiga terdiri atas keluarga dari garis lurus ke atas setelah ayah dan ibu, yaitu kakek dan nenek serta terus ke atas tanpa batas dari pewaris. Hal dimaksud, menjadi ahli waris. Oleh karena itu, bila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama dan kedua. Dalam kondisi seperti ini sebelum harta warisan dibagi terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving), selanjutnya separuh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari garis ayah pewaris dan bagian yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari garis ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separuh hasil kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari garis ayah, sedangkan untuk bagian dari garis ibu harus diberikan kepada nenek[20].
Cara pembagiannya adalah harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk kakek dan nenek dari garis ayah dan satu bagian untuk kakek dan nenek dari garis ibu. Pembagian itu berdasarkan Pasal 850 dan Pasal 853 (1)[21]:
1.      a)1/2 untuk pihak ayah.
2.      b)1/2 untuk pihak ibu.
4)      Golongan keempat
Ahli waris golongan keempat meliputi anggota dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Hal dimaksud, terdiri atas keluarga garis samping, yaitu paman dna bibi serta keturunannya, baik dari garis pihak ayah maupun garis dari pihak ibu. Keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari si mayit (yang meninggal). Apabila bagian dari garis ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam maka bagian dari garis ibu jatuh kepada para ahli waris dari garis ayah. Demikian pula sebaliknya[22].
1.      Ahli waris menurut wasiat
Menurut Pasal 874 s.d. Pasal 894, Pasal 913 s.d. Pasal 929 dan Pasal 930 s.d. Pasal 1022 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang seseorang, dua orang atau beberapa orang untuk menjadi ahli waris berdasarkan wasiat. Menurut Pasal 874 harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan ahli waris menurut undang-undang, tetapi pewaris dengan surat wasiat dapat menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang termuat dalam undang-undang. Oleh karena itu, surat wasiat yang dilakukan oleh pewaris dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang menjadi ahli waris yang disebut erfstelling. Erfstellingadalah orang yang ditunjuk melalui surat wasiat untuk menerima harta peninggalan pewaris. Orang yang menerima wasiat itu disebut testamentaire erfgenaam. Testamentaire erfgenaam adalah ali waris menurut wasiat.
Ahli waris dimaksud menurut undang-undang adalah ahli waris yang memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal onder algemene title. Oleh karena itu, catatan para ahli waris dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah tidak dapat dikecualikan sama sekali. Menurut undang-undang, mereka dijamin dengan adanya legitieme portie (bagian mutlak). Ahli waris yang menerima legitieme portie disebut legitimaris. Poris bagian ahli waris karena wasiat mengandung asas bahwa apabila pewaris mempunyai ahli waris yang merupakan keluarga sedarah, maka bagiannya tidak boleh mengurangi bagian mutlak dari para legitimaris.
Dari keempat golongan ahli waris yang telah diuraikan dan dicontohkan di atas, berlaku ketentuan bahwa golongan yang terdahulu menutup golongan yang kemudian. Karena itu, jika ada golongan kesatu, maka golongan kedua, ketiga dan keempat tidak menjadi ahli waris. Jika golongan kesatu tidak ada, maka golongan kedua yang menjadi ahli waris. Selanjutnya, jika golongan kesatu dan kedua tidak ada, maka golongan ketiga atau keempat menjadi ahli waris. Golongan kesatu adalah anak-anak sah dan anak luar kawin yang diakui sah dengan tidak ada ahli waris yang berhak atas harta peninggalan pewaris, maka seluruh harta peninggalan pewaris menjadi milik negara.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan, tidak juga membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas dan ke samping sehingga tampak anggota keluarga yang lebih dekat menutup haknya anggota keluarga yang lebih jauh. Lain halnya seseorang yang mendapat harta warisan melalui surat wasit atau testamen, jumlahnya tidak tentu karena orang yang memperoleh harta semacam ini tergantung dari kehendak pemberi wasiat. Suatu surat wasiat biasanya berisi penunjukan seorang atau beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian harta warisan. Akan tetapi, juga seperti ahli waris menurut peraturan perundang-undangan, ahli waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan memperoleh segala hak dan segala kewajiban dari si pewaris.
Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak atau legitime portie ini termasuk ahli waris menurut undang-undang, mereka adalah para ahli waris dalam garis lurus ke atas dan garis lurus ke bawah yang memperoleh bagian tertentu dari harta peninggalan dan bagian itu tidak dapat dihapuskan oleh si pewaris. Adapun peraturan mengenai legitime portie oleh undang-undang dipandang sebagai pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat wasiat menurut kehendak hatinya sendiri. Berdasarkan hal di atas, seseorang yang akan menerima sejumlah harta warisan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Harus ada orang yang meninggal dunia. Hal ini didasarkan oleh Pasal 830 BW (dalam hukum kewarisan Islam disebut asas akibat kematian).
2.      Ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan Pasal 2 BW, yaitu anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Apabila ia meninggal pada saat dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikia, berarti bayi dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh hukum sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk menjadi ahli waris.
3.      Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak menjadi ahli waris, dalam pengertian ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seseorang yang tidak patut menjadi ahli waris karena adanya kematian seseorang atau tidak dianggap sebagai tidakcakap untuk menjadi ahli waris.

[1] Ibid.
[2] Ibid. hal 99
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Subekti, Ibid.hal.100.
[6]Dalam hal ini, dalam masing-masing golongan lalu diadakan pembagian seolah-olah disitu telah terbuka suatu warisan sendiri. Jika dari pihak salah satu orang tua tidak ada terdapat ahli waris sama sekali maka seluruh warisan jatuh kepada pihak keluarga orang tua yang lain, Lihat: Subekti, Ibid .
[7] Tidak termasuk anak hasil zinah,lihat: ketentuan BW mengenai anak hasil zinah.
[8] Ibid.
[9] Ibid.hal.103.
[10]Artinya si ahli waris tersebut mengambil atau menjual barang-barang warisan atau menjual barang-barang warisan atau melunasi hutang-hutang si meninggal, baca: Subekti, Ibid,hal 103
[11] A. Pitlo, Hukum Waris: Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta: Intermasa, 1990, hal. 1
[12]Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Cet. 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 6
[13] Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 86
[14] Eman Suparman, Hukum Waris di Indonesia Dalam Perspektif Islam Adat BW, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005 , hal. 30
[15] Ibid, hal 30
[16] Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, op. cit., hal. 87
[17] Ibid.
[18] Ibid, hal 88.
[19] Ibid.
[20] Ibid, hal 90
[21] Ibid.
[22] Ibid. hal 91
[1] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam SIstem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,cet.ke-2,2008,hal. 252.
[2] Ibid. hal 253.
[3] Khususnya dalam title 12 sampai dengan title 18 BW.
[4] Lihat: pasal 830 BW.
[5] Titik Triwulan Tutik, op.cit., hal 253.
[6] Ibid.
[7] Tamakiran, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Bandung: Pioner Jaya,1987, hal 85
[8] Titik Triwulan Tutik, op.cit., hal 254.
[9] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, cet. XXXIII, 2011, hal. 98.


Saturday, February 13, 2021

Pengertian Freies ermessen

Freies ermessen adalah sebuah istilah yang digunakan dalam bidang pemerintahan, yang menurut Marcus Lukman, diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Kewenangan ini diberikan oleh pemerintah atas dasar fungsi pemerintah, yaitu untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, dan kewenangan ini merupakan konsekuensi logis dari konsep Negara hukum modern (welfare state). Namun, tentu saja kewenangan ini (freies ermessen) tidak dapat digunakan tanpa batas dan haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Bertujuan untuk mengoptimalkan pelayanan public
b.      Merupakan tindakan aktif dari administrasi Negara
c.       Dimungkinkan oleh hokum
d.      Atas inisiatif sendiri
e.      Bertujuan untuk penyelesaian masalah-masalah penting yang timbul secara mendadak
f.        Dapat dipertanggungjawabkan

Menurut Laica Marzuki, freies ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha Negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan tata usaha Negara terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang kian komplek. Dalam prakteknya, freies ermessen, dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
a.       Belum ada peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelesaian secara konkrit terhadap suatu masalah tertentu, dimana masalah tersebut harus segera diselesaikan.
b.      Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya.
c.       Adanya delegasi perundang-undangan, yang artinya aparat pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri sebuah urusan, yang sebenarnya kekuasaan itu merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya, pemerintah daerah bebas untuk mengelola sumber-sumber keuangan daerah asalkan merupakan sumber yang sah.

Dalam ilmu Hukum Administrasi, freies ermessen ini diberikan hanya kepada pemerintah, dan ketika freies ermessen ini diwujudkan menjadi instrument yuridis yang tertulis, maka jadilah ia sebagai peraturan kebijaksanaan.

Friday, December 18, 2020

GUGUR DAN VERSTEK SERTA PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK

Oleh: Jon Efendy Purba, S.Pd, SH

I.    PENDAHULUAN
Tajuk makalah ini erat kaitannya dengan Putusan yang merupakan salah satu produk Hakim, untuk itu sebelum membahas pokok masalah tersebut akan dikemukakan terlebih dahulu mengenai beberapa produk Hakim. 
Produk Hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1)  Putusan
2)  Penetapan
3)  Akta perdamaian
Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
Penetapan ialah juga pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka bentuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).
Akta perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.
Dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam, yaitu:
1.   Putusan akhir
2.   Putusan sela
Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1.   Putusan gugur
2.   Putusan verstek
3.   Putusan kontradiktoir
Jika dilihat dari segi isinya terhadap gugatan/ perkara ada dua macam, yaitu positif dan negative, yang dapat dirinci menjadi empat macam:
1.   Tidak menerima gugatan Penggugat
2.   Menolak gugatan Penggugat seluruhnya
3.   Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak/ tidak menerima selebihnya
4.   Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya
 Dan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1.   Diklaratoir
2.   Konstitutif
3.   Kondemnatoir
 II.   PUTUSAN GUGUR
Mengenai Putusan Gugur diatur dalam Pasal 124 HIR/ Pasal 148 Rbg, sebagai berikut: Putusan gugur ialah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena Penggugat/ Pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil (secara resmi sedang Tergugat hadir dan mohon putusan)
1.   Putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahap pembacaan gugatan/ permohonan.
2.   Putusan gugur dapat dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahap pembacaan gugatan/ permohonan.
3.   Putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
a.   Penggugat/Pemohon telah dipanggil dengan resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu.
b.   Penggugat/Pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidakhadirannya itu bukan karena sesuatu halangan yang sah.
c.   Tergugat/Termohon hadir dalam sidang.
d.   Tergugat/Termohon mohon putusan.

4.   Dalam hal Penggugat/Pemohonnya lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus gugur.
5.   Putusan gugur belum menilai gugatan ataupun pokok perkara.
6.   Dalam putusan gugur, Penggugat/Pemohon dihukum membayar biaya perkara  
 Dari uraian di atas mungkin akan timbul pertanyaan: Dalam hal apakah suatu perkara dikatakan gugur/ digugurkan? Apakah perkara tersebut dapat serta merta digugurkan begitu saja?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mengacu pada paparan BUKU II (PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS DAN ADMINISTRASI PENGADILAN), sebagai berikut:
1.   Apabila pada hari sidang pertama Penggugat atau semua Penggugat tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah, sedangkan Tergugat atau kuasanya yang sah datang maka Gugatan dapat digugurkan dan Penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara (Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg.).
Harus diperhatikan apakah dalam pemanggilan kepada Penggugat tersebut Jurusita telah bertemu sendiri dengan Penggugat atau hanya melalui Kelurahan/ Kepala Desa. Dalam hal Jurusita tidak dapat bertemu sendiri dan hanya melalui Kelurahan/Kepala Desa, maka Penggugat dipanggil sekali lagi.
2.   Dalam hal perkara digugurkan, Penggugat dapat mengajukan gugatan tersebut sekali lagi dengan membayar panjar biaya perkara lagi. Apabila telah dilakukan sita jaminan, maka sita tersebut harus diangkat.
3.   Dalam hal-hal tertentu, misalnya apabila Penggugat tempat tinggalnya jauh atau mengirim kuasanya tetapi surat kuasanya tidak memenuhi syarat, maka Hakim dapat mengundurkan dan meminta Penggugat dipanggil sekali lagi. Kepada pihak yang datang diberitahukan agar ia menghadap lagi tanpa panggilan (Pasal 126 HIR/Pasal 150 RBg.).
4.   Jika Penggugat pada panggilan sidang pertama tidak datang, meskipun ia telah dipanggil dengan patut, tetapi pada panggilan kedua ini datang dan pada panggilan ketiga Penggugat tidak hadir lagi, perkaranya tidak dapat digugurkan (Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg).
5.   Apabila gugatan gugur maka dituangkan dalam putusan, tetapi apabila Gugatan dicabut maka dituangkan dalam bentuk penetapan; Dalam hal perkara perceraian, apabila salah satu pihak meninggal dunia sedangkan perkaranya belum diputus, maka perkara menjadi gugur dan dituangkan dalam putusan;
6.   Apabila Penggugat pernah hadir tetapi kemudian tidak hadir lagi maka Penggugat dipanggil sekali dengan peringatan (peremptoir) untuk hadir dan apabila tetap tidak hadir sedangkan Tergugat tetap hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan dan diputus secara kontradiktoir.
 AKIBAT HUKUM PUTUSAN GUGUR.
Akibat hukum putusan Gugur diatur dalam Pasal 77 Rv, sebagai berikut:
1.   Pihak Tergugat, dibebaskan dari perkara dimaksud. Putusan Pengguguran gugatan yang didasarkan atas keingkaran Penggugat menghadiri sidang pertama, merupakan putusan akhir (eind vonnis) yang bersifat menyudahi proses pemeriksaan secara formil. Artinya, putusan itu mengakhiri pemeriksaan meskipun pokok perkara belum diperiksa. Itu sebabnya undang-undang menyatakan dibebaskan dari perkara itu.
2.   Terhadap putusan pengguguran gugatan tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet. Sifat putusannya:
-      Langsung mengakhiri perkara, karena itu langsung pula mengikat kepada para pihak atau final and binding,
-      Selain terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan, juga tertutup upaya hukum, sehingga tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
3.   Penggugat dapat mengajukan gugatan baru. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh Penggugat adalah mengajukan gugatan baru dengan materi pokok perkara yang sama, karena dalam putusan gugur tidak melekat ne bis in idem sehingga dapat diajukan sebagai perkara baru, dan untuk itu Penggugat dibebani membayar biaya perkara baru.    
Untuk menambah wasasan kita tentang perkara gugur dan perkara dicoret karena habis biaya perkara, berikut akan diuraikan pendapat dari Drs. H. Marjohan Syam, SH., MH (Hakim Tinggi PTA Pekanbaru) dalam tulisannya yang berjudul: KOREKSI ATAS BUKU DR. AHMAD MUJAHIDIN, MH, PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PERDATA PENGADILAN AGAMA DAN MAHKAMAH SYARIYAH DI INDONESIA Tentang Pembatalan Perkara Yang Habis Biayanya, selengkapnya sebagai berikut: 
“Penulis dalam tulisan ini ingin urung rembuk sedikit menyampaikan koreksi dan barangkali belum tentu juga benar apa yang disampaikan ini, setidak-tidaknya merupakan pijakan bagi Hakim di lingkungan Peradilan Agama untuk mencari kebenaran sesuai dengan tujuan tertib beracara, mengikut azas-azas yang berlaku.
Walaupun penulis belum sempat membaca semua isi buku ini, namun penulis memperhatikan suatu masalah yang kebetulan sedang dibicarakan (discursus) di Pengadilan Agama Pekanbaru wilayah pengawasan penulis, yaitu yang mengenai huruf G. Kehabisan Panjar Biaya Perkara, dalam Bab VII halaman 142-143 buku Pembaharuan Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariyah di Indonesia; Mengenai mekanisme penambahan panjar biaya perkara dan tindak lanjutnya dari huruf a s/d i kecuali g penulis tidak mempersoalkannya karena masih lingkup atau wilayah administrasi perkara, tetapi pada huruf g berbunyi Berdasarkan surat keterangan panitera tersebut, majelis membuat “penetapan” berisi tentang batalnya perkara itu yang telah terdaftar dalam Register Induk Perkara bersangkutan, menurut penulis huruf g ini sudah termasuk wilayah Tehnis yudisial Hukum Acara, dimana harus ada aturan acaranya bahkan Hakim terikat dengan tekstual dan tidak boleh menafsirkan begitu leluasanya aturan acara tersebut apalagi membuat acara baru, kecuali sebatas usulan rancangan. Ada dua koreksi disini yaitu pertama penetapan majelis, dan kedua membatalkan perkara yaitu penetapan Majelis Hakim tentang batalnya perkara. Dalam memutuskan perkara apapun itu, Hakim semestinya berpegang kepada pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 bahwa disamping alasan dan dasar putusan tersebut, juga memuat pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Menurut sepengetahuan penulis tidak ada aturan yang mengatur bahwa Hakim membuat penetapan batalnya perkara dalam hal kehabisan panjar biaya perkara seperti halnya putusan gugur, verstek, atau pencabutan perkara yang sedang berjalan baik dalam HIR, RBg, Rv atau pun dalam BW. Sebagaimana Hakim dalam menggali peristiwa untuk menemukan hukumnya, Hakim menggunakan syllogisme yaitu suatu pola berpikir (redenering/reasoning) secara deduktif yang sah berpangkal pada dua premis mayor dan minor untuk mendapatkan kesimpulan yang logis dalam mengambil kesimpulan putusan atau penetapan. Disini premis mayor sebagai titik tolak Hakim mengambil kesimpulan yaitu merupakan pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan, bagaimana dan peraturan apa yang dapat diterapkan pada pembatalan perkara atau pencoretan pendaftaran? Ya tidak ada kecuali hanya dalam Buku Pedoman Kerja yang dikeluarkan IKAHI Wilayah Sulsera di Ujung Pandang tahun 1989 pada halaman 17 berbunyi; “Apabila suatu perkara yang telah diajukan pada pengadilan ternyata biayanya telah habis sebelum perkara itu selesai, maka untuk memeriksa perkara tersebut lebih lanjut dibuatlah teguran kepada Penggugat agar dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal teguran tersebut, Penggugat harus menambah biaya perkara dan apabila dalam jangka waktu satu bulan tersebut Penggugat tidak memenuhinya, maka pendaftaran perkaranya dibatalkan dengan suatu penetapan pengadilan, setelah lebih dahulu Panitera Kepala membuat suatu keterangan”, Dalam hal ini penulis berkesimpulan bahwa yang tepat barangkali adalah pembatalan pendaftaran atau pencoretan pendaftaran dengan penetapan yang bukan pembatalan perkaranya, dan penetapan tersebut dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan bukan produk penetapan Majelis Hakim, dengan alasan seperti berikut:
1)  Bahwa produk Majelis Hakim adalah tehnis yudisial yang jelas tidak ada cantolannya dalam HIR/RBg, Rv atau BW;
2)  Bahwa produk Ketua Pengadilan adalah bagian dari produk administrasi perkara yaitu tentang keuangan/biaya perkara yang tidak tergantung dengan peraturan perundangan;
3)  Bahwa perkara tersebut walaupun diserahkan kepada majelis dengan PMH (Penetapan Majelis Hakim), tetapi penunjukan majelis itu juga bagian dari administrasi perkara atau administrasi persidangan, jadi dengan penetapan tersebut seakan-akan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI menjelaskan kepada Majelis Hakim bahwa perkara tidak bisa dilanjutkan karena pendaftaran sudah dicoret atau dibatalkan karena biaya perkara dari pihak tidak ada lagi, dengan begitu perkara dihentikan oleh Majelis Hakim. Jadi penyelesaian perkara tidak bisa diteruskan karena administasi perkaranya tidak lengkap, sekalipun itu terjadi di tengah jalan.
4)  Dengan pencoretan pendaftaran oleh Ketua Pengadilan tidak menghapus semua dokumen yang ada dalam bundel perkara tersebut dan masih tetap berlaku sepanjang tertera jelas dalam berita acara. Penulis ingin mengajak kita mau sejenak melihat kebelakang, bahwa pencoretan pendaftaran karena habis biaya perkara adalah petunjuk yang diberikan oleh Bapak Hensyah Syahlani, SH guna mengatasi penumpukkan perkara yang habis biayanya. Masih terngiang-ngiang ditelinga penulis ucapan Bapak Hensyah Syahlani, SH bercerita bahwa untuk mengurangi penumpukan perkara dulu ada SEMA yang mengatur tentang dapat dicoret pendaftaran perkara yang habis biaya perkara/tidak dipenuhi biaya perkara setelah ditegur, akan tetapi SEMA tersebut sudah dicabut, namun kata pak Hensyah aturan SEMA tersebut dapat diperlakukan untuk Pengadilan Agama supaya tidak terjadi penumpukkan perkara yang kekurangan biaya, caranya:
a.      Pengadilan membuat teguran dalam tenggang waktu tertentu supaya menambah panjar biaya perkara,
b.      Panitera membuat surat keterangan tentang hal tersebut jika tidak ditambah panjar biaya oleh pihak Penggugat,
c.      Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan penetapan pencoretan pendaftaran perkaranya berdasarkan surat keterangan tersebut.
Tetapi sampai saat terakhir bersama Pak Hensyah membina Pengadilan Agama, penulis tidak pernah melihat SEMA tersebut."
Dalam hukum acara kita mengenal hal-hal yang kemungkinan terjadi dalam persidangan seperti gugatan digugurkan (Pasal 124 HIR, 148 RBg), walau kelihatannya Pengadilan terlalu kejam kepada Penggugat, tetapi itu aturannya untuk menjaga hak orang lain in casu Tergugat yang hadir memenuhi panggilan, begitu juga tidak hadirnya Tergugat diputus “verstek” (Pasal 125 HIR, 149 RBg) untuk menjaga hak Penggugat dikala Tergugat ingkar menghadiri persidangan, demikian juga pencabutan gugatan oleh pihak Penggugat (Pasal 271-272 Rv) diatur dengan tegas, akan tetapi mengenai pembatalan perkara karena kekurangan/habis biaya perkara, tidak diatur dalam Hukum Acara Perdata. 
Kecuali itu, dalam Pasal 273 ; 277 Rv mengenal aturan yang mengatur tentang pengguguran perkara bukan pencoretan pendaftaran, tetapi tidak dijelaskan dengan tegas sebab-sebab digugurkannya perkara dan dapat dipastikan di sini termasuk karena kelalaian pihak apa karena kekurangan biaya perkara ataupun sebab-sebab lainnya. Namun sebelum digugurkan tersebut ada beberapa tahap yang harus dilalui sebagai berikut:
1)     Perkara sudah terhenti selama tiga tahun, dan masih ada kesempatan dalam waktu enam bulan untuk  melanjutkan perkara;
2)     Adanya permohonan untuk digugurkan dari pihak yang berkepentingan, dan permohonan untuk menggugurkan itu dapat dicegah dengan tindakan hukum oleh salah satu pihak sebelum pernyataan gugur;
3)     Pernyataan gugur itu dilakukan dalam sidang secara sederhana dan diberitahukan kepada pihak yang bersangkutan atau ditempat tinggalnya;
4)     Pernyataan gugur itu tidak membatalkan tuntutan, melainkan hanya acara perkara yang telah dimulai;
5)     Biaya perkara karena pernyataan gugur itu dianggap sudah dibayar;
6)     Dan bila mengajukan gugatan baru, maka pihak-pihak satu sama lain berhak untuk mengajukan lagi sumpah-sumpah, pengakuan-pengakuan dan keterangan-keterangan yang telah diberikan olehnya dalam perkara yang terdahulu, begitu juga keterangan-keterangan yang telah diberikan oleh saksi-saksi yang sudah meninggal dunia, jika hal itu dicantumkan dalam berita acara yang dibuat dengan baik. Ketentuan-ketentuan dalam Rv tersebut jelas acaranya, Hakim jelas apa yang diperbuat sebagai tugas tehnis yudisial karena ada cantolannya, hal ini jelas tidak sama dengan pembatalan/pencoretan pendaftaran perkara seperti yang kita bicarakan. Kalau kita analisa secara mendalam lagi barangkali perkara yang habis biayanya dan Penggugat tidak mampu lagi memenuhi biaya perkara akan lebih bijaksana jika tidak di coret pendaftarannya dan solusinya pengadilan menyarankan untuk melanjutkan perkara dengan mengurus proses beracara dengan prodeo, kenapa? Logikanya jika ada yustisiabel sejak awal berperkara tidak mampu membayar biaya perkara bisa berperkara dengan prodeo, maka apa salahnya Penggugat yang semula beritikad baik mau membayar biaya dan ternyata ditengah jalan tidak mampu, dilanjutkan dengan prodeo? Bukankah cara begini adalah bagian client service improvement? Bukankah semua warga mendapat kesempatan yang sama dalam mendapatkan pelayan hukum di pengadilan?, wallahu a’lam. 
III. PUTUSAN VERSTEK
BUKU II sebagai bahan rujukan para Hakim dan aparat peradilan melaksanakan tugasnya, telah mengurai  mengenai Perkara Verstek sebagai berikut:
1.   Pasal 125 ayat (1) HIR menentukan bahwa gugatan dapat dikabulkan dengan Verstek apabila:
a)  Tergugat atau para Tergugat tidak datang pada hari sidang pertama yang telah ditentukan atau tidak mengirimkan jawaban.
b)  Tergugat atau para Tergugat tersebut tidak mengirimkan wakil / kuasanya yang sah untuk menghadap atau tidak mengirimkan jawaban.
c)  Tergugat atau para Tergugat telah dipanggil dengan patut.
d)  Gugatan beralasan dan berdasarkan hukum. 
2.   Dalam hal Tergugat tidak hadir pada panggilan sidang pertama dan tidak mengirim kuasanya yang sah, tetapi ia mengajukan jawaban tertulis berupa tangkisan tentang Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili, maka diputus berdasarkan Pasal 125 HIR.
3.   Dalam perkara perceraian yang Tergugatnya tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, harus diperhatikan apakah dilakukan dengan patut, yaitu dengan cara dipanggil ke alamatnya yang terakhir. Apabila setelah dilakukan hal tersebut masih juga tidak datang, maka diumumkan melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan, yang dilakukan sebanyak 2 kali dengan tenggat waktu 1 bulan antara pengumuman pertama dan kedua selanjutnya tenggat waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 bulan (Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).
4.   Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9 Tahun 1964 mengenai Verstek.

A.  PENGERTIAN VERSTEK
-   Putusan Verstek ialah putusan yang dijatuhkan karena Tergugat/ Termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang Penggugat hadir dan mohon putusan.
-   Verstek artinya Tergugat tidak hadir.
-   Putusan Verstek diatur dalam Pasal 125-129 HIR dan 196-197 HIR, Pasal 148-153 Rbg dan 207-208 Rbg, UU no. 20 tahun 1947 dan SEMA No. 9/1964.

B.  SYARAT ACARA VERSTEK
Perihal sahnya penerapan Acara Verstek kepada Tergugat, merujuk kepada ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR atau Pasal 78 Rv. Bertitik tolak dari Pasal tersebut, dapat dikemukakan syarat-syarat sebagai berikut:
-      Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut.
-      Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain serta tidak ternyata pula bahwa ketidakhadirannya itu karena sesuatu alasan yang sah.
-      Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan.
-      Penggugat hadir di persidangan.
-      Penggugat mohon keputusan.

C.  PENERAPAN ACARA VERSTEK TIDAK IMPERATIF
Pada satu sisi Undang-undang menghadirkan kedudukan Tergugat di persidangan sebagai hak, bukan kewajiban yang bersifat imperatif. Hukum menyerahkan sepenuhnya, apakah Tergugat mempergunakan hak itu untuk kepentingannya atau tidak. Di sisi lain Undang-undang tidak memaksakan acara verstek secara imperatif. Hukum tidak mesti menjatuhkan putusan verstek terhadap Tergugat yang tidak hadir memenuhi panggilan. Penerapannya bersifat fakultatif. Kepada Hakim diberi kebebasan untuk menerapkannya atau tidak. Sifat penerapan yang fakultatif tersebut, diatur dalam Pasal 126 HIR sebagai acuan:
-      Ketidakhadiran Tergugat pada sidang pertama, langsung memberi wewenang kepada Hakim menjatuhkan putusan Verstek.
-      Mengundurkan sidang dan memanggil Tergugat sekali lagi.
-      Batas toleransi pengunduran.
Pasal 126 HIR tidak mengatur batas toleransi atau batas kebolehan pengunduran sidang apabila Tergugat tidak mentaati panggilan. Pasal itu hanya mengatakan Pengadilan atau Hakim dapat memerintahkan pengunduran, namun tidak menjelaskan berapa kali pengunduran dapat dilakukan, akan tetapi penerapannya harus disesuaikan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.    

D.  PENERAPAN ACARA VERSTEK APABILA TERGUGAT LEBIH DARI SATU ORANG
Rujukan penerapan acara verstek dalam perkara Tergugat lebih dari satu orang bertitik tolak dari Pasal 127 HIR, Pasal 151 Rbg:
-      Pada sidang pertama semua Tergugat tidak hadir, langsung dapat diterapkan acara verstek, dengan jalan menjatuhkan putusan verstek atau mengundur sidang dengan memanggil para Tergugat sekali lagi.
-      Pada sidang berikutnya semua Tergugat tetap tidak hadir, dapat diterapkan acara verstek.
-      Salah seorang Tergugat tidak hadir, sidang wajib diundurkan.
-      Salah seorang atau semua Tergugat yang hadir pada sidang pertama, tidak hadir pada sidang berikut, tetapi Tergugat yang dahulu tidak hadir, sekarang hadir, maka Hakim dapat memilih alternatif, sebagai berikut: 
a.   Mengundurkan persidangan;
b.   Melangsungkan persidangan secara kontradiktor;
c.   Salah seorang Tergugat terus menerus tidak hadir sampai Putusan dijatuhkan, proses pemeriksaan kontradiktor;
 
E.  SAAT PUTUSAN VERSTEK DIUCAPKAN
Dalam bukunya, Hukum Acara Perdata, M. Yahya Harahap, SH. Berpendapat sebagai berikut: Terhadap putusan verstek Mahkamah Agung memberi penjelasan yang berpatokan pada Pasal 125 ayat (1) HIR. Apabila Hakim hendak menjatuhkan putusan verstek disebabkan Tergugat tidak hadir memenuhi panggilan sidang tanpa alasan yang sah:
-      Putusan harus dijatuhkan pada hari itu juga ;
-      Dengan demikian putusan verstek yang dijatuhkan dan diucapkan di luar hari itu, tidak sah (illegal) karena bertentangan dengan tata tertib beracara (undue process), yang berakibat putusan batal demi hukum (null and void)
Sekiranya Hakim ragu-ragu atas kebenaran dalil gugatan, sehingga diperlukan pemeriksaan saksi-saksi atau alat bukti lain, tindakan yang dapat dilakukan:
-      Mengundurkan persidangan dan sekaligus memanggil Tergugat, sehingga dapat direalisasi proses dan pemeriksaan  kontradiktor (op tegenspraak), atau
-      Menjatuhkan putusan verstek, yang berisi dictum: menyatakan gugatan tidak dapat diterima atas alasan dalil gugatan bertentangan dengan hukum atau dalil gugatan tidak mempunyai dasar hukum. 

F.  BENTUK PUTUSAN VERSTEK
Mengenai bentuk putusan Verstek, yang dapat dijatuhkan, diatur dalam pasal 125 ayat (1) HIR, Pasal 149 RBg, dan Pasal 78 Rv. Pasal 125 ayat (1) berbunyi:
Jika Tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan tidak hadir (Verstek), kecuali kalau nyata kepada Pengadilan bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.”    
Bentuk Putusan Verstek yang dijatuhkan Pengadilan, terdiri dari:
1.  Mengabulkan gugatan Penggugat;
2.  Menyatakan gugatan tidak dapat diterima;
3.  Menolak gugatan Penggugat;

IV. UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN VERSTEK
Buku II menerangkan tentang Perlawanan Terhadap Putusan Verstek, sebagai berikut:
1)  Sesuai Pasal 129 HIR/153 Rbg. Tergugat/ Para Tergugat yang dihukum dengan Verstek berhak mengajukan Verzet atau perlawanan dalam waktu 14 hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada Tergugat semula jika pembeitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. (Pasal 391 HIR: Dalam menghitung Tenggat waktu maka tanggal/ hari saat dimulainya penghitungan waktu tidak dihitung).
2)  Jika Putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada Tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning Tergugat hadir, maka tenggat waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah aanmaning (peringatan).
3)  Jika Tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning, maka tenggat waktunya adalah hari kedelapan sesudah sita eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129 ayat (2) jo Pasal 207 RBG). Kedua perkara tersebut (perkara verstek dan Verzet terhadap Verstek) didaftar dalam satu nomor perkara.
4)  Perkara Verzet sedapat mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan Putusan Verstek.
5)  Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara Verzet atas putusan Verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus Verstek secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara Verzet dilakukan secara biasa (lihat pasal 129 ayat (3) HIR, Pasal 153 ayat (3) Rbg. Dan SEMA nomor 9 Tahun 1964).
6)  Apabila dalam pemeriksaan Verzet pihak Penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilakukan secara contradictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir, maka Hakim menjatuhkan Putusan Verstek untuk kedua kalinya. Terhadap Putusan Verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding (Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 153 ayat(5) RBg.).
7)  Apabila Verzet diterima dan putusan Verstek dibatalkan maka amar putusannya berbunyi:
a)  Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang benar.
b)  Membatalkan putusan verstek.
c)  Mengabulkan gugatan Penggugat atau menolak gugatan Penggugat.
8)  Apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan, maka amar putusannya berbunyi:
a.   Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak benar.
b.   Menguatkan Putusan verstek tersebut.
9)  Terhadap putusan Verzet tersebut kedua belah pihak berhak mengajukan banding. Dalam hal diajukan banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan dalam satu berkas dan dikirim ke Pengadilan Tinggi dan hanya menggunakan satu nomor perkara.

V.   PENUTUP
 Demikianlah, Makalah mengenai GUGUR DAN VERSTEK SERTA PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK, tidak lain harapan kami bahwa sekecil apapun karya ini dapat menjadi sumbangan pemikiran yang bernilai untuk menambah wawasan dan selanjutnya dapat diselaraskan dengan aplikasinya di Instansi tempat kita mengabdi.


ISI MAKALAH HUBUNGAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI KONVENSI WINA 1961

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Menurut Jan Osmanczyk, Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasionalyan...