Tuesday, April 30, 2019

ANALISIS UNSUR-UNSUR TINDAKAN PEMERKOSAAN DITINJAU DARI KUHP

Adapun pasal-pasal yang mengatur tindak pidana perkosaan sebagaimana yang tercantum dalam KUHP, adalah sebagai berikut :
Pasal 285 KUHP
Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 285 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Unsur-unsur dari Pasal 285 ini adalah :
1.       Perbuatannya : memaksa bersetubuh
2.       Caranya : dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
3.       Objek : perempuan bukan istrinya.        
Adami Chazawi (2005 : 63), Pengertian perbuatan  memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang tersebut yang bertentangan dengan kehendak hatinya agar dirinya menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Menerima kehendaknya ini setidaknya mengakibatkan dua hal yaitu orang yang dipaksa akan menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya atau orang yang dipaksa tersebut akan berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang memaksa.

Menurut R. Seosilo (1994 : 209), dalam Pasal 285, memaksa disini bertujuan agar perempuan yang menjadi korban bersedia menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya yaitu bersedia disetubuhi.

Sejalan dengan R. Soesilo, M.H Tirtamidjaja (Ledeng Marpaung, 2004 :53), mengemukakan pengertian bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.

Adami Chazawi (2005 : 64), Cara-cara memaksa yang dirumuskan dalam pasal 285 KUHP dibatasi dengan dua cara yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam KUHP. Hanya mengenai kekerasan, ada pasal 89 KUHP yang merumuskan perluasan arti kekerasan.

Menurut R. Soesilo (1994 : 209), melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.

Lebih lanjut R. Soesilo (1994 : 65), Berdasarkan fungsinya, maka kekerasan dalam pengertian Pasal 285 KUHP dapatlah di definisikan sebagai suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Dalam keadaan tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri.

Pasal 286 KUHP
Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 286 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :

Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

Menurut Adami Chazawi (2005 : 67), perempuan yang menjadi korban dalam pasal ini adalah seorang perempuan yang bukan istrinya secara objektif berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Didalam Pasal 286 KUHP ini terdapat unsur subjektif yaitu diketahuinya perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

R. Soesilo (1994 : 210), menjelaskan bahwa pingsan artinya ”tidak ingin atau tidak sadar akan dirinya” umpamanya dengan memberi minum racun kecubung atau lain-lain obat sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kedua kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.

Sejalan dengan hal tersebut, Adami Chazawi (2005 : 68) menyatakan bahwa keadaan pingsan dan tidak berdaya memiliki perbedaan makna walaupun orang pingsan pada dasarnya juga tidak berdaya. Perbedaan makna tersebut ialah, bahwa pada keadaan pingsan orang itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, dalam keadaan ini dia tidak mengetahui apa yang telah diperbuat orang lain in case disetubuhi terhadap dirinya. Seseorang yang sedang dalam keadaan tidur, atau disuntik dengan obat tidur, maka kekadaan tidur itu dapat disebut dengan keadaan pingsan.

Dalam keadaan tidak berdaya, orang itu mengerti dan sadar tentang apa yang telah diperbuat oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya perempuan itu ditodong dengan pisau, atau tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan tenaga seorang laki-laki yang memperkosanya, atau dirinya dalam keadaan sakit sehingga tidak berdaya. Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah unsur objektif yang didasari atau diketahui oleh si pembuat. Kondisi pingsan atau tidak berdaya itu bukanlah akibat dari perbuatan si pelaku melainkan suatu kondisi yang sudah terjadi. Si pelaku hanya disyaratkan untuk secara subjektif mengetahui bahwa perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Adami Chazawi, 2005 : 68-69).

Pasal 287 KUHP
Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 287 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
1.       Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa unsur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.
2.       Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umur perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu yang disebut pada pasal 291 dan 294.
Menurut Adami Chazawi (2005 : 71), Berbeda dengan Pasal 285 KUHP dan Pasal 286 KUHP yang mensyaratkan tidak adanya persetujuan dari perempuan korban, melalui tindakan pemaksaan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan, maka pada pasal 287 KUHP, persetubuhan yang dilakukan adalah dengan persetujuan dari si perempuan korban. Dengan kata lain hubungan tersebut dilakukan dengan suka sama suka. Letak pidananya adalah pada umur perempuan korban yang belum cukup 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin.

Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, maka pada Pasal 1 butir 1 dinyatakan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Namun sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 001/PUU-VIII/2010 tentang batasan umur anak menjadi batasan umur anak yaitu yang berusia 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun.

Pasal 288 KUHP
Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 288 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
1.       Barang siapa bersetubuh dengan istrinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya buat dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu luka.
2.       Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
3.       Jika perbuatan itu menyebabkan perempuan itu mendapat luka berat, dijatuhkan penjara selama-lamanya delapan tahun.
R. Soesilo (1994 : 212), Pada dasarnya KUHP tidak mengancam pidana kepada pelaku yang menyetubuhi perempuan yang belum berumur 15 tahun jika perempuan itu adalah istrinya, kecuali dari perbuatan persetubuhan tersebut menimbulkan akibat luka-luka, luka berat atau kematian. Yang dilarang dalam pasal ini bukanlah bersetubuh dengan istrinya yang belum masanya buat dikawinkan, melainkan bersetubuh yang mengakibatkan istrinya yang belum masanya untuk kawin tersebut mengalami luka-luka secara fisik, luka berat ataupun meninggal dunia.
Dan Lebih lanjut:

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
        Pasal 285 KUHP :
        -   Barangsiapa,
        -   dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
        -   memaksa seorang wanitabersetubuh dengan dia,
        -   di luar perkawinan,
“dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”
   
 Menurut : SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.231-81.
Yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang dapat mendatangkan kerugian bagi siterancam atau mengagetkan yang dikerasi. Mengenai perluasannya, termuat dalam pasal 89 KUHP yang berbunyi : “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Suatu contoh tentang kekerasan antara lain ialah menarik dan sembari meluncurkan celana wanita, kemudian wanita tersebut dibanting ke tanah, tangannya dipegang kuat-kuat, dagunya ditekan lalu dimasukkan kemaluan si-pria tersebut.
              
Yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan. Ancaman ini dapat berupa penembakan ke atas, menodongkan senjata tajam, sampai dengan suatu tindakan yang lebih “sopan”, misalnya dengan suatu seruan dengan mengutarakan akibat-akibat yang merugikan jika tidak dilaksanakan. 

Yang dimaksud dengan memaksa adalah suatu tindakan yang memojokkan seseorang hingga tiada pilihan yang lebih wajar baginya selain daripada mengikuti kehendak dari sipemaksa. Dengan perkataan lain tanpa tindakan sipemaksa itu siterpaksa tidak akan melakukan atau melalaikan sesuatu sesuai dengan kehendak sipemaksa. Dalam hal ini tidak diharuskan bagi siterpaksa untuk mengambil resiko yang sangat merugikannya, misalnya lebih baik mati atau luka-luka / kesakitan daripada mengikuti kehendak sipemaksa. Di sini harus dinilai secara kasuistis kewajarannya. Pemaksaan pada dasarnya dibarengi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dapat juga pemaksaan dibarengkan dengan ancaman akan membuka rahasia siterpaksa atau menyingkirkan siterpaksa dan lain sebagainya. Pokoknya akibat dari pemaksaan itu jika tidak dilakukan adalah sesuatu yang merugikan siterpaksa. Dalam pasal ini yang ditentukan hanyalah pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Sukar dapat diterima adanya pemaksaan dengan pemberian upah atau hal-hal yang akan menguntungkan siterpaksa. Dalam hal yang terakhir ini istilahnya adalah membujuk, menggerakkan, menganjurkan dan lain sebagainya.

Menurut Drs. P.AF. Lamintang, SH (Delik-Delik Khusus : Tindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan), Mandar Maju / 1990 / Bandung, hal.110-111.
Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan “kekerasan”, bahkan didalam        yurisprudensipun tidak dijumpai adanya sesuatu putusan kasasi yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk memberikan arti yang  setepat-tepatnya bagi kata “kekerasan” tersebutt.

Namun menurut Simons, yang dimaksudkan dengan kekerasan atau geweld itu ialah ‘elke uitoefening van lichamelijke kracht van niet al te geringe betekenis’, yang artinya : “setiap penggunaan tenaga badan yang tidak terlalu tidak berarti’ atau ‘het aanwenden van lichamelijk kracht van niet al te geringe intensiteit’, yang artinya ‘setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan’.

Apa yang dimaksudkan dengan “ancaman kekerasan” itupun, undang-undang ternyata telah tidak memberikan penjelasannya. Menurut arrest Hoge Raad tanggal 5 Januari 1914 (NJ.1915 hal.1116), mengenai “ancaman kekerasan” tersebut disyaratkan sebagai berikut :
a)    bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, hingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya ;
b)    bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti itu.

Bahwa dari arrest HR tersebut di atas ternyata belum juga diperoleh penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan ancaman kekerasan, karena arrest tersebut hanya menjelaskan tentang cara bagaimana ancaman kekerasan itu diucapkan. Namun menurut hemat saya, “ancaman kekerasan” itu harus diartikan sebagai suatu “ancaman” yang apabila yang diancam tidak bersedia memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengan pelaku, maka ia akan melakukan sesuatu yang dapat berakibat merugikan bagi kebebasan, kesehatan atau keselamatan nyawa orang yang diancam. 

“memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia”
HR 5 Nopember 1946
        Kejahatan ini telah terlaksana, seketika pelaku dengan paksaan telah menguasai keadaan, atau apabila ia dengan berbuat secara tiba-tiba dapat menghindari perlawanan. 
HR 29 Juni 1908
        Perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tidak diperlukan.
HR 26 Januari 1931
Juga suatu keterangan saksi yang memberi gambaran mengenai kelakuan terdakwa mengenai bidang seksuil, dapat dipergunakan sebagai sarana bukti.

SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.231.
Yang dimaksud dengan bersetubuh untuk penerapan pasal ini ialah memasukkan kemaluan si pria ke kemaluan wanita sedemikian rupa yang normaliter atau yang dapat mengakibatkan kehamilan. Jika kemaluan si pria hanya “sekedar nempel” di atas kemaluan si wanita, tidak dapat dipandang sebagai persetubuhan, melainkan percabulan dalam arti sempit, yang untuk itu diterapkan pasal 289. Persetubuhan tersebut harus dilakukan oleh orang yang memaksa tersebut. Jika ada orang lain (pria atau wanita) yang turut memaksa, maka mereka ini adalah peserta petindak (mededader).


R.Soesilo (KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal), Politea Bogor, Tahun 1996. Hal.211-209.
Seorang perempuan yang dipaksa demikian rupa, sehingga akhirnya tak dapat melawan lagi dan terpaksa maumelakukan persetubuhan itu, masuk pula dalam pasal ini.

Yang dimaksud dengan “persetubuhan” ialah peraduan antara anggauta kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggauta laki-laki harus masuk kedalam anggauta perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arrest Hoge Raad 5 Februari 1912 (W.9292).


HR 5 Februari 1912
Ketentuan ini tidak mensyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan dilakukan di luar perkawinan. 
SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.231.

Yang dimaksud dengan di luar perkawinan, harus diperhatikan ketentuan UU No.1/1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya (PP No.9/1973). Jadi “kawin gantung” yang dikenal sebagai salah satu bentuk perkawinan adat, tidak termasuk pengertian di dalam perkawinan. Dengan perkataan lain, dalam rangka penerapan pasal ini tetap dipandang sebagai di luar perkawinan.




Pasal 289 KUHP
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang  untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Pasal 289 KUHP :
- Barangsiapa,
- dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
- memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
- “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”

SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.231-81.
Yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang dapat mendatangkan kerugian bagi siterancam atau mengagetkan yang dikerasi. Mengenai perluasannya, termuat dalam pasal 89 KUHP yang berbunyi : “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Suatu contoh tentang kekerasan antara lain ialah menarik dan sembari meluncurkan celana wanita, kemudian wanita tersebut dibanting ke tanah, tangannya dipegang kuat-kuat, dagunya ditekan lalu dimasukkan kemaluan si-pria tersebut.

Yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan. Ancaman ini dapat berupa penembakan ke atas, menodongkan senjata tajam, sampai dengan suatu tindakan yang lebih “sopan”, misalnya dengan suatu seruan dengan mengutarakan akibat-akibat yang merugikan jika tidak dilaksanakan. 

Yang dimaksud dengan memaksa adalah suatu tindakan yang memojokkan seseorang hingga tiada pilihan yang lebih wajar baginya selain daripada mengikuti kehendak dari sipemaksa. Dengan perkataan lain tanpa tindakan sipemaksa itu siterpaksa tidak akan melakukan atau melalaikan sesuatu sesuai dengan kehendak sipemaksa. Dalam hal ini tidak diharuskan bagi siterpaksa untuk mengambil resiko yang sangat merugikannya, misalnya lebih baik mati atau luka-luka / kesakitan daripada mengikuti kehendak sipemaksa. Di sini harus dinilai secara kasuistis kewajarannya. Pemaksaan pada dasarnya dibarengi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dapat juga pemaksaan dibarengkan dengan ancaman akan membuka rahasia siterpaksa atau menyingkirkan siterpaksa dan lain sebagainya. Pokoknya akibat dari pemaksaan itu jika tidak dilakukan adalah sesuatu yang merugikan siterpaksa. Dalam pasal ini yang ditentukan hanyalah pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Sukar dapat diterima adanya pemaksaan dengan pemberian upah atau hal-hal yang akan menguntungkan siterpaksa. Dalam hal yang terakhir ini istilahnya adalah membujuk, menggerakkan, menganjurkan dan lain sebagainya.

“memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”

HR 5 Nopember 1946
Kejahatan ini telah terlaksana, seketika pelaku dengan paksaan telah menguasai keadaan, atau apabila ia dengan berbuat secara tiba-tiba dapat menghindari perlawanan. 

HR 29 Juni 1908
Perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tidak diperlukan.

HR 26 Januari 1931
Juga suatu keterangan saksi yang memberi gambaran mengenai kelakuan terdakwa mengenai bidang seksuil, dapat dipergunakan sebagai sarana bukti.

SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.545.
Apa yang dimaksud dengan percabulan, didalam KUHP tidak dirumuskan. Untuk penjelasan pasal 289 disebutkan bahwa dalam pengertian percabulan pada umumnya termasuk juga persetubuhan. Kiranya hal ini dihubungkan dengan kesulitan pembuktian untuk persetubuhan, dimana terdapat perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa masukknya alat kelamin pria itu sampai keluar spermanya pada dasarnya (normaliter) dapat membuahi/menghamili wanita tersebut. Sementara pendapat lain ialah bahwa pokoknya alat kelamin itu dimasukkan dan apakah sperma itu sampai ke sasarannya atau kemudioan dibuang oleh pria itu tidak menjadi ukuran. Tetapi bagaimanapun juga, perbuatan mencari kenikmatan dengan menggunakan/melalui alat kelamin oleh dua orang (atau lebih) adalah perbuatan percabulan. Karenanya, jika sulit membuktikan telah terjadi suatu persetubuhan sebaiknya “disubsidairkan” cara pendakwaannya. Dalam pengertian percabulan ini termasuk jua perbuatan-perbuatan lainnya dimana hanya sefihak yang menggunaka/digunakan alat kelaminnya, dan bahkan juga memegang-megang tempat tertentu yang menimbulkan nafsu birahi.

Percabulan dapat terjadi antara seorang pria dan seorang wanita, antara sesama pria atau antara sesama wanita (lesbian). Karena itu pelaku dari delik ini bisa seseorang dan bisa juga seseorang wanita.

R.Soesilo (KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal), Politea Bogor, Tahun 1996. Hal.212.
Yang dimaksudkan dengan “perbuatan cabul” ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb-nya.
Yang dilarang dalam pasal ini bukan saja memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul.


Semoga Bermanfaat.

Saturday, April 13, 2019

Larangan Bagi Instansi Pemerintah dan BUMN. Melaksanakan Rapat-rapat di Hotel ( Bagaimana Menyikapinya … ? )
Oleh :
I Astiruddin Purba, SH, MH. *)

1.    Pendahuluan
Awal pemerintahan baru (Jokowi-Jk) banyak mengambil langkah-langkah dalam rangka pencitraan pemerintahan baru yang diembannya, merupakan langkah yang berani dan sangat spektakuler serta menarik publik untuk disikapi, seperti menaikkan harga BBM, yang justru harga minyak dunia sedang turun, kemudian moratorium pengangkatan PNS, tahun 2015 ini di saat rakyat sedang membutuhkan lapangan pekerjaan, dan yang paling menarik publik, terutama melarang instansi pemerintah maupun BUMN untuk menyelenggarakan rapat-rapat di hotel. Statement ini segera ditindak lanjuti oleh Menpan-RB, serta direspon dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 11 Tahun 2014, dan diapresiasi oleh beberapa kalangan, seperti Wali Kota Surabaya, segera menyiapkan sarana dan prasarana untuk keperluan rapat-rapat di kantor pemerintahan di wilayah kerjanya. Namun  beberapa kalangan, khususnya yang bergerak di sektor swasta, ada pula yang bertanya-tanya atau boleh dikatakan tidak sependapat atau tegasnya tidak setuju maksud dari larangan tersebut, tentu mereka memiliki argumen masing-masing.
Setiap kegiatan dalam suatu organisasi sebelum dilaksanakannya kegiatan itu, perlu  ditetapkan terlebih dahulu melalui beberapa tahapan manajemen kerja yang memadai, lebih-lebih organisasi pemerintahan. Menyikapi ketentuan tidak boleh menyelenggarakan rapat-rapat di hotel itu, menurut hemat penulis hendaknya disikapi dengan arif bijaksana, dengan cara menerapkan manajemen kegiatan sesuai prinsip-prinsip manajemen, serta bila perlu dievaluasi, sejauhmana efisiensi dapat ditekan, sehingga tidak menimbulkan kesan kebijakan itu “untuk efisiensi atau mencari sensasi ?” Di saat pemerintah modern sekarang ini yang menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana yang ditentukan UNDP, yang telah diadopsi oleh beberapa negara termasuk Indonesia di dalam mereiventing government(nya), yaitu di dalam mengelola pemerintahan pemerintah harus menggunakan tiga komponen yang saling terkait, dan saling mendukung, yaitu antara negara, (state), dunia usaha (ekonomi pasar), dan masyarakat sipil (civil society). Ketiga komponen ini tidak bisa berdiri sendiri, antara ketiganya ada keterkaitan dan saling menunjang antara yang satu komponen dengan komponen yang lainnya, yang jika digambarkan, adalah sbb. :
Sumber : David Osborne & Ted Gaebler (1997).
Menyimak dari pemahaman ini, dengan sendirinya pemerintahpun di era modern ini tidak akan bisa berdiri sendiri. Di antara ketiganya tidak ada yang memiliki kontrol penuh, sehingga diantara ketiga komponen itu ada keseimbangan dan harmonisasi, di dalam mengemban dan menjalankan fungsinya masing-masing. Dan fungsi pemerintah sekarang adalah sebagai regulator, fasilitator dan pengawasan. Dengan demikian dalam tata kelola pemerintahan ini pemerintah tidak bisa  berdiri sendiri. Sektor swasta dan keterlibatan masyarakat (society) sangat diharapkan, untuk menuju pemerintahan yang ; transparan, akuntabel, efektif dan efisien.

Menurut hemat penulis, adanya kebijakan untuk melarang kegiatan rapat-rapat di hotel, adalah untuk menekan pemborosan ataupun kebocoran. Namun sekali lagi bukan itu satu-satunya cara. Masih banyak lagi upaya yang harus diupayakan. Yang lebih penting menurut hemat penulis adalah meningkatkan pengawasan di semua jajaran. Budaya kerja birokrasi publik dan akuntabilitas kinerja publik kita selama ini sangat lemah dan sangat monoton dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Sebagaimana disebutkan oleh Widodo, Joko  dalam bukunya “Good Governance” (2001 : 14), lemahnya tanggung jawab itu, disebabkan oleh : Pertama , lemahnya (tidak baiknya) perencanaan (strategic planning), Kedua, pelaksanaan (implementation) yang tidak dipersiapkan dengan baik, dan lemahnya fungsi kontrol (controlling) atas pelaksanaan tugas tersebut .

Hal-hal inilah yang menurut hemat penulis lebih dioptimalkan, bila perlu disertai sanksi yang tegas dari aparat berwenang, sehingga budaya kerja dan akuntabilitas birokrat kita lebih dioptimalkan lagi tentang peran dan fungsinya, sehingga di dalam implementasinya semua fungsi-fungsi manajemen bisa diakomodir dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan tanpa memandang siapa dan apa akibat dari penerapan sanksi-sanksi yang ada, oleh karena pada pemerintahan masa lalu tindakan/sanksi terhadap pelanggaran prosudur nyaris tidak diperhatikan.

2.    Larangan Rapat-rapat di Hotel siapa takut … ?
Menyikapi hal ini semestinya pihak pemerintah memperhatikan semua sektor, terutama sektor swasta yang telah banyak memberi andil terhadap negara, utamanya di dalam pembemberian devisa dan pajak kepada negara, yang tidak sedikit,  serta penyerapan tenaga kerja. Lebih-lebih dengan moratorium pengadaan PNS oleh pemerintahan baru dewasa ini, sudah barang  tentu para pencari kerja akan lari ke sektor swasta, (dan utamanya bagi daerah-daerah yang mengandalkan pertumbuhan ekonominya melalui sektor pariwisata), tentu kebijakan pemerintahan baru ini akan  membawa dampak yang sangat berat. Kebijakan ini sungguh sangat ironis, di satu sisi pemerintah mengembangkan usaha di sektor swasta, di sisi lain kebijakan yang dilakukan sepertinya tidak mendukung dunia usaha itu. Misalnya daerah Nusa Tenggara Barat yang sedang mengembangkan sektor pariwisata sebagai pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sangat merasakan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah ini.

Jika kebijakan itu bertujuan untuk mengefisienkan pemerintahan, maka masih banyak cara sebenarnya yang bisa dilakukan untuk mengifisienkan pemerintahan itu. Tidak mesti melarang kegiatan rapat-rapat di Hotel. Misalnya saja, untuk mengefisienkan anggaran pemerintah yang harus ditingkatkan, adalah pengawasannya, serta tertib anggaran misal, rapat yang mestinya selesai sehari, justru diprogramkan 3 (tiga) hari, pelaksanaannya sehari penuh dengan cara jadwal dipadatkan dengan waktu istirahat ditiadakan, sedangkan SPJnya tetap dibuat 3 (tiga hari). Inilah pemborosan yang tak kentara. Ini mestinya diawasi dengan ketat, oleh aparat pengawas mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan pertanggungjawabannya, dengan mengacu pada  tertib penyusunan, penggunaan serta pertanggungjawaban anggaran itu, bukan melarang pelaksanaan kegiatannya di hotel. Kemudian aparat di jajaran pemerintahan maupun BUMNpun, mestinya dapat memilah dengan cermat, kegiatan apa saja yang layak dilaksanakan di hotel, dan kegiatan apa saja yang harus dilaksanakan di kantor. Semua kagiatan pemerintahan baik pada instansi pemerintah maupun BUMN, hendaknya tetap melaksanakan kegiatannya dengan mengacu pada prinsif-prinsif good governance, sehingga publik dapat mengakses seluruh kegiatan, lebih-lebih yang dilakukan merupakan  kegiatan yang menyentuh rakyat secara langsung.
Sebagaimana dikutip pada harian Independennews (dalam http://independennews.com/index.php?option=com_k2&view=item&id=1564:menpan-pns-dilarang-rapat-di-hotel&Itemid=668. diunduh tgl. 11-12-2014) disebutkan sebagai berikut :
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Yuddy Chrisnandi mengeluarkan surat edaran bagi kementerian dan instansi pemerintah menggelar rapat di hotel. Peraturan ini berlaku mulai Desember sebagai toleransi bagi kementerian dan instansi pemerintah yang sudah telanjur merencanakan menggelar rapat di hotel hingga akhir November 2014. Yuddy mengatakan, surat edaran larangan rapat di hotel berlaku sejak diedarkan, yakni 6 November 2014. "Sudah ada instansi yang sudah merencanakan rapat di hotel jauh-jauh hari. Alasannya, tidak punya ruangan dengan kapasitas yang diinginkan, sudah bayar uang muka, katering, dan lain-lain," ujar Yuddy, Jumat (14/11) 1.

Menyikapi hal ini, hendaknya larangan itu janganlah terlalu  kaku, yang terpenting adalah sesuai dengan perencanaan awal. Bersifat transparan, akuntabel, efektif dan efisien, serta sesuai dengan realita di lapangan., dan benar adanya. Oleh karena kebiasaan-kebiasaan masa lalu oleh aparat Birokrasi masih terbawa-bawa, apa yang direncanakan tidak sesuai dengan pelaksanaan di lapangan.

Lebih lanjut dikatakan, oleh Men PAN-RB :
"Kami putuskan memberi batas waktu hingga akhir November 2014. Desember bulan depan, tidak ada lagi yang namanya rapat di hotel," tambahnya. Mulai saat ini, katanya, semua instansi pemerintah harus mendayagunakan fasilitas ruangan yang ada di kantornya masing-masing sehingga tak lagi menghambur-hamburkan uang negara untuk membiayai rapat di luar kantor. Jadi, lanjutnya, bagi PNS yang ketahuan masih menggelar rapat di hotel melewati batas waktu yang telah ditentukan, pihaknya tidak segan-segan memberikan sanksi” 2

Memperhatikan pernyataan Men PAN-RB, itu rupanya sangat tegas, bagi yang tidak mengindahkan kebijakan tersebut akan dikenai sanksi. Namun di dalam menyikapi itu semua aparat pemerintah maupun BUMN tidak perlu grasa-grusu, sikapi dengan penuh arif bijaksana. Perencanaan suatu kegiatan memegang peranan yang sangat penting di dalam melaksanakan suatu kegiatan. Maka dari itu sebelum kegiatan berlangsung, susun dulu perencanaan dengan matang, sehingga di dalam pelaksanaan kegiatan nanti tidak banyak menyimpang. Pilah dan pilih kegiatan mana yang tidak
--------------------------------
1. Lihat : http://independennews.com/index.php?option=com_k2&view=item&id=1564:menpan-pns-dilarang-rapat-di-hotel&Itemid=668
2.    Ibid.
mesti   dilaksanakan di hotel, jangan dilaksanakan di hotel. Tetapi jika dalam keadaan terpaksa, prosudur harus ditempuh, misalnya dengan mengajukan telaahan staf kepada pihak pimpinan, bahwa kegiatan  tersebut kurang memadai jika dilaksanakan di kantor. Berkenaan dengan hal itu para pelaksana kegiatan maupun Satuan Kerja baik di pusat maupun di daerah di dalam melaksanakan suatu kegiatan hendaknya benar-benar didukung oleh perencanaan yang tegas dan akurat, membuat rencana kerja tidak asal-asalan, serta konsisten dengan perencanaan tersebut.
3. Kesimpulan dan saran
Pada bagian akhir dari tulisan ini, maka penulis dapat mengambil beberapa   kesimpulan serta saran. sbb. :
a.    Kesimpilan :
  • Langkah pemerintahan Jokowi-Jk yang diambil, adalah dengan alasan untuk efisiensi anggaran serta menyederhanakan sepanjang kegiatan itu bisa  dilaksanakan di kantor milik  pemerintah kenapa meski di hotel ?, walaupun langkah itu bukan satu-satunya untuk mengefisienkan pemerintahan ;
  • Langkah tersebut merupakan kebijakan pemerintah baru untuk mengefisienkan pemerintahan dan menyederhanakan pemerintahan, yang walaupun di dalam menyikapi kebijakan tersebut ada yang pro dan ada yang kotra, utamanya di kalangan swasta yang bergerak di bidang usaha  hotel dan restorant, mengingat masih banyak hal yang dibutuhkan negara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat ;

b.    Saran-saran :
  • Di dalam menyikapi kebijakan itu, hendaknya disikapi dengan penuh arif dan bijaksana, serta di dalam melaksanakan suatu kegiatan, hendaknya didasari oleh perencanaan yang akurat, serta konsisten di dalam pelaksanaannya, termasuk kegiatan rapat-rapat ;
  • Kegiatan yang dilakukan hendaknya selalu dilaksanakan dengan prinsip akuntabilias, efektif dan efisien. Sehingga kebijakan itu tidak menimbulkan kesan, “untuk efisiensi atau mencari sensasi … ?”
Mataram, medio Desember 2014.
*) Penulis adalah staf Pengajar Pada IPDN.
Kampus Nusa Tenggara Barat, yang kini sedang mengikuti
Program Pascasarjana Doktor Ilmu Pemerintahan pada IPDN.
Kementerian Dalam Negeri – Jakarta


Wednesday, March 6, 2019

GABUNGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP / CONCURSUS)

GABUNGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP / CONCURSUS)

GABUNGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP / CONCURSUS)
Dalam suatu tindak pidana dikatakan telah terjadi suatu perbarengan dalam kondisi, jika satu orang, melakukan lebih dari 1 tindak pidana, yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana pada orang tersebut, di mana untuk tindak pidana itu belumada putusan hakim diantaranya dan terhadap perkara-perkara pidana itu akan diperiksa serta diputus sekaligus.
I.    BEBERAPA PANDANGAN.
Ada dua kelompok pandangan mengenai persoalan concursus :
1.    Yang memandang sebagai masalah pemberian pidana a.l Hazewinkel- Suringa
2.    Yang memandang sebagai bentuk khusus dari tindak pidana a.l : Pompe, Mezger, Moelyatno
II.    PENGATURAN DIDALAM KUHP
Didalam KUHP diatur dalam pasal 63 s/d 71 yang terdiri dari :
1.    Perbarengan peraturan (concursus Idealis) pasal 63.
2.    Perbuatan berlanjut (Delictum Continuatum /Voortgezettehandeling) pasal 64.
3.    Perbarengan perbuatan (Concursus Realis) pasal 65 s/d 71.
III.    PENGERTIAN
1.    Menurut rumusan KUHP :
Sebenarnya didalam KUHP tidak ada definisi mengenai Concursus, namun demikian dari rumusan pasal-pasal diperoleh pengertian sbb :
§  Concursus Idealis, pasal 63 (suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana.
§  Ada perbuatan berlanjut, apabila pasal 64
Seseorang melakukan beberapa, perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
Catatan : Diantara perbuatan-perbuatan yang dilakukan pada (concursus realis dan perbuatan berlanjut) narus belum ada keputusan hakim.
2.    Menurut pendapat sarjana :
Adanya istilah “perbuatan/feit” dalam pasal-pasal di atas menimbulkan masalah yang cukup sulit, khususnya dalam hal terdakwa hanya melakukan perbuatan. Kesulitan ini timbul karena dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, “perbuatan” (feit) itu ada meninjaunya secara materiil, secara fisik jasmaniah, yaitu dipikikan terlepas dari akibatnya, terlepas dari unsur-unsur tanbahan (dikenal dengan jaran feit materiil), dan ada pula yang melihatnya dari sudut hukum yaitu yang dihubungkan dengan danya akibat / keadaan yang terlarang.
Sehubungan dengan kesulitan itu, maka para sarjana mengemukakan beberapa pendapat :
HAZEWINKEL-SURINGA
Ada concursus Idealis apabila suatu perbuatan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, mau tidak mau (eoipso) masuk pula dalam peraturan pidana lain.
Misal : perkosaan dijalan umum, disamping masuk 281 (melanggar kesusilaan di muka umum).
POMPE
Ada concursus Idealis, apabila orang melakukan sesuatu perbuatan konkrit yang diarahkan kepada satu tujuan merupakan benda / obyek aturan hukum. Misalnya bersetubuh dengan anak sendiri yang belum berusia 15 th, perbuatan ini masuk pasal 294 (perbuatan cabul dengan anak sendiri yang belum cukup umur) dan pasal 287 (bersetubuh dengan wanita yang belim berusia 15 tahun diluar perkawinan).
TAVERNE
Ada concursus Idealis , apabila :
-       Dipandang dai sudut hukumpidana ada dua perbuatan atau lebih;
-       Antara perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dipikirkan terlepas satu sama lain.
Contoh : Oranga dalam keadaan mabuk mengendarai mobil diwaktu malam tanpa lampu. Dalam hal ini perbuatan hanya satu yaitu “mengendarai mobil”, tetapi dilihat dari sudut hukumada dua perbuatan yang masing-masing dapat dipikirkan terlepas satu sama lain, yaitu:
Pertama, “mengendarai mobil dalam keadaan mabul” (menggambarkan keadaan orang / pelakunya) dan kedua “mengendarai mobil tanpa lampu diwaktu malam” (menggambarkan keadaan mobilnya). Jadi dalam hal ini ada Concursus Realis.
VAN BEMMELEN
Ada Concursus Idealis, apabila :
-       Dengan melanggar satu kepentingan hukum.
-       Dengan sendirinya melakukan perbuatan (feit) yang lain pula.
Contoh : Perkosaan dijalan umum (melanggar pasal 285 & 281 KUHP). Khusus mengenai penjelasan M.v.T mengenai criteria untuk adanya “perbuatan berlanjut” seperti dikemukakan diatas, Simons tidak sependapat. Mengenai syarat “ ada satu keputusan kehendak”, Simons mengartikannya secara umum dan lebih luas yaitu “tidak berarti harus ada kehendak untuk tiap-tiap kejahatan”. Berdasar pengertian yang luas ini, maka tidak perlu perbuatan-perbuatan itu sejenis, asal perbuatan itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan tujuan. Misalnya untuk melampiaskan balas dendamnya kepada B, A melakukan serangkaian perbuatan-perbuatan berupa meludahi, merobek bajunya, memukul dan akhirnya membunuh.
IV.    SISTEM PEMBERIAN PIDANA / STELSEL PEMIDANAAN
1.    Concursus Idealis (pasal 63).
a). Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat.
Misal : perkosaan dijalan umum, melanggar pasal 285 (12 th penjara) dan pasal 281 (2 tahun 8 bulan penjara).
Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah 12 tahun.
b). Apabila Hakim menghadapi pilihan antara dua pidana poko sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok dengan tambahan yang paling berat.
c). Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka penetuan pidana yang terberat didasarkan pada urut-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10 (lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal 10), jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan dan denda 5 juta rupiah, maka pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara.
d). Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam ayat (1), dalam hal ini berlaku adagium “lex specialis derogate legi generali” Contoh : seorang ibu membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam pasal 338 (15 tahun penjara dan pasal 341 (7 tahun penjara). Maksimum pidana penjara yang dikenakan ialah yang terdapat dalam pasal 341 (lex specialis) yaitu 7 tahun penjara.
2.    Perbuatan berlanjut (pasal 64).
a). Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
b). Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang. Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun) kemudian menggunakan / mengedarkan mata uang yang palsu itu (pasal 245 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang sebagai concursus Realis, tetapi tetap dipandang sebagai perbuatan berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15 tahun penjara
c). Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatn ringan yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407 (1) (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatn ringan yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362 (pencurian), 372 (penggelapan), 378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang).
3.    Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).
a.    Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
Misal :
Ø  A melakukan 3 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini yang dapat digunakan ialah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jadi disini berlaku system absorbsi yang dipertajam.
Ø  A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing- masing diancam pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah ancaman pidananya yaitu 10 tahun penjara, karena melebihi jumlah maksimum pidana untuk masing-masing kejahatan tersebut.
b.    Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku pasal 66 yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum piudana yang terberat ditambah sepertiga, system ini disebut system Kumulasi yang diperlunak.
Misal :
1). A melakukan 2 jenis kejahatan  yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan dua tahun penjara.
Dalam hal ini semua jenis pidana (penjara dan kurungan) harus dijatuhkan. Adapun maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2) tahun = 2 tahun 9 bulan atau 33 bulan. Dengan demikian pidana yang dijatuhkan misalnya terdiri dari 2 tahun penjara dan 8 bulan kurungan.
2). Bagaimanakah dalam hal A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,- ? mengenai hal ini ada dua pendapat :
-   Menurut Noyon semuanya harus dijatuhkan yaitu 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,-;
-   Menurut blok perhitungannya sbb : pidana denda dijadikan dulu pidana kurungan pengganti yaitu maksimum 6 bulan (lihat pasal 30 KUHP). Dengan demikian maksimumnya ialah 6 + (1/3 x 6) bulan = 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan maka 6 bulan ini dipecah menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau sama dengan 1/3 x Rp. 1.000,- = Rp. 333,30,- (atau dibulatkan menjadi Rp. 334,-_
-   Perhitungan blok mengenai jumlah pidana kurungan pengganti di atas masih didasarkan pada perhitungan lama sebelum adanya perubahan pidana denda 15 kali menurut UU No. 18 tahun 1960.
-   Menurut perhitungan lama, tiap denda 50 sen atau kurang dihitung sama dengan satu hari kurungan pengganti, tetapi karena menurut pasal 30 (3) maksimum kurungan pengganti 6 bulan, maka untuk denda Rp. 1.000,- maksimumnya kurungan penggantinya 6 bulan.
-   Dengan telah adanya perubahan pidana denda, maka 1 hari kurungan pengganti dihitung sama dengan Rp. 7,50,- (yaitu 50 sen dikalikan 15) jadi untuk denda Rp. 1.000,- kurungan penggantinya sama dengan 134 hari (dibulatkan).
-   Dengan demikian apabila diikuti perhitungan menurut Blok di atas maka jumlah maksimum 8 bulan dapat dipecah misalnya menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau sama dengan denda 60/134 x Rp. 1.000,- = Rp.447,76.
3). Bagaimanakah dalam hal A melakukan dua jenis kejahatan yang terdapat dalam pasal 351 (diancam pidana 2 tahun 8 bulan penjara atau denda Rp. 4.500,-) dalam pasal 360 (diancam pidana 5 tahun penjara atau 1 tahun kurungan ?
Dalam hal ini hakim harus mengadakan “pilihan hukum” terlebih dahulu. Kalau dipilih ancaman pidana yang sejenis, maka digunakan system absornsi yang dipertajam / diperberat (pasal 65).
c.    Untuk Concursus Realis berupa pelanggaran, berlaku pasal 70 yang menggunakan system kumulasi. Misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam piadan kurungan 6 bulan dan 9 bulan, maka maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 bulan. Namun menurut pasal 70 ayat 2, system kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan. Jadi misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam pidana kurungan 9 bulan, maka maksimum pidana kurungan yang dapat dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18 bulan, tetapi maksimumnya adalah 1 tahun 4 bulan atau hanya 16 bulan.
d.    Untuk Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus untuk pasal 302 (1), 352, 364, 373, 379 dan 482 berlaku pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi dengan pembatan maksimum untuk penjara 8 bulan.
Misal :
§ A melakukan pencurian ringan (pasal 364) dan penggelapan ringan (pasal 373) yang masing-masing diancam pidana 3 bulan penjara. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6 bulan penjara (system kumulasi).
§ Tetapi apabila A misalnya melakukan 3 kejahatan ringan yang masing-masing diancam pidana penjara 3 bulan, maka maksimumnya bukan 9 bulan penjara (kumulasi) tetapi 8 bulan penjara.
e.    Untuk Concursus Realis, baik kejahatan maupun pelanggaran untuk diadili pada saat berlainan, berlaku pasal 71 yang berbunyi sbb: “Jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan salah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama”.
Misal :
A melakukan kejahatan-kejahatan sbb :
Ø  Tgl. 1/1 : pencurian (pasal 362, ancaman pidana 5 tahun penjara);
Ø  Tgl. 5/1 : penganiayaan biasa (pasal 351 diancam 2 tahun 8 bulan);
Ø  Tgl. 10/1 : penadahan (pasal 480, diancam 4 tahun penjara);
Ø  Tgl. 20/1 : penipuan (pasal 378, diancam 4 tahun penjara).
Kemudian A ditangkap dan diadili dalam satu keputusan. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata untuk keempat tindak pidana itu, hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara, maka jika kemudian ternyata bahwa A pada tanggal 14/1 (jadi sebelum ada keputusan) melakukan penggelapan (pasal 372 yang diancam pidana penjara 4 tahun), maka keputusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak hanya dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahu (putusanI) yaitu 8 bulan penjara.
Dengan contoh diatas, dapatlah bunyi pasal 71 diatas dirumuskan secara singkat sbb :
Putusan ke II = (putusan sekaligus) – (putusan ke-I).


Wednesday, February 13, 2019

Isi Pembukaan UUD 1945

Isi Pembukaan UUD 1945
Republik Indonesia

Pembukaan UUD 1945
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ketuhanan Yang Maha Esa, 
kemanusiaan yang adil dan beradab, 
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." 

ISI MAKALAH HUBUNGAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI KONVENSI WINA 1961

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Menurut Jan Osmanczyk, Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasionalyan...