Thursday, May 9, 2019

SYARAT ASN PNS, TNI DAN POLRI UNTUK IKUT BERPOLITIK


Pada tanggal 3 April 2015,para PNS yang terdiri dari Dr. Rahman Hadi, Msi, dkk., mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian di registrasi dengan nomor perkara 41/PUU-XIII/2015.
Adapun pasal yang diuji oleh para Pemohon adalah sebagai berikut:
Pasal 119, “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon”.
Pasal 123 ayat (3), “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon”.
terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2)  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut UUD 1945, yang menyatakan:
Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2)
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan;
Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2)
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak  untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasarapa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifatdiskriminatif itu;
Dalam permohonannya, para Pemohon menyatakan bahwa sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)  merasa dirugikan dengan pasal a quo karena hak untuk dipilih dan hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan telah dibatasi, dibedakan dan dikecualikan dari dan/atau dengan kelompok warga negara dan/atau profesi lainnya, dengan cara mewajibkan PNS untuk mengundurkan diri sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah dan anggota DPD. Padahal, pembatasan, pembedaan, dan pengecualian untuk mengundurkan diri tidak diberlakukan terhadap warga negara lainnya. Pembatasan, pengecualian, dan pembedaan sebagaimana dalam pasal a quo dapat dikualifikasi sebagai bentuk diskriminasi;

            Untuk menjawab persoalan konstitusionlitas pasal tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:
Pendapat Mahkamah
[3.10]    Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden” dalam melakukan pengujian atas Undang-Undang.  Dengan kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dan permohonan a quo cukup jelas, Mahkamah memutus perkara a quo tanpa mendengar keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden;
[3.11]      Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, bukti surat/tulisan dari para Pemohon, sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
[3.12]      Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian konstitusionalitas Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN karena pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dengan alasan adanya diskriminasi antarstatus warga negara dalam profesi PNS jika mencalonkan atau dicalonkan menjadi pejabat negara diwajibkan mengundurkan diri sejak mendaftarkan sebagai calon;
[3.13]     Menimbang bahwa terkait dengan dalil permohonan a quo, sepanjang menyangkut syarat pengunduran diri PNS ketika hendak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan politik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected officials), Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 45/PUU-VIII/2010, bertanggal 1 Mei 2012, yang kemudian dirujuk kembali dalam Putusan Nomor 12/PUU-XI/2013, bertangggal 9 April 2013. Dalam kedua putusan tersebut Mahkamah antara lain menyatakan:
“...Ketika seseorang telah memilih untuk menjadi PNS maka dia telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan, sehingga pada saat mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan politik yang diperebutkan melalui mekanisme pemilihan umum, dalam hal ini sebagai calon anggota DPD, maka Undang-Undang dapat menentukan syarat-syarat yang di antaranya dapat membatasi hak-haknya sebagai PNS sesuai dengan sistem politik dan ketatanegaraan yang berlaku pada saat ini. Dari perspektif kewajiban, keharusan mengundurkan diri sebagai PNS tersebut tidak harus diartikan pembatasan HAM karena tidak ada HAM yang dikurangi dalam konteks ini, melainkan sebagai konsekuensi yuridis atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik, sehingga wajib mengundurkan diri dari PNS guna mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang birokrasi pemerintahan. Menurut Mahkamah, perspektif yang manapun dari dua perspektif itu yang akan dipergunakan dalam perkara a quo maka kewajiban mengundurkan diri menurut undang-undang bagi PNS yang akan ikut pemilihan anggota DPD tersebut bukanlah pelanggaran hak konstitusional;”
                  Bahwa permohonan a quo, secara substansial, adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang yang berkenaan dengan jabatan publik atau jabatan politik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected officials). Oleh karena jabatan anggota DPD adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan maka pertimbangan hukum putusan Mahkamah di atas juga berlaku terhadap permohonan a quo.
              Namun demikian, selain uraian sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan putusan Mahkamah di atas, Mahkamah memandang penting untuk menambahkan bahwa kedudukan dan peranan PNS penting serta  menentukan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Peranan itu menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan yang bergantung pada kompetensi PNS yang secara karier diangkat berdasarkan kecakapan tertentu dan secara terus menerus memperoleh pembinaan, pendidikan, jenjang kepangkatan secara teratur dan terukur, termasuk pendidikan kedinasan untuk mencapai jenjang kepangkatan dan karier tertentu, yang pada pokoknya, seorang PNS dan/atau pegawai ASN yang memenuhi syarat menjadi calon pejabat dalam jabatan tertentu sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal yang diuji para Pemohon adalah subjek pegawai ASN yang telah melalui jenjang karier, kepangkatan, promosi, mutasi, penilaian kinerja, disiplin, kompetensi, dan telah teruji dan berpengalaman mampu melaksanakan tugas pelayanan publik yaitu memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan administratif;
                  Sementara itu, berkenaan dengan syarat pengunduran bagi anggota TNI dan anggota Polri yang hendak mencalonkan diri dalam jabatan politik atau jabatan publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, Mahkamah pun telah menyatakan pendiriannya, sebagaimana termuat dalam Putusan Nomor 67/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, Mahkamah antara lain menyatakan:
Bahwa frasa “surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri” dalam Pasal 59 ayat (5) huruf g UU 12/2008, menurut Mahkamah adalah ketentuan persyaratan yang sudah jelas bagi anggota TNI maupun anggota Polri yang akan mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilukada dalam menjaga profesionalitas dan netralitas TNI dan Polri. Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan Pemilu dalam hal ini Pemilukada yang demokratis, jujur, dan akuntabel, para peserta Pemilu, khususnya yang berasal dari PNS, anggota TNI dan anggota Polri tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan jabatan, kewenangan, dan pengaruh yang melekat pada dirinya sebagai akibat jabatan yang disandangnya pada saat Pemilukada berlangsung... “
[3.14]    Menimbang, berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana termuat dalam dua putusan Mahkamah di atas, telah nyata bahwa ketentuan Undang-Undang yang mensyaratkan pengunduran diri PNS maupun anggota TNI dan anggota Polri jika yang bersangkutan hendak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan politik atau jabatan publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, termasuk dalam hal ini pencalonan menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, menurut Mahkamah, tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.
[3.15]      Menimbang bahwa UU ASN juga memuat ketentuan tentang pemberhentian sementara pegawai ASN dari PNS yang diangkat menjadi pejabat negara yaitu ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; Menteri dan jabatan setingkat menteri; Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar  Biasa dan Berkuasa Penuh. Pasal 123 ayat (1) dan ayat (2) UU ASN menyatakan bahwa PNS yang diangkat menjadi pejabat negara sebagaimana disebutkan di atas diberhentikan sementara dari jabatannya selama yang bersangkutan masih menjabat jabatan tersebut di atas sehingga tidak kehilangan status sebagai PNS. Ketentuan ini adalah berlaku bagi jabatan yang tergolong ke dalam appointed officials bukan elected officials, sehingga tidak serta-merta dapat disamakan dengan PNS yang hendak mencalonkan diri menduduki jabatan yang tergolong elected officials, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Pembedaan demikian bukanlah suatu bentuk diskriminasi karena karakter kedua jabatan tersebut memang berbeda sehingga mempersyaratkan perlakuan yang berbeda pula.
[3.16]      Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berpendapat bahwa syarat pengunduran diri PNS yang hendak mencalonkan diri sebagai pejabat publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan tidak bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah memandang perlu untuk mempertimbangkan lebih lanjut aspek kepastian hukum dan keadilan berkenaan dengan pertanyaan “kapan” pengunduran diri tersebut harus dilakukan. Hal ini berkait dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN.
Pasal 119 UU ASN menyatakan, “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon”.
Pasal 123 ayat (3) UU ASN menyatakan, “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon”.
                  Pertanyaan yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam hubungan ini adalah apakah adil dan sekaligus memberi kepastian hukum apabila seorang PNS yang hendak mencalonkan diri sebagai pejabat publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan harus menyatakan pengunduran dirinya secara tertulis sebagai PNS sejak saat ia mendaftar sebagai calon? Pertanyaan demikian menjadi penting untuk dipertimbangkan sebab istilah “mendaftar” hanyalah merupakan tahap awal sebelum seseorang dinyatakan secara resmi atau sah sebagai calon peserta pemilihan setelah dilakukan verifikasi oleh penyelenggara pemilihan.
                  Dengan demikian, dalam konteks permohonan a quo, apabila syarat pengunduran diri PNS tersebut dimaknai seperti yang tertulis dalam ketentuan UU ASN di atas maka seorang PNS akan segera kehilangan statusnya sebagai PNS begitu ia mendaftar sebagai pejabat publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan. Pemaknaan atau penafsiran demikian memang telah memberi kepastian hukum namun mengabaikan aspek keadilan. Dengan kata lain, pemaknaan demikian hanyalah memenuhi sebagian dari jaminan hak konstitusional yang dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu hanya aspek kepastian hukumnya. Padahal, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tegas menyatakan bahwa hak dimaksud bukanlah sekadar hak atas kepastian hukum melainkan hak atas kepastian hukum yang adil.
                  Dikatakan mengabaikan aspek keadilan, sebab terdapat ketentuan Undang-Undang yang mengatur substansi serupa namun memuat persyaratan atau perlakuan yang tidak setara meskipun hal itu diatur dalam Undang-Undang yang berbeda, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 8/2015). Dalam UU 8/2015 juga terdapat ketentuan yang mempersyaratkan PNS mengundurkan diri sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, sementara bagi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD hanya dipersyaratkan memberitahukan kepada pimpinannya jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Hal itu diatur dalam Pasal 7 huruf s dan huruf t UU 8/2015.
                  Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan publik atau jabatan politik yang mekanisme pengisiannya juga dilakukan melalui pemilihan. Oleh karena itu syarat pengunduran diri bagi PNS yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah tidaklah bertentangan dengan UUD 1945, sebagaimana telah ditegaskan dalam putusan-putusan Mahkamah yang telah dijelaskan dalam paragraf [3.13] di atas. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa syarat yang sama tidak berlaku bagi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD? Oleh karena itu, agar proporsional dan demi memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil, baik PNS maupun anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD haruslah sama-sama dipersyaratkan mengundurkan diri apabila hendak mencalonkan diri guna menduduki jabatan publik atau jabatan politik lainnya yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan (elected officials). Namun, demi memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil pula, pengunduran diri dimaksud dilakukan bukan pada saat mendaftar melainkan pada saat yang bersangkutan telah ditetapkan secara resmi sebagai calon oleh penyelenggara pemilihan dengan cara membuat pernyataan yang menyatakan bahwa apabila telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemilihan sebagai calon dalam jabatan publik atau jabatan politik yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan itu maka yang bersangkutan membuat surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, yaitu pada saat mendaftarkan diri dan berlaku sejak ditetapkan secara resmi sebagai calon.
[3.17]    Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN beralasan menurut hukum untuk sebagian.
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1.  Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian:
1.1      Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai,“pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
1.2      Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
2.  Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3.  Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia Sebagaimana mestinya.


Tuesday, April 30, 2019

ANALISIS UNSUR-UNSUR TINDAKAN PEMERKOSAAN DITINJAU DARI KUHP

Adapun pasal-pasal yang mengatur tindak pidana perkosaan sebagaimana yang tercantum dalam KUHP, adalah sebagai berikut :
Pasal 285 KUHP
Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 285 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Unsur-unsur dari Pasal 285 ini adalah :
1.       Perbuatannya : memaksa bersetubuh
2.       Caranya : dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
3.       Objek : perempuan bukan istrinya.        
Adami Chazawi (2005 : 63), Pengertian perbuatan  memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang tersebut yang bertentangan dengan kehendak hatinya agar dirinya menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Menerima kehendaknya ini setidaknya mengakibatkan dua hal yaitu orang yang dipaksa akan menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya atau orang yang dipaksa tersebut akan berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang memaksa.

Menurut R. Seosilo (1994 : 209), dalam Pasal 285, memaksa disini bertujuan agar perempuan yang menjadi korban bersedia menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya yaitu bersedia disetubuhi.

Sejalan dengan R. Soesilo, M.H Tirtamidjaja (Ledeng Marpaung, 2004 :53), mengemukakan pengertian bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.

Adami Chazawi (2005 : 64), Cara-cara memaksa yang dirumuskan dalam pasal 285 KUHP dibatasi dengan dua cara yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam KUHP. Hanya mengenai kekerasan, ada pasal 89 KUHP yang merumuskan perluasan arti kekerasan.

Menurut R. Soesilo (1994 : 209), melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.

Lebih lanjut R. Soesilo (1994 : 65), Berdasarkan fungsinya, maka kekerasan dalam pengertian Pasal 285 KUHP dapatlah di definisikan sebagai suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Dalam keadaan tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri.

Pasal 286 KUHP
Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 286 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :

Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

Menurut Adami Chazawi (2005 : 67), perempuan yang menjadi korban dalam pasal ini adalah seorang perempuan yang bukan istrinya secara objektif berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Didalam Pasal 286 KUHP ini terdapat unsur subjektif yaitu diketahuinya perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

R. Soesilo (1994 : 210), menjelaskan bahwa pingsan artinya ”tidak ingin atau tidak sadar akan dirinya” umpamanya dengan memberi minum racun kecubung atau lain-lain obat sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kedua kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.

Sejalan dengan hal tersebut, Adami Chazawi (2005 : 68) menyatakan bahwa keadaan pingsan dan tidak berdaya memiliki perbedaan makna walaupun orang pingsan pada dasarnya juga tidak berdaya. Perbedaan makna tersebut ialah, bahwa pada keadaan pingsan orang itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, dalam keadaan ini dia tidak mengetahui apa yang telah diperbuat orang lain in case disetubuhi terhadap dirinya. Seseorang yang sedang dalam keadaan tidur, atau disuntik dengan obat tidur, maka kekadaan tidur itu dapat disebut dengan keadaan pingsan.

Dalam keadaan tidak berdaya, orang itu mengerti dan sadar tentang apa yang telah diperbuat oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya perempuan itu ditodong dengan pisau, atau tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan tenaga seorang laki-laki yang memperkosanya, atau dirinya dalam keadaan sakit sehingga tidak berdaya. Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah unsur objektif yang didasari atau diketahui oleh si pembuat. Kondisi pingsan atau tidak berdaya itu bukanlah akibat dari perbuatan si pelaku melainkan suatu kondisi yang sudah terjadi. Si pelaku hanya disyaratkan untuk secara subjektif mengetahui bahwa perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Adami Chazawi, 2005 : 68-69).

Pasal 287 KUHP
Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 287 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
1.       Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa unsur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.
2.       Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umur perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu yang disebut pada pasal 291 dan 294.
Menurut Adami Chazawi (2005 : 71), Berbeda dengan Pasal 285 KUHP dan Pasal 286 KUHP yang mensyaratkan tidak adanya persetujuan dari perempuan korban, melalui tindakan pemaksaan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan, maka pada pasal 287 KUHP, persetubuhan yang dilakukan adalah dengan persetujuan dari si perempuan korban. Dengan kata lain hubungan tersebut dilakukan dengan suka sama suka. Letak pidananya adalah pada umur perempuan korban yang belum cukup 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin.

Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, maka pada Pasal 1 butir 1 dinyatakan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Namun sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 001/PUU-VIII/2010 tentang batasan umur anak menjadi batasan umur anak yaitu yang berusia 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun.

Pasal 288 KUHP
Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 288 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
1.       Barang siapa bersetubuh dengan istrinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya buat dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu luka.
2.       Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
3.       Jika perbuatan itu menyebabkan perempuan itu mendapat luka berat, dijatuhkan penjara selama-lamanya delapan tahun.
R. Soesilo (1994 : 212), Pada dasarnya KUHP tidak mengancam pidana kepada pelaku yang menyetubuhi perempuan yang belum berumur 15 tahun jika perempuan itu adalah istrinya, kecuali dari perbuatan persetubuhan tersebut menimbulkan akibat luka-luka, luka berat atau kematian. Yang dilarang dalam pasal ini bukanlah bersetubuh dengan istrinya yang belum masanya buat dikawinkan, melainkan bersetubuh yang mengakibatkan istrinya yang belum masanya untuk kawin tersebut mengalami luka-luka secara fisik, luka berat ataupun meninggal dunia.
Dan Lebih lanjut:

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
        Pasal 285 KUHP :
        -   Barangsiapa,
        -   dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
        -   memaksa seorang wanitabersetubuh dengan dia,
        -   di luar perkawinan,
“dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”
   
 Menurut : SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.231-81.
Yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang dapat mendatangkan kerugian bagi siterancam atau mengagetkan yang dikerasi. Mengenai perluasannya, termuat dalam pasal 89 KUHP yang berbunyi : “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Suatu contoh tentang kekerasan antara lain ialah menarik dan sembari meluncurkan celana wanita, kemudian wanita tersebut dibanting ke tanah, tangannya dipegang kuat-kuat, dagunya ditekan lalu dimasukkan kemaluan si-pria tersebut.
              
Yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan. Ancaman ini dapat berupa penembakan ke atas, menodongkan senjata tajam, sampai dengan suatu tindakan yang lebih “sopan”, misalnya dengan suatu seruan dengan mengutarakan akibat-akibat yang merugikan jika tidak dilaksanakan. 

Yang dimaksud dengan memaksa adalah suatu tindakan yang memojokkan seseorang hingga tiada pilihan yang lebih wajar baginya selain daripada mengikuti kehendak dari sipemaksa. Dengan perkataan lain tanpa tindakan sipemaksa itu siterpaksa tidak akan melakukan atau melalaikan sesuatu sesuai dengan kehendak sipemaksa. Dalam hal ini tidak diharuskan bagi siterpaksa untuk mengambil resiko yang sangat merugikannya, misalnya lebih baik mati atau luka-luka / kesakitan daripada mengikuti kehendak sipemaksa. Di sini harus dinilai secara kasuistis kewajarannya. Pemaksaan pada dasarnya dibarengi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dapat juga pemaksaan dibarengkan dengan ancaman akan membuka rahasia siterpaksa atau menyingkirkan siterpaksa dan lain sebagainya. Pokoknya akibat dari pemaksaan itu jika tidak dilakukan adalah sesuatu yang merugikan siterpaksa. Dalam pasal ini yang ditentukan hanyalah pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Sukar dapat diterima adanya pemaksaan dengan pemberian upah atau hal-hal yang akan menguntungkan siterpaksa. Dalam hal yang terakhir ini istilahnya adalah membujuk, menggerakkan, menganjurkan dan lain sebagainya.

Menurut Drs. P.AF. Lamintang, SH (Delik-Delik Khusus : Tindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-norma Kepatutan), Mandar Maju / 1990 / Bandung, hal.110-111.
Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan “kekerasan”, bahkan didalam        yurisprudensipun tidak dijumpai adanya sesuatu putusan kasasi yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk memberikan arti yang  setepat-tepatnya bagi kata “kekerasan” tersebutt.

Namun menurut Simons, yang dimaksudkan dengan kekerasan atau geweld itu ialah ‘elke uitoefening van lichamelijke kracht van niet al te geringe betekenis’, yang artinya : “setiap penggunaan tenaga badan yang tidak terlalu tidak berarti’ atau ‘het aanwenden van lichamelijk kracht van niet al te geringe intensiteit’, yang artinya ‘setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan’.

Apa yang dimaksudkan dengan “ancaman kekerasan” itupun, undang-undang ternyata telah tidak memberikan penjelasannya. Menurut arrest Hoge Raad tanggal 5 Januari 1914 (NJ.1915 hal.1116), mengenai “ancaman kekerasan” tersebut disyaratkan sebagai berikut :
a)    bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, hingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya ;
b)    bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti itu.

Bahwa dari arrest HR tersebut di atas ternyata belum juga diperoleh penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan ancaman kekerasan, karena arrest tersebut hanya menjelaskan tentang cara bagaimana ancaman kekerasan itu diucapkan. Namun menurut hemat saya, “ancaman kekerasan” itu harus diartikan sebagai suatu “ancaman” yang apabila yang diancam tidak bersedia memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengan pelaku, maka ia akan melakukan sesuatu yang dapat berakibat merugikan bagi kebebasan, kesehatan atau keselamatan nyawa orang yang diancam. 

“memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia”
HR 5 Nopember 1946
        Kejahatan ini telah terlaksana, seketika pelaku dengan paksaan telah menguasai keadaan, atau apabila ia dengan berbuat secara tiba-tiba dapat menghindari perlawanan. 
HR 29 Juni 1908
        Perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tidak diperlukan.
HR 26 Januari 1931
Juga suatu keterangan saksi yang memberi gambaran mengenai kelakuan terdakwa mengenai bidang seksuil, dapat dipergunakan sebagai sarana bukti.

SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.231.
Yang dimaksud dengan bersetubuh untuk penerapan pasal ini ialah memasukkan kemaluan si pria ke kemaluan wanita sedemikian rupa yang normaliter atau yang dapat mengakibatkan kehamilan. Jika kemaluan si pria hanya “sekedar nempel” di atas kemaluan si wanita, tidak dapat dipandang sebagai persetubuhan, melainkan percabulan dalam arti sempit, yang untuk itu diterapkan pasal 289. Persetubuhan tersebut harus dilakukan oleh orang yang memaksa tersebut. Jika ada orang lain (pria atau wanita) yang turut memaksa, maka mereka ini adalah peserta petindak (mededader).


R.Soesilo (KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal), Politea Bogor, Tahun 1996. Hal.211-209.
Seorang perempuan yang dipaksa demikian rupa, sehingga akhirnya tak dapat melawan lagi dan terpaksa maumelakukan persetubuhan itu, masuk pula dalam pasal ini.

Yang dimaksud dengan “persetubuhan” ialah peraduan antara anggauta kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggauta laki-laki harus masuk kedalam anggauta perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arrest Hoge Raad 5 Februari 1912 (W.9292).


HR 5 Februari 1912
Ketentuan ini tidak mensyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan dilakukan di luar perkawinan. 
SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.231.

Yang dimaksud dengan di luar perkawinan, harus diperhatikan ketentuan UU No.1/1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya (PP No.9/1973). Jadi “kawin gantung” yang dikenal sebagai salah satu bentuk perkawinan adat, tidak termasuk pengertian di dalam perkawinan. Dengan perkataan lain, dalam rangka penerapan pasal ini tetap dipandang sebagai di luar perkawinan.




Pasal 289 KUHP
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang  untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Pasal 289 KUHP :
- Barangsiapa,
- dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
- memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
- “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan”

SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.231-81.
Yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang dapat mendatangkan kerugian bagi siterancam atau mengagetkan yang dikerasi. Mengenai perluasannya, termuat dalam pasal 89 KUHP yang berbunyi : “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Suatu contoh tentang kekerasan antara lain ialah menarik dan sembari meluncurkan celana wanita, kemudian wanita tersebut dibanting ke tanah, tangannya dipegang kuat-kuat, dagunya ditekan lalu dimasukkan kemaluan si-pria tersebut.

Yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan. Ancaman ini dapat berupa penembakan ke atas, menodongkan senjata tajam, sampai dengan suatu tindakan yang lebih “sopan”, misalnya dengan suatu seruan dengan mengutarakan akibat-akibat yang merugikan jika tidak dilaksanakan. 

Yang dimaksud dengan memaksa adalah suatu tindakan yang memojokkan seseorang hingga tiada pilihan yang lebih wajar baginya selain daripada mengikuti kehendak dari sipemaksa. Dengan perkataan lain tanpa tindakan sipemaksa itu siterpaksa tidak akan melakukan atau melalaikan sesuatu sesuai dengan kehendak sipemaksa. Dalam hal ini tidak diharuskan bagi siterpaksa untuk mengambil resiko yang sangat merugikannya, misalnya lebih baik mati atau luka-luka / kesakitan daripada mengikuti kehendak sipemaksa. Di sini harus dinilai secara kasuistis kewajarannya. Pemaksaan pada dasarnya dibarengi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dapat juga pemaksaan dibarengkan dengan ancaman akan membuka rahasia siterpaksa atau menyingkirkan siterpaksa dan lain sebagainya. Pokoknya akibat dari pemaksaan itu jika tidak dilakukan adalah sesuatu yang merugikan siterpaksa. Dalam pasal ini yang ditentukan hanyalah pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Sukar dapat diterima adanya pemaksaan dengan pemberian upah atau hal-hal yang akan menguntungkan siterpaksa. Dalam hal yang terakhir ini istilahnya adalah membujuk, menggerakkan, menganjurkan dan lain sebagainya.

“memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”

HR 5 Nopember 1946
Kejahatan ini telah terlaksana, seketika pelaku dengan paksaan telah menguasai keadaan, atau apabila ia dengan berbuat secara tiba-tiba dapat menghindari perlawanan. 

HR 29 Juni 1908
Perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tidak diperlukan.

HR 26 Januari 1931
Juga suatu keterangan saksi yang memberi gambaran mengenai kelakuan terdakwa mengenai bidang seksuil, dapat dipergunakan sebagai sarana bukti.

SR. Sianturi, SH (Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya), Alumni AHAEM-PETEHAEM Jakarta, cet.ke-2, 1989, Hal.545.
Apa yang dimaksud dengan percabulan, didalam KUHP tidak dirumuskan. Untuk penjelasan pasal 289 disebutkan bahwa dalam pengertian percabulan pada umumnya termasuk juga persetubuhan. Kiranya hal ini dihubungkan dengan kesulitan pembuktian untuk persetubuhan, dimana terdapat perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa masukknya alat kelamin pria itu sampai keluar spermanya pada dasarnya (normaliter) dapat membuahi/menghamili wanita tersebut. Sementara pendapat lain ialah bahwa pokoknya alat kelamin itu dimasukkan dan apakah sperma itu sampai ke sasarannya atau kemudioan dibuang oleh pria itu tidak menjadi ukuran. Tetapi bagaimanapun juga, perbuatan mencari kenikmatan dengan menggunakan/melalui alat kelamin oleh dua orang (atau lebih) adalah perbuatan percabulan. Karenanya, jika sulit membuktikan telah terjadi suatu persetubuhan sebaiknya “disubsidairkan” cara pendakwaannya. Dalam pengertian percabulan ini termasuk jua perbuatan-perbuatan lainnya dimana hanya sefihak yang menggunaka/digunakan alat kelaminnya, dan bahkan juga memegang-megang tempat tertentu yang menimbulkan nafsu birahi.

Percabulan dapat terjadi antara seorang pria dan seorang wanita, antara sesama pria atau antara sesama wanita (lesbian). Karena itu pelaku dari delik ini bisa seseorang dan bisa juga seseorang wanita.

R.Soesilo (KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal), Politea Bogor, Tahun 1996. Hal.212.
Yang dimaksudkan dengan “perbuatan cabul” ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dsb-nya.
Yang dilarang dalam pasal ini bukan saja memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul.


Semoga Bermanfaat.

ISI MAKALAH HUBUNGAN DIPLOMATIK DITINJAU DARI KONVENSI WINA 1961

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Menurut Jan Osmanczyk, Hukum Diplomatik merupakan cabang dari hukum Internasionalyan...